Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki.
Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya.
Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali.
Devin mulai memikirkan hal lain ketika Amanda mengaku bahwa dia yang berada di mobil kedua. Apakah The Vow tidak yakin dengannya, karena targetnya seorang wanita? Hingga menghadirkan pemain kedua, untuk menyelesaikan tugasnya?
“Kau mengenal siapa yang menembak?” tanya Devin, berusaha untuk tidak terkesan menyelidiki.
Amanda menggeleng. “Baju mereka semua sama. Mereka semua polisi.”
Devin terdiam. Pekerja The Vow seperti dia, bisa berada di manapun dan mempunyai pekerjaan tetap untuk menutupi pekerjaan kecil di The Vow. Seperti halnya dirinya. Sebagai CEO Salina Beauty, semua anak buah dan koleganya, hanya mengetahui dia pria rumahan. Selepas kantor, tak pernah terikat dengan wanita, selalu kembali ke Mansion Batista.
Bahkan Andrew percaya dia anak baik-baik.
“Bagaimana kau bisa kabur? Pasti tidak mudah.”
Amanda mengangguk. “Aku terlempar dari mobil ketika rodanya meletus, dan mobil itu berputar-putar di aspal. Aku berada di semak-semak ketika mobilku ditembaki. Aku melihat sendiri, mereka melakukannya tanpa ampun.”
Devin mengernyit. Jadi, luka di lengan Amanda bukan karena tembakan dari orang-orang di mobil ketiga. Lalu peluru yang ada di lengannya berasal dari mana? Devin menatap lekat sepasang netra coklat di hadapannya. Berusaha mencari kebohongan yang disembunyikannya. Namun yang didapatinya justru kembali desiran halus di dadanya, membuatnya menjadi tidak nyaman bila tetap menatap Amanda.
“Luka di lenganku ….” Rupanya Amanda mengerti makna tatapan Devin. Dia meraba lengannya yang masih berbalut perban.
“Seseorang menembakku saat aku berusaha berlari meninggalkan tempat itu.”
Devin terdiam. Siapa? Bukankah para penembak dari mobil ketiga sudah diusir Devin? Siapa yang menembak Amanda? Saat dia berlari di semak-semak. Dalam kegelapan, pastinya dia menggunakan senjata canggih dengan infra merah. Seperti miliknya.
“Kau melihatnya?”
Amanda menggeleng. “Aku hanya mendengar langkahnya mengejarku.”
Devin bangkit dari kursinya. Sudah jelas, ada pemain kedua. Dan hal itu membuatnya kesal. Apalagi hasil pekerjaannya tidak lebih baik dari dirinya.
***
Marcus datang sedikit tergesa, menghampiri Levin yang menyandar di pintu garasi dan tampak tidak sabar. Levin mengulurkan secarik kertas yang segera diterima Marcus dengan hormat. Irene memberitahunya kalau Levin menyuruhnya menebus banyak obat ke kota.
"Ini semua resep dari dokter Cleve dan Bella. Dokter Cleve menitipkan pada ayah. Kau bisa menebusnya? Aku ada urusan ke kota."
Marcus mengangguk. Sejenak menatap deretan nama obat -obatan yang akan dibelinya di kota. Untuk pekerja di Mansion dan juga untuk hewan di peternakan. Obat pesanan Devin untuk Amanda, ada di bagian bawah. Nama obatnya, seperti biasa tidak diubah oleh dokter Bella, menandakan bahwa obat itu benar, Marcus bisa mendapatkan semua obat untuk pekerja dan Devin di apotek milik dokter Cleve.
"Aku tidak melihat Devin. Ke mana saja dia?” tanya Levin. “Kenapa ayah sangat khawatir dengan pelayannya?”
Rupanya Levin sudah mendapatkan info terkini tentang pelayan baru kakaknya.
“Pelayan Tuan Devin baru saja mengalami keguguran, Tuan Levin. Jadi Tuan Devin membawanya ke klinik.”
“Klinik? Klinik mana?” tanya Levin keheranan. Dia lalu masuk ke dalam mobilnya, Menilik penampilannya mengenakan jacket kulit kesayangannya, sepertinya dia akan pulang malam.
“Klinik dekat perkampungan penduduk, Tuan.”
Levin mengendus pendek. Suasana hatinya sedang tidak bagus. Marcus berharap, tidak ada lagi pertengkaran antara Levin dan Andrew selama dia mengantar dokter Bella memeriksa hewan ternak.
“Aku akan menyusulnya. Ponselnya ketinggalan di kamar, dan kamarnya terkunci.”
Marcus hendak mencegah Levin menyusul Devin, karena dia yakin Devin tidak membawa Amanda ke klinik di dekat perkampungan. Namun Levin sudah menghidupkan mobil dan meninggalkan Marcus begitu saja, dengan suara ban mobil mendecit nyaring.
Irene perlahan muncul dari balik garasi, dan mendekati Marcus,
“Marcus, ke mana Tuan Devin?”
Marcus tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu majikan mudanya itu membawa Amanda ke mana. Yang jelas, pusat kesehatan terdekat adalah di klinik dekat perkampungan penduduk. Devin Chayton tidak akan membawa Amanda ke kota, itu terlalu jauh dan memakan waktu lebih lama.
“Sebaiknya kita tidak usah banyak tahu urusan majikan kita, Irene.”
“Tuan Andrew mencarinya. Kurasa kau saja yang memberi penjelasan. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kamar Tuan Devin sudah kubersihkan, dan ponselnya tertinggal. Pantas sejak tadi Tuan Levin kesal karena sambungn telponnya tidak kunjung terangkat.”
Marcus membalikkan badan, menuju ruang kerja majikannya. Namun langkahnya terhenti ketika Andrew tahu-tahu membuka pintu dan muncul di hadapannya.
“Marcus, mana Devin? Dari tadi ditelpon tidak diangkat.”
Marcus melirik Irene yang berkelebat di belakangnya, bergegas menuju dapur.
“Tuan Devin membawa pelayannya ke klinik, Tuan.”
“Ke klinik? Bukankah tadi ada Bella? Kenapa tidak diperiksakan sekalian?” tanya Andrew keheranan.
“Sepertinya … karena Amanda sekalian minta diantar pulang, Tuan. Keluarganya berpesan, bila kondisinya masih lemah, sebaiknya dia minta penangguhan masa mulai bekerja di Mansion. Menunggu dia pulih dan bisa beraktivitas tanpa kendala.”
“Hm, apa Devin tidak masalah tanpa pelayan sampai dia sembuh? Atau, carikan pelayan baru saja, Marcus.”
Marcus menunduk hormat. “Baik, akan saya sampaikan pada Tuan Devin. Namun dalam waktu dekat, sepertinya belum ada pelayan baru melamar, Tuan. Pabrik garmen di pinggir kota, saya dengar banyak merekrut pegawai muda. Pendududk di perkampungan banyak memilih bekerja di sana.”
Andrew hanya menghembus napas pendek. “Terserah Devin kalau begitu. Aku hanya tidak ingin urusannya terbengkalai tanpa pelayan. Sebentar lagi, dia akan sangat sibuk karena Salina Beauty akan membuka cabang di luar kota. Marcus.”
Andrew berjalan menuju garasi. Marcus berjalan mengikutinya. Baru saja Levin meninggalkan rumah dan sepertinya Andrew juga. Keluarga Chayton memang tidak suka berlama-lama menikmati sakit atau luka fisik. Selalu tidak mengindahkan nasehat pelayan. Tetap keluar rumah untuk menyelesaikan urusan.
“Kau bisa menghubungi Devin, Marcus? Bella mengundangnya di pesta ulang tahunnya, nanti malam. Dia akan sangat marah bila Devin tidak datang.”
Andrew membuka pintu mobilnya dengan Andrew masih mengikutinya dari belakang.
“Anda akan menyopir sendiri, Tuan. Saya panggilkan Jerry. Dia ada di peternakan.”
Andrew menggeleng pendek. “Tidak usah, aku hanya akan menyapa Komisaris Hoggart. Ada info terbaru soal wanita yang dicarinya sampai ke Mansion. Kurasa dia perlu tahu dengan segera.”
Marcus tercekat. Apa Andrew akan melaporkan Amanda pada Komisaris Hoggart? Apakah lelaki itu mengingat wajah di foto yang diserahkan Komisaris Hoggart kemarin pagi? Bukankah foto itu dipegang oleh Devin.
Sebelum mobilnya menderum, Andrem menoleh pada Marcus. “Jangan lupa, beritahu Devin. Ulang tahun Bella ada di cafe miliknya, di kota. Jam tujuh malam.”
