Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya.
Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan.
“Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan itu mati, Marcus.”
Marcus melirik Irene. Apa tidak ada kata-kata yang lebih baik selain mati, bantah Marcus dengan tatapan matanya.
“Dia kehilangan banyak darah.” Irene membela diri.
“Tidak sebanyak itu. Kau hanya melihat sprei putih menjadi merah. Tapi dia tidak kehilangan darah sebanyak yang menyebabkan dia mati.”
Irene terdiam, lalu mengambil kursi dan menikmati tehnya. Keluarga Chayton tidak makan malam di rumah, jadi mereka bisa bersantai hingga mereka pulang.
Dokter Bella berulang tahun malam ini, dan semua Chayton diundang. Wanita itu mempunyai sebuah cafe mungil di kota, tidak jauh dari apotek milik Papanya. Setiap ulang tahunnya, selalu dirayakan di sana, sejak dia mendirikan cafe itu tiga tahun yang lalu. Hanya mengundang Chayton dan beberapa teman dekatnya.
“Marcus, apa kau tidak pernah menaruh curiga pada Tuan Devin?” tanya Irene, mengajak Marcus untuk duduk dan menikmati tehnya yang sudah dingin. Daripada hilir mudik, dan itu tidak akan membuat Devin tahu-tahu muncul di Mansion.
“Tentang apa?” tanya Marcus, hanya melirik Irene.
“Tentang wanita, perempuan. Kurasa dia tidak tertarik pada perempuan.” Irene memelankan suaranya, sembari melirik ke segala arah, memastikan pelayan lain tidak berada di dapur dan mendengar ucapannya.
Dia sedikit lega karena sejurus kemudian terdengar tawa para pelayan dari arah pintu dapur yang terbuka. Mereka masih menikmati acara minum teh selepas senja.
“Kau melihat sendiri bagaimana dia menatap Amanda saat tidak memakai baju?” Marcus akhirnya mendekat dan duduk di seberang Irene, berbatas meja dapur. Meraih cangkir teh miliknya, lalu menyesapnya pelan.
“Justru aku melihatnya, Marcus. Kalau Levin berada pada posisi dia, pasti sudah habis si Amanda itu diserbunya.”
“Ssst.” Marcus menempelkan telunjuk di bibirnya, sembari mendelik ke arah Irene. “Jangan samakan, Irene. Mereka berbeda. Tapi Tuan Devin itu normal.”
“Dia sudah dua puluh lima tahun, Marcus. Tapi tak pernah kita tahu dia dekat dengan wanita. Dokter Bella itu kurang apa coba? Cantik, dokter dan menyukainya. Tapi Tuan Devin seperti tidak melihat apapun pada dokter cantik itu. Sedangkan Tuan Levin yang mengejar-ngejarnya, sama sekali tidak mendapat balasan. Aku sungguh heran pada Chayton bersaudara.”
“Irene, tugasmu memang bergosip.” Marcus menyudahi kalimat panjang lebar Irene. Irene pun terdiam. Bersama para pelayan, mereka memang terbiasa bergosip bila majikan mereka tidak ada di tempat. Dan gosip paling seru adalah membicarakan Tuan Levin Chayton. Di kepala setiap pelayan wanita, terekam jelas nama dan wajah wanita yang pernah dibawa masuk ke kamarnya. Apalagi yang di luar sana.
“Kau tahu Marcus, meski Tuan Levin membawa banyak wanita ke kamarnya …,” bisik Irene sembari memajukan kepalanya mendekati Marcus, “dia masih perjaka.”
“Irene!” sergah Marcus kesal. Para pelayan memang keterlaluan bila bergosip. Urusan seperti itu, seharusnya bukan urusan mereka.
Irene tersenyum lebar melihat kepala pelayannya terpancing emosi. “Dia tidak bisa melakukannya, Marcus. Dan dia menutupinya dengan membawa banyak wanita, silih berganti.”
***
Bella adalah wanita tercantik di SlowArt Cafe. Tentu saja karena dia pemiliknya, dan semua pelayan cafe adalah laki-laki. Dengan dandanan sederhana namun elegan dengan baju polos merah menyala yang melekat di kulit putihnya, wajah Bella yang tirus dengan pipi menonjol lembut dan sepasang mata bulat berbulu mata lentik, membuatnya tampak seperti lukisan hidup dengan latar belakang hitam putih.
Menyala kuat dan tajam.
Namun, binar mata bulat itu tampak kurang ceria ketika satu per satu teman dekatnya berdatangan dan dia tidak melihat sosok Devin Chayton di antara mereka. Pesta dimulai hanya dengan makanan ringan dan cocktail. Sederhana.
“Kau bilang akan mengenalkan Chayton pada kami,” ujar salah seorang temannya. “Yang dingin apa yang panas?”
Bella mengembang senyum tersipu. Istilah panas dan dingin itu memang tepat untuk menggambarkan Levin dan Devin. Devin yang tak kunjung bisa ditaklukkannya dan itu semakin membuatnya penasaran dan tertantang, dan Levin yang selalu memburunya dengan gairah yang membara.
Baginya, mudah saja membuka diri pada Levin. Sudah pasti Levin akan membawanya ke pelaminan. Sejak kecil dia selalu mengucapkan hal itu pada Bella. Tapi bocah ingusan itu lebih muda delapan tahun dengannya, akan membuatnya menjadi bahan tertawaan. Sedangkan Devin ibarat piala yang diperebutkan banyak wanita. Mendapatkannya akan membuatnya tersanjung.
“Kalian mau yang mana?” tanya Bella menggoda, sembari melirik pintu Cafe yang tak kunjung dibuka dari luar oleh salah satu Chayton.
“Aku mau yang panas saja,” ucap salah seorang temannya dengan genit. “Kudengar, dia bermain dengan banyak wanita. Dan kabarnya, benar-benar panas, tapi tidak sampai membuat terbakar.”
Gelak tawa gadis di SlowArt meledak.
“Kau tahu, aku lebih suka yang dingin,” ucap Bella. “Aku akan membuatnya menjadi hangat.”
“Awww … Bella, kau memang pandai memilih!”
Tawa riuh rendah para gadis itu, berakhir menjelang jam sembilan malam. Saat cafe harus tutup dan semua gadis harus pulang.
Chayton tidak datang untuk dikenalkan. Andrew sendiri menghubungi Bella dan mengucapkan selamat ulang tahun dengan mengirim buket mawar merah kesukaan Bella. Dia tidak bisa hadir karena masih ada pertemuan dengan koleganya.
Cleve Artwater, bukan orang yang suka dengan pesta ulang tahun. Dia akan meletakkan kado ulang tahun untuk Bella di sebelah bantalnya, saat dia pulang dari rumah sakit. Mengecup kening anak gadisnya sembari berbisik selamat ulang tahun. Lalu merapikan selimutnya dan keluar kamar.
Selalu seperti itu, sejak Bella kecil. Meski Bella menggelar acara ulang tahun dengan teman-temannya, ayahnya selalu punya momen istimewa sendiri dengannya.
Bella melambai ke arah mobil teman-temannya yang sudah menjauh. Menghembus napas berat, lalu membalik badan menuju pintu Cafe. Baru beberapa langkah, tiba-tiba tubuhnya ditarik ke sudut depan Cafe, sebuah sudut gelap yang tidak terjangkau lampu teras Cafe.
Aroma parfum yang familiar menguar dari dada bidang yang mendekapnya. Membuat darahnya serasa berhenti mengalir, terlebih ketika ciuman panas membungkam mulutnya. Membuatnya tak bisa bernapas. Bella merasa sekujur tubuhnya menegang, menikmati setiap sentuhan di tubuhnya, dan tanpa disadarinya dia juga membalas ciuman yang menggila itu, setelah samar-samar mengingat aroma parfumnya. Aroma parfum Devin Chayton.
Bella melepaskan pelukan tangan kokoh itu, ketika ada mobil melintas dan sorot lampunya mengenai mereka. Bella bisa melihat jelas wajah lelaki yang mendekapnya.
“Levin?” pekiknya tertahan.
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali
Bella tak bisa memejam mata semalaman. Si Papa yang perhatian, meletakkan kado di tepi tempat tidurnya, saat Bella menghadap dinding. Dia mendengar pintu kamarnya dibuka sangat pelan, berusaha tanpa suara. Lalu tempat tidur yang sedikit bergoyang. Lelaki yang menduda sejak Bella masih belasan tahun itu duduk sejenak di tepi tempat tidur.Biasanya dia akan menghadiahkan kecupan di kening Bella yang sedang berulang tahun yang ke dua puluh delapan. Usia yang sudah cukup matang untuk mendapatkan kecupan dari lelaki selain papanya.Namun karena gadis itu memunggunginya, maka Cleve Artwater hanya mengelus rambut hitam anak gadisnya sembari berucap selamat ulang tahun dengan lirih. Setelah itu, kembali tanpa suara, meninggalkan kamar Bella.Bella duduk memeluk lutut begitu terdengar bunyi klek pintu kamar yang tertutup. Me
Marcus sedang menikmati kue hadiah dari Bella bersama beberapa pelayan. Melihat pelayan dan pekerja menikmati kue mahal dengan cita rasa yang memanjakan lidah, membuat Marcus tersenyum-senyum. Meski dia hanya mendapat tiga buah kue rendah kalori yang tidak manis sama sekali. “Marcus, dia menyogok kita atau bagaimana? Seumur hidupnya baru kali ini dia ulang tahun memberi kita kue,” tanya Sabrina yang disambut anggukan yang lain. Mulut mereka semuanya penuh dan belepotan krim. Marcus terkekeh. “Tidak usah kalian pikirkan. Habiskan saja. Dan berdoalah dia akan menjadi menantu Tuan Andrew, supaya kalian senantiasa sehat wal afiat dan bahagia seperti sekarang.” “Aku mendukung dia dengan Tuan Devin,” ucap Irene. “Meski lebih tua dokter Bella, tapi mereka sangat serasi.” “T
Andrew membuka mata dan mendapati Marcus sudah ada di tepi tempat tidurnya. Marcus tidak membangunkannya. Sepertinya dia sengaja menunggui majikannya hingga terbangun. “Jam berapa sekarang?” “Jam sembilan malam. Tuan sudah tidur delapan jam. Saya harap sudah membaik.” Marcus menyodorkan segelas air dan Andrew langsung meneguknya habis. “Aku baik-baik saja Marcus, bagaimana Pete?” Marcus meletakkan gelas kosong di atas meja, lalu berjalan menuju pintu. “Dia sudah mendapat penanganan dari dokter Cleve. Beliau baru saja hendak pulang, tapi bila anda sudah bangun, beliau ingin bertemu. Bersama dokter Bella.” Andrew perlahan duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan dokter Cleve masuk. Lelaki sebayanya itu
Devin mematikan ponsel. Berita dari Marcus tidak begitu mengejutkan baginya, karena dia sudah melihat berita itu dari chanel televisi lokal di ponselnya. Komisari Hoggart mendapat perawatan intensif. Andrew dan Pete baik-baik saja dan sudah berada di rumah. Devin berjanji menelpon ayahnya setelah pekerjaannya selesai. Marcus memintanya tidak usah terlalu memikirkan kejadian ini, apalagi terburu untuk pulang. Yang penting, semua baik-baik saja. “Saya pulang dulu, Tuan.” Devin yang sedang berdiri di tepi jendela, menoleh dan mendapati Liliana sudah memakai mantelnya. Dia sudah membereskan rumah dan menyiapkan makanan. Hari sudah beranjak sore, dan dia harus sampai di rumah sebelum suaminya pulang. “Terima kasih, Lili.” “Ma
Rumah Lussie Harper tidak begitu jauh dari rumah sakit. Devin sempat berniat mengunjungi Komisaris Hoggart, tapi dia tidak mengetahui situasi terkini. Kabarnya, dijaga ketat oleh polisi. Meski Devin tidak perlu merasa takut dengan polisi, tapi dia mengurungkan niatnya.Lagipula, dia dalam rangka ke luar kota, pada ijin yang disampaikannya pada Mansion Batista. Dia tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak peduli pada papanya pasca penembakan itu. Memastikan bahwa Andrew Chayton baik-baik saja, membuatnya memilih untuk tidak pulang. Saat ini, baginya yang penting adalah Amanda Harper.Meski dia tidak tahu harus memposisikan wanita berambut coklat itu sebagai apa. Dia berada di dalam mobil yang menjadi target dari The Vow. The Vow hanya menyebutkan bahwa mobil di tengah, semua penumpangnya harus mati. Jadi, Amanda Harper adalah salah satu targetn
Cafe milik Bella Artwater baru saja buka ketika seorang kurir masuk membawa sebuket bunga mawar berwarna merah menyala. Wajah kurirnya sampai tidak kelihatan, tertutup buket yang dibawanya.“Dari siapa?” tanya salah seorang anak buah Bella.Buket bunga diletakkan di meja kasir dan tentu saja menghabiskan tempat. Si kurir menyerahkan sebuah kartu kecil dan menyerahkan pada anak buah Bella.“Dari Chayton.”Kurir itu pun keluar bersamaan dengan Bella Artwater masuk. Dia baru saja datang dari Departemen Peternakan dan hendak rehat sejenak di cafenya, sebelum melanjutkan mengunjungi beberapa mansion pelanggannya. Untunglah tidak ada jadwal Mansion Batista sampai akhir bulan, jadi dia berlega hati karena tidak akan bertemu dengan Levin.
Malam itu Devin memutuskan untuk tidak jadi mencari rumah Bibi Amanda. Dia menunggu apa yang akan terjadi pasca peristiwa penusukan Pete yang bisa jadi tidak hanya dia yang melihatnya. Dia kembali ke rumah persembunyiannya, dan duduk dalam kegelapan menghadap kamar tempat Amanda tidur.Rupanya gadis itu benar-benar terlelap. Sejak Devin masuk untuk mengambil teropong, dan kembali, dia masih terlelap. Gadis ini benar-benar berusaha memulihkan diri. Perawat mengatakan kalau dia sudah jauh lebih baik, luka jahitnya sudah menyatu tinggal menunggu kering saja baru bisa mulai bekerja.Devin mengatakan pada perawat yang disewanya kalau Amanda adalah pelayannya yang terluka dan tidak mau dirawat di klinik karena luka itu akibat pertengkaran dengan suaminya. Dia tidak ingin dikejar oleh suaminya atau akan terluka lagi.