Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring.
Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya.
Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Dia tipe lelaki yang ingin dihormati dan disegani, dan dia memang membuktikannya.
“Levin masih sakit kepala?” tanya Andrew pada Marcus.
Marcus mengangguk hormat. “Tuan Levin hanya minta susu diantar ke kamarnya. Pagi ini dokter Bella akan datang untuk mengganti perbannya. Beliau tidak mau dirawat pelayan.”
“Tidak. Aku tidak menginjinkan Bella menyentuhnya. Panggil dokter Artwater saja.”
Marcus mengangguk sembari menyatakan akan menghubungi dokter Cleve Artwater, setelah Andrew Chayton menyelesaikan sarapan.
“Aku mau makan di kamar Devin.”
Andrew bangkit dari duduknya, sembari melepas sapu tangan dari kerah lehernya.
“Tuan Devin masih tidur. Beliau tidak tidur semalaman.”
Andrew tidak mengindahkan informasi Marcus. Baginya, begadang hanya untuk melihat kembang api, seharusnya tidak membuat tidur di pagi hari. Kecuali semalaman telah melakukan pekerjaan berat, menguras pikiran dan tenaga. Apakah para pialang yang ditemui anak sulungnya telah membuat Devin sulit tidur?
“Kurasa aku harus membantunya menghadapi para pialang dari kota. Mungkin itu yang membuatnya tidak bisa tidur semalaman.”
“Sepertinya bukan karena itu, Tuan,” sahut Marcus sembari berjalan di belakang majikannya, mengiringi seorang pelayan yang membawa nampan sarapan Marcus dan Andrew. Mereka melintasi kamar Levin dan melihat pintunya terbuka separuh.
Andrew berhenti melangkah sejenak, menoleh ke arah pintu Levin. Marcus menduga, majikannya akan berbelok. Namun dia salah. Andrew hanya melihat sekilas, lalu menuju kamar si sulung. Tanpa mengetuk pintu, langsung menarik handle.
“Terkunci?” Andrew mengerut kening. “Sejak kapan dia mengunci pintu kamar?”
Marcus bergegas mengeluarkan serumpun anak kunci dari saku celananya. “Sebenarnya sudah lama Tuan Devin selalu tidur dengan mengunci pintu kamar. Itu karena beliau ingin tidur tanpa diganggu.”
“Memangnya, siapa yang sering menganggunya?”
Marcus memasukkan anak kunci, dan sejurus kemudian pintu pun berhasil dibuka. Andrew mendorong daun pintu itu perlahan, memindai kamar dengan curiga. Apakah Devin ketularan Levin menyembunyikan perempuan di dalam kamarnya? Sehingga dia merasa perlu untuk menguncinya? Tidak hanya sekali Levin melakukan hal itu. Sehingga Andrew memutuskan pintu kamar Levin tidak boleh dipasang kunci.
Andrew melangkah ke dalam kamar dan keningnya semakin mengernyit heran. Kamar Devin sangat berantakan.Sepatu dan sandal berserakan di sudut, bahkan ada yang berlumpur. Baju ada yang menggeletak di sandaran kursi, ada yang di ujung tempat tidur. Lemari pakaian, sebelah daun pintunya menganga. Dan tirai jendela yang berkibar tertiup angin dari jendela yang terbuka separuh.
Bekas bungkus makanan, memenuhi tempat sampah dan sebagian jatuh berceceran. Tidak hanya Andrew, Marcus juga membeliak melihat ruangan paling kacau balau seMansion Batista.
“Apa-apaan ini?” tanya Andrew geram. Dia mendekati tempat tidur. Devin tidur tertelungkup di sana, dengan pakaian lengkap. Bahkan sebelah sandalnya masih terpakai. Dia benar-benar tidak peduli, apakah dia tidur di kandang kuda atau di kamarnya.
“Devin!” bentak Andrew.
Devin sama sekali tak bergerak. Hanya napas teraturnya yang naik turun. Marcus memberi kode pada pelayan untuk meletakkan nampan di meja dan membereskan ruangan.
Melihat Devin yang tak merespon panggilannya, Andrew mendelik ke arah Marcus. “Marcus! Apa kerja pelayan Devin? Anakku sampai tidak terurus seperti ini. Pecat saja dia!”
Marcus membungkuk hormat, lebih tepatnya membungkuk dengan rasa bersalah menyelimuti dirinya.
“Mohon maaf, Tuan. Liliana, pelayan sebelumnya mengundurkan diri karena menikah. Sampai saat ini, belum ada pelayan yang cocok untuk menggantikan Liliana. Dan Tuan Devin tidak ingin membebani anda, jadi …”
Andrew menarik selimut yang hanya menyelimuti sebelah kaki anaknya. Dia yakin, masih banyak yang berserakan di bawah selimut. Benar saja. Kertas-kertas dokumen dengan logo Salina Beauty. Sudut bibir Andrew terangkat. Rupanya, Devin tidak sempat mengurus dirinya karena sibuk dengan Salina Beauty yang dalam waktu dekat akan bekerja sama dengan perusahaan kosmetik dari China.
“Carikan dia pelayan, segera!” perintah Andrew.
Marcus mengangguk hormat. “Sebenarnya sudah ada, Tuan. Tapi saya masih perlu melatihnya agar dia memahami tugasnya sebagai pelayan di sini.”
“Tidak usah pakai latihan, suruh dia menghadapku.”
***
Gadis berambut coklat itu masih lemah. Wajahnya pucat, tapi dia sudah bisa duduk dan menelan bubur yang disuapkan oleh pelayan padanya. Seiring dengan semangkuk bubur itu mengisi lambungnya, Devin melihat wajahnya sedikit lebih segar.
“Jam berapa ayah menyuruhnya menghadap?” tanya Devin pada Marcus yang berdiri di sampingnya. Devin duduk di sebuah kursi kayu, berjarak dua meter dari gadis berambut coklat pekat di hadapannya. Meyakinkan dirinya, bahwa dialah wanita yang sama dengan wanita yang berada dalam fotonya.
“Setelah tamu dari Gedung Walikota pulang, Tuan.”
Devin melipat tangan. Sebenarnya dia berusaha menahan kantuk yang masih belum terbayar lunas. Marcus membangunkannya karena keputusan Andrew yang sejalan dengan perintahnya tadi pagi. Menjadikan gadis berambut coklat ini pelayan pribadi Andrew.
“Siapa lagi yang tahu tentang dia?” tanya Devin setengah berbisik pada Marcus.
“Irene dan Sabrina.”
Devin menatap pelayan yang sudah selesai menyuapi gadis berambut coklat--Irene.
“Irene, aku minta kamu merawat dia sampai sembuh. Aku yakin dia belum begitu kuat untuk menjadi pelayanku. Jadi kuminta, kau membantu dia. Aku akan memberikan fee tambahan untukmu sampai dia sembuh.” Devin melihat senyum gembira mengembang di wajah Irene. Dia mengangguk lalu pamit keluar kamar.
Devin mengangkat kursi, memperpendek jarak dengan tamu di depannya.
“Siapa namamu?”
Gadis berambut coklat itu mengangkat dagunya, hingga sepasang netra coklatnya bertatapan dengan manik mata Devin. Beberapa detik, dan Devin merasakan ada yang merayap halus di dadanya. Dia tidak memahami, apa itu. Tapi rasanya menggelitik.
“Amanda.”
Suaranya terdengar lemah, namun jelas. Devin mengangguk. Dia tahu, gadis di depannya berbohong, tapi dia akan mengikuti permainannya.
“Hanya Amanda?” tanya Devin
“Amanda … Harper,” ucap gadis itu kemudian, sedikit tersendat.
“Bagaimana kamu mendapat luka itu? Dan kenapa datang ke sini? Ada klinik kesehatan, tidak jauh dari sini.”
Amanda menggeleng. “Aku tidak mau mereka membunuhku.”
“Siapa?”
Gadis itu menunduk, menatap lengannya yang dibebat perban. “Orang yang menembakku.”
