Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci.
Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper.
"Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang."
"Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu."
Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kusen pintu kamarnya--mengamati pasiennya. Liliana yakin, majikannya itu sedang kebingungan. Dia tidak pernah menginap di rumah persembunyiannya ini. Meski tengah malam, selalu pulang ke Mansion Batista. Dan wanita muda di atas ranjangnya itu, sudah jelas wanita yang disembunyikannya. Kalau tidak, mana mungkin dibawa ke tempat ini.
Selama lima tahun menjadi pelayan pribadi Devin, Liliana tidak pernah mendapati majikannya itu menjalin hubungan dengan seorang wanita. Dia dingin dan kaku. Selalu taat pada aturan ayahnya, tidak seperti adiknya, Levin Chayton. Levin pemberontak sekaligus playboy. Sungguh karakter yang bertolak belakang, meski terlahir dari rahim yang sama. Karena karakter Andrew Chayton juga bertolak belakang dengan Sabrina Brice.
Wanita di ranjang Devin, bisa jadi adalah wanita pertamanya. Yang harus disembunyikan dari Andrew dan Levin. Entah apa alasannya.
“Tuan …”
Devin menoleh dan melepas lipatan tangannya, lalu memasukkan tangan ke saku celananya. Memutar badan dan menatap Liliana yang sudah memegang handle pintu.
“Pulanglah, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Suamimu pasti sudah menunggu.”
“Saya menguatirkan wanita itu, Tuan,” sahut Liliana sembari memiringkan kepala, berusaha mendapat view wanita yang dimaksud di dalam kamar. “Dia harus dibawa ke rumah sakit. Bekas jahitan di lukanya sobek dan kembali berdarah. Saya tidak yakin dia bisa bertahan. Badannya sudah tidak hangat lagi.”
Devin mengangguk. “Terima kasih sarannya. Kau bisa ke sini besok pagi?”
“Saya ke sini setelah suami saya berangkat bekerja, Tuan. Dia tidak suka bila di rumah tidak mendapati saya.”
Devin mengangguk. “Baik. Kalau bisa sekalian belanja untuk keperluan dia. Uangnya aku taruh di tempat biasa.”
Liliana mengangguk hormat, membuka pintu dan menghilang. Tinggal Devin menatap pintu yang tertutup. Pikirannya berkecamuk. Saat ini, Bella pasti sudah curiga padanya. Dia yakin, ceritanya dengan cerita Marcus tidak akan sinkron, karena mereka belum bersepakat tentang beberapa hal.
Karena Devin juga tidak mungkin menceritakan semuanya pada Marcus. Cukuplah Marcus selama ini adalah pelayan yang melindunginya.
Devin menghidupkan televisi. Dia perlu mencari informasi tentang kecelakaan yang disampaikan Komisaris Hoggart. Pasti sudah masuk ke televisi lokal. Dan benar saja, dua TV lokal sedang menayangkan berita kecelakaan tersebut dan satu TV lainnya malah sedang melakukan siaran langsung dari lokasi kecelakaan.
“Aku harus ke kota. Mungkin ada perawat yang bisa kusewa paruh waktu,” batin Devin.
Setelah memastikan Amanda masih terlelap, Devin mengunci pintu dan jendela setelah meninggalkan secarik kertas pesan di tangan Amanda.
***
Devin mengendarai mobilnya perlahan saat hendak melintasi tempat kejadian perkara. Dia yakin, kemarin tempat ini dipenuhi anak buah Komisaris Hoggart. Meski untuk sebuah urusan kecelakaan yang dijadikannya alasan, sebenarnya cukup polisi daerah saja yang turun.
Masalahnya, ini kasus yang tidak biasa. Devin yakin, ada tangan-tangan pejabat berperan dalam kejadian malam itu, yang menyebabkan The Vow mau menerima tawaran untuk membunuh salah satu target.
Dan Devin menggagalkannya.
“Yo, Devin? Mau ke mana?”
Peter Hawkins, salah seorang anggota kepolisian yang bertugas mengatur lalu lintas yang sedikit melambat. Beberapa polisi tampak masih sibuk di lokasi kecelakaan. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi lokasi, sehingga sedikit mengganggu aliran lalu lintas.Devin melihat ada beberapa petugas dengan pakaian yang berbeda dengan Peter. Sepertinya mereka bukan petugas kepolisian lokal.
“Halo Pete, kamu tampak sibuk,” sapa Devin sembari melongokkan kepala ke luar jendela. Dia memilih menghentikan mobil di tepi jalan, membiarkan mobil-mobil yang lain untuk lewat lebih dulu.
“Kau tidak kelihatan buru-buru seperti biasanya,” ucap Pete, lalu meniup peluit dan menggerakkan tangannya ke sana ke mari seperti orang senam. Beberapa mobil mengikuti arahannya, sehingga lalu lintas tidak sampai macet.
“Aku dengar, ada kecelakaan?” tanya Devin.
Pete menyandarkan punggung di mobil Devin, berpura-pura sedang mengatur lalu lintas. Namun sebenarnya dia hendak sedikit bergosip. Devin adalah anak sulung pemilik Mansion Batista, tempat ibunya bekerja. Mereka kerap bertemu bila Peter mengunjungi ibunya hanya sekedar untuk mengantarkan makanan. Saat ayah Peter meninggal lima belas tahun yang lalu, Andrew menawari Nyonya Hawkins untuk mencari nafkah, bekerja sebagai pelayan di Mansion Batista.
Dan Peter sangat berterima kasih karenanya. Ibunya tidak jadi bunuh diri karena depresi, mengingat ayahnya tewas dalam sebuah kecelakaan--bersama dengan selingkuhannya.
“Kau tahu Devin, ini bukan kecelakaan,” bisik Peter.
“Oh ya? Polisi datang ke rumah, mencari-cari berita. Mereka bilang kecelakaan.” Devin yakin, polisi menyembunyikan sesuatu. Dan Peter sebagai anak buah harus mematuhi atasannya.
“Ini pem-bu-nu-han,” bisik Peter lagi. “Kelas kakap.”
Devin terbahak mendengar kata kelas kakap. Meski dalam peristiwa semalam, dia tidak tahu julukan itu untuk dirinya atau untuk pemain lain di TKP. Penumpang di mobil ketiga. Mereka jelas terlibat dalam rencana pembunuhan itu, dari A sampai Z.
“Siapa yang dibunuh?”
Peter mengendik bahu. “Aku tidak boleh tahu. Hanya saja, ada satu orang yang sepertinya selamat.”
“Oh ya?” Jadi apa benar, Amanda Harper berasal dari lokasi kecelakaan ini? Dalam radius sepuluh kilometer dari Mansion Batista, tidak ada kejadian yang dimuat media selain kejadian di tempat ini. Beberapa koran dan TV lokal sudah mulai meliput. Salah satunya, tampak sedang mewawancarai seorang polisi, tidak jauh dari tempat mobil Devin berhenti.
“Aku dengar, polisi mengikuti jejaknya dan mengarah ke rumahmu.”
Devin terkekeh. “Mana mungkin, Pete. Rumahku jauh dari sini.”
Peter mengendik bahu. “Sebaiknya kamu menjaga ibuku jangan sampai termakan gosip. Penduduk sudah mulai resah, takut orang yang selamat itu bersembunyi di salah satu rumah mereka. Dan para penjahat yang mengejarnya sedang mencarinya.”
Devin manggut-manggut. “Aku akan sampaikan pesanmu pada Irene. Tapi, bagaimana bila yang selamat itu ternyata penjahatnya.”
Peter menundukkan kepala. “Berdoalah, kita semua dilindungi, Devin. Kau tidak tahu bagaimana dia membunuh dan membiarkan mayat-mayat itu bersimbah darah.”
Seorang anggota polisi mendekati Peter dengan membawa kantong plastik. Dia menghulurkannya pada Peter. “Pete, chief menyuruhmu membawa ini ke kota.”
“Apa ini?” tanya Peter sembari mengangkat kantong plastik sehingga sejajar dengan mukanya.
Devin membeliak melihat benda di dalam kantong plastik itu. Sebelah sepatu, sama persis dengan yang dikenakan Amanda Harper. Sneaker berlumpur yang dikenakan wanita itu di malam dia datang ke Mansion Batista dengan luka berdarah."Hei, Peter. Kau punya sepatu Cinderella," goda Devin, membuat Peter menyeringai senang. "Sebaiknya kau mencari sebelahnya lagi, siapa tahu dia gadis cantik yang menanti Pangeran Berkuda menjemputnya."Peter terbahak. Dia lalu memasukkan kepalanya ke dalam mobil Devin dan berbisik. "Hei, Devin. Sepertinya ini akan menarik. Kau bisa membantuku menemukan putrinya?"
