Home / Thriller / MISTERI RUMAH ASHWABIMA / 6. Waidah di Karangsuci

Share

6. Waidah di Karangsuci

Author: Dee Rahayu
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

Mobil hitam itu dipacu kencang. Pengendaranya seorang lelaki muda berparas elok, Radi. Matahari siang tepat ada di atas kepala, menebar terik menyengat ke setiap benda di planet Bumi yang menghadap ke arahnya. Radi terburu waktu. Baru saja Andari mengirimkan pesan padanya lewat aplikasi hijau bahwa ia dan ibunya sedang packing untuk pulang. Mereka mungkin sampai di terminal kabupaten sekitar jam dua dinihari nanti. Andari meminta Pak   Tanu, supir mereka, menjemput ke terminal.

Radi menyelesaikan pekerjaannya secepat ia bisa. Meninjau sawah luas di desa Karangsuci bersama Pak Tanu lalu setelah semua rampung, Radi meminta Pak Tanu duduk di kursi sebelah supir, ia sendiri memegang kemudi mobil. Radi tahu Pak Tanu tidak akan mau ngebut bahkan walaupun disuruh, jadi dia memaksa mengendarai mobil itu menuju pusat desa Karangsuci.

"Pelan sedikit, Pak Radi!"

Pak Tanu berpegangan ke atas jendela, wajahnya pucat. Radi tersenyum kecut.

"Saya memburu waktu, Pak. Bapak tahu sendiri nanti malam Nyonya pulang. Sekarang juga saya harus menemukan orang yang bernama Waidah. Mungkin saja pencariannya juga akan makan waktu. Pegangan, Pak. Sebentar lagi kita sampai di jalan utama desa!"

Setelah delapan menit terguncang-guncang di jalan berbatu, mobil itu memasuki jalan utama desa yang beraspal halus. Radi menurunkan kecepatan.

"Tunggu ya, Pak. Saya mau tanya-tanya ke orang-orang itu," kata Radi. Ia menghentikan mobil di pinggir sebuah pasar kecil. Plang nama pasar itu tertulis Pasar Karangsuci. Pak Tanu menatap Radi dari dalam mobil. Timbul belas kasihan dalam hatinya pada lelaki muda itu. Radi beda sekali dibanding Tuan Nendra. Pak Tanu sudah bekerja di keluarga Ashwabima selama dua puluh lima tahun. Ia mendengar banyak gosip dan melihat banyak kejadian. Pak Tanu melihat sendiri tragedi Jenar tersambar petir. Jasadnya hangus digotong oleh Mang Arman dan Mang Dudung. Jenar dimakamkan langsung setelah disucikan. Beberapa omongan tentang keanehan wujud jasad pria malang itu akhirnya tak terdengar lagi. Pak Tanu juga menyaksikan pemakaman Wikan yang meninggal karena sakit parah. Setahu Pak Tanu, Wikan hanya sakit selama dua hari lalu meninggal dalam tidurnya. Supir andalan Ashwabima itu menyaksikan pertumbuhan Radi dari seorang bocah lelaki cilik yatim piatu menjadi pria dewasa yang gagah tampan. Pak Tanu sendiri merasa heran kenapa Radi sampai menjadi anak angkat keluarga majikannya setelah semua hal mengerikan yang terjadi pada orangtuanya.

"Ada yang tahu siapa itu Waidah. Bu Waidah, tepatnya. Dia penjual nasi pecel di dekat balai desa Karangsuci. Ayo kita kesana, Pak!" Radi duduk lagi di kursi kemudi. Mobil itu meluncur lagi di jalan desa. Berkelak-kelok menuju Balai Desa.

"Ternyata Bu Waidah lumayan terkenal di desa ini. Selain menjual nasi pecel legendaris, dia juga mantan artis sinden kebanggaan Karangsuci. Begitu kata ibu-ibu yang jual ayam di pasar tadi!" Radi bercerita pada supirnya. Pak Tanu hanya menganggukkan kepala, bingung mau jawab apa.

Balai Desa Karangsuci berupa bangunan kecil berukuran sepuluh kali delapan meter. Sekitarnya dipagar tembok setinggi setengah meter. Di sisi kiri Balai Desa ada sebuah rumah bentuk kuno, letaknya masih dalam lingkungan pagar Balai Desa. Radi memarkir mobil di halaman kantor aparat itu.

Rumah yang dituju Radi tampak sepi. Pintunya terbuka tapi tak seorangpun terlihat. Sebuah meja panjang ada di teras rumah, di atasnya tertata rapi racikan dagangan nasi pecel ditutupi terpal besar transparan.

Radi mengucap salam dan mengetuk daun pintu yang terbuka. Setelah empat kali barulah seorang wanita tua keluar dari dalam rumah itu. Radi melihatnya dan langsung merasakan aura keibuannya. Wanita itu bertubuh ramping pendek, berpakaian kebaya yang lengannya digulung sampai siku, kainnya lusuh kotor. Rambutnya yang putih digelung menjadi konde kecil di tengkuk.

"Beli pecel, Agan?" Sapa wanita tua itu. Senyumnya sangat teduh.

"Iya, Bu. Pesan dua dimakan di sini. Pedas." Radi membalas senyumnya. Pak Tanu menyeringai bahagia. Tuan Radi memang yang terbaik, tahu saja dia perutnya keroncongan sejak tadi!

Ibu penjual pecel segera beraksi. Meramu bahan-bahan berupa aneka macam sayuran dan bumbu kacangnya. Radi dan Pak Tanu duduk di kursi bambu panjang.

"Apa saya bisa ketemu Bu Waidah, Bu?" Tanya Radi. Ibu penjual pecel tersenyum sambil terus mengulek bumbu.

"Saya ini Waidah, Agan."

"Ooh...." Dada Radi berdebar.

"Agan ini bukan warga Karangsuci, ya? Saya baru lihat Agan berdua ini," kata Bu Waidah.

"Saya dari Karangsena, Bu. Nama saya Radi Ashwabima."

Perubahan raut wajah Bu Waidah terlalu kentara untuk diabaikan. Wanita sepuh itu pucat pasi dan menghentikan gerakan tangannya membuat pecel. Mata Bu Waidah menatap tajam wajah Radi.

"Ashwabima? Kau Ashwabima? Radi, katamu?"

Pak Tanu sedikit gusar karena Bu Waidah ber-kamu saja kepada tuannya, tapi Radi tampak tenang.

"Iya, Bu Waidah. Saya Radi Ashwabima."

Bu Waidah melanjutkan menggerus bumbu dengan gerakan perlahan. Wanita itu tampak gelisah. Radi ingin melanjutkan bertanya tapi tidak tahu bagaimana memulainya. Bu Waidah tiba-tiba bicara lagi.

"Jangan kau pakai nama itu di belakang namamu, nak. Kau bukan Ashwabima. Kau anak Jenar Martoyo. Namamu Radi Martoyo."

Kali ini Radi yang terkejut. Bu Waidah tahu betul siapa dirinya! Siapa nenek ini sebenarnya?

"Bu Waidah tahu siapa saya? Ibu kenal ayah dan ibu saya, Bu?"

"Bungkus saja pecelnya ya, Nak. Ibu  mau tutup warung ini. Tiba-tiba saja kepala Ibu pusing. Tunggu sebentar lagi ini hampir selesai!"

Radi beradu tatap dengan Pak Tanu. Sang supir andalan mengangguk pelan. Mereka bicara tanpa kata. Tak diragukan lagi, inilah orang yang mereka cari. Bu Waidah selesai membungkus dua porsi pecel, memasukkannya ke plastik hitam lalu mengulurkannya pada Radi.

"Berapa harganya, Bu?" Radi menerima plastik itu.

"Tidak usah bayar, nak. Bawa saja."

"Bu ...."

"Jangan pernah datang lagi ke sini. Saya mohon. Saya sudah tidak sanggup lagi berurusan dengan Ashwabima. Saya cuma ingin hidup tenang di sisa umur saya."

"Maksud Ibu apa?"

"Pergilah kalian."

Radi ingin sekali bertanya banyak pada Bu Waidah. Bahasa tubuh wanita itu tegas menyatakan ia tidak ingin diganggu. Bahkan dagangannya segera ia rapikan dan dibawa masuk ke ruang dalam. Ada apa?

"Kami pamit, Bu. Permisi." Radi mengajak Pak Tanu beranjak dari teras yang teduh itu. Mereka menghampiri mobil. Ada rasa kecewa terlukis di wajah Radi. Pertemuannya dengan Bu Waidah ternyata tidak membawa hasil selain rasa penasaran yang semakin membuncah di hati. Radi bingung kapan lagi ia bisa menemui nenek tua itu. Kalau Nyonya ada di rumah, bisakah ia menyelinap pergi lagi ke rumah Bu Waidah?

Tiba-tiba Bu Waidah mengejar kedua pria itu dan tanpa diduga memeluk Radi dari belakang. Pak Tanu sigap menarik tubuh ringkih itu menjauh dari tuannya namun Radi memberi kode agar Pak Tanu diam saja. Ia tidak keberatan.

Bu Waidah menangis keras di punggung Radi. Terdengar ucapannya di sela tangis.

"Radi, cucuku! Kau cucuku!"

Deg!

Kaugnay na kabanata

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   7. Ada yang Terluka

    Mata Nyonya Artiyah menatap tajam menantunya dari atas ke bawah berkali-kali. Radi berusaha tersenyum semanis mungkin tapi sang Nyonya tetap berwajah kaku padanya. Andari memeluk pinggang Radi dengan mesra."Aku kangen padamu, Mas," kata Andari lembut. Radi menatap wajah istrinya, masih dengan senyum manis. Nyonya Artiyah memperhatikan bahwa Radi tidak menjawab ungkapan kerinduan dari istrinya tadi.Ia bahkan sudah merasa tidak perlu lagi berpura-pura jadi suami yang baik di depanku, gumam Nyonya dalam hati."Ayo masuk, Ibu," kata Radi. Ia berjalan pincang dengan kaki kanan terbalut perban dari jari kaki hingga pergelangan. Andari tetap merangkul pinggang Radi dan menuntunnya sampai ke pintu kamar. Nyonya Artiyah dihampiri seorang pembantu, Neneng."Mau makan malam atau tidak, Nyonya?""Tidak. Kami sudah makan tadi di jalan. Bawakan koper-koper itu ke dalam ruang kerja. Biarkan tumpuk saja di sana. Aku yang akan bereskan besok pagi." Nyonya menatap Neneng, sang pembantu mengangguk sop

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   8.Pak Tanu Hilang

    Mata Radi menatap tajam pemuda usia awal dua puluhan yang berdiri di depannya."Namamu siapa tadi?" Tanya Radi."Danar, Pak," sahut si pemuda. "Saya dari desa Karangasih.""Nyonya menerima lamaran kerjamu jadi supirku? Kapan?""Kemarin malam, Pak. Sekitar jam delapan malam saya dipanggil lewat telepon agar hari ini mulai bekerja sebagai supir Pak Radi."Radi mengernyitkan kening. Apa-apaan ini? Baru saja ia keluar rumah hendak pergi kerja. Di halaman sudah menunggu mobilnya yang biasa ia pakai meninjau persawahan dan pemancingan. Bukan Pak Tanu yang menyambutnya di sebelah mobil, tapi si Danar ini."Saya sudah ada supir. Mungkin Ibu butuh kamu untuk supir beliau pribadi.""Tidak, Pak. Nyonya Artiyah jelas meminta saya bekerja jadi supir Bapak." Danar bersikeras. Radi akhirnya tahu bahwa tak ada gunanya ia mendebat Danar."Kamu tahu kemana Pak Tanu?" Tanya Radi."Pak Tanu mengundurkan diri. Dia mau ikut anaknya yang di Surabaya. Mulai hari ini Danar yang jadi supirmu." Suara Nyonya Art

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   9. Kabar Mengerikan

    Bu Risanah menatap Radi dengan mata sayu sembab. Istri Pak Tanu itu belum bisa menghentikan isak tangisnya."Suami saya salah apa, Agan Radi? Dimana dia sekarang?" Ratap Bu Risanah. Radi diam menunduk. Ia tahu ini semua salahnya. Pak Tanu hanyalah abdi yang menjalankan perintah. Karena rumahnya cukup jauh dari rumah Ashwabima, Pak Tanu mengontrak sebuah kamar di desa Karangsena, dekat dengan rumah majikannya. Pak Tanu tidak mau tinggal di rumah besar itu, entah karena apa. Seminggu sekali Pak Tanu pulang ke rumah keluarganya di desa Karangsetu, menemui istri dan tiga orang cucunya. Pak Tanu dan Bu Risanah punya satu anak perempuan yang berstatus single parent dan kini merantau ke Saudi, menitipkan tiga anak kecil di rumah sang nenek."Berarti Bapak tidak punya anak atau cucu di Surabaya kan, Bu?" Radi menegaskan lagi. Bu Risanah menggelengkan kepala."Tidak ada, Agan. Anak yang mana lagi? Anak kami cuma Siti Maisaroh saja, dia sudah dua tahun berangkat ke Saudi Arabia. Suaminya sudah

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   10. Ada Orang di Kolong Ranjang

    Setelah mengembalikan Bu Idah ke rumah pemancingan, Radi duduk sebentar menunggu Danar menjemput. Ia mencerna semua cerita yang didapatnya hari ini. Radi belum mendapatkan bukti nyata yang bisa menjerat pelakunya. Buktinya hanya ada dalam pikiran Radi sendiri. Satu hal yang melegakan Radi adalah kemungkinan Kinanti masih hidup walau mungkin teraniaya oleh penculiknya. Kinanti tidak meninggal terbawa arus laut, itu saja cukup melegakan hatinya.Jam empat sore Danar menelepon, ia sudah sampai di parkiran Segarabima. Radi keluar menghampiri mobilnya."Nyonya tahu aku ke Karangsuci, kan?" Tanya Radi sesaat setelah ia duduk dalam mobil. Danar meliriknya."Saya tidak tahu, Pak," jawab si supir. Radi tersenyum sinis."Tidak usah pura-pura, Danar. Aku tahu kenapa kamu ada di sini. Kamu diperintah Nyonya untuk mengawasiku. Satu yang aku harapkan dari kalian adalah semoga Pak Tanu hanya kalian pecat saja, tidak sampai dilukai. Kalau sampai aku tahu Pak Tanu terluka karena kalian, kau yang akan

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   11. Informasi Penting

    Kantor Polsek Karangjati tampak lengang. Radi keluar dari tempat itu sendirian. Langkahnya tergesa. Seperti biasa, ia meninggalkan Danar di pesawahan desa Karangsuci. Radi pergi ke Polsek kecamatan naik ojek motor. Ia tidak peduli apakah Danar tahu dan melaporkan nya pada Nyonya ataukah benar-benar cuek main handphone di mobil. Supir unik itu hanya bekerja menyetir saja, tidak melakukan hal lain. Membantu mengangkat barang bawaan ke bagasi mobil pun harus dipaksa dulu oleh sang majikan. Saat mengawal Radi bekerja, Pak Tanu ikut turun dari mobil, menyertai Radi memeriksa tanaman di sawah dan mengunjungi rumah-rumah petani penggarap untuk mendengarkan keluhan mereka. Lain halnya dengan Danar. Pemuda itu hanya diam mendengarkan musik handphone di dalam mobil dingin ber-AC, tidak sekalipun pernah turun menemani tuannya bekerja. Namun Radi tidak pernah protes, ia malah diuntungkan dengan kemalasan sang supir. Seperti hari ini contohnya.Pak Tanu sudah menghilang selama dua hari. Radi melap

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   12. Wikan Mirasih dan Jenar Martoyo

    Perempuan berusia enam puluhan di hadapan Radi siap bercerita. Radi menatap neneknya itu dengan antusias."Jangan menyela ceritaku nanti, nak. Otakku yang tua sudah susah disuruh menyusun kejadian secara rinci. Dengarkan sajalah apa yang akan nenek katakan padamu," kata Bu Waidah. Radi menganggukkan kepalanya."Iya, Nek. Aku mendengarkan.""Cerita ini akan panjang. Bagaimana kalau melebihi waktu yang kau punya untuk pergi ke sini tanpa izin Nyonya Ashwabima?""Kalau perlu malam ini aku akan menginap di sini, Nek."Bu Waidah menatap cucunya. Ia ingat saat terakhir bertemu Wikan, putri tunggalnya. Saat itu Wikan menggendong Radi yang masih bayi, berpamitan padanya untuk pergi ke rumah Ashwabima. Wikan tidak pernah kembali pulang ke Karangsuci. Hanya kabar kematiannya yang diterima oleh Bu Waidah."Orangtuamu adalah orang-orang lugu, cucuku. Mereka tidak punya prasangka buruk bahkan pada keluarga Ashwabima yang durjana itu. Ibu dan bapakmu masuk ke lingkungan mengerikan itu tanpa berpiki

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   13. Kisah Sebenarnya

    Radi kaget luar biasa. Wajahnya tegang. Bu Waidah mengusap air mata yang membanjiri pipinya."Kuatkan hatimu, Radi. Yang terjadi selanjutnya sangat mengerikan. Berpuluh tahun aku menyimpan kisah ini sendirian. Lapor polisi, pernah aku lakukan. Polisi malah menuduhku memfitnah Tuan Ashwabima. Pamong desa juga takut pada orang kaya itu. Bahkan setelah warga desa tahu anak dan menantuku tewas di tangan keluarga Ashwabima, tetap tidak ada yang berani mendukungku. Nyonya Ashwabima yang terhormat itu memberiku uang duka lima juta Rupiah tapi aku tolak. Akhirnya aku hanya bisa diam meratapi nasib anak dan menantuku.""Lanjutkan ceritanya, Nek." Suara Radi bergetar.*****Siang itu Tuan Nendra ditemani Mang Arman mendatangi rumah Jenar. Tuan Nendra ingin menyuruh Jenar menggali tanah untuk membuat pupuk kandang. Sejak pagi Jenar tidak ada di peternakan. Tuan mengira Jenar tidak masuk kerja.Wikan yang membuka pintu. Pandangannya bertemu dengan mata Tuan Nendra. Wanita sederhana itu menundukka

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   14. Kinanti Itu Adikmu, Radi

    Tubuh Radi bagai dilolosi seluruh tulang belulangnya dan darah bagaikan disedot keluar tanpa sisa. Ia terkejut bukan kepalang.Kinanti adalah adiknya? Adik satu ibu? Ibunya punya anak dari Tuan Nendra? Ya Tuhan, drama apa ini? Jadi selama ini ia mencintai adiknya sendiri bagaikan lelaki jatuh cinta pada gadis pujaan?Bu Waidah kembali berkisah.Wikan dibawa oleh Tuan Nendra menemui Nyonya Artiyah setelah seminggu kematian Jenar. Kondisi Wikan saat itu bagaikan mayat hidup, matanya tanpa sinar, kuyu dan tubuhnya seperti bergerak di luar kesadarannya sendiri."Siapkan pesta pernikahanku dengan Wikan, Tiyah. Jangan pakai pesta besar, sederhana saja. Undang semua kerabat dan rekan bisnis."Nyonya Artiyah kaget luar biasa. Wanita desa pucat pasi itu akan jadi madunya?"Mas! Apa-apaan kau ini? Katamu dia akan dipekerjakan jadi pembantu di sini karena suaminya mati kesambar petir, kenapa malah kau nikahi?" Pekik Nyonya."Sudah kau jangan banyak bicara! Kerjakan saja apa yang aku perintahkan

Pinakabagong kabanata

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   30. Epilog. Kesendirian yang Indah

    Rumah nyaman dan hidup tenang adalah dambaan semua manusia. Radi sudah memilikinya sekarang. Setelah apa yang ia lalui, Radi ini bisa mengatakan bahwa dirinya bahagia.Suasana sore di teras rumah selalu jadi favorit Radi dan Nenek Waidah. Mereka duduk di kursi teras, menghadapi kebun mawar dan jalanan kompleks di depan rumah. Kebun mawar di halaman adalah mahakarya Nenek. Terdiri dari lima kotak area taman, setiap kotak berisi belasan pohon mawar sewarna. Ada merah, kuning, putih, merah muda dan ungu. Ya, mawar ungu. Indahnya jangan diragukan lagi. Di halaman belakang, Nenek juga membuat kebun tanaman herbal. Desain dalam rumah ditangani oleh Radi. Ia mengutamakan fasilitas difabel senyaman mungkin. Kinanti bisa bergerak bebas dan melakukan semua kegiatan dengan mandiri di dalam rumah."Nenek kadang ingin ibumu bangkit lagi dan bersama kita di sini, Rad. Ibu Wikan, tentu, bukan Ibu Artiyah," kata Nenek sambil menyesap teh tawar hangat. Radi tertawa."Ibu sudah bahagia di sana, Nek. Le

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   29. Saatnya Bertindak Tegas

    Radi berdiri tegap di hadapan Andari. Wajah tampannya yang biasanya lembut menatap kini berubah merah padam dan penuh kemarahan. Andari perlahan berdiri lagi, berhadapan dengan Radi."Mas, kamu ... kapan masuk ke sini?""Cukup lama sampai aku dengar semua pengakuanmu dan sempat merekamnya dalam handphone. Pengakuan luar biasa, Ndari. Aku kaget. Sungguh, aku kaget!""Mas, ini ... ini salah paham, begini, maksudku ...." Andari berjalan mendekati suaminya. Radi mundur tiga langkah menjauh."Aku sudah dengar semuanya, Ndari. Bukan dari orang lain tapi dari mulutmu sendiri. Aku tidak menyangka kau sekejam itu.""Aku iri pada Mbak Kinan, Mas!!" Andari mendadak berteriak. Ia maju mendekati Radi dan mencoba memeluknya. Radi mendorong tubuh istrinya."Aku tidak mau punya istri sekejam kau, Ndari. Aku talak kau sekarang, di sini. Aku akan urus surat cerainya secepat yang aku bisa!""Mas! Tidak, Mas! Jangan ceraikan aku! Aku cinta padamu!"Radi memicingkan mata, kepalanya menggeleng."Aku sedang

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   28. Rahasia Andari

    Kinanti belum menunjukkan pertanda baik. Hidupnya masih bergantung pada segala macam kabel dan mesin yang mengelilinginya. Ia dipindah ke ruang rawat kelas satu, tidak lagi di ICU. Keluarga boleh menjenguk dan menunggui di dalam kamar, hanya satu orang saja. Tentu Radi yang mengambil tugas itu.Empat malam sudah Andari sendiri lagi di kamar. Kesunyian menemani tidurnya yang selalu bersimbah air mata. Ia ingin menahan cemburunya tapi tidak bisa. Kenyataan bahwa Radi memilih bermalam di kamar rumah sakit yang dingin daripada menemaninya tidur di ranjang hangat, sudah menyatakan bagaimana perasaan suaminya itu.Andari menghabiskan malamnya dengan berandai-andai dan mengobrol lewat chat online dengan Widia, temannya sejak di SMA.Bu Waidah mengambil tugas mengomando asisten rumah tangga dan pekerja di kebun. Di tangan nenek lembut hati itu, rumah Ashwabima berubah menjadi lebih nyaman. Bu Waidah, atas izin Radi, memerintah beberapa orang pekerja di peternakan sapi untuk membabat semak be

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   27. Api Cemburu Seorang Istri

    Kamar tidur mewah itu sepi walaupun ada dua orang sedang berbaring di atas ranjang. Radi dan Andari sudah dua hari tidak saling bicara. Sebenarnya hanya Andari saja yang diam, Radi tetap seperti biasa, bicara biasa, namun Andari tidak menjawab satu kata pun."Ndari,"Radi menutup buku yang sedang dibacanya lalu menoleh ke wajah Andari. Istrinya itu diam sambil terus menatap layar handphone."Aku tidak mau seperti ini terus, Ndari. Katakan apa maumu. Apa aku berbuat kesalahan?" Radi mengambil handphone di tangan Andari. Wanita berambut panjang itu merebut kembali teleponnya tanpa bicara. "Aku tahu, ini tentang Kinan, kan?"Radi menghela nafas panjang. Ia merasa sulit mengerti dimana letak kesalahannya. Pada akhirnya ia pulang dan menyerahkan penjagaan serta perawatan Kinan pada perawat. Selain menyadari bahwa ucapan Andari benar soal kesehatannya sendiri, Radi juga paham kecemburuan istrinya. Ternyata Andari sudah terlanjur marah."Aku minta maaf, Ndari." Radi mendekati wajah Andari,

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   26. Hanya Ingin Tenang

    Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   25. Kepedihan Seorang Wanita

    Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   24. Nyonya Pulang

    Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   23. Dua Wanita Cemburu

    Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat

  • MISTERI RUMAH ASHWABIMA   22. Wanita Berhati Dingin

    Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu

DMCA.com Protection Status