Mata Radi menatap tajam pemuda usia awal dua puluhan yang berdiri di depannya."Namamu siapa tadi?" Tanya Radi."Danar, Pak," sahut si pemuda. "Saya dari desa Karangasih.""Nyonya menerima lamaran kerjamu jadi supirku? Kapan?""Kemarin malam, Pak. Sekitar jam delapan malam saya dipanggil lewat telepon agar hari ini mulai bekerja sebagai supir Pak Radi."Radi mengernyitkan kening. Apa-apaan ini? Baru saja ia keluar rumah hendak pergi kerja. Di halaman sudah menunggu mobilnya yang biasa ia pakai meninjau persawahan dan pemancingan. Bukan Pak Tanu yang menyambutnya di sebelah mobil, tapi si Danar ini."Saya sudah ada supir. Mungkin Ibu butuh kamu untuk supir beliau pribadi.""Tidak, Pak. Nyonya Artiyah jelas meminta saya bekerja jadi supir Bapak." Danar bersikeras. Radi akhirnya tahu bahwa tak ada gunanya ia mendebat Danar."Kamu tahu kemana Pak Tanu?" Tanya Radi."Pak Tanu mengundurkan diri. Dia mau ikut anaknya yang di Surabaya. Mulai hari ini Danar yang jadi supirmu." Suara Nyonya Art
Bu Risanah menatap Radi dengan mata sayu sembab. Istri Pak Tanu itu belum bisa menghentikan isak tangisnya."Suami saya salah apa, Agan Radi? Dimana dia sekarang?" Ratap Bu Risanah. Radi diam menunduk. Ia tahu ini semua salahnya. Pak Tanu hanyalah abdi yang menjalankan perintah. Karena rumahnya cukup jauh dari rumah Ashwabima, Pak Tanu mengontrak sebuah kamar di desa Karangsena, dekat dengan rumah majikannya. Pak Tanu tidak mau tinggal di rumah besar itu, entah karena apa. Seminggu sekali Pak Tanu pulang ke rumah keluarganya di desa Karangsetu, menemui istri dan tiga orang cucunya. Pak Tanu dan Bu Risanah punya satu anak perempuan yang berstatus single parent dan kini merantau ke Saudi, menitipkan tiga anak kecil di rumah sang nenek."Berarti Bapak tidak punya anak atau cucu di Surabaya kan, Bu?" Radi menegaskan lagi. Bu Risanah menggelengkan kepala."Tidak ada, Agan. Anak yang mana lagi? Anak kami cuma Siti Maisaroh saja, dia sudah dua tahun berangkat ke Saudi Arabia. Suaminya sudah
Setelah mengembalikan Bu Idah ke rumah pemancingan, Radi duduk sebentar menunggu Danar menjemput. Ia mencerna semua cerita yang didapatnya hari ini. Radi belum mendapatkan bukti nyata yang bisa menjerat pelakunya. Buktinya hanya ada dalam pikiran Radi sendiri. Satu hal yang melegakan Radi adalah kemungkinan Kinanti masih hidup walau mungkin teraniaya oleh penculiknya. Kinanti tidak meninggal terbawa arus laut, itu saja cukup melegakan hatinya.Jam empat sore Danar menelepon, ia sudah sampai di parkiran Segarabima. Radi keluar menghampiri mobilnya."Nyonya tahu aku ke Karangsuci, kan?" Tanya Radi sesaat setelah ia duduk dalam mobil. Danar meliriknya."Saya tidak tahu, Pak," jawab si supir. Radi tersenyum sinis."Tidak usah pura-pura, Danar. Aku tahu kenapa kamu ada di sini. Kamu diperintah Nyonya untuk mengawasiku. Satu yang aku harapkan dari kalian adalah semoga Pak Tanu hanya kalian pecat saja, tidak sampai dilukai. Kalau sampai aku tahu Pak Tanu terluka karena kalian, kau yang akan
Kantor Polsek Karangjati tampak lengang. Radi keluar dari tempat itu sendirian. Langkahnya tergesa. Seperti biasa, ia meninggalkan Danar di pesawahan desa Karangsuci. Radi pergi ke Polsek kecamatan naik ojek motor. Ia tidak peduli apakah Danar tahu dan melaporkan nya pada Nyonya ataukah benar-benar cuek main handphone di mobil. Supir unik itu hanya bekerja menyetir saja, tidak melakukan hal lain. Membantu mengangkat barang bawaan ke bagasi mobil pun harus dipaksa dulu oleh sang majikan. Saat mengawal Radi bekerja, Pak Tanu ikut turun dari mobil, menyertai Radi memeriksa tanaman di sawah dan mengunjungi rumah-rumah petani penggarap untuk mendengarkan keluhan mereka. Lain halnya dengan Danar. Pemuda itu hanya diam mendengarkan musik handphone di dalam mobil dingin ber-AC, tidak sekalipun pernah turun menemani tuannya bekerja. Namun Radi tidak pernah protes, ia malah diuntungkan dengan kemalasan sang supir. Seperti hari ini contohnya.Pak Tanu sudah menghilang selama dua hari. Radi melap
Perempuan berusia enam puluhan di hadapan Radi siap bercerita. Radi menatap neneknya itu dengan antusias."Jangan menyela ceritaku nanti, nak. Otakku yang tua sudah susah disuruh menyusun kejadian secara rinci. Dengarkan sajalah apa yang akan nenek katakan padamu," kata Bu Waidah. Radi menganggukkan kepalanya."Iya, Nek. Aku mendengarkan.""Cerita ini akan panjang. Bagaimana kalau melebihi waktu yang kau punya untuk pergi ke sini tanpa izin Nyonya Ashwabima?""Kalau perlu malam ini aku akan menginap di sini, Nek."Bu Waidah menatap cucunya. Ia ingat saat terakhir bertemu Wikan, putri tunggalnya. Saat itu Wikan menggendong Radi yang masih bayi, berpamitan padanya untuk pergi ke rumah Ashwabima. Wikan tidak pernah kembali pulang ke Karangsuci. Hanya kabar kematiannya yang diterima oleh Bu Waidah."Orangtuamu adalah orang-orang lugu, cucuku. Mereka tidak punya prasangka buruk bahkan pada keluarga Ashwabima yang durjana itu. Ibu dan bapakmu masuk ke lingkungan mengerikan itu tanpa berpiki
Radi kaget luar biasa. Wajahnya tegang. Bu Waidah mengusap air mata yang membanjiri pipinya."Kuatkan hatimu, Radi. Yang terjadi selanjutnya sangat mengerikan. Berpuluh tahun aku menyimpan kisah ini sendirian. Lapor polisi, pernah aku lakukan. Polisi malah menuduhku memfitnah Tuan Ashwabima. Pamong desa juga takut pada orang kaya itu. Bahkan setelah warga desa tahu anak dan menantuku tewas di tangan keluarga Ashwabima, tetap tidak ada yang berani mendukungku. Nyonya Ashwabima yang terhormat itu memberiku uang duka lima juta Rupiah tapi aku tolak. Akhirnya aku hanya bisa diam meratapi nasib anak dan menantuku.""Lanjutkan ceritanya, Nek." Suara Radi bergetar.*****Siang itu Tuan Nendra ditemani Mang Arman mendatangi rumah Jenar. Tuan Nendra ingin menyuruh Jenar menggali tanah untuk membuat pupuk kandang. Sejak pagi Jenar tidak ada di peternakan. Tuan mengira Jenar tidak masuk kerja.Wikan yang membuka pintu. Pandangannya bertemu dengan mata Tuan Nendra. Wanita sederhana itu menundukka
Tubuh Radi bagai dilolosi seluruh tulang belulangnya dan darah bagaikan disedot keluar tanpa sisa. Ia terkejut bukan kepalang.Kinanti adalah adiknya? Adik satu ibu? Ibunya punya anak dari Tuan Nendra? Ya Tuhan, drama apa ini? Jadi selama ini ia mencintai adiknya sendiri bagaikan lelaki jatuh cinta pada gadis pujaan?Bu Waidah kembali berkisah.Wikan dibawa oleh Tuan Nendra menemui Nyonya Artiyah setelah seminggu kematian Jenar. Kondisi Wikan saat itu bagaikan mayat hidup, matanya tanpa sinar, kuyu dan tubuhnya seperti bergerak di luar kesadarannya sendiri."Siapkan pesta pernikahanku dengan Wikan, Tiyah. Jangan pakai pesta besar, sederhana saja. Undang semua kerabat dan rekan bisnis."Nyonya Artiyah kaget luar biasa. Wanita desa pucat pasi itu akan jadi madunya?"Mas! Apa-apaan kau ini? Katamu dia akan dipekerjakan jadi pembantu di sini karena suaminya mati kesambar petir, kenapa malah kau nikahi?" Pekik Nyonya."Sudah kau jangan banyak bicara! Kerjakan saja apa yang aku perintahkan
Pukul dua belas tiga puluh dinihari rumah Ashwabima sepi dan gelap. Sejak ada seseorang di kolong ranjangnya, Nyonya Artiyah tidak pernah bisa tidur nyenyak. Orang di bawah sana selalu terisak menangis atau menghela nafas kuat-kuat. Nyonya berkali-kali memukulkan tongkat rotan ke arah kolong ranjang untuk menyuruhnya diam tapi orang itu hanya diam sebentar lalu menangis lagi.Nyonya Artiyah harus mengakui bahwa tawanannya itu sangat kuat. Bagaimana tidak, sudah hampir tiga tahun dia diikat dan diberi makan sekadarnya tapi tetap hidup. Sebelum Radi mulai bertanya soal rumah belakang, Nyonya mengikat tawanan itu di dipan dalam rumah kandang ayam di belakang. Siang malam terikat dan terpasung tanpa diberi cahaya lampu sedikitpun. Nyonya berharap orang itu mati dengan sendirinya tapi harapannya mulai pupus seiring waktu, orang itu tetap hidup dan meneror batin Nyonya.Bunyi alarm handphone bernyanyi, tepat pukul satu. Nyonya beranjak turun dari ranjang. Ia memakai sweater tebal dari kapst