Devin bergegas menuju garasi, setelah memastikan pintu ruang kerja ayahnya sudah tertutup rapat. Dia yakin, kali ini Levin tak bisa berkutik di hadapan ayahnya--dengan bukti foto-fotonya bersama kekasih-kekasihnya, ditambah deretan angka yang akan membuatnya terbeliak. Devin harus segera mengirim kartu ucapan terima kasih pada The Vow, yang memberikan data itu sebagai imbalan pekerjaan terakhirnya.
Setidaknya, kertas-kertas itu akan membuat ayah dan si bungsu akan berada di ruangan itu sampai Devin meninggalkan mansion dengan motornya.
"Motornya sudah siap, Tuan." Marcus membuka pintu garasi ketika Devin baru melintasi selasar depan kamarnya. Garasi mansion berada tidak jauh dari kamar Devin. Hanya dipisahkan oleh selasar dan taman bunga. Di dalamnya berisi mobil keluarga Chayton, masing-masing mempunyai dua mobil. Hanya Devin yang memiliki satu mobil dan satu motor.
"Terima kasih, Marcus," ucap Devin seraya merapatkan kancing jas hitam pekatnya. "Dad dan Levin masih di lantai dua."
Marcus mengangguk hormat pada Devin, majikan kesayangannya semenjak kecil. Meski dia kepala pelayan di Mansion Batista, tapi perlakuannya pada Devin selalu lebih istimewa dari Levin.
Semula berawal dari pesan Andrew Chayton padanya. Bahwa saat ibu dua anak lelaki tampan itu kabur dengan selingkuhannya, Devin sampai jatuh sakit hingga harus dirawat di rumah sakit. Kerinduannya pada sang Ibu, membuat tubuhnya tidak bisa mentolerir kesedihan yang begitu kuat. Berbeda dengan Levin, yang nyaris tak pernah bertanya ke mana ibunya pergi. Andrew begitu khawatir pada kondisi psikis Devin, hingga menyuruh Marcus untuk melayaninya lebih baik dari Levin.
Dan nyata sekali dampak dari perpisahan orang tua, pada kedua anak lelaki itu. Devin menjadi pendiam dan dingin. Sedangkan Levin lebih suka menggoda wanita--sejak kecil. Tak ada wanita setelah Sabrina Brice, hingga dua lelaki itu besar dalam asuhan pelayan. Mempunyai persepsi masing-masing terhadap makhluk berjenis wanita, berikut kebencian yang sama pada satu wanita.
"Aku akan memastikan mereka tetap di sana, sampai makan malam."
Devin menerima kunci motor dari Marcus. "Aku tidak makan di rumah. Aku harus ke kota menemui beberapa pialang. Biarkan Dad dan Levin menyelesaikan urusan mereka."
"Soal Jack dan Jean?"
Devin mengangguk sembari menaiki motornya. "Bahkan dua penipu itu punya nama yang keren."
Marcus mengangguk hormat ketika Marcus menstarter motornya perlahan, lalu berlalu meninggalkan mansion. Seulas senyum mengembang di wajah Marcus. Devin selalu nampak sopan dan elegan selama berada di Mansion Batista. Tapi tidak bila sudah keluar dari pagar mansion.
***
08.17 pm.
Devin meyakinkan diri dengan menatap jam tangan hadiah ayahnya di ulang tahunnya yang ke-25. Hublot Big Bang berwarna coklat keemasan. Setiap melihat jarumnya bergerak, dia selalu teringat senyum lebar ayahnya.
“Biar kamu selalu tepat waktu untuk makan malam,” ucap Andrew.
Devin memang selalu terlambat makan malam, bahkan kerap melewatkannya. Karena pekerjaan kecilnya tidak selalu tepat waktu, terutama di tahap penyelesaian. Sering Devin meninggalkan pekerjaan kecilnya begitu saja bila Andrew sudah menelpon. Apapun yang terjadi, sesibuk apapun Levin dan Devin, mereka harus hadir di meja makan saat makan malam.
Rutinitas yang tak pernah mereka lewatkan sejak Sabrina Brice kabur dari rumah. Devin yakin, malam ini Levin dan ayahnya tidak akan makan malam bersama. Apalagi tanpa Devin. Andrew selalu menunggu anak-anaknya bila sudah ijin untuk terlambat makan malam--meski sampai dini hari.
Devin melirik motor trail yang dikendarainya tadi, tersembunyi di balik semak-semak. Gundukan tanah setinggi lima meter dengan semak-semak menutupinya, menjadi tempat persembunyian sempurna bagi Devin dan McMillan--senjata sniper kesayagannnya. Dari teleskop kecil di sebelahnya, Devin memindai jalanan lengang di bawah bukit kecil tempatnya bersembunyi.
Jarak satu kilometer darinya, ada iring-iringan tiga buah mobil berjalan dengan kecepatan cukup tinggi. Akan tiba dalam hitungan detik dalam jangkauan jarak tembaknya.
Mobil kedua, semua orang di dalamnya.
Devin sudah memasang perangkap di jalan, apabila ada sesuatu terjadi di luar prediksinya. Namun dia lebih yakin pada McMillan miliknya. Jemarinya sudah siap menarik pelatuk, sembari memfokuskan melihat targetnya. Mobil kedua.
Dua detik. Tanpa suara.
Devin mengangkat kepala dan memasang teropong. Mobil kedua berputar di jalan, kehilangan kesimbangan karena ban mobilnya meletus. Tembakan Devin tepat mengenai sasaran. Beberapa detik, mobil itu pun terhenti. Mobil di depan dan di belakangnya juga. Empat pria berjas hitam, keluar dari mobil ketiga. Mereka berjalan tanpa kelihatan terburu, menghampiri mobil kedua.
Dari mobil pertama, juga keluar empat orang pria. Mereka tampak bergegas menuju mobil kedua. Membuka pintunya dan tampak sibuk menanyakan kondisi penumpangnya.
Namun hal yang berikutnya terjadi di luar perkiraan Devin. Empat pria dari mobil ketiga, menembaki empat pria dari mobil pertama. Sasaran empuk tanpa perlawanan. Dan berikutnya, menembaki penumpang di mobil kedua.
“What?” teriak Devin dalam hati. Ini semua benar-benar di luar prediksinya. Pekerjaan kecilnya, ada yang menintervensi. Seharusnya, dia yang menghantar nyawa penumpang mobil kedua. Tapi para pria di mobil ketiga telah mendahului mengeksekusi. Ini akan menjadi masalah besar bagi Devin, bila dia tidak menyelesaikan.
Satu detik. Satu pria dari mobil ketiga berhasil dirobohkannya. Dan itu membuat panik ketiga pria yang lainnya. Berikutnya satu pria lagi berhasil dirobohkan Devin..
Dua pria lainnya, menyadari telah diserang sniper, segera masuk ke dalam mobil ketiga. Lalu memutar haluan. Tapi Devin berhasil memecahkan kaca jendela bagian belakangnya, sebelum mobil ketika melaju dan menghilang di tikungan.
Devin memindai lagi lokasi targetnya. Empat mayat dari mobil pertama. Dua mayat mobil ketiga. Dan entah berapa di mobil kedua--target utamanya.
“Damn,” maki Devin sembari membereskan McMillan-nya. “Apa-apaan The Vow malam ini? Apa mereka tidak percaya lagi padaku?”
Devin bergegas menghapus jejaknya dengan ranting pohon berdaun lebat. Memastikan tidak ada petunjuk apapun yang mengarah pada dirinya. Dia menuruni bukit kecil itu dengan meluncur, dan berhenti tepat di sebelah semak-semak tempat motor gunungnya disembunyikan.
Seharusnya dia membereskan pekerjaannya dengan rapi, seperti biasa. Tapi siapapun yang telah mengacaukan malam ini, entah itu The Vow atau lainnya--membuatnya tidak lagi memikirkan hal itu. Siapapun itu, akan menerima balasan darinya. Devin Chayton tidak bisa diremehkan. Selama ini, small work-nya selalu sempurna tanpa cela. Dan tanpa intervensi siapapun.
The Vow harus punya penjelasan yang masuk di akalnya, untuk kejadian beberapa menit yang lalu.
Motor gunung itu melaju perlahan membelah jalan yang sunyi. Mansion Batista hanya lima kilometer dari lokasinya saat ini. Tapi tentu saja Devin tidak akan menuju ke sana. Dia harus mengganti kendaraan dan kostumnya di sebuah rumah tempat persembunyian, sepuluh kilometer dari lokasinya. Lalu menemui para pialang di kota. Sudah pasti akan melewati jalan tempat dua mobil dan mayat-mayat itu tergeletak di jalan. Namun Devin memastikan saat dia melewatinya, tempat itu sudah ramai polisi.
"Tuan, mohon maaf Marcus mengganggu kesibukan Tuan Devin." Devin Chayton berusaha bernapas normal, seolah sejak tadi berada di ruangan tenang dan duduk santai bersama pialang. Napas memburu seperti ini, memang sulit dinormalkan dalam waktu cepat. Tapi Marcus tidak boleh mendengarnya melalui sambungan telepon atau dia akan curiga. "Tidak, aku baru masuk ke toilet." Devin membuka kran dan membiarkan kucuran airnya terdengar oleh Marcus di sambungan telepon. "Oh, maaf, Tuan Devin. Apakah pertemuan dengan pialang sudah selesai?" "Belum," tukas Devin sembari mematikan kran. Dia mengendus jas hitam pekat yang sudah dikenakannya kembali, lalu melempar jaket kulit berdebunya ke keranjang di sudut toilet. Besok p
Suara mendebam mengejutkan Marcus. Kepala pelayan itu baru saja hendak menutup garasi ketika telinganya mendadak menjadi pekak. Sejenak dia terdiam, dan ketika pikirannya bekerja, dia pun hanya geleng-geleng kepala. Pasti Levin Chayton demikian marahnya hingga membanting pintu kamar tidurnya. Kebiasaan yang sudah sangat dihapal oleh seluruh pelayan Mansion. Lelaki itu sangat mudah menundukkan wanita, tapi tak pernah bisa memenangkan hati ayahnya. Sikap egois dan tak sabarannya, sungguh bertentangan dengan Devin Chayton. Devin adalah warisan Andrew. Sedangkan Levin adalah cetakan Sabrina Brice. Marcus tidak bisa membayangkan bila suatu ketika Sabrina Brice muncul di Mansion Batista. Pasti Levin akan berlindung di ketiak ibunya. Bukan hal yang mustahil,
Matahari sebentar lagi terbit ketika Devin memasuki dapur. mencuci muka dan tangan di wastafel. Dua orang pelayan sedang sibuk memasak menyiapkan makan pagi. “Devin, dari mana saja kamu?” Devin merasa tubuhnya membeku mendengar suara berat di belakangnya. Dibiarkannya air dari kran mengalir membasahi jemarinya. Entah kenapa, kali ini dia ingin membersihkan tangan sebersih-bersihnya. Rasanya sabun cuci tangan tak sanggup membersihkan noda dosa di tangannya. Dosa? Sepertinya kata itu tak pernah terlintas di kepalanya. Dia tidak pernah mendapatkan nasehat kebaikan di rumah. Dia dibesarkan dalam instruksi ayah bersuara berat pada pelayan. Bahkan dosa yang dilakukan ibunya adalah sebuah buku catatan wajib yang harus dibacanya setiap hari, agar kebencian pada wanita itu tertanam dan berakar seumur hidupnya.
Sarapan pagi Andrew Chayton tanpa kehadiran kedua anaknya. Lelaki dengan uban di pelipis kanan dan kiri itu hanya menatap piring kosong di depannya. Tangannya memegang tepi meja. Marcus yang berada di dekatnya, sibuk mengawasi pelayan yang menghantarkan piring demi piring. Agenda makan keluarga Chayton adalah agenda yang nyaris sakral bagi Andrew. Harus dilalui dengan doa khusuk bersama, tanpa ada percakapan sia-sia hingga makan selesai. Terkadang, Andrew mengundang beberapa teman dekatnya, hanya sekedar untuk menjalin hubungan baik dan mengenalkan pada kedua anaknya. Marcus punya catatan khusus siapa saja yang pernah diundang untuk makan bersama. Karena Andrew terkadang bertanya padanya, siapa saja temannya yang belum diundang. Di lain waktu, Andrew sesekali mengundang semua pelayannya untuk makan bersama di meja makan.
Devin mondar mandir di kamarnya yang sudah dirapikan oleh Irene. Irene seorang pelayan yang sudah bekerja di Mansion Batista lebih dari sepuluh tahun. Dia pelayan kepercayaan Marcus. Bekerja penuh waktu di Mansion Batista, karena dia tidak lagi punya keluarga yang harus diurusnya. Sebagian pelayan Batista memang wanita-wanita yang sudah menjanda atau tidak punya anak. Hanya beberapa pelayan muda yang biasanya mengambil pekerjaan paruh waktu dan tidak menginap. Devin bersyukur, Amanda alias Beverly ditemukan oleh Irene dan Sabrina. Sabrina adalah sepupu Irene yang bekerja paruh waktu. Dia punya suami dan anak yang tinggal tidak jauh dari Batista. Saat menemukan Amanda di depan gerbang, Sabrina sedang diantar oleh Irene ke pintu gerbang, untuk pulang. Mereka berdebat antara menolong atau membiarkan Amanda. Akhirnya Sabrina terpaksa menginap semalam. Untung saja
Marcus melirik Irene. Wanita separuh baya itu sangat hafal tabiat anak majikannya. Semakin dilarang, dia justru akan semakin melawan. Beda dengan Devin yang penurut, bahkan pada anjuran pelayan. Seperti dugaan Marcus, larangan Irene membuat Levin justru melangkah lebar menuju ruang kerja ayahnya, yang terletak di bawah kamar tidur Andrew Chayton. Marcus melirik Irene, memintanya membantu Devin di kamarnya. Amanda pasti membutuhkan bantuan. Sementera Marcus mengikuti langkah Levin menemui ayahnya. Lelaki muda itu, membuat Marcus selalu keheranan. Seolah dia mempunyai memory yang sangat pendek. Kejadian kaca jendela pecah itu, bila Devin yang mengalami, akan membuatnya mengurung diri di dalam kamar selama sepekan. Tak hendak menyahut bila ayahnya memanggil. Namun tidak bagi Levin. Meski seluruh pelayan begitu khawa
Satu demi satu, pelayan Mansion Batista memasuki ruang kerja Andrew Chayton. Setiap akhir bulan, dokter Cleve Artwater selalu datang untuk memeriksa kondisi kesehatan keluarga besar Mansion Batista. Kali ini dia datang bersama dokter Bella Artwater, putrinya. Beberapa pelayan senior yang mengetahui masa kecil Bella, sangat senang melihat gadis cantik itu kini sudah menjadi dokter. Namun sayang, mereka tidak bisa meminta diperiksa Bella. Karena Bella adalah dokter hewan. Dia hanya memeriksa kuda dan sapi di peternakan milik Andrew Chayton. “Aku ingin diperiksa dokter Bella,” ucap Marcus sembari menoleh ke arah dokter Bella yang sedang mempersiapkan beberapa peralatan medisnya. “Kau mau disuntik seperti kuda?” gurau dr Cleve. “Kadar gula darahmu bisa turun dengan cepat. Hari ini, naik 400. Sudah kubilang kan, tidak
Liliana sudah selesai merawat Amanda. Dia sudah mengganti baju dan perban gadis itu, juga membereskan kamar Devin yang terkena ceceran darah. Selimut juga sudah masuk mesin cuci. Devin mengamati Amanda yang tampak pucat, memejam mata di atas tempat tidurnya. Wajahnya sangat pucat. Dia harus mendapat infus, bahkan mungkin transfusi darah. Namun Devin tidak mungkin membawanya ke klinik apalagi rumah sakit. Tidak sampai dia tahu dengan pasti, status Amanda Harper. "Anda akan menginap, Tuan?" tanya Liliana. "Saya sudah selesai membersihkan rumah, jadi saya pamit pulang." "Ya, pulanglah. Terima kasih sudah membantu." Liliana mengangguk. Dia pun beranjak keluar. Namun di depan pintu, sejenak membalik badan dan menatap Devin yang melipat tangan di dada dan menyandar di kuse