Rumah Lussie Harper tidak begitu jauh dari rumah sakit. Devin sempat berniat mengunjungi Komisaris Hoggart, tapi dia tidak mengetahui situasi terkini. Kabarnya, dijaga ketat oleh polisi. Meski Devin tidak perlu merasa takut dengan polisi, tapi dia mengurungkan niatnya.
Lagipula, dia dalam rangka ke luar kota, pada ijin yang disampaikannya pada Mansion Batista. Dia tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak peduli pada papanya pasca penembakan itu. Memastikan bahwa Andrew Chayton baik-baik saja, membuatnya memilih untuk tidak pulang. Saat ini, baginya yang penting adalah Amanda Harper.
Meski dia tidak tahu harus memposisikan wanita berambut coklat itu sebagai apa. Dia berada di dalam mobil yang menjadi target dari The Vow. The Vow hanya menyebutkan bahwa mobil di tengah, semua penumpangnya harus mati. Jadi, Amanda Harper adalah salah satu targetn
Cafe milik Bella Artwater baru saja buka ketika seorang kurir masuk membawa sebuket bunga mawar berwarna merah menyala. Wajah kurirnya sampai tidak kelihatan, tertutup buket yang dibawanya.“Dari siapa?” tanya salah seorang anak buah Bella.Buket bunga diletakkan di meja kasir dan tentu saja menghabiskan tempat. Si kurir menyerahkan sebuah kartu kecil dan menyerahkan pada anak buah Bella.“Dari Chayton.”Kurir itu pun keluar bersamaan dengan Bella Artwater masuk. Dia baru saja datang dari Departemen Peternakan dan hendak rehat sejenak di cafenya, sebelum melanjutkan mengunjungi beberapa mansion pelanggannya. Untunglah tidak ada jadwal Mansion Batista sampai akhir bulan, jadi dia berlega hati karena tidak akan bertemu dengan Levin.
Malam itu Devin memutuskan untuk tidak jadi mencari rumah Bibi Amanda. Dia menunggu apa yang akan terjadi pasca peristiwa penusukan Pete yang bisa jadi tidak hanya dia yang melihatnya. Dia kembali ke rumah persembunyiannya, dan duduk dalam kegelapan menghadap kamar tempat Amanda tidur.Rupanya gadis itu benar-benar terlelap. Sejak Devin masuk untuk mengambil teropong, dan kembali, dia masih terlelap. Gadis ini benar-benar berusaha memulihkan diri. Perawat mengatakan kalau dia sudah jauh lebih baik, luka jahitnya sudah menyatu tinggal menunggu kering saja baru bisa mulai bekerja.Devin mengatakan pada perawat yang disewanya kalau Amanda adalah pelayannya yang terluka dan tidak mau dirawat di klinik karena luka itu akibat pertengkaran dengan suaminya. Dia tidak ingin dikejar oleh suaminya atau akan terluka lagi.
Malam berikutnya, Devin memutuskan hendak berangkat ke rumah Bibi Amanda. Tentu saja setelah memastikan Amanda terlelap. Meski sudah lewat tiga hari, dia belum ada keinginan untuk kembali bekerja, apalagi pulang ke Mansion Batista. Devin tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Berada di rumah persembunyian bersama Amanda membuatnya lebih tenang. Dia merasa harus menjaga wanita itu dengan segenap kemampuannya. Selain karena dia adalah kunci jawaban atas rasa penasarannya terhadap pemain kedua malam itu, Amanda sepertinya adalah kunci atas semua jalinan peristiwa. Devin berusaha menampik rasa nyamannya saat berada di dekat wanita itu, menatapnya saat terlelap. Dalam waktu dekat, wanita ini harus dibawanya ke Batista, atau keluarga Chayton akan menaruh curiga akan statusnya sebagai pelayan baru yang memaksa bekerja meski kondisinya sedang tidak sehat.
Devin keluar dari dapur rumah Lusie Harper, menutup kembali pintu dengan gerakan tak bersuara, lalu sejurus kemudian dia sudah bergabung dengan penduduk yang berlarian dari rumah mereka ke jalan. Para tetangga yang akan merubungi tempat kejadian perkara dan membuat polisi kerepotan. Devin mengikuti arus beberapa orang dan matanya menangkap gestur gadis belia yang berkali-kali dipanggil Amanda oleh beberapa tetangga. Saat Devin sampai di ujung gang, dia melihat ada seorang berjacket hitam dan bertudung, keluar dari salah satu rumah. Tepatnya dari arah belakang rumah, seperti dirinya ketika keluar dari rumah Lusie Harper. Di tangan lelaki itu ada tas panjang dan Devin langsung mengenalinya. Dia pasti sniper-nya. Devin keluar dari rombongan penduduk yang
Devin terbangun saat mendengar suara pintu depan dibuka. Dia yang tidur di atas kotak perkakas di garasi terpaksa membuka mata. Langit sudah mulai terang, dan sinar matahari menerobos melalui sela-sela jendela garasi yang masih tertutup.Sejurus kemudian terdengar langkah mendekat. Langkah Liliana yang tergesa sangat dihapalnya. Dan benar saja, raut wajahnya muncul di pintu garasi.“Tuan Devin baru bangun?” tanyanya hati-hati.Devin mengangguk, lalu mengeliat sebentar. Mengusap muka dengan kedua telapak tangannya, lalu turun dari kotak perkakas. Berjalan menuju jendela garasi, berniat membukanya.“Hm, jadi kapan nona Harper pulang? Kenapa anda tidak memberitahu saya? Saya menyiapkan banyak makanan dari rumah.”
Setelah kejadian tadi pagi, tidak mudah bagi keduanya untuk berkomunikasi. Devin memasuki rumah dalam diam, sementara Liliana segera menuju dapur untuk membuat sarapan. Devin melirik ke dalam kamar dan melihat Amanda membenamkan wajah ke bantal, dan menarik rapat selimutnya. Devin menyusul Liliana ke dapur. “Kau tidak usah menyiapkan makanan sampai malam. Aku harus kembali ke Batista. Aku akan membawa Amanda ke sana.” Liliana yang memunggungi Devin tersenyum-senyum. “Baik, Tuan. Oh iya, Amanda akan dibawa ke Batista. Apakah dia …” “Tidak usah berpikiran macam-macam. Dia akan menjadi pelayanku, pengganti kamu.” Liliana mendelik dan tiba-tiba tersedak air liurnya sendiri. Dia terbatuk-batuk, dan bergegas meraih gelas dan menuang air minum dari teko.
Kondisi dokter Cleve mulai menurun, meski lelaki itu berusaha untuk nampak bugar di hadapan putri semata wayangnya. Dia tidak ingin anak gadisnya itu menjadi lemah dan mempengaruhi pekerjaannya. Siang itu, Bella mengantar ayahnya ke rumah sakit untuk persiapan menjelang kemoterapi. Ada beberapa tes yang harus dilalui dan Bella tidak ingin ayahnya melalui semuanya sendirian. Dia ingin selalu berada di sebelahnya. “Kau bisa meninggalkanku, sayang,” ucap Cleve saat mobil yang dikendarai Bella memasuki pelataran parkir. “Rumah Sakit itu rumah keduaku. Aku tidak akan takut seperti para pasienku.” Bella mengembang senyum meski dadanya perih. Setelah mematikan mesin, dia memutar badan dan menatap ayahnya. “Siapa bilang aku mengantar ayahku karena dia penakut. Aku mengantarnya karena aku yakin dia akan kabur. Jadi aku ak
"Apa yang kaulihat bukan sebenarnya, Devin. Aku bisa menjelaskannya." Bella meraih tangan Devin dan menggenggamnya. Menatap lelaki itu penuh harap agar mau melihat ke dalam relung jiwanya. Dia benar-benar panik, khawatir Devin akan menutup telinga terhadap apa yang akan dijelaskannyaNamun lelaki itu justru tersenyum lebar, seolah tidak pernah ada kejadian penting beberapa hari ini. "Bella, jangan khawatir. Aku justru senang akhirnya kamu menerima Levin setelah sekian lama dia mengejar-ngejarmu."Bella membeliak lalu menghempas tangan Devin. Devin sedikit terkejut melihat reaksi spontan Bella, namun dia tetap mengembang senyum. "Aku sama sekali tidak menerima dia, Devin. Dia menjebakku. Dia membuat aku mengira kalau dia …""Bella, it's oke. Tenang saja," ucap Devin sembari menepuk-nepuk pu