Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan.
Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya.
Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil.
Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawatir, dia seolah melihat kucing lewat di depannya. Sama sekali, tidak teringat apa yang sudah terjadi, apalagi mengambil sikap atau prinsip. Pantas saja, wanita-wanita berseliweran dalam hidupnya, karena dia memang tidak pernah memasukkan dalam hati apapun kejadian yang membuat gadis-gadisnya patah hati.
“Mana Devin?” tanya Levin pada Marcus sebelum membuka pintu ruang kerja ayahnya.
“Tuan Devin sedang istirahat, Tuan. Semalam beliau …”
“Lihat kembang api lagi? Huh. Lain kali kau harus membuat kembang api sendiri di halaman rumah kita Marcus.”
Marcus hanya mengangguk hormat. Setelah memastikan Levin masuk dan menutup pintu ruang kerja ayahnya, Marcus bergegas masuk ke dalam kamar Devin dan mengunci pintunya. Tuan mudanya tampak kebingungan mengamati Irene yang berusaha membuka baju Amanda. Seragam Mansion Batista yang dikenakan Amanda semakin pekat warnanya, karena lukanya semakin deras mengalirkan darah.
Irene sudah membuka baju Amanda, membuat Devin membalikkan badan. Sempat melihat bahu Amanda yang putih polos dan kembali menerbitkan desiran aneh di dadanya. Baru kali ini ada perempuan hanya memakai pakaian dalam di kamarnya. Sejak kecil, dia tak pernah dekat dengan wanita selain pelayan yang silih berganti.
“Pakaikan selimutku, Irene,” perintah Devin gugup sembari menghadap lemari pakaian. Marcus meliriknya sembari tersenyum, lalu membantu Irene menyelimuti Amanda. Perban di lengan gadis itu sudah memerah, dan darah mengalir hingga ke tangannya. Sprei putih Devin pun memerah.
“Sepertinya, kita harus membawa dia ke rumah sakit, Tuan,” ucap Marcus, mendekati Devin yang masih memunggungi ranjang. Devin melirik ke belakang, dan dilihatnya Amanda sudah berselimut. Hanya bagian bahu dan lengannya yang terbuka dengan darah segar memerahi sprei. Irene membereskan pakaian Amanda dengan cekatan, juga membuka sepatu gadis itu. Semua yang dikenakan Amanda hari ini adalah pakaian Irene. Untung saja ukurannya sama.
Devin mendekat dan menggenggam dagunya, berpikir keras. Melihat kondisi Amanda, gadis itu bisa kehilangan banyak darah. Wajahnya sudah semakin memucat. Bahkan lukanya bisa jadi akan mengalami infeksi. Tapi, mengantar gadis itu ke rumah sakit, sama saja dengan melanggar ketentuan The Vow. Devin yakin, banyak mata sedang mencari gadis ini. Komisaris bukan tanpa alasan mendatangi Mansion Batista dan meminta pertolongan keluarga Chayton untuk bekerja sama.
Mansion ini adalah pemukiman terdekat dari lokasi kecelakaan--seperti yang disebutkan Komisari Hoggart. Devin sendiri belum memastikan apakah kecelakaan yang dimaksud Hoggart adalah TKP pekerjaan kecilnya.
Sekeliling Mansion adalah perkebunan dan ranch. Sebagian milik Chayton adalah yang menuju ke arah kota, tepat di sebelah utara, memanjang dari selatan. Di selatan, baru ada perumahan penduduk lokal. Mansion Batista ibarat gerbang pertama dari arah kota menuju pemukiman penduduk desa.
The Vow, sudah pasti sedang kebakaran jenggot. Karena targetnya tidak ada di TKP, baik hidup ataupun mati. Mereka akan mengerahkan pekerja lain dan menepikan Devin.
“Saya yang akan mengantarnya Tuan ….”
“Tidak,” tukas Devin memotong kalimat Marcus. “Dia sudah meminta pertolongan pada kita. Membawanya keluar dari sini sama saja dengan menyerahkan dia pada siapapun yang mengejarnya di luar sana.”
Kamar menjadi senyap.
“Mungkin dokter Bella bisa membantu?” tanya Marcus. “Kita bisa mengatakan kalau pelayan baru Tuan Devin terluka dan membutuhkan pengobatan. Sedangkan dia tidak mungkin keluar dari Batista karena kondisinya yang masih lemah, akibat keguguran.”
Devin mendelik. “Keguguran?”
“Itu cerita yang dia sampaikan pada Tuan Andrew, makanya dia diterima.”
Devin mendekati tempat tidur dan mengamati Amanda yang memejam mata dengan rapat. Alis lebatnya nyaris beradu, dia mengernyit kesakitan dalam pingsannya. Irene sudah membalurkan minyak gosok untuk menghangatkan badannya, tapi dia belum siuman.
“Apalagi yang dia ceritakan?”
“Suaminya berselingkuh dan kabur dengan selingkuhannya saat dia hamil. Dia depresi dan keguguran. Dan saat ini dia perlu pekerjaan agar bisa makan.”
Devin memindai wajah Amanda. Apa benar gadis ini sudah menikah dan pernah mengandung? Devin sama sekali tidak bisa mengetahui hal itu hanya dengan melihat wajahnya.
“Bila kita memanggil Bella, dia jelas akan curiga. Seorang dokter pasti tahu, bekas luka seperti itu disebabkan oleh apa. Dan aku tidak ingin Bella terjebak dalam situasi yang kurang menyenangkan, apabila nanti Dokter Cleve mengkonfirmasi kondisi kesehatan Amanda. Dia pasti tahu, gadis ini habis keguguran atau tidak.”
Marcus terdiam. Sepertinya, Devin tidak akan bisa menghindari hal itu. Bella selalu menyerahkan pasien manusia dalam kondisi gawat ke ayahnya. Karena dia dokter hewan.
“Hm, mohon maaf, Tuan. Tuan Andrew tadi menelpon dokter Artwater dan memintanya datang untuk memeriksa luka Tuan Levin. Sekalian, hari ini memang jadwal kunjungan beliau untuk mengecek kondisi kesehatan semua pelayan.”
Devin melirik Marcus tajam, seolah berkata kenapa Marcus baru memberitahunya sekarang.
“Sekarang akhir bulan, Tuan,” jawab Marcus sembari mengangguk hormat.
“Sial!” maki Devin. Kenapa dia bisa lupa kalau sekarang akhir bulan. Ayahnya selalu mendatangkan dokter Cleve Artwater untuk memeriksa kondisi kesehatan seisi Mansion Batista. Dan tentu saja Bella Artrwater harus ikut untuk memeriksa kondisi kesehatan beberapa kuda dan hewan penjaga peternakan dan perkebunan. Biasanya para pekerja sudah mengisolasi beberapa ternak yang sakit di akhir bulan.
“Tidak ada yang boleh tahu kondisi Amanda, Marcus.”
Marcus menanti kalimat selanjutnya. Tapi majikan mudanya itu tampak berpikir lebih keras. Dia mondar mandir di dalam kamar, sembari melipat satu tangan di ketiak dan tangan satunya meremas dagu. Marcus sangat hafal bahasa tubuh Devin sejak kecil. Dan dia tidak ingin menyela apapun yang berkecamuk dalam kepala majikannya, kecuali diminta.
“Masukkan dia ke mobilku.”
“Tuan mau membawanya ke rumah sakit? Atau ke klinik dekat perumahan penduduk.”
Devin tidak menjawab. Dia mendekati Amanda, tepat saat gadis itu membuka mata. Dia hanya bisa terdiam ketika Devin membopongnya, beserta selimut lebar yang menutupi dirinya.
“Marcus. Siapkan mobilku dan jangan sampai ada yang tahu.”
Amanda merasa tubuhnya begitu hangat dalam bopongan tangan yang kokoh itu. Aroma lembut dan segar menguar dari dada Devin, membuatnya merasa sangat nyaman. Sakit luar biasa di tangannya seakan hilang ketika dia menyandarkan dadanya di dada bidang Devin.
Dalam sekejap, setengah berlari Devin membopongnya. Marcus membukakan pintu mobil dan mereka kesulitan memasukkan Amanda di kursi belakang dengan selimut lebar melingkupinya.
“Sepertinya selimut ini harus dibuka, Tuan.” Tanpa mendapat persetujuan majikannya, Marcus langsung menarik selimut yang menutupi Amanda membuat gadis itu merintih, entah karena terkejut atau selimut itu menggores lukanya. Devin merasa jantungnya berlompatan melihat Amanda hanya mengenakan pakaian dalam. Dia tertegun beberapa detik menatap sepasang mata pekat Amanda yang membeliak menatapnya. Sejurus kemudian matanya bergerak turun dan melihat Amanda dalam dekapannya tanpa selimut.
“Tuan, sepertinya anda harus bergegas.” Marcus menepuk bahunya, menyadarkan majikannya. Dia tahu, ini pertama kalinya Devin memeluk wanita dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Pasti jiwa lelakinya memberontak tak karuan.
Devin memasukkan Amanda di bangku belakang. Meraih selimut di tangan Marcus dan menyelimuti Amanda hingga ke lehernya. Lalu bergegas menghidupkan mobil dan melaju kencang meninggalkan garasi.
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki. Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya. Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali. Devin mulai memikirkan hal lain ketika Am
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali
Bella tak bisa memejam mata semalaman. Si Papa yang perhatian, meletakkan kado di tepi tempat tidurnya, saat Bella menghadap dinding. Dia mendengar pintu kamarnya dibuka sangat pelan, berusaha tanpa suara. Lalu tempat tidur yang sedikit bergoyang. Lelaki yang menduda sejak Bella masih belasan tahun itu duduk sejenak di tepi tempat tidur.Biasanya dia akan menghadiahkan kecupan di kening Bella yang sedang berulang tahun yang ke dua puluh delapan. Usia yang sudah cukup matang untuk mendapatkan kecupan dari lelaki selain papanya.Namun karena gadis itu memunggunginya, maka Cleve Artwater hanya mengelus rambut hitam anak gadisnya sembari berucap selamat ulang tahun dengan lirih. Setelah itu, kembali tanpa suara, meninggalkan kamar Bella.Bella duduk memeluk lutut begitu terdengar bunyi klek pintu kamar yang tertutup. Me
Marcus sedang menikmati kue hadiah dari Bella bersama beberapa pelayan. Melihat pelayan dan pekerja menikmati kue mahal dengan cita rasa yang memanjakan lidah, membuat Marcus tersenyum-senyum. Meski dia hanya mendapat tiga buah kue rendah kalori yang tidak manis sama sekali. “Marcus, dia menyogok kita atau bagaimana? Seumur hidupnya baru kali ini dia ulang tahun memberi kita kue,” tanya Sabrina yang disambut anggukan yang lain. Mulut mereka semuanya penuh dan belepotan krim. Marcus terkekeh. “Tidak usah kalian pikirkan. Habiskan saja. Dan berdoalah dia akan menjadi menantu Tuan Andrew, supaya kalian senantiasa sehat wal afiat dan bahagia seperti sekarang.” “Aku mendukung dia dengan Tuan Devin,” ucap Irene. “Meski lebih tua dokter Bella, tapi mereka sangat serasi.” “T