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja
Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan. Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya. Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil. Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawa
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse
Matahari sudah tinggi ketika Amanda Harper perlahan membuka sepasang mata almondnya. Sejenak mengedipkan mata beberapa kali, karena cahaya dari jendela di samping ranjang yang menembus lembut dari tirai yang dimainkan angin--sedikit menyilaukan matanya. Dia memindai seisi ruangan berdinding kayu, Hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Sebuah lemari pendek dan gantungan baju di sebelahnya. Ini sebuah rumah pedesaan. Terakhir diingatnya dia baru melangkah keluar dari ruangan Andrew Chayton dan kemudian kegelapan melingkupinya. Sempat dirasakannya aroma nyaman sebuah dada bidang, tempat kepalanya disandarkan. Amanda berusaha duduk, dan dia mendapati sebuah infus tergantung di sebelahnya. Isinya tinggal separuh. Dia merasa badannya sedikit segar, namun masih lemah. Lukanya terasa menegang, tapi tak lagi perih.
Satu hal yang disepakati Devin saat bergabung dengan The Vow adalah dia tidak membunuh wanita. The Vow menyepakati, dan selama ini tugas-tugas yang diberikan selalu dengan target laki-laki. Meski Andrew Chayton menanamkan kebencian luar biasa di dadanya, pada sosok Sabrina Brice, dia tidak pernah mau menyakiti wanita. Wanita itu tetaplah ibu baginya, yang dia kerap mengimpikannya tiba-tiba membuka kamar dan menanyakan kenapa dia belum tidur. Saat Sabrina Brice kabur dengan selingkuhannya, Devin tidak pernah percaya pada apa yang dibicarakan pelayan, dan dituduhkan ayahnya. Dia merindukan ibunya. Hingga jatuh sakit dan dirawat satu pekan di rumah sakit, dan ibu yang dirindukannya tidak pernah muncul menjenguknya. Antara rindu dan benci, Devin masih berharap ibunya kembali. Devin mulai memikirkan hal lain ketika Am
Marcus tampak tidak sabar. Irene bisa melihatnya dengan jelas, lelaki separuh baya itu sejak tadi hilir mudik dari garasi ke dapur. Sembari menggenggam ponsel milik Devin. Menanti ponsel itu berbunyi, hingga dia bisa menyampaikan pesan banyak orang padanya. Langit sudah gelap, dan tak ada satupun Chayton di Batista. Hal yang biasa bagi semua pelayan, seolah merekalah pemilik rumah. Keluarga Chayton menikmati rumahnya hanya ketika makan bersama dan saat tidur. Selebihnya, setiap sudut ruangan, perabot mewah, televisi dan lukisan-lukisan, dinikmati oleh pelayan. Meski mereka lebih suka duduk bersama di belakang dapur sembari menikmati teh hangat dan kue kering--saat semua pekerjaan sudah diselesaikan. “Tuan Devin belum memberi kabar?” tanya Irene. Marcus tidak menyentuh teh tanpa gulanya. Irene memegang tepi cangkirnya, sudah dingin. “Jangan-jangan, perempuan i
Devin menghentikan mobil dan membiarkan lampunya tetap menyala, menyorot dua orang yang tertangkap basah di sudut tembok depan SlowArt Cafe. Dia menyeringai kecil, sengaja membiarkan si wanita berbaju merah kelabakan dengan mendorong tubuh si lelaki menjauhinya. Satu menit, setelah itu dia mematikan mesin mobil dan keluar dari mobil berlagak bodoh. Bella ArtWater tidak menyangka, malam ulang tahunnya begitu buruk. Dia yakin malam ini bisa mendapatkan hati Devin. Namun malah lelaki pujaannya itu mendapatinya berciuman liar dengan Levin. Bella bahkan mengusap bibirnya berkali-kali, meyakinkan diri bahwa ini semua cuma mimpi. Levin telah menjebaknya dengan memakai parfum Devin. Dia benar-benar licik. “Halo, Bella. Maaf aku mengganggu waktumu. Aku hanya mampir untuk mengucapkan selamat ulang tahun.” Devin merasa kali