Andrew Chayton tidak mau bermain-main lagi dengan kedua anak lelakinya. Sudah saatnya memberi penegasan pada mereka, atau dua perusahaan yang akan diwariskan pada masing-masing anaknya akan terbengkalai. Hanya karena wanita.
Sudah cukup, Sabrina adalah mimpi buruk yang harus menjadi pelajaran berharga bagi mereka bertiga.
"Dengar, mulai hari ini, kalian tidak boleh berhubungan dengan wanita manapun. Sampai kalian berusia 30 tahun dan itu saatnya kalian menikah."
Suara Andrew terdengar seperti petir di siang bolong bagi Levin Chayton. Si bungsu yang sudah berusia dua puluh tiga tahun bulan kemarin itu tak percaya ayahnya akan mengeluarkan kalimat mengerikan itu.
"Dad, yang benar saja? Tanpa wanita?" tanya Levin dengan nada meninggi, bahkan nyaris bangkit dari tempat duduknya.
"Kenapa? Apakah hidupmu begitu sempit tanpa wanita?" tanya Andrew mendominasi ruang kerjanya.
Levin melirik Devin. Kakaknya yang terpaut dua tahun dengannya itu tentu saja tidak akan memberontak dengan keputusan Andrew. Karena dia lelaki dingin yang tidak tertarik pada wanita. Mungkin karena masa kecil mereka, yang terpaksa mereka berdua lalui tanpa kasih sayang seorang wanita, yang bisa mereka panggil Mom.
"Dua puluh tanpa wanita, apa aku salah bila aku punya seorang kekasih?" tanya Levin, berusaha menahan gemuruh di dadanya. Kelebatan gestur beberapa gadis di matanya, sungguh tak sanggup dia tinggalkan.
"Kau tidak punya satu, Levin. Jangan kau kira aku tidak tahu tingkah lakumu selama ini. Aku tidak ingin, gadis-gadismu menggerogoti harta kita, " desis Andrew dengan suara nyaris tak terdengar di kalimat terakhir, "Seperti Sabrina Brice."
Levin menghembus napas kasar. Bahkan ayahnya masih menyebut nama gadis ibunya dengan nada sinis, meski sudah 20 tahun mereka tak bertemu.
Andrew bangkit dari kursinya, menyatukan tangan di belakang punggung lalu berdiri di tepi jendela besar. Satu-satunya jendela di ruang kerjanya yang menampilkan pemandangan mansion miliknya. Menyebut nama Sabrina Brice selalu mengiris hatinya, tapi dia tak akan pernah lupa bahwa wanita itu adalah perempuan yang melahirkan keturunannya.
Perselingkuhannya dengan salah seorang pekerja kasar di mansion, membuat Andrew terluka sangat dalam. Apalagi, sama sekali tak diduganya, larinya Sabrina dengan pekerjanya sendiri, dengan membawa semua obligasi miliknya.
Wanita itu telah membuatnya hancur dan terpuruk. Setiap kali Andrew menyebutnya di depan Devin dan Levin dengan penuh kemarahan, adalah untuk menanamkan kebencian yang sama di dada mereka. Bahwa ketika itu, Andrew hanyalah bocah 19 tahun yang menerima warisan mendadak karena kedua orang tuanya tewas karena kecelakaan.
Sabrina hadir, memberikan cinta palsunya, hanya untuk membawa kabur semua hartanya.
"Jika kau ingin melihat ayahmu ini mati hari ini, bawa saja gadis-gadismu di sini. Sudah pasti, wajah Sabrina Brice ada di topeng-topeng mereka."
Levin melirik Devin. Seperti biasa, si sulung selalu bersikap dingin--alih-alih sebagai kakak yang bijaksana.
Devin menatap Levin dengan alis berkerut samar. Dia tahu, Levin banyak bermain dengan gadis, hingga Devin tak bisa lagi membedakan mana gadis Levin, mana yang pelayan di rumah ini. Mereka silih berganti menggandeng tangan Levin, keluar masuk rumah seperti pelayan. Namun itu hanya bila ayah mereka tidak di rumah.
