Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya.
Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton.
“Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya.
“Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak lagi konsumsi permen.”
“Dia memang bandel,” sahut Andrew sembari menyimpan botol-botol obat untuknya ke dalam laci. Dia menghembus napas berat. Hari ini dia mendapat tambahan satu botol obat baru, karena sesak napasnya kemarin.
“Marcus, panggil Levin. Lukanya harus diperiksa dokter Cleve.”
Marcus mengangguk, sembari mengancingkan kembali kemejanya. Tensinya naik lagi, padahal dia sudah mematuhi anjuran dokter Cleve untuk berolahraga.
“Kalau kau tetap bandel, aku tidak mau memeriksamu bulan depan,” ucap dr Cleve sembari mengembang senyum.
“Sudah kubilang, aku ingin diperiksa dokter Bella. Dia pasti mengatakan aku baik-baik saja. Tensiku normal, gula darahku normal. Semua normal.”
Tawa ketiga lelaki sebaya di ruangan itu pecah. Terdengar akrab dan hangat. Marcus, meski berstatus sebagai pelayan, mereka bertiga bisa main bilyard layaknya teman satu angkatan yang sedang reuni. Sesekali Andrew mengajak Marcus ke kota, memperlakukannya layaknya sahabat baik. Namun bila di Mansion, Marcus tak pernah alpa untuk menghormati Andrew sebagai majikannya.
Selesai Marcus diperiksa, Irene masuk sesuai gilirannya. Dia berpapasan dengan Bella yang hendak berangkat ke kandang.
“Ah, Irene. Bella, tunggu sebentar,” ucap Andrew sembari bangkit dari mejanya dan mendekati kedua wanita itu. “Bisakah kau memeriksa pelayan Devin? Dia sedang sakit. Aku tidak bisa meminta dr Cleve memeriksanya, karena dia baru saja keguguran. Kurasa dia akan lebih nyaman bersamamu. Irene, bisa kau antar dr Bella?”
Irene melirik Marcus. Marcus mendekati Bella dan menjulurkan secarik kertas.
“Ini pesanan obat dari Tuan Devin, dr Bella,” ucapnya. Bella menerima secarik kertas itu dan membaca tulisan di dalamnya. Dia mengernyit sejenak, membuka mulut hendak bertanya. Tapi tatapan Marcus ke arahnya, membuat Bella mengurungkan niat.
“Obat? Memang Devin bisa jadi dokter untuk pelayannya sendiri?” tanya Andrew heran.
“Tuan Devin membawa Amanda ke klinik,” ucap Marcus pelan, sama sekali tidak terlihat menyembunyikan sesuatu. Irene mengakui Marcus piawai sola ini. “Dia butuh diinfus karena ternyata masih pendarahan akibat kegugurannya.”
Keguguran? Pelayan? Bella membaca tulisan di kertas. Tidak ada obat untuk itu di sini. Saat Bella kuliah kedokteran, Devin kerap mencoba-coba meminta obat ini dan itu padanya. Bahkan hanya luka tertusuk duri saja, dia minta Bella menuliskan resepnya. Semakin lama, lelaki itu banyak tahu obat-obatan untuk penyakit tertentu. Kadang bila ada pelayan sakit sebelum jadwal kunjungan dokter Cleve ke Mansion Batista, Devin yang menentukan obat yang harus dibeli Marcus.
Tentu saja Marcus mengkonfirmasi dulu ke Bella, apakah obat yang ditulis Devin itu benar. Dia tidak ingin pelayan menjadi korban coba-coba majikannya. Dan Marcus kerap dibuat heran, karena obat yang dipesan Devin mayoritas tidak salah.
“Aku akan siapkan obatnya. Kurir dari apotek Papa akan mengantarnya ke sini. Bersama obat dan vitamin untuk Batista.” Bella memasukkan kertas itu ke kantong bajunya.
Andrew mengangguk. “Marcus dan Irene yang akan mengatur semuanya, Bella.”
“Aku ke peternakan sekarang.”
Bella meninggalkan ruang kerja Andrew. Melintasi beberapa pelayan yang sedang mengantri menunggu giliran diperiksa. Seharusnya dia berbelok ke kanan, melewati kamar Levin dan menuju dapur, terus ke bagian belakang rumah dan langsung menuju ke peternakan.
Namun dia mengambil jalan ke kiri, melewati kamar Devin. Kamar itu tertutup. Tentu saja Devin tidak ada di sana. Mobil Devin berpapasan dengannya, setelah gerbang mansion. Lelaki itu tampak tergesa, sehingga tidak memperhatikan Bella yang mengklaksonnya.
Sebuah titik merah di lantai menarik perhatian Bella. Tetesan darah segar. Bella berjongkok dan mengambil tetesan itu dengan tangannya. Segar dan encer. Ini jelas bukan darah dari wanita yang keguguran. Ini ..
“Dokter Bella.”
Bella sontak berdiri. Irene sudah ada di sebelahnya.
“Tuan Levin ingin anda memeriksanya. Di kamar.” Irene menatap dokter muda di hadapannya lekat-lekat. Bukan tanpa alasan dia mengucapkan kalimat itu, meski ketika Bella melihat pintu kamar Levin yang tepat berseberangan dengan pintu kamar Devin, tertutup rapat. Pintu kamar Levin, tidak lagi mempunyai anak kunci. Sehingga kerap terbuka sendiri.
“Oh ya? Kukira Tuan Andrew tidak mengijinkan aku memeriksanya.”
“Saya sendiri juga tidak mengerti,” ucap Irene. “Anda tahu sendiri kan bagaimana Tuan Levin?”
Bella tersenyum. “Dia selalu mengusiliku, Irene. Aku malas mengurusnya.”
Irene mengangguk. “Kalau begitu, saya akan mengantar anda ke peternakan.”
Bella mengibas tangan ke udara. “Tidak perlu. Aku tahu jalannya.”
Irene menggeser badannya, memberi jalan pada Bella. Wanita itu berjalan melintasi ruang televisi, melewati kamar Levin tanpa menengok, lalu menuju dapur. Saat gestur langsing itu menghilang di balik dapur, Irene sontak menghembus napas lega. Dia tidak merasa bersalah harus membohongi Bella, karena dia tahu Bella tidak akan mau menemui Levin.
Pintu kamar Levin terbuka. Dia menoleh sekeliling dan mendapati Irene sedang mengepel di depan kamar Devin.
“Apa dokter Bella sudah datang?” tanya Levin. “Semua sudah selesai diperiksa?”
Irene mengendik bahu. “Sepertinya mereka menunggu anda di ruang kerja Tuan Andrew.”
“Bella?”
“Sepertinya. Saya kurang begitu memperhatikan sejak tadi.”
Levin bergegas menuju ruang kerja ayahnya. Tentu saja, dia tidak akan melewatkan momen kunjungan rutin dokter Artwater ke Mansion Batista. Saat yang tepat untuk menggoda Bella Artwater, yang ayahnya tidak akan bisa melarangnya.
Levin bersumpah, tidak akan berhenti menggoda Bella, hingga dokter cantik itu jatuh dalam pelukannya. Dia memang menyebalkan ketika mereka masih kecil, karena selalu menyuruhnya pergi karena mengganggunya saat bermain kartu dengan Devin. Tapi sekarang, situasinya sudah berbalik. Levin tak akan pernah berhenti mendekati dan mengganggunya. Banyak wanita dingin dan angkuh, ditaklukkannya dalam waktu singkat.
Bella hanyalah gadis jinak jinak merpati yang akan jatuh ke dalam dekapannya dalam waktu dekat.
Irene bergegas membereskan kain pel dan memastikan tidak ada tetesan darah hingga ke garasi. Dan dia merasa lega ketika kemudian Marcus mendapatinya sudah menyelesaikan penghapusan jejak darah itu.
“Irene? Kau sudah membereskan kamar Tuan Devin?” tanya Marcus berbisik. “Spreinya masih banyak darah.”
Irene mengangguk, lalu mengeluarkan anak kunci dari sakunya lalu masuk ke kamar Devin. Bertepatan dengan Levin keluar dari ruang kerja ayahnya.
“Mana Irene?” tanya Levin. “Bella tidak ada.”
“Oh, anda mencari Irene apa dokter Bella?” tanya Marcus, berdiri di depan pintu kamar Devin, khawatir majikan mudanya itu tahu-tahu hendak mencari Bella di kamar kakaknya.
“Bella. Aku mau dia memeriksa luka sialan ini,” ucap Levin sembari menunjuk dahinya.
“Dia ke peternakan.”
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki. Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya. Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali. Devin mulai memikirkan hal lain ketika Am
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali
Bella tak bisa memejam mata semalaman. Si Papa yang perhatian, meletakkan kado di tepi tempat tidurnya, saat Bella menghadap dinding. Dia mendengar pintu kamarnya dibuka sangat pelan, berusaha tanpa suara. Lalu tempat tidur yang sedikit bergoyang. Lelaki yang menduda sejak Bella masih belasan tahun itu duduk sejenak di tepi tempat tidur.Biasanya dia akan menghadiahkan kecupan di kening Bella yang sedang berulang tahun yang ke dua puluh delapan. Usia yang sudah cukup matang untuk mendapatkan kecupan dari lelaki selain papanya.Namun karena gadis itu memunggunginya, maka Cleve Artwater hanya mengelus rambut hitam anak gadisnya sembari berucap selamat ulang tahun dengan lirih. Setelah itu, kembali tanpa suara, meninggalkan kamar Bella.Bella duduk memeluk lutut begitu terdengar bunyi klek pintu kamar yang tertutup. Me
Marcus sedang menikmati kue hadiah dari Bella bersama beberapa pelayan. Melihat pelayan dan pekerja menikmati kue mahal dengan cita rasa yang memanjakan lidah, membuat Marcus tersenyum-senyum. Meski dia hanya mendapat tiga buah kue rendah kalori yang tidak manis sama sekali. “Marcus, dia menyogok kita atau bagaimana? Seumur hidupnya baru kali ini dia ulang tahun memberi kita kue,” tanya Sabrina yang disambut anggukan yang lain. Mulut mereka semuanya penuh dan belepotan krim. Marcus terkekeh. “Tidak usah kalian pikirkan. Habiskan saja. Dan berdoalah dia akan menjadi menantu Tuan Andrew, supaya kalian senantiasa sehat wal afiat dan bahagia seperti sekarang.” “Aku mendukung dia dengan Tuan Devin,” ucap Irene. “Meski lebih tua dokter Bella, tapi mereka sangat serasi.” “T
Andrew membuka mata dan mendapati Marcus sudah ada di tepi tempat tidurnya. Marcus tidak membangunkannya. Sepertinya dia sengaja menunggui majikannya hingga terbangun. “Jam berapa sekarang?” “Jam sembilan malam. Tuan sudah tidur delapan jam. Saya harap sudah membaik.” Marcus menyodorkan segelas air dan Andrew langsung meneguknya habis. “Aku baik-baik saja Marcus, bagaimana Pete?” Marcus meletakkan gelas kosong di atas meja, lalu berjalan menuju pintu. “Dia sudah mendapat penanganan dari dokter Cleve. Beliau baru saja hendak pulang, tapi bila anda sudah bangun, beliau ingin bertemu. Bersama dokter Bella.” Andrew perlahan duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan dokter Cleve masuk. Lelaki sebayanya itu