“Kau adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku sudah menikah.”
Bella tercekat. Menatap Devin yang juga menatapnya dengan wajah berseri-seri dan pipi bersemu merah. Kepuasan dan kebahagian terpancar jelas di wajahnya. Mereka duduk berhadapan, di sebuah cafe dengan pemandangan menara Eiffel yang berselimut senja. Devin memintanya menunggu di sini, dan baru muncul dua jam kemudian.
Pasti Devin masih menyelesaikan permainannya yang terhenti karena kedatangan Bella. Sementara Bella menanti di cafe, setelah mendapat pesan dari Devin untuk menunggunya di sana. Pesan yang dikirimkannya satu menit setelah lelaki itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Bella berdiri di seberang rumahnya seperti perempuan bodoh.
“Siapa dia?”
“Istr
"Bukankah aku sudah transfer kemarin?" bantah Levin di sambungan telepon."Itu untuk penyelidikan dalam kota Tuan Chayton. Dan kami menemukan petunjuk bahwa Bella Artwater pergi ke luar negeri."Levin terdiam. Ke luar negeri pasti membutuhkan lebih banyak lagi dana. Tidak hanya untuk melacak, tapi juga untuk membawa Bella pulang. Sedangkan dia tidak punya lagi uang simpanan. Beberapa orang yang dikerahkannya selalu meminta uang tambahan bila penyelidikan semakin berlanjut karena menemukan bukti baru.Levin tak ingin melibatkan polisi. Melaporkan istrinya telah menghilang di kantor polisi hanya akan mempermalukannya karena status mereka belum tercatat resmi di negara. Apalagi Cleve tak lagi menghendaki Bella bersama Levin. Hanya karena kesalahan yang menurutnya sangat sepele. Toh dia biasa meladeni wanita-wanita peng
Andrew Chayton tidak mau bermain-main lagi dengan kedua anak lelakinya. Sudah saatnya memberi penegasan pada mereka, atau dua perusahaan yang akan diwariskan pada masing-masing anaknya akan terbengkalai. Hanya karena wanita.Sudah cukup, Sabrina adalah mimpi buruk yang harus menjadi pelajaran berharga bagi mereka bertiga."Dengar, mulai hari ini, kalian tidak boleh berhubungan dengan wanita manapun. Sampai kalian berusia 30 tahun dan itu saatnya kalian menikah."Suara Andrew terdengar seperti petir di siang bolong bagi Levin Chayton. Si bungsu yang sudah berusia dua puluh tiga tahun bulan kemarin itu tak percaya ayahnya akan mengeluarkan kalimat mengerikan itu."Dad, yang benar saja? Tanpa wanita?" tanya Levin dengan nada meninggi, bahkan nyaris bangkit dari tempat duduknya."Kenapa? Apakah hidupmu begitu sempit tanpa wanita?" tanya Andrew mendominasi ruang kerjanya.Levin melirik Devin. Kakaknya yang terpaut dua tahun dengannya itu tentu sa
Devin bergegas menuju garasi, setelah memastikan pintu ruang kerja ayahnya sudah tertutup rapat. Dia yakin, kali ini Levin tak bisa berkutik di hadapan ayahnya--dengan bukti foto-fotonya bersama kekasih-kekasihnya, ditambah deretan angka yang akan membuatnya terbeliak. Devin harus segera mengirim kartu ucapan terima kasih pada The Vow, yang memberikan data itu sebagai imbalan pekerjaan terakhirnya.Setidaknya, kertas-kertas itu akan membuat ayah dan si bungsu akan berada di ruangan itu sampai Devin meninggalkan mansion dengan motornya."Motornya sudah siap, Tuan." Marcus membuka pintu garasi ketika Devin baru melintasi selasar depan kamarnya. Garasi mansion berada tidak jauh dari kamar Devin. Hanya dipisahkan oleh selasar dan taman bunga. Di dalamnya ber
"Tuan, mohon maaf Marcus mengganggu kesibukan Tuan Devin." Devin Chayton berusaha bernapas normal, seolah sejak tadi berada di ruangan tenang dan duduk santai bersama pialang. Napas memburu seperti ini, memang sulit dinormalkan dalam waktu cepat. Tapi Marcus tidak boleh mendengarnya melalui sambungan telepon atau dia akan curiga. "Tidak, aku baru masuk ke toilet." Devin membuka kran dan membiarkan kucuran airnya terdengar oleh Marcus di sambungan telepon. "Oh, maaf, Tuan Devin. Apakah pertemuan dengan pialang sudah selesai?" "Belum," tukas Devin sembari mematikan kran. Dia mengendus jas hitam pekat yang sudah dikenakannya kembali, lalu melempar jaket kulit berdebunya ke keranjang di sudut toilet. Besok p
Suara mendebam mengejutkan Marcus. Kepala pelayan itu baru saja hendak menutup garasi ketika telinganya mendadak menjadi pekak. Sejenak dia terdiam, dan ketika pikirannya bekerja, dia pun hanya geleng-geleng kepala. Pasti Levin Chayton demikian marahnya hingga membanting pintu kamar tidurnya. Kebiasaan yang sudah sangat dihapal oleh seluruh pelayan Mansion. Lelaki itu sangat mudah menundukkan wanita, tapi tak pernah bisa memenangkan hati ayahnya. Sikap egois dan tak sabarannya, sungguh bertentangan dengan Devin Chayton. Devin adalah warisan Andrew. Sedangkan Levin adalah cetakan Sabrina Brice. Marcus tidak bisa membayangkan bila suatu ketika Sabrina Brice muncul di Mansion Batista. Pasti Levin akan berlindung di ketiak ibunya. Bukan hal yang mustahil,
Matahari sebentar lagi terbit ketika Devin memasuki dapur. mencuci muka dan tangan di wastafel. Dua orang pelayan sedang sibuk memasak menyiapkan makan pagi. “Devin, dari mana saja kamu?” Devin merasa tubuhnya membeku mendengar suara berat di belakangnya. Dibiarkannya air dari kran mengalir membasahi jemarinya. Entah kenapa, kali ini dia ingin membersihkan tangan sebersih-bersihnya. Rasanya sabun cuci tangan tak sanggup membersihkan noda dosa di tangannya. Dosa? Sepertinya kata itu tak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak pernah mendapatkan nasehat kebaikan di rumah. Dia dibesarkan dalam instruksi ayah bersuara berat pada pelayan. Bahkan dosa yang dilakukan ibunya adalah sebuah buku catatan wajib yang harus dibacanya setiap hari, agar kebencian pada wanita itu tertanam dan berakar seumur hidupnya.
Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring. Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya. Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja