Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya.
Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan.
Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
Ada suara orang berbincang di luar sana. Setelah itu terdengar pintu terbuka. Lalu suara mobil menjauh. Amanda berusaha bersikap waspada, tapi percuma saja. Siapapun yang membawanya ke sini, telah merawatnya. Bukan mencelakainya. Perlahan dijuntaikannya kedua kakinya, lalu memindai dirinya sendiri. Bajunya sudah ganti. Dia mengenakan T-Shirt putih lengan pendek dan celana hitam selutut.
“Kau sudah bangun.”
Amanda menoleh ke arah pintu dan mendapati seraut wajah tampan berambut ikal berdiri menyandarkan bahunya di daun pintu. Dia melipat tangan santai, dan wajahnya menunjukkan kelegaan. Devin Chayton. Apa dia yang mengurus dirinya, mengganti semua bajunya dan membawanya ke sini?
Devin mengerti apa yang berkecamuk di kepala seorang gadis berbulu mata lentik itu. Dia tampak bingung dan berkali-kali menunduk melihat bajunya.
“Baru saja dokter yang merawatmu pergi. Dia meninggalkan obat di laci meja, minumlah sesuai petunjuk. Bila kau sudah mulai banyak makan, infus itu bisa aku lepas.”
Amanda hanya diam. Demikian pula Devin. Entah kenapa suasananya menjadi begitu canggung saat ini. Melihat Amanda tampak lebih segar, sekelebatan bayangannya saat dalam bopongannya tanpa selimut mulai menggodanya. Dan dia nyaris yakin, kalau Amanda menyadari hal yang sama. Gadis itu antara sadar dan tidak saat dibopongnya ke rumah persembunyiannya ini.
Devin mendehem, mengambil kursi lalu duduk agak jauh dari Amanda.
“Aku di mana?” tanya Amanda beberapa saat setelah kecanggungan mulai mencair.
“Rumahku.”
“Rumahmu? Lalu Mansion Batista?” Sepasang mata almond dan bulu lentik Amanda berkedip. Dan Devin memaki dirinya, ketika dalam hatinya menggumam bahwa wanita yang sedang duduk di ranjangnya itu cantik. Membuat ada sesuatu yang terasa hangat mengalir pelan di dadanya.
“Itu milik ayahku.”
Amanda terdiam. Nama Andrew Chayton bukanlah nama yang setiap orang mendengarnya akan mengernyit karena tidak mengenal. Semua orang di kota ini sangat mengenal duda dermawan itu. Kegiatan amalnya tidak bisa dihitung dengan jemari sebelah tangan. Namun baru kali ini Amanda tahu bahwa duda milyuner itu mempunyai seorang anak lelaki tampan. Bahkan sangat tampan di mata Amanda, karena dia hanya bersedekap dan menatapnya dari jauh, seolah menjaga kehormatan dan wibawa ayahnya.
Sepasang mata tajam lelaki itu tidak liar memindai dirinya.
Mengingat hal itu, membuatnya tertunduk dalam. Kejadian demi kejadian yang berujung luka di tangannya adalah karena mata liar para lelaki.
“Siapa namamu?” tanya Devin, suaranya terdengar dalam.
“Aku? Amanda Harper,” sahut Amanda sembari mengernyit heran. Apakah lelaki ini mudah melupakan sebuah nama?
“Kau yakin?”
Amanda meraba kepalanya, lalu mengelus sendiri rambut coklat pekat sebahunya. Dia menyadari kalau ada yang sudah menyisir rambutnya. “Kurasa aku tidak amnesia. Aku masih ingat kejadiannya.”
“Kalau begitu ceritakan semua padaku.”
“Haruskah? Semuanya?”
Devin mendengus pelan, kembali melipat tangan dan menyandarkan punggung di sandaran kursi kayu. Kursi itu berderak pelan. Kenapa anak pemilik dua perusahaan raksasa, hanya memiliki rumah kayu dengan perabot layaknya masyarakat kelas bawah? Ini semua mulai terasa aneh baginya. Dan Amanda berbisik dalam hati, bahwa dia tidak seharunya mempercayai siapapun, meski orang itu telah menyelamatkannya.
Penembakan itu sudah membuktikan, bahwa penegak hukumpun bisa berhati serigala.
“Kau meminta pertolongan padaku, memohon perlindungan. Aku, tidak ada kepentingan apapun denganmu. Jadi, bisa saja aku menyerahkanmu pada Komisaris Hoggart. Dia mencarimu ke Mansion Batista.”
Amanda memejam mata. Komisaris Hoggart. Nama yang sangat dihapalnya.
“David Hoggart.”
“Aku yakin kau mengenalnya?”
Amanda mengangguk pelan. “Aku akan menceritakan semuanya, tapi maukah kau berjanji?”
Devin mengendik bahu. “Tergantung. Aku orang bisnis. Aku tidak akan mengambil apapun yang akan merugikanku.”
Setelah meluncurkan kalimat itu, entah kenapa Devin merasa menyesal. Dia selalu ramah pada wanita, terutama yang dikenalnya. Pada Amanda Harper, dia harus menjaga sikap, meski setiap gerakan tubuh gadis itu, membuat desiran hangat di dadanya mengalir tanpa perintah. Membuatnya ingin menjauh dari gadis itu, tapi juga memaksa kakinya untuk mendekat.
Amanda menghela napas panjang. “Baiklah, toh tidak ada yang bisa menjamin keselamatanku. Meski seorang Chayton.”
Devin terdiam, merasa tersindir. Chayton memang dikenal dermawan dan suka membantu siapapun yang meminta bantuan. Andai orang-orang tahu apa pekerjaan kecil Devin, mereka pasti akan melempari Mansion Batista dengan batu.
Tapi Devin tidak sembarangan bekerja sama dengan The Vow. Organisasi bawah tanah itu hanya menarget kriminal yang tak tersentuh hukum. Menghakimi mereka yang kebal dengan keputusan hakim di pengadilan.
Untuk itu, setiap pekerjaan kecil adalah rahasia besar bagi pekerja kecil dan The Vow. Mereka menyebutnya sebagai pekerjaan kecil, untuk membuat psikologi para pekerja alias Vower melakukan tugasnya tanpa memikirkan yang lain. Seperti melempar botol bekas minuman ke tempat sampah, tepat sasaran dan setelah itu melupakan.
Apabila setiap tindakan pekerja menyebabkan terjerat hukum, maka tidak ada satupun yang bisa mengaitkannya dengan The Vow.
“Chayton bukan polisi.” Devin menepis ingatannya akan pekerjaan kecil terakhirnya yang gagal.
“Kalian pelindung rakyat kecil, semua orang tahu itu.”
“Karena itu kamu menuju Mansion Batista?” selidik Devin.
Amanda menggeleng. “Aku tidak tahu kalau itu Mansion Batista. Aku hanya berlari hingga ada orang yang bisa kumintai pertolongan.”
Devin membuang muka ke arah tirai jendela yang dipermainkan angin. Cahaya terang dari luar sana, menerpa raut Amanda Harper, membuat wajahnya kelihatan semakin cerah. Sepertinya dia akan sembuh lebih cepat.
“Baiklah, kalau begitu ceritakan kejadiannya.”
Amanda menatap Devin yang juga sedang menatapnya. Dua pasang mata yang saling menyimpan rahasia. Baik Amanda maupun Devin merasakan aromanya di udara. Bahwa mereka harus saling percaya, dengan tetap menjaga rahasia. Meski itu artinya sama saja dengan tidak saling memercayai.
“Malam itu, aku sedang dikawal menuju tempat perlindungan saksi, atas jaminan Komisaris Hoggart. Tiga mobil, berangkat dari kantor David Hoggart, hendak menuju tempat perlindungan saksi yang aku tidak tahu di mana. Aku berada di mobil kedua. Mobil pertama dan ketiga adalah mobil polisi. Maksudku, aku yakin mereka polisi.”
“Lalu apa yang terjadi?”
Amanda menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tiba-tiba ban mobil yang kutumpangi meletus. Setelah itu, tembakan-tembakan serasa memenuhi langit.”
Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki. Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya. Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali. Devin mulai memikirkan hal lain ketika Am
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali
Bella tak bisa memejam mata semalaman. Si Papa yang perhatian, meletakkan kado di tepi tempat tidurnya, saat Bella menghadap dinding. Dia mendengar pintu kamarnya dibuka sangat pelan, berusaha tanpa suara. Lalu tempat tidur yang sedikit bergoyang. Lelaki yang menduda sejak Bella masih belasan tahun itu duduk sejenak di tepi tempat tidur.Biasanya dia akan menghadiahkan kecupan di kening Bella yang sedang berulang tahun yang ke dua puluh delapan. Usia yang sudah cukup matang untuk mendapatkan kecupan dari lelaki selain papanya.Namun karena gadis itu memunggunginya, maka Cleve Artwater hanya mengelus rambut hitam anak gadisnya sembari berucap selamat ulang tahun dengan lirih. Setelah itu, kembali tanpa suara, meninggalkan kamar Bella.Bella duduk memeluk lutut begitu terdengar bunyi klek pintu kamar yang tertutup. Me
Marcus sedang menikmati kue hadiah dari Bella bersama beberapa pelayan. Melihat pelayan dan pekerja menikmati kue mahal dengan cita rasa yang memanjakan lidah, membuat Marcus tersenyum-senyum. Meski dia hanya mendapat tiga buah kue rendah kalori yang tidak manis sama sekali. “Marcus, dia menyogok kita atau bagaimana? Seumur hidupnya baru kali ini dia ulang tahun memberi kita kue,” tanya Sabrina yang disambut anggukan yang lain. Mulut mereka semuanya penuh dan belepotan krim. Marcus terkekeh. “Tidak usah kalian pikirkan. Habiskan saja. Dan berdoalah dia akan menjadi menantu Tuan Andrew, supaya kalian senantiasa sehat wal afiat dan bahagia seperti sekarang.” “Aku mendukung dia dengan Tuan Devin,” ucap Irene. “Meski lebih tua dokter Bella, tapi mereka sangat serasi.” “T
Andrew membuka mata dan mendapati Marcus sudah ada di tepi tempat tidurnya. Marcus tidak membangunkannya. Sepertinya dia sengaja menunggui majikannya hingga terbangun. “Jam berapa sekarang?” “Jam sembilan malam. Tuan sudah tidur delapan jam. Saya harap sudah membaik.” Marcus menyodorkan segelas air dan Andrew langsung meneguknya habis. “Aku baik-baik saja Marcus, bagaimana Pete?” Marcus meletakkan gelas kosong di atas meja, lalu berjalan menuju pintu. “Dia sudah mendapat penanganan dari dokter Cleve. Beliau baru saja hendak pulang, tapi bila anda sudah bangun, beliau ingin bertemu. Bersama dokter Bella.” Andrew perlahan duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan dokter Cleve masuk. Lelaki sebayanya itu
Devin mematikan ponsel. Berita dari Marcus tidak begitu mengejutkan baginya, karena dia sudah melihat berita itu dari chanel televisi lokal di ponselnya. Komisari Hoggart mendapat perawatan intensif. Andrew dan Pete baik-baik saja dan sudah berada di rumah. Devin berjanji menelpon ayahnya setelah pekerjaannya selesai. Marcus memintanya tidak usah terlalu memikirkan kejadian ini, apalagi terburu untuk pulang. Yang penting, semua baik-baik saja. “Saya pulang dulu, Tuan.” Devin yang sedang berdiri di tepi jendela, menoleh dan mendapati Liliana sudah memakai mantelnya. Dia sudah membereskan rumah dan menyiapkan makanan. Hari sudah beranjak sore, dan dia harus sampai di rumah sebelum suaminya pulang. “Terima kasih, Lili.” “Ma
Rumah Lussie Harper tidak begitu jauh dari rumah sakit. Devin sempat berniat mengunjungi Komisaris Hoggart, tapi dia tidak mengetahui situasi terkini. Kabarnya, dijaga ketat oleh polisi. Meski Devin tidak perlu merasa takut dengan polisi, tapi dia mengurungkan niatnya.Lagipula, dia dalam rangka ke luar kota, pada ijin yang disampaikannya pada Mansion Batista. Dia tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak peduli pada papanya pasca penembakan itu. Memastikan bahwa Andrew Chayton baik-baik saja, membuatnya memilih untuk tidak pulang. Saat ini, baginya yang penting adalah Amanda Harper.Meski dia tidak tahu harus memposisikan wanita berambut coklat itu sebagai apa. Dia berada di dalam mobil yang menjadi target dari The Vow. The Vow hanya menyebutkan bahwa mobil di tengah, semua penumpangnya harus mati. Jadi, Amanda Harper adalah salah satu targetn