Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka
Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw
Suara itu memang hanya bisa didengar saat tengah malam begini. Radi berdiri tegak di tangga batu yang menurun ke arah kamar mandi. Di hadapannya tidak terlihat apapun selain pekatnya malam. Lampu bohlam lima belas Watt di depan bangunan kamar mandi hanya mampu menerangi sebatas latar yang lantainya diplistur semen licin saja, selebihnya tertelan dalam kegelapan mutlak. Sebenarnya ada sinar bulan sedikit di langit namun karena halaman belakang itu ditumbuhi aneka ragam pohon buah yang besar dan pohon pisang, cahaya bulan tidak mampu menerobos hingga ke tanah berumput di halaman luas itu.Radi menajamkan pendengarannya. Ia tidak salah, suara itu memang terdengar. Lirih, berbunyi kemudian hilang bagai terbawa angin. Sepi kembali menyapu suasana. Lelaki tinggi kekar berusia dua puluh lima tahun itu melangkah lagi menuruni lima anak tangga. Ia masuk ke kamar mandi tengah. Jam kerja Radi sebagai manager keuangan pabrik pakan ternak milik mertuanya, Nyonya Artiyah Ashwabima, sebenarnya flek
Keluarga Ashwabima memiliki kekayaan berlimpah dari usaha mereka yang merambah berbagai bidang. Perusahaan terbesar mereka adalah CV. Bimasakti yang dikendalikan oleh Nyonya Artiyah dan Radi. Perusahaan itu menaungi lima buah pabrik pakan ternak unggulan. Selain pabrik itu, Grup Bimasakti juga memiliki sawah ratusan hektar yang penggarapannya diserahkan pada petani lokal dengan sistim bagi hasil. Sawah-sawah itu menghasilkan berton-ton jagung dan padi. Usaha lainnya adalah tempat wisata pemancingan yang buka cabang di banyak tempat strategis, salah satunya di Pantai Lohjawi, pantai yang paling menggetarkan hati Radi.Siang ini, di ruang rapat CV. Bimasakti ada tiga orang yang sedang duduk dan bicara serius. Nyonya Artiyah didampingi notarisnya, Hadianto, SH, menatap Radi dengan tajam."Kamu siap, Rad?" Tanya Nyonya Artiyah. Radi menunduk sebentar, seperti berpikir, lalu kembali mendongak menatap dua orang di hadapannya."Saya taat pada anda, Nyonya.""Bagus."Hadianto melirik wanita d
Pukul sebelas malam, demikian jarum jam dinding menunjukkan posisinya. Rumah Ashwabima sepi dan gelap. Radi berbaring di sofa kamar, mencoba tidur. Matanya terpejam tapi telinganya mendengar suara-suara yang lewat. Sesekali ada bus besar melintas di jalan raya depan rumah, meninggalkan suara derum yang berisik. Andari sudah tidak terdengar isak tangisnya lagi. Seperti malam kemarin, Andari merayu Radi lagi. Wanita bertubuh ramping padat itu kembali mendapat kecewa karena sang suami tetap menolaknya.Jam dua belas tepat, Radi memutuskan ia tidak akan bisa lelap tidur. Tubuhnya bangkit lalu berjalan pelan keluar kamar. Lelaki bertubuh setinggi 185 senti itu menuju ruang kerja. Daripada hanya berbaring diam, Radi ingin menyelesaikan pekerjaannya. Sebentar lagi fajar datang menggantikan malam, tidak nyaman untuk tidur.Radi duduk di ruang kerja, menghadapi beberapa map berkas di meja. Ruang berlampu terang itu ia tutup pintunya namun tidak rapat, ada celah sedikit. Tangan Radi membuka seb
Lelaki tua di hadapan Radi itu tampak salah tingkah. Ia menunduk, tidak kuat beradu tatap dengan Radi."Sa - Saya tidak tahu apa-apa, juragan," kata Mang Arman lirih."Andari bilang sendiri bahwa Mang Arman tahu sesuatu tentang gubuk di kebun belakang itu. Tolong, Mang, ceritakan pada saya." Radi meletakkan tangannya di bahu Mang Arman. Penjaga malam rumah Ashwabima itu menggelengkan kepalanya."Tidak, Gan, saya tidak tahu apa-apa. Gubuk di kebun belakang itu tadinya kandang ayam waktu juragan Nendra masih hidup. Cuma itu saja yang saya tahu.""Jadi Mang Arman mau bilang kalau Andari itu bohong?""Bu - bukan begitu maksud saya, Gan.""Lalu?""Rumah gubuk belakang itu kosong gak ada apa-apanya kok, Juragan Radi. Isinya ya bekas alat-alat pelihara ayam. Saya sendiri sudah lupa ada gubuk di sana. Memangnya kenapa Agan Radi tanya soal itu?"Radi menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu. Mang Arman yang duduk di lantai di depan Radi sedikit mendongak agar bisa melihat wajah sang juragan
Andari memejamkan matanya. Tubuh wanita cantik itu terasa luar biasa pegal. Seharian ia berkelana di mall-mall Jakarta. Sementara ibunya, Nyonya Artiyah, mengurus bisnis pembelian butik bersama pengacara Hadianto, Andari memuaskan nafsu belanjanya yang jarang ia rasakan. Tinggal di kabupaten kecil tanpa mall ternyata sungguh menyiksa batin Andari. Saat melihat berbagai baju, tas dan sepatu branded terpajang di etalase toko, ia merasa sungguh wanita. Dengan uang yang diberikan ibunya, hari ini Andari belanja segala benda yang ia impikan.Nyonya Artiyah melotot murka saat melihat belanjaan putrinya. Puluhan paper bag merk ternama yang terkenal mahal dibawa masuk Andari ke kamar hotel."Kau pikir Ibu dapat uangnya dari mencetak sendiri?" Bentak Nyonya Artiyah. Andari menatap cuek."Kan gak setiap hari aku bisa belanja begini Ibu! Biasanya kalau ingin baju baru, aku cuma beli ke pasar Sidowarno. Di toko Koh Aseng. Modelnya ndeso! Ini baju-baju dari mall Jakarta lho, Ibu! Kalau aku pakai i