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali
Bella tak bisa memejam mata semalaman. Si Papa yang perhatian, meletakkan kado di tepi tempat tidurnya, saat Bella menghadap dinding. Dia mendengar pintu kamarnya dibuka sangat pelan, berusaha tanpa suara. Lalu tempat tidur yang sedikit bergoyang. Lelaki yang menduda sejak Bella masih belasan tahun itu duduk sejenak di tepi tempat tidur.Biasanya dia akan menghadiahkan kecupan di kening Bella yang sedang berulang tahun yang ke dua puluh delapan. Usia yang sudah cukup matang untuk mendapatkan kecupan dari lelaki selain papanya.Namun karena gadis itu memunggunginya, maka Cleve Artwater hanya mengelus rambut hitam anak gadisnya sembari berucap selamat ulang tahun dengan lirih. Setelah itu, kembali tanpa suara, meninggalkan kamar Bella.Bella duduk memeluk lutut begitu terdengar bunyi klek pintu kamar yang tertutup. Me
Marcus sedang menikmati kue hadiah dari Bella bersama beberapa pelayan. Melihat pelayan dan pekerja menikmati kue mahal dengan cita rasa yang memanjakan lidah, membuat Marcus tersenyum-senyum. Meski dia hanya mendapat tiga buah kue rendah kalori yang tidak manis sama sekali. “Marcus, dia menyogok kita atau bagaimana? Seumur hidupnya baru kali ini dia ulang tahun memberi kita kue,” tanya Sabrina yang disambut anggukan yang lain. Mulut mereka semuanya penuh dan belepotan krim. Marcus terkekeh. “Tidak usah kalian pikirkan. Habiskan saja. Dan berdoalah dia akan menjadi menantu Tuan Andrew, supaya kalian senantiasa sehat wal afiat dan bahagia seperti sekarang.” “Aku mendukung dia dengan Tuan Devin,” ucap Irene. “Meski lebih tua dokter Bella, tapi mereka sangat serasi.” “T
Andrew membuka mata dan mendapati Marcus sudah ada di tepi tempat tidurnya. Marcus tidak membangunkannya. Sepertinya dia sengaja menunggui majikannya hingga terbangun. “Jam berapa sekarang?” “Jam sembilan malam. Tuan sudah tidur delapan jam. Saya harap sudah membaik.” Marcus menyodorkan segelas air dan Andrew langsung meneguknya habis. “Aku baik-baik saja Marcus, bagaimana Pete?” Marcus meletakkan gelas kosong di atas meja, lalu berjalan menuju pintu. “Dia sudah mendapat penanganan dari dokter Cleve. Beliau baru saja hendak pulang, tapi bila anda sudah bangun, beliau ingin bertemu. Bersama dokter Bella.” Andrew perlahan duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan dokter Cleve masuk. Lelaki sebayanya itu
Devin mematikan ponsel. Berita dari Marcus tidak begitu mengejutkan baginya, karena dia sudah melihat berita itu dari chanel televisi lokal di ponselnya. Komisari Hoggart mendapat perawatan intensif. Andrew dan Pete baik-baik saja dan sudah berada di rumah. Devin berjanji menelpon ayahnya setelah pekerjaannya selesai. Marcus memintanya tidak usah terlalu memikirkan kejadian ini, apalagi terburu untuk pulang. Yang penting, semua baik-baik saja. “Saya pulang dulu, Tuan.” Devin yang sedang berdiri di tepi jendela, menoleh dan mendapati Liliana sudah memakai mantelnya. Dia sudah membereskan rumah dan menyiapkan makanan. Hari sudah beranjak sore, dan dia harus sampai di rumah sebelum suaminya pulang. “Terima kasih, Lili.” “Ma
Rumah Lussie Harper tidak begitu jauh dari rumah sakit. Devin sempat berniat mengunjungi Komisaris Hoggart, tapi dia tidak mengetahui situasi terkini. Kabarnya, dijaga ketat oleh polisi. Meski Devin tidak perlu merasa takut dengan polisi, tapi dia mengurungkan niatnya.Lagipula, dia dalam rangka ke luar kota, pada ijin yang disampaikannya pada Mansion Batista. Dia tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak peduli pada papanya pasca penembakan itu. Memastikan bahwa Andrew Chayton baik-baik saja, membuatnya memilih untuk tidak pulang. Saat ini, baginya yang penting adalah Amanda Harper.Meski dia tidak tahu harus memposisikan wanita berambut coklat itu sebagai apa. Dia berada di dalam mobil yang menjadi target dari The Vow. The Vow hanya menyebutkan bahwa mobil di tengah, semua penumpangnya harus mati. Jadi, Amanda Harper adalah salah satu targetn
Cafe milik Bella Artwater baru saja buka ketika seorang kurir masuk membawa sebuket bunga mawar berwarna merah menyala. Wajah kurirnya sampai tidak kelihatan, tertutup buket yang dibawanya.“Dari siapa?” tanya salah seorang anak buah Bella.Buket bunga diletakkan di meja kasir dan tentu saja menghabiskan tempat. Si kurir menyerahkan sebuah kartu kecil dan menyerahkan pada anak buah Bella.“Dari Chayton.”Kurir itu pun keluar bersamaan dengan Bella Artwater masuk. Dia baru saja datang dari Departemen Peternakan dan hendak rehat sejenak di cafenya, sebelum melanjutkan mengunjungi beberapa mansion pelanggannya. Untunglah tidak ada jadwal Mansion Batista sampai akhir bulan, jadi dia berlega hati karena tidak akan bertemu dengan Levin.