Keluarga Ashwabima memiliki kekayaan berlimpah dari usaha mereka yang merambah berbagai bidang. Perusahaan terbesar mereka adalah CV. Bimasakti yang dikendalikan oleh Nyonya Artiyah dan Radi. Perusahaan itu menaungi lima buah pabrik pakan ternak unggulan. Selain pabrik itu, Grup Bimasakti juga memiliki sawah ratusan hektar yang penggarapannya diserahkan pada petani lokal dengan sistim bagi hasil. Sawah-sawah itu menghasilkan berton-ton jagung dan padi. Usaha lainnya adalah tempat wisata pemancingan yang buka cabang di banyak tempat strategis, salah satunya di Pantai Lohjawi, pantai yang paling menggetarkan hati Radi.
Siang ini, di ruang rapat CV. Bimasakti ada tiga orang yang sedang duduk dan bicara serius. Nyonya Artiyah didampingi notarisnya, Hadianto, SH, menatap Radi dengan tajam. "Kamu siap, Rad?" Tanya Nyonya Artiyah. Radi menunduk sebentar, seperti berpikir, lalu kembali mendongak menatap dua orang di hadapannya. "Saya taat pada anda, Nyonya." "Bagus." Hadianto melirik wanita di sampingnya itu. Aura Nyonya Artiyah sangat berwibawa. Siapapun di dekatnya pasti akan terpesona oleh aura itu. "Dokumennya sudah siap, Pak Hadi?" Nyonya Artiyah menoleh ke sang notaris . "Ya, sudah siap semua, Bu." Hadianto menyentuh map tebal di hadapannya. "Oke. Mulai sekarang, kau menangani pengelolaan sawah dan pemancingan. Pabrik semua aku yang kendalikan. Suatu hari nanti semuanya akan aku serahkan padamu dan Andari. Kau harus cepat belajar, Radi." "Baik, Ibu. Terima kasih." "Selama jadi menantuku, kau menunjukkan kepribadian yang baik dan taat padaku. Walaupun kau anak dari asisten rumah tangga, kau bisa membuktikan bahwa kau mampu." Radi menunduk dalam. Mendengar Nyonya Artiyah mengungkit asal usulnya, Radi tidak berani melawan. Ia tidak pernah punya keberanian dan keinginan. Hidupnya selama ini selalu diatur oleh sang ibu mertua. Radi dan Nyonya Artiyah menandatangani surat-surat yang diperlukan untuk alih nama kepemilikan seratus hektar sawah dan delapan buah tempat pemancingan. Radi seperti kerbau dicocok hidung, taat pada segala keinginan Nyonya Artiyah. Bahkan tidak ada sedikitpun raut bahagia di wajah tampannya. Sebagai seorang menantu yang baru saja dapat kekuasaan atas sekian banyak harta, Radi tampak datar saja. Hadianto memperhatikan hal itu. Selesai acara tanda tangan alih nama, pengacara itu keluar ruangan. "Aku menitipkan hartaku yang paling berharga padamu, Radi. Andari, istrimu, adalah nyawaku. Aku tahu dia sangat mencintaimu, sejak ia masih kecil. Jangan kau sakiti dia." Nyonya Artiyah menatap menantunya. Kali ini pandangannya sedikit melunak. Radi mengangguk. "Iya, Ibu. Saya janji tidak akan menyakiti Andari. Terima kasih atas semua kepercayaan yang Ibu berikan untuk saya." "Kau harus tahu asal-usulmu. Dari anak seorang babu dan tukang cari rumput, kau aku angkat jadi putraku. Aku yang membiayai sekolahmu hingga jadi sarjana ekonomi. Kau juga seorang Ashwabima sekarang, bukan lagi anak Jenar, pencari rumput pakan sapi yang meninggal tersambar petir." Radi kembali mengangguk. Sudah ribuan kali ia mendengar kisah asal-usulnya itu. Ia anak Wikan, pembantu rumah tangga dan Jenar, kuli pencari rumput pakan sapi. Kedua orangtuanya adalah abdi di rumah keluarga Ashwabima. Ibunya meninggal lima belas tahun lalu karena sakit keras dan ayahnya dimakamkan dalam keadaan hangus terbakar tersambar petir saat mencari rumput sewaktu Radi dalam kandungan. Radi tidak pernah tahu wajah Jenar, ayahnya. Semua rasa dalam hati Radi sudah mati. Ia tahu hidupnya adalah jadi abdi bagi keluarga kaya raya Ashwabima, itu saja. Setiap kali ada keinginan untuk berontak, Radi disadarkan oleh kenyataan bahwa ia bisa berontak. Bahkan saat ia dinikahkan dengan Andari, Radi tidak membantah sedikitpun. "Kenapa Andari belum juga hamil, Rad? Kalian sudah dua tahun menikah. Apa ada masalah kesuburan diantara kalian?" Tanya Nyonya lagi. "Kami berdua sehat, Ibu. Ini masalah kebesaran Tuhan saja. Tuhan belum memberi kami momongan," jawab Radi. "Omong kosong." Suara Nyonya menyiratkan kegusaran yang sangat. "Besok kau dan Andari periksa ke dokter Surya di dekat kantor Kabupaten. Dia dokter kandungan hebat. Bawa hasil periksanya padaku. Paham?" "Baik, Ibu." Nyonya Artiyah meninggalkan kantor jam sepuluh pagi. Wanita anggun itu diantar supir kembali pulang ke rumah. Radi menuju ruang kerjanya dan memanggil Ratih, sekretarisnya. "Mulai besok, saya tidak datang ke kantor lagi. Bu Artiyah menugaskan saya ke lapangan jadi pengawas sawah dan pemancingan. Untuk jabatan saya di sini nanti digantikan oleh manager, Pak Setiawan, sementara menunggu keputusan dari Bu Artiyah. Kau selesaikan apa yang harus saya tanda tangani hari ini, saya tidak mau ada pekerjaan yang tersisa setelah saya pergi." "Baik, Pak. Saya akan merindukan Pak Radi nanti," sahut Ratih. Radi diam sebentar mencerna ucapan sang sekretaris. Ratih menatapnya dengan mata berembun. Sebuah senyum terkembang di bibir Radi. "Saya ucapkan terima kasih atas semua bantuanmu selama saya bekerja di sini, Mbak Ratih. Bu Artiyah sungguh beruntung bisa mempekerjakan karyawan sehebat kau." "Terima kasih, Pak Radi." Ada semburat merah di pipi Ratih. Gadis cantik itu lalu pamitan pada sang atasan untuk kembali bekerja. Radi duduk sendiri di ruangannya. Pandang matanya menerawang ke dinding yang dipenuhi foto dan piagam. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia punya keinginan. Ia belum berani menyampaikan keinginannya pada sang mertua. Radi ingin minta izin membersihkan kebun belakang rumah. Tanah seluas itu seharusnya bisa dimanfaatkan. Dibuat jadi taman atau dibangun gazebo tempat bersantai, misalnya. Aura kebun itu begitu menyeramkan sekarang. Terutama rumah gubuk terpencil yang ada di sudutnya. Rumah itu yang sebenarnya jadi pikiran Radi beberapa hari ini. Ada seseorang di dalam sana. Radi yakin. ***** Tatap mata istrinya begitu menggoda, apalagi pakaiannya. Radi tersenyum saja melihat penampilan Andari. Wanita berwajah ayu itu berbaring di kasur yang ditutup seprai merah bertabur kelopak bunga mawar. Andari memakai lingerie ungu tembus pandang tanpa apapun lagi di dalamnya. Radi baru saja pulang kerja pukul sepuluh malam ini. Seharian ia berkeliling meninjau pesawahan dan pemancingan yang kini ada dalam kendalinya. Saat masuk ke kamar tidur, ia melihat kamarnya sudah jadi aneh begitu. Lampu yang biasanya terang kini jadi temaram merah. Aroma dupa lembut menguasai udara di kamar. Pemandangan di atas tempat tidur lebih aneh lagi. Andari terbaring di sana, menatapnya dengan mata sayu. Radi melepas kemeja dan jaketnya. Terlihat tubuhnya yang kekar penuh otot terlatih. "Sudah berapa jam kamu tiduran begitu? Gak dingin?" Tanya Radi. Andari tersenyum. "Sejak sore. Sengaja aku menunggumu. Sana cepat mandi lalu kita ngobrol di sini." Tangan Andari menepuk kasur. "Ngobrol apa?" "Sana mandi dulu. Keluar dari kamar mandi pakai handuk saja, ya." Radi tertawa. Ia segera mengambil handuk yang tersampir dekat pintu kamar mandi. Sebelum masuk, ia meraih satu stel piyama hitam dari meja rias. Satu jam kemudian Radi sudah duduk di sofa sebelah tempat tidur. Rapi dan beraroma parfum maskulin. Andari cemberut. "Sini naik, Mas. Jangan di situ." "Ini kan tempatku tidur. Memangnya kenapa?" Tangan Radi menepuk sofa. "Mulai malam ini ayo kita tidur bersama di kasur ini. Aku istrimu, Mas. Sampai kapan kita tidur terpisah? Tadi siang Ibu suruh kita periksa ke dokter kandungan untuk cek kesuburan. Aku bilang kita berdua sehat tapi Ibu memaksa! Ya mana bisa aku hamil kalau kau tidak pernah menyentuhku!" Radi menegakkan duduknya. Andari mulai terisak menangis pelan. "Kita kan sudah sepakat soal ini, Ri. Dari awal aku sudah bilang bahwa aku bersedia menikahimu tapi hanya untuk menyenangkan Ibu saja. Kalau waktu itu kamu tidak menerima syarat dariku, kenapa tidak kau batalkan saja pernikahan kita?" "Apa itu berarti selamanya kau tidak akan menyentuhku, Mas?" "Ya. Kau tahu aku tidak mencintaimu. Kita menikah karena perintah Ibu." Andari menangis. Ia pikir seiring berjalannya waktu, Radi akan berubah dan bisa jadi suaminya sungguhan. Dua tahun terlewati, Radi tetap dingin padanya. Jangankan berbuat intim selayaknya suami istri, menyentuh kulitnya pun tidak pernah. Waktu menjelang pernikahan, Radi sudah mengatakan hal itu pada Andari. Mereka hanya menikah saja, bukan menjadi suami istri. Andari mengiyakan tanpa berpikir apa maksud ucapan Radi itu. Andari mabuk kepayang oleh euforia akan menikah dengan lelaki pujaannya. Ternyata Radi serius. Di malam pertama pernikahan, Radi tidur di sofa. Ia terus tidur di sofa itu hingga malam ini. Radi tidak pernah bersikap kasar pada Andari. Lelaki itu penuh kelembutan. Tampak begitu menyayangi dan menjaganya. Namun kasih sayang itu hanya bagaikan seorang pemilik barang koleksi saja, bukan kasih sayang dan cinta seorang suami. Dua tahun menikah, Andari masih perawan hingga sekarang. "Mas, tolonglah. Paling tidak, beri satu cucu untuk Ibu." Rengek Andari. "Aku belum bisa melakukannya. Maafkan aku, Ri. Pakai lagi pakaianmu. Malam ini dingin, kau bisa masuk angin nanti." "Kau ingin tahu tentang rumah di kebun belakang itu, kan? Aku tahu semua tentang rumah itu. Ibu pernah cerita soal itu pada Mang Arman, tukang kebun kita, dan aku dengar semuanya. Kamu mau tahu ada apa di dalam sana?" "Kau serius, RI? Kau tahu? Ceritakan padaku!" Radi menatap istrinya dengan antusias. Andari membuka lingerienya. "Turuti permintaanku baru akan aku ceritakan semua padamu. Sini, naik dan sentuh aku." Radi mundur lagi, ia bersandar ke sofa, tampak kecewa. "Aku akan cari infonya dari tempat lain. Tutup tubuhmu itu. Aku malas disuruh ke apotik untuk beli obat kalau kau sakit karena tak berbaju semalaman!" Radi berbaring di sofa memunggungi Andari yang melotot kecewa dan sakit hati. Ide berkelebatan di pikiran Radi. Besok ia akan dapat jawaban tentang rumah terpencil itu!Pukul sebelas malam, demikian jarum jam dinding menunjukkan posisinya. Rumah Ashwabima sepi dan gelap. Radi berbaring di sofa kamar, mencoba tidur. Matanya terpejam tapi telinganya mendengar suara-suara yang lewat. Sesekali ada bus besar melintas di jalan raya depan rumah, meninggalkan suara derum yang berisik. Andari sudah tidak terdengar isak tangisnya lagi. Seperti malam kemarin, Andari merayu Radi lagi. Wanita bertubuh ramping padat itu kembali mendapat kecewa karena sang suami tetap menolaknya.Jam dua belas tepat, Radi memutuskan ia tidak akan bisa lelap tidur. Tubuhnya bangkit lalu berjalan pelan keluar kamar. Lelaki bertubuh setinggi 185 senti itu menuju ruang kerja. Daripada hanya berbaring diam, Radi ingin menyelesaikan pekerjaannya. Sebentar lagi fajar datang menggantikan malam, tidak nyaman untuk tidur.Radi duduk di ruang kerja, menghadapi beberapa map berkas di meja. Ruang berlampu terang itu ia tutup pintunya namun tidak rapat, ada celah sedikit. Tangan Radi membuka seb
Lelaki tua di hadapan Radi itu tampak salah tingkah. Ia menunduk, tidak kuat beradu tatap dengan Radi."Sa - Saya tidak tahu apa-apa, juragan," kata Mang Arman lirih."Andari bilang sendiri bahwa Mang Arman tahu sesuatu tentang gubuk di kebun belakang itu. Tolong, Mang, ceritakan pada saya." Radi meletakkan tangannya di bahu Mang Arman. Penjaga malam rumah Ashwabima itu menggelengkan kepalanya."Tidak, Gan, saya tidak tahu apa-apa. Gubuk di kebun belakang itu tadinya kandang ayam waktu juragan Nendra masih hidup. Cuma itu saja yang saya tahu.""Jadi Mang Arman mau bilang kalau Andari itu bohong?""Bu - bukan begitu maksud saya, Gan.""Lalu?""Rumah gubuk belakang itu kosong gak ada apa-apanya kok, Juragan Radi. Isinya ya bekas alat-alat pelihara ayam. Saya sendiri sudah lupa ada gubuk di sana. Memangnya kenapa Agan Radi tanya soal itu?"Radi menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu. Mang Arman yang duduk di lantai di depan Radi sedikit mendongak agar bisa melihat wajah sang juragan
Andari memejamkan matanya. Tubuh wanita cantik itu terasa luar biasa pegal. Seharian ia berkelana di mall-mall Jakarta. Sementara ibunya, Nyonya Artiyah, mengurus bisnis pembelian butik bersama pengacara Hadianto, Andari memuaskan nafsu belanjanya yang jarang ia rasakan. Tinggal di kabupaten kecil tanpa mall ternyata sungguh menyiksa batin Andari. Saat melihat berbagai baju, tas dan sepatu branded terpajang di etalase toko, ia merasa sungguh wanita. Dengan uang yang diberikan ibunya, hari ini Andari belanja segala benda yang ia impikan.Nyonya Artiyah melotot murka saat melihat belanjaan putrinya. Puluhan paper bag merk ternama yang terkenal mahal dibawa masuk Andari ke kamar hotel."Kau pikir Ibu dapat uangnya dari mencetak sendiri?" Bentak Nyonya Artiyah. Andari menatap cuek."Kan gak setiap hari aku bisa belanja begini Ibu! Biasanya kalau ingin baju baru, aku cuma beli ke pasar Sidowarno. Di toko Koh Aseng. Modelnya ndeso! Ini baju-baju dari mall Jakarta lho, Ibu! Kalau aku pakai i
Mobil hitam itu dipacu kencang. Pengendaranya seorang lelaki muda berparas elok, Radi. Matahari siang tepat ada di atas kepala, menebar terik menyengat ke setiap benda di planet Bumi yang menghadap ke arahnya. Radi terburu waktu. Baru saja Andari mengirimkan pesan padanya lewat aplikasi hijau bahwa ia dan ibunya sedang packing untuk pulang. Mereka mungkin sampai di terminal kabupaten sekitar jam dua dinihari nanti. Andari meminta Pak Tanu, supir mereka, menjemput ke terminal. Radi menyelesaikan pekerjaannya secepat ia bisa. Meninjau sawah luas di desa Karangsuci bersama Pak Tanu lalu setelah semua rampung, Radi meminta Pak Tanu duduk di kursi sebelah supir, ia sendiri memegang kemudi mobil. Radi tahu Pak Tanu tidak akan mau ngebut bahkan walaupun disuruh, jadi dia memaksa mengendarai mobil itu menuju pusat desa Karangsuci. "Pelan sedikit, Pak Radi!" Pak Tanu berpegangan ke atas jendela, wajahnya pucat. Radi tersenyum kecut. "Saya memburu waktu, Pak. Bapak tahu sendiri nanti mal
Mata Nyonya Artiyah menatap tajam menantunya dari atas ke bawah berkali-kali. Radi berusaha tersenyum semanis mungkin tapi sang Nyonya tetap berwajah kaku padanya. Andari memeluk pinggang Radi dengan mesra."Aku kangen padamu, Mas," kata Andari lembut. Radi menatap wajah istrinya, masih dengan senyum manis. Nyonya Artiyah memperhatikan bahwa Radi tidak menjawab ungkapan kerinduan dari istrinya tadi.Ia bahkan sudah merasa tidak perlu lagi berpura-pura jadi suami yang baik di depanku, gumam Nyonya dalam hati."Ayo masuk, Ibu," kata Radi. Ia berjalan pincang dengan kaki kanan terbalut perban dari jari kaki hingga pergelangan. Andari tetap merangkul pinggang Radi dan menuntunnya sampai ke pintu kamar. Nyonya Artiyah dihampiri seorang pembantu, Neneng."Mau makan malam atau tidak, Nyonya?""Tidak. Kami sudah makan tadi di jalan. Bawakan koper-koper itu ke dalam ruang kerja. Biarkan tumpuk saja di sana. Aku yang akan bereskan besok pagi." Nyonya menatap Neneng, sang pembantu mengangguk sop
Mata Radi menatap tajam pemuda usia awal dua puluhan yang berdiri di depannya."Namamu siapa tadi?" Tanya Radi."Danar, Pak," sahut si pemuda. "Saya dari desa Karangasih.""Nyonya menerima lamaran kerjamu jadi supirku? Kapan?""Kemarin malam, Pak. Sekitar jam delapan malam saya dipanggil lewat telepon agar hari ini mulai bekerja sebagai supir Pak Radi."Radi mengernyitkan kening. Apa-apaan ini? Baru saja ia keluar rumah hendak pergi kerja. Di halaman sudah menunggu mobilnya yang biasa ia pakai meninjau persawahan dan pemancingan. Bukan Pak Tanu yang menyambutnya di sebelah mobil, tapi si Danar ini."Saya sudah ada supir. Mungkin Ibu butuh kamu untuk supir beliau pribadi.""Tidak, Pak. Nyonya Artiyah jelas meminta saya bekerja jadi supir Bapak." Danar bersikeras. Radi akhirnya tahu bahwa tak ada gunanya ia mendebat Danar."Kamu tahu kemana Pak Tanu?" Tanya Radi."Pak Tanu mengundurkan diri. Dia mau ikut anaknya yang di Surabaya. Mulai hari ini Danar yang jadi supirmu." Suara Nyonya Art
Bu Risanah menatap Radi dengan mata sayu sembab. Istri Pak Tanu itu belum bisa menghentikan isak tangisnya."Suami saya salah apa, Agan Radi? Dimana dia sekarang?" Ratap Bu Risanah. Radi diam menunduk. Ia tahu ini semua salahnya. Pak Tanu hanyalah abdi yang menjalankan perintah. Karena rumahnya cukup jauh dari rumah Ashwabima, Pak Tanu mengontrak sebuah kamar di desa Karangsena, dekat dengan rumah majikannya. Pak Tanu tidak mau tinggal di rumah besar itu, entah karena apa. Seminggu sekali Pak Tanu pulang ke rumah keluarganya di desa Karangsetu, menemui istri dan tiga orang cucunya. Pak Tanu dan Bu Risanah punya satu anak perempuan yang berstatus single parent dan kini merantau ke Saudi, menitipkan tiga anak kecil di rumah sang nenek."Berarti Bapak tidak punya anak atau cucu di Surabaya kan, Bu?" Radi menegaskan lagi. Bu Risanah menggelengkan kepala."Tidak ada, Agan. Anak yang mana lagi? Anak kami cuma Siti Maisaroh saja, dia sudah dua tahun berangkat ke Saudi Arabia. Suaminya sudah
Setelah mengembalikan Bu Idah ke rumah pemancingan, Radi duduk sebentar menunggu Danar menjemput. Ia mencerna semua cerita yang didapatnya hari ini. Radi belum mendapatkan bukti nyata yang bisa menjerat pelakunya. Buktinya hanya ada dalam pikiran Radi sendiri. Satu hal yang melegakan Radi adalah kemungkinan Kinanti masih hidup walau mungkin teraniaya oleh penculiknya. Kinanti tidak meninggal terbawa arus laut, itu saja cukup melegakan hatinya.Jam empat sore Danar menelepon, ia sudah sampai di parkiran Segarabima. Radi keluar menghampiri mobilnya."Nyonya tahu aku ke Karangsuci, kan?" Tanya Radi sesaat setelah ia duduk dalam mobil. Danar meliriknya."Saya tidak tahu, Pak," jawab si supir. Radi tersenyum sinis."Tidak usah pura-pura, Danar. Aku tahu kenapa kamu ada di sini. Kamu diperintah Nyonya untuk mengawasiku. Satu yang aku harapkan dari kalian adalah semoga Pak Tanu hanya kalian pecat saja, tidak sampai dilukai. Kalau sampai aku tahu Pak Tanu terluka karena kalian, kau yang akan
Rumah nyaman dan hidup tenang adalah dambaan semua manusia. Radi sudah memilikinya sekarang. Setelah apa yang ia lalui, Radi ini bisa mengatakan bahwa dirinya bahagia.Suasana sore di teras rumah selalu jadi favorit Radi dan Nenek Waidah. Mereka duduk di kursi teras, menghadapi kebun mawar dan jalanan kompleks di depan rumah. Kebun mawar di halaman adalah mahakarya Nenek. Terdiri dari lima kotak area taman, setiap kotak berisi belasan pohon mawar sewarna. Ada merah, kuning, putih, merah muda dan ungu. Ya, mawar ungu. Indahnya jangan diragukan lagi. Di halaman belakang, Nenek juga membuat kebun tanaman herbal. Desain dalam rumah ditangani oleh Radi. Ia mengutamakan fasilitas difabel senyaman mungkin. Kinanti bisa bergerak bebas dan melakukan semua kegiatan dengan mandiri di dalam rumah."Nenek kadang ingin ibumu bangkit lagi dan bersama kita di sini, Rad. Ibu Wikan, tentu, bukan Ibu Artiyah," kata Nenek sambil menyesap teh tawar hangat. Radi tertawa."Ibu sudah bahagia di sana, Nek. Le
Radi berdiri tegap di hadapan Andari. Wajah tampannya yang biasanya lembut menatap kini berubah merah padam dan penuh kemarahan. Andari perlahan berdiri lagi, berhadapan dengan Radi."Mas, kamu ... kapan masuk ke sini?""Cukup lama sampai aku dengar semua pengakuanmu dan sempat merekamnya dalam handphone. Pengakuan luar biasa, Ndari. Aku kaget. Sungguh, aku kaget!""Mas, ini ... ini salah paham, begini, maksudku ...." Andari berjalan mendekati suaminya. Radi mundur tiga langkah menjauh."Aku sudah dengar semuanya, Ndari. Bukan dari orang lain tapi dari mulutmu sendiri. Aku tidak menyangka kau sekejam itu.""Aku iri pada Mbak Kinan, Mas!!" Andari mendadak berteriak. Ia maju mendekati Radi dan mencoba memeluknya. Radi mendorong tubuh istrinya."Aku tidak mau punya istri sekejam kau, Ndari. Aku talak kau sekarang, di sini. Aku akan urus surat cerainya secepat yang aku bisa!""Mas! Tidak, Mas! Jangan ceraikan aku! Aku cinta padamu!"Radi memicingkan mata, kepalanya menggeleng."Aku sedang
Kinanti belum menunjukkan pertanda baik. Hidupnya masih bergantung pada segala macam kabel dan mesin yang mengelilinginya. Ia dipindah ke ruang rawat kelas satu, tidak lagi di ICU. Keluarga boleh menjenguk dan menunggui di dalam kamar, hanya satu orang saja. Tentu Radi yang mengambil tugas itu.Empat malam sudah Andari sendiri lagi di kamar. Kesunyian menemani tidurnya yang selalu bersimbah air mata. Ia ingin menahan cemburunya tapi tidak bisa. Kenyataan bahwa Radi memilih bermalam di kamar rumah sakit yang dingin daripada menemaninya tidur di ranjang hangat, sudah menyatakan bagaimana perasaan suaminya itu.Andari menghabiskan malamnya dengan berandai-andai dan mengobrol lewat chat online dengan Widia, temannya sejak di SMA.Bu Waidah mengambil tugas mengomando asisten rumah tangga dan pekerja di kebun. Di tangan nenek lembut hati itu, rumah Ashwabima berubah menjadi lebih nyaman. Bu Waidah, atas izin Radi, memerintah beberapa orang pekerja di peternakan sapi untuk membabat semak be
Kamar tidur mewah itu sepi walaupun ada dua orang sedang berbaring di atas ranjang. Radi dan Andari sudah dua hari tidak saling bicara. Sebenarnya hanya Andari saja yang diam, Radi tetap seperti biasa, bicara biasa, namun Andari tidak menjawab satu kata pun."Ndari,"Radi menutup buku yang sedang dibacanya lalu menoleh ke wajah Andari. Istrinya itu diam sambil terus menatap layar handphone."Aku tidak mau seperti ini terus, Ndari. Katakan apa maumu. Apa aku berbuat kesalahan?" Radi mengambil handphone di tangan Andari. Wanita berambut panjang itu merebut kembali teleponnya tanpa bicara. "Aku tahu, ini tentang Kinan, kan?"Radi menghela nafas panjang. Ia merasa sulit mengerti dimana letak kesalahannya. Pada akhirnya ia pulang dan menyerahkan penjagaan serta perawatan Kinan pada perawat. Selain menyadari bahwa ucapan Andari benar soal kesehatannya sendiri, Radi juga paham kecemburuan istrinya. Ternyata Andari sudah terlanjur marah."Aku minta maaf, Ndari." Radi mendekati wajah Andari,
Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka
Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu