Lelaki tua di hadapan Radi itu tampak salah tingkah. Ia menunduk, tidak kuat beradu tatap dengan Radi.
"Sa - Saya tidak tahu apa-apa, juragan," kata Mang Arman lirih. "Andari bilang sendiri bahwa Mang Arman tahu sesuatu tentang gubuk di kebun belakang itu. Tolong, Mang, ceritakan pada saya." Radi meletakkan tangannya di bahu Mang Arman. Penjaga malam rumah Ashwabima itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Gan, saya tidak tahu apa-apa. Gubuk di kebun belakang itu tadinya kandang ayam waktu juragan Nendra masih hidup. Cuma itu saja yang saya tahu." "Jadi Mang Arman mau bilang kalau Andari itu bohong?" "Bu - bukan begitu maksud saya, Gan." "Lalu?" "Rumah gubuk belakang itu kosong gak ada apa-apanya kok, Juragan Radi. Isinya ya bekas alat-alat pelihara ayam. Saya sendiri sudah lupa ada gubuk di sana. Memangnya kenapa Agan Radi tanya soal itu?" Radi menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu. Mang Arman yang duduk di lantai di depan Radi sedikit mendongak agar bisa melihat wajah sang juragan. "Saya yakin ada orang di dalam sana, Mang." Radi melihat tidak ada sentakan terkejut di ekspresi Mang Arman. Pria enam puluh tahun itu hanya menunduk seperti takut Radi membaca matanya. "Siapa yang ada di dalam sana, Mang? Mamang tahu dimana