Devin dan Peter terbahak. Tentu saja Devin sudah menemukan putrinya. Tapi tidak akan menyerahkan pada pangeran berlencana di depannya.
"Bila aku menemukannya lebih dulu, tidak akan kuberikan padamu, Peter. Kau tahu kan, kita adalah dua jomblo menyedihkan sejak SMA," ucap Devin sembari terbahak diikuti Peter. "Kau bisa mencari sepatu seperti itu di kota. Aku kenal baik dengan pemilik tokonya."
Peter mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil dan menatap sepatu dalam plastik. "Ini sepatu mahal. Dia pasti bukan upik abu, Devin."
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki. Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya. Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali. Devin mulai memikirkan hal lain ketika Am
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali
Bella tak bisa memejam mata semalaman. Si Papa yang perhatian, meletakkan kado di tepi tempat tidurnya, saat Bella menghadap dinding. Dia mendengar pintu kamarnya dibuka sangat pelan, berusaha tanpa suara. Lalu tempat tidur yang sedikit bergoyang. Lelaki yang menduda sejak Bella masih belasan tahun itu duduk sejenak di tepi tempat tidur.Biasanya dia akan menghadiahkan kecupan di kening Bella yang sedang berulang tahun yang ke dua puluh delapan. Usia yang sudah cukup matang untuk mendapatkan kecupan dari lelaki selain papanya.Namun karena gadis itu memunggunginya, maka Cleve Artwater hanya mengelus rambut hitam anak gadisnya sembari berucap selamat ulang tahun dengan lirih. Setelah itu, kembali tanpa suara, meninggalkan kamar Bella.Bella duduk memeluk lutut begitu terdengar bunyi klek pintu kamar yang tertutup. Me
Marcus sedang menikmati kue hadiah dari Bella bersama beberapa pelayan. Melihat pelayan dan pekerja menikmati kue mahal dengan cita rasa yang memanjakan lidah, membuat Marcus tersenyum-senyum. Meski dia hanya mendapat tiga buah kue rendah kalori yang tidak manis sama sekali. “Marcus, dia menyogok kita atau bagaimana? Seumur hidupnya baru kali ini dia ulang tahun memberi kita kue,” tanya Sabrina yang disambut anggukan yang lain. Mulut mereka semuanya penuh dan belepotan krim. Marcus terkekeh. “Tidak usah kalian pikirkan. Habiskan saja. Dan berdoalah dia akan menjadi menantu Tuan Andrew, supaya kalian senantiasa sehat wal afiat dan bahagia seperti sekarang.” “Aku mendukung dia dengan Tuan Devin,” ucap Irene. “Meski lebih tua dokter Bella, tapi mereka sangat serasi.” “T
Andrew membuka mata dan mendapati Marcus sudah ada di tepi tempat tidurnya. Marcus tidak membangunkannya. Sepertinya dia sengaja menunggui majikannya hingga terbangun. “Jam berapa sekarang?” “Jam sembilan malam. Tuan sudah tidur delapan jam. Saya harap sudah membaik.” Marcus menyodorkan segelas air dan Andrew langsung meneguknya habis. “Aku baik-baik saja Marcus, bagaimana Pete?” Marcus meletakkan gelas kosong di atas meja, lalu berjalan menuju pintu. “Dia sudah mendapat penanganan dari dokter Cleve. Beliau baru saja hendak pulang, tapi bila anda sudah bangun, beliau ingin bertemu. Bersama dokter Bella.” Andrew perlahan duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan dokter Cleve masuk. Lelaki sebayanya itu
Devin mematikan ponsel. Berita dari Marcus tidak begitu mengejutkan baginya, karena dia sudah melihat berita itu dari chanel televisi lokal di ponselnya. Komisari Hoggart mendapat perawatan intensif. Andrew dan Pete baik-baik saja dan sudah berada di rumah. Devin berjanji menelpon ayahnya setelah pekerjaannya selesai. Marcus memintanya tidak usah terlalu memikirkan kejadian ini, apalagi terburu untuk pulang. Yang penting, semua baik-baik saja. “Saya pulang dulu, Tuan.” Devin yang sedang berdiri di tepi jendela, menoleh dan mendapati Liliana sudah memakai mantelnya. Dia sudah membereskan rumah dan menyiapkan makanan. Hari sudah beranjak sore, dan dia harus sampai di rumah sebelum suaminya pulang. “Terima kasih, Lili.” “Ma