Share

11. Kisah Amanda (1)

Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya.

Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan.

Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.

Ada suara orang berbincang di luar sana. Setelah itu terdengar pintu terbuka. Lalu suara mobil menjauh. Amanda berusaha bersikap waspada, tapi percuma saja. Siapapun yang membawanya ke sini, telah merawatnya. Bukan mencelakainya. Perlahan dijuntaikannya kedua kakinya, lalu memindai dirinya sendiri. Bajunya sudah ganti. Dia mengenakan T-Shirt putih lengan pendek dan celana hitam selutut. 

“Kau sudah bangun.”

Amanda menoleh ke arah pintu dan mendapati seraut wajah tampan berambut ikal berdiri menyandarkan bahunya di daun pintu. Dia melipat tangan santai, dan wajahnya menunjukkan kelegaan. Devin Chayton. Apa dia yang mengurus dirinya, mengganti semua bajunya dan membawanya ke sini?

Devin mengerti apa yang berkecamuk di kepala seorang gadis berbulu mata lentik itu. Dia tampak bingung dan berkali-kali menunduk melihat bajunya.

“Baru saja dokter yang merawatmu pergi. Dia meninggalkan obat di laci meja, minumlah sesuai petunjuk. Bila kau sudah mulai banyak makan, infus itu bisa aku lepas.”

Amanda hanya diam. Demikian pula Devin. Entah kenapa suasananya menjadi begitu canggung saat ini. Melihat Amanda tampak lebih segar, sekelebatan bayangannya saat dalam bopongannya tanpa selimut mulai menggodanya. Dan dia nyaris yakin, kalau Amanda menyadari hal yang sama. Gadis itu antara sadar dan tidak saat dibopongnya ke rumah persembunyiannya ini.

Devin mendehem, mengambil kursi lalu duduk agak jauh dari Amanda.

“Aku di mana?” tanya Amanda beberapa saat setelah kecanggungan mulai mencair.

“Rumahku.”

“Rumahmu? Lalu Mansion Batista?” Sepasang mata almond dan bulu lentik Amanda berkedip. Dan Devin memaki dirinya, ketika dalam hatinya menggumam bahwa wanita yang sedang duduk di ranjangnya itu cantik. Membuat ada sesuatu yang terasa hangat mengalir pelan di dadanya.

“Itu milik ayahku.”

Amanda terdiam. Nama Andrew Chayton bukanlah nama yang setiap orang mendengarnya akan mengernyit karena tidak mengenal. Semua orang di kota ini sangat mengenal duda dermawan itu. Kegiatan amalnya tidak bisa dihitung dengan jemari sebelah tangan.  Namun baru kali ini Amanda tahu bahwa duda milyuner itu mempunyai seorang anak lelaki tampan. Bahkan sangat tampan di mata Amanda, karena dia hanya bersedekap dan menatapnya dari jauh, seolah menjaga kehormatan dan wibawa ayahnya. 

Sepasang mata tajam lelaki itu  tidak liar memindai dirinya.

Mengingat hal itu, membuatnya tertunduk dalam. Kejadian demi kejadian  yang berujung luka di tangannya adalah karena mata liar para lelaki.

“Siapa namamu?” tanya Devin, suaranya terdengar dalam.

“Aku? Amanda Harper,” sahut Amanda sembari mengernyit heran. Apakah lelaki ini mudah melupakan sebuah nama?

“Kau yakin?”

Amanda meraba kepalanya, lalu mengelus sendiri rambut coklat pekat sebahunya. Dia menyadari kalau ada yang sudah menyisir rambutnya.  “Kurasa aku tidak amnesia. Aku masih ingat kejadiannya.”

“Kalau begitu ceritakan semua padaku.”

“Haruskah? Semuanya?”

Devin mendengus pelan, kembali melipat tangan dan menyandarkan punggung di sandaran kursi kayu. Kursi itu berderak pelan. Kenapa anak pemilik dua perusahaan raksasa, hanya memiliki rumah kayu dengan perabot layaknya masyarakat kelas bawah? Ini semua mulai terasa aneh baginya. Dan Amanda berbisik dalam hati, bahwa dia tidak seharunya mempercayai siapapun, meski orang itu telah menyelamatkannya.

Penembakan itu sudah membuktikan, bahwa penegak hukumpun bisa berhati serigala.

“Kau meminta pertolongan padaku, memohon perlindungan. Aku, tidak ada kepentingan apapun denganmu. Jadi, bisa saja aku menyerahkanmu pada Komisaris Hoggart. Dia mencarimu ke Mansion Batista.”

Amanda memejam mata. Komisaris Hoggart. Nama yang sangat dihapalnya.

“David Hoggart.”

“Aku yakin kau mengenalnya?”

Amanda mengangguk pelan. “Aku akan menceritakan semuanya, tapi maukah kau berjanji?”

Devin mengendik bahu. “Tergantung. Aku orang bisnis. Aku tidak akan mengambil apapun yang akan merugikanku.”

Setelah meluncurkan kalimat itu, entah kenapa Devin merasa menyesal. Dia selalu ramah pada wanita, terutama yang dikenalnya. Pada Amanda Harper, dia harus menjaga sikap, meski setiap gerakan tubuh gadis itu, membuat desiran hangat di dadanya mengalir tanpa perintah. Membuatnya ingin menjauh dari gadis itu, tapi juga memaksa kakinya untuk mendekat.

Amanda menghela napas panjang. “Baiklah, toh tidak ada yang bisa menjamin keselamatanku. Meski seorang Chayton.”

Devin terdiam, merasa tersindir. Chayton memang dikenal dermawan dan suka membantu siapapun yang meminta bantuan. Andai orang-orang tahu apa pekerjaan kecil Devin, mereka pasti akan melempari Mansion Batista dengan batu. 

Tapi Devin tidak sembarangan bekerja sama dengan The Vow. Organisasi bawah tanah itu hanya menarget kriminal yang tak tersentuh hukum. Menghakimi mereka yang kebal dengan keputusan hakim di pengadilan. 

Untuk itu, setiap pekerjaan kecil adalah rahasia besar bagi pekerja kecil dan The Vow. Mereka menyebutnya sebagai pekerjaan kecil, untuk membuat psikologi para pekerja alias Vower melakukan tugasnya tanpa memikirkan yang lain. Seperti melempar botol bekas minuman ke tempat sampah, tepat sasaran dan setelah itu melupakan.

Apabila setiap tindakan pekerja menyebabkan terjerat hukum, maka tidak ada satupun yang bisa mengaitkannya dengan The Vow. 

“Chayton bukan polisi.” Devin menepis ingatannya akan pekerjaan kecil terakhirnya yang gagal.

“Kalian pelindung rakyat kecil, semua orang tahu itu.”

“Karena itu kamu menuju Mansion Batista?” selidik Devin.

Amanda menggeleng. “Aku tidak tahu kalau itu Mansion Batista. Aku hanya berlari hingga ada orang yang bisa kumintai pertolongan.”

Devin membuang muka ke arah tirai jendela yang dipermainkan angin. Cahaya terang dari luar sana, menerpa raut Amanda Harper, membuat wajahnya kelihatan semakin cerah. Sepertinya dia akan sembuh lebih cepat.

“Baiklah, kalau begitu ceritakan kejadiannya.”

Amanda menatap Devin yang juga sedang menatapnya. Dua pasang mata yang saling menyimpan rahasia. Baik Amanda maupun Devin merasakan aromanya di udara. Bahwa mereka harus saling percaya, dengan tetap menjaga rahasia. Meski itu artinya sama saja dengan tidak saling memercayai.

“Malam itu, aku sedang dikawal menuju tempat perlindungan saksi, atas jaminan Komisaris Hoggart. Tiga mobil, berangkat dari kantor David Hoggart, hendak menuju tempat perlindungan saksi yang aku tidak tahu di mana. Aku berada di mobil kedua. Mobil pertama dan ketiga adalah mobil polisi. Maksudku, aku yakin mereka polisi.”

“Lalu apa yang terjadi?”

Amanda menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tiba-tiba ban mobil yang kutumpangi meletus. Setelah itu, tembakan-tembakan serasa memenuhi langit.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status