"Kita harus menjaga kesehatan ayah, Levin. Baru tahun kemarin, ring tertanam di dadanya. Kau tentu tidak ingin mengambil ring itu untuk kau pakaikan di jari gadismu."
Levin mengepal tangan, sembari menatap Devin geram. Devin bangkit dari kursinya, merapikan keliman jas hitam pekatnya dan menghampiri Andrew.
"Dad, aku akan ke kota dan pulang malam. Tidak usah menungguku makan malam."
"Kuharap kau tidak pulang membawa gadis," ucap Andrew datar.
Devin tersenyum lebar. "Kalaupun aku membawa gadis, pasti untuk pelayan rumah ini. Sudah sepekan Liliana berhenti bekerja karena menikah. Jadi, aku belum mendapat ganti pelayan."
Andrew mendengus pendek. Sepertinya, dia harus mencarikan pelayan yang sudah berumur, agar tidak menggoda anak-anaknya. Tentu saja pekerjaan mereka tidak setangkas yang masih muda. Namun setidaknya, anak lelakinya tidak akan tergoda.
"Aku akan ke rumah Dough besok pagi. Beberapa tetangganya ada yang menjadi pelayan paruh waktu di mansion keluarga Morpheus," ucap Andrew tanpa memalingkan wajah dari jendela. "Dan akan aku cari yang sudah bersuami dan beranak banyak."
Devin melirik Levin. Rupanya, kejadian di pesta ulang tahun Levin kemarin yang menjadi penyebab Andrew membuat keputusan sepihak--tanpa wanita sampai mereka berusia 30 tahun.
Levin tepergok oleh salah seorang pekerja di kandang kuda, sedang bermesraan dengan istrinya yang tak lain adalah seorang pelayan. Devin tak habis pikir, Levin nekad melakukannya di rumah ini tempat suami istri itu bekerja. Dengan alasan sedang mabuk dan tak menyadari siapa wanita yang diciuminya di belakang rumah.
Sudut bibirnya yang sobek setelah menerima tinju si suami, bisa jadi bukan pelajaran berharga baginya. Bagi Levin hal itu justru akan semakin menantang jiwa playboy-nya.
"Sama persis seperti Sabrina," desis Andrew kemarin malam, setelah menyerahkan segepok uang pada si suami. Dia tak lagi bekerja di Mansion, istrinya juga.
Devin mengelus punggung ayahnya, membalik badan dan melebarkan tangan. Ayahnya masih marah, dan Levin justru bangun pagi tanpa merasa berdosa.
"Kau ikut, Lev? Pertemuan dengan pialang memang membosankan. Setidaknya minuman di sana bisa menyembuhkan bibir sobekmu."
Levin membuang muka, sembari menyentuh sudut bibirnya yang masih perih. Devin selalu punya stok kalimat menohok, namun tak pernah berhasil menyindirjya
Devin hanya menepuk bahunya dua kali sebelum meninggalkan ruangan.
Andrew membalik badan begitu Devin menutup pintu ruang kerjanya. Dia membuka laci dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Melemparkannya ke pangkuan Levin, lalu menghempaskan badan gempalnya di sofa--tepat di hadapan Levin.
Pemuda itu membaca setiap lembar kertas di pangkuannya. Keningnya mengernyit dan alisnya bertaut.
"Darimana Dad mendapat semua informasi ini? Ini--"
"Selama ini kau mengencani wanita-wanita yang menggerogoti uangmu. Sabrina Brice itu mimpi buruk yang ak akan kubiarkan terjadi pada kalian berdua."
Levin menggeleng lalu meletakkan kertas-kertas itu di meja kecil, sebelah sofanya. "Mereka semua wanita baik-baik, Dad. Dad jangan percaya omongan orang. Mereka hanya iri pada kita."
"Kau pikir aku sebodoh itu? Kau tahu pelayan dan suaminya itu? Mereka memang bekerja sama untuk menjebak lelaki mata keranjang seperti kamu! Demi uang!"
Levin tercekat. Seingatnya, Mimi--pelayan bertubuh paling indah di Mansion ini memang melamar tiga bulan yang lalu bersama suaminya. Dan Mimi memang pelayan paling genit yang membuatnya tidak tahan untuk menyentuhnya.
"Suaminya mengancam akan melaporkanmu pada Sherif atas tuduhan percobaan perkosaan, atau aku membayar gaji mereka selama setahun."
Levin menelan ludah. Dia kembali meraih kertas di meja. Ayahnya sungguh cermat. Dia juga menuliskan jumlah uang yang harus dikeluarkannya untuk membungkam beberapa wanita yang mengancam akan mencemarkan nama baik Chayton.
Devin bergegas menuju garasi, setelah memastikan pintu ruang kerja ayahnya sudah tertutup rapat. Dia yakin, kali ini Levin tak bisa berkutik di hadapan ayahnya--dengan bukti foto-fotonya bersama kekasih-kekasihnya, ditambah deretan angka yang akan membuatnya terbeliak. Devin harus segera mengirim kartu ucapan terima kasih pada The Vow, yang memberikan data itu sebagai imbalan pekerjaan terakhirnya.Setidaknya, kertas-kertas itu akan membuat ayah dan si bungsu akan berada di ruangan itu sampai Devin meninggalkan mansion dengan motornya."Motornya sudah siap, Tuan." Marcus membuka pintu garasi ketika Devin baru melintasi selasar depan kamarnya. Garasi mansion berada tidak jauh dari kamar Devin. Hanya dipisahkan oleh selasar dan taman bunga. Di dalamnya ber
"Tuan, mohon maaf Marcus mengganggu kesibukan Tuan Devin." Devin Chayton berusaha bernapas normal, seolah sejak tadi berada di ruangan tenang dan duduk santai bersama pialang. Napas memburu seperti ini, memang sulit dinormalkan dalam waktu cepat. Tapi Marcus tidak boleh mendengarnya melalui sambungan telepon atau dia akan curiga. "Tidak, aku baru masuk ke toilet." Devin membuka kran dan membiarkan kucuran airnya terdengar oleh Marcus di sambungan telepon. "Oh, maaf, Tuan Devin. Apakah pertemuan dengan pialang sudah selesai?" "Belum," tukas Devin sembari mematikan kran. Dia mengendus jas hitam pekat yang sudah dikenakannya kembali, lalu melempar jaket kulit berdebunya ke keranjang di sudut toilet. Besok p
Suara mendebam mengejutkan Marcus. Kepala pelayan itu baru saja hendak menutup garasi ketika telinganya mendadak menjadi pekak. Sejenak dia terdiam, dan ketika pikirannya bekerja, dia pun hanya geleng-geleng kepala. Pasti Levin Chayton demikian marahnya hingga membanting pintu kamar tidurnya. Kebiasaan yang sudah sangat dihapal oleh seluruh pelayan Mansion. Lelaki itu sangat mudah menundukkan wanita, tapi tak pernah bisa memenangkan hati ayahnya. Sikap egois dan tak sabarannya, sungguh bertentangan dengan Devin Chayton. Devin adalah warisan Andrew. Sedangkan Levin adalah cetakan Sabrina Brice. Marcus tidak bisa membayangkan bila suatu ketika Sabrina Brice muncul di Mansion Batista. Pasti Levin akan berlindung di ketiak ibunya. Bukan hal yang mustahil,
Matahari sebentar lagi terbit ketika Devin memasuki dapur. mencuci muka dan tangan di wastafel. Dua orang pelayan sedang sibuk memasak menyiapkan makan pagi. “Devin, dari mana saja kamu?” Devin merasa tubuhnya membeku mendengar suara berat di belakangnya. Dibiarkannya air dari kran mengalir membasahi jemarinya. Entah kenapa, kali ini dia ingin membersihkan tangan sebersih-bersihnya. Rasanya sabun cuci tangan tak sanggup membersihkan noda dosa di tangannya. Dosa? Sepertinya kata itu tak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak pernah mendapatkan nasehat kebaikan di rumah. Dia dibesarkan dalam instruksi ayah bersuara berat pada pelayan. Bahkan dosa yang dilakukan ibunya adalah sebuah buku catatan wajib yang harus dibacanya setiap hari, agar kebencian pada wanita itu tertanam dan berakar seumur hidupnya.
Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring. Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya. Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja
Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan. Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya. Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil. Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawa
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak