Share

MISTERI RUMAH ASHWABIMA
MISTERI RUMAH ASHWABIMA
Penulis: Dee Rahayu

1. Radi Sang Menantu

Suara itu memang hanya bisa didengar saat tengah malam begini. Radi berdiri tegak di tangga batu yang menurun ke arah kamar mandi. Di hadapannya tidak terlihat apapun selain pekatnya malam. Lampu bohlam lima belas Watt di depan bangunan kamar mandi hanya mampu menerangi sebatas latar yang lantainya diplistur semen licin saja, selebihnya tertelan dalam kegelapan mutlak. Sebenarnya ada sinar bulan sedikit di langit namun karena halaman belakang itu ditumbuhi aneka ragam pohon buah yang besar dan pohon pisang, cahaya bulan tidak mampu menerobos hingga ke tanah berumput di halaman luas itu.

Radi menajamkan pendengarannya. Ia tidak salah, suara itu memang terdengar. Lirih, berbunyi kemudian hilang bagai terbawa angin. Sepi kembali menyapu suasana. Lelaki tinggi kekar berusia dua puluh lima tahun itu melangkah lagi menuruni lima anak tangga. Ia masuk ke kamar mandi tengah. 

Jam kerja Radi sebagai manager keuangan pabrik pakan ternak milik mertuanya, Nyonya Artiyah Ashwabima, sebenarnya fleksibel. Ia tidak dituntut menyelesaikan segala macam laporan di waktu yang ditentukan. Namun akhirnya keleluasaan itulah yang membuat Radi jadi sering lembur seperti malam ini. Ia sudah menulis sejak sore, namun bukan laporan perusahaan yang dikerjakannya, melainkan menulis di sebuah buku harian. Pukul sepuluh malam ia baru ingat akan tumpukan pekerjaannya. 

Selesai menuntaskan hajat, Radi keluar dari kamar mandi. Di rumah Nyonya Artiyah yang luas itu, kamar mandi terletak di bangunan yang terpisah dari rumah utama. Ruang paling belakang di rumah utama adalah dapur merangkap ruang makan. Ada sebuah pintu di dinding dapur, jika dibuka, terlihat anak tangga menurun menuju bangunan toilet yang berjarak sekitar sepuluh meter dari ujung tangga batu itu. Berjejer tiga buah kamar mandi dan tiga toilet di sana. Kamar mandi yang banyak memang diperlukan di rumah bergaya kuno tahun 1800-an itu, karena ada banyak pekerja yang tinggal di sana saat siang hari.

Radi menaiki tangga hendak kembali ke kamarnya di rumah utama. Di anak tangga ketiga, telinganya kembali mendengar suara itu. Suara yang sudah membuatnya penasaran selama setahun ini. Radi menoleh lagi ke belakang, menatap kegelapan di kebun luas milik sang mertua. Ia mendengar lirih sayup suara memanggil namanya. Ya, memanggil namanya, Radi. Sebenarnya suara apa itu? Darimana asalnya? Apakah dari kebun?

Radi memutuskan ia harus masuk ke halaman belakang sekarang juga. Kakinya tidak jadi menapak naik, ia malah turun lagi. Langkahnya pelan. Sikap tubuhnya waspada.

"Cari apa kau di sana, Rad?"

Radi terkejut sampai tubuhnya terlonjak. Makian tercetus dari mulutnya. Ia menoleh ke arah suara wanita tadi. Sang ibu mertua sedang berdiri di puncak tangga, seperti menunggu Radi naik.

"Ti - tidak, Bu. Saya cuma mau periksa ke sana sebentar karena tadi saya dengar ada suara wanita memanggil nama saya," Radi menunjuk ke arah kebun luas yang gelap. Wanita yang tadi bicara padanya itu menatapnya tajam.

"Jangan mengada-ada kau, Radi. Memangnya ada orang di sana? Cepat kembali kerjakan laporanmu! Aku tadi lihat di meja kerja ruang  tengah, pekerjaanmu masih berantakan! Kau pikir karena kau menantuku lantas kau bisa seenaknya bekerja di pabrik ku?"

"Iya, Bu. Saya minta maaf," Radi mengangguk takzim. Nyonya Artiyah menuruni tangga seperti seorang Maharatu. Tatapnya masih tajam pada Radi. Dengan langkah tergesa, Radi naik ke rumah utama dan langsung tepekur lagi di meja ruang tengah menghadapi puluhan lembar laporan keuangan yang harus diperiksanya.

Nyonya Artiyah keluar dari kamar mandi. Matanya menatap lurus ke kegelapan kebun belakang. Tidak ada apapun yang terlihat. Ia sengaja tidak memasang lampu sedikitpun di keluasan kebun itu. Bunyi desau angin malam diiringi gemerisik dedaunan membawa sebuah suara lain ke telinga wanita anggun berusia akhir lima puluhan itu. Suara wanita bersenandung. Aneh, seharusnya suara itu tidak sampai ke jangkauan telinga orang yang berdiri di depan kamar mandi. Apakah karena sunyinya malam? Nyonya Artiyah mengertakkan gerahamnya dengan geram. Besok ia harus melakukan sesuatu agar suara itu tidak terdengar lagi oleh siapapun. Terutama oleh Radi.

*****

Andari memberikan sebuah kantung kertas warna cokelat pada Radi, suaminya. Radi menerima kantung itu dan tersenyum manis.

"Apa menu hari ini?" Tanya pria berambut ikal lebat itu. Andari membalas senyumnya.

"Tempe penyet level tiga puluh. Pedasnya seperti yang kau suka, Mas. Makan yang banyak, ya."

"Ya. Terima kasih."

Senyum Radi saja sudah cukup membuat Andari jatuh cinta padanya. Andari tidak pernah berhenti mengagumi suaminya itu.  Ketampanan wajahnya, tubuh yang kekar berotot, senyum sempurna, semua membuat Andari tergila-gila pada Radi sejak usianya belasan. Andari tidak pernah jatuh cinta pada lelaki selain Radi.

Mereka tumbuh bersama di rumah keluarga Ashwabima. Radi kecil biasa mendapat tugas mengawasi Andari bermain bersama kakaknya, Kinanti. Sejak belia, Andari terpikat pada Radi walaupun ia tahu Radi adalah anak pelayan ibunya yang bernama Bibi Wikan. Status itu tidak pernah dipedulikan Andari. Hingga masa remajanya, ia semakin yakin akan cintanya pada Radi.

Radi tidak pernah menunjukkan perasaannya pada Andari. Buatnya, gadis manja berambut panjang sepunggung itu adalah tuan putri yang harus ia jaga dengan baik. Itulah tugasnya di rumah Ashwabima, sebagai bodyguard Andari dan Kinanti. Seiring waktu, mereka bertiga tumbuh menjadi remaja, Radi tahu bahwa Andari menyimpan perhatian lebih padanya. Hingga suatu ketika, Nyonya Artiyah memanggilnya ke ruang kerja pribadi sang majikan.

"Bersiaplah kau, Radi. Bulan depan kau akan menikah dengan Andari, putriku."

Bukan main terkejutnya Radi saat itu. Menikahi Andari? Itu mustahil baginya. Bukan masalah cinta. Radi tidak tahu apa itu cinta. Hatinya beku sejak belia. Radi heran kenapa perintah itu ia terima saat keluarga Ashwabima sedang berduka atas hilangnya Kinanti.

Ya, Kinanti hilang saat bermain ke pantai Lohjawi. Saat itu bersamaan dengan Andari minta diantar ke perpustakaan kabupaten untuk mengerjakan tugas sekolah. Radi yang dibuat bingung karena tidak tahu harus pilih menemani siapa, dititahkan oleh Nyonya Artiyah untuk mengawal Andari. Sedangkan Kinanti pergi sendiri naik sepeda ke pantai. Kinanti tidak pernah kembali dari pantai Lohjawi.

Tidak seorangpun yang tahu bahwa setelah itu Radi menangis sendirian di kamarnya setiap malam. Ia sudah kehilangan ibunya yang meninggal karena sakit keras sewaktu usianya baru sepuluh tahun. Kini ia kembali kehilangan wanita yang dicintainya. Kinanti. Ingin sekali Radi mencari Kinanti tapi sang Nyonya tidak pernah memberinya perintah untuk itu. Sejak awal hidupnya, segala yang dilakukan Radi adalah berdasarkan perintah Tuan dan Nyonya Ashwabima.

"Ri, semalam aku dengar suara aneh lagi," kata Radi sambil memasukkan kotak makanan pemberian Andari ke dalam ransel. Mata Andari membulat.

"Dari halaman belakang lagi? Suaranya kayak gimana sih, Mas?"

"Semalam suara itu memanggil namaku "

Andari merangkul lengan suaminya. Bulu kuduknya meremang.

"Ah, Mas jangan nakut-nakutin aku!"

"Sungguh, Ri. Suara itu manggil namaku. Kamu pernah masuk ke rumah gubuk yang di pojok selatan kebun belakang?"

"Rumah? Rumah apa, Mas?"

Radi menatap istrinya, ragu. Andari memang tidak pernah berkelana jauh ke halaman belakang. Sepertinya Andari memang tidak tahu kalau ada sebuah gubuk reyot di sana.

Radi berniat akan masuk ke gubuk itu secepatnya. Ia harus tahu ada apa di dalam sana. Atau, siapa di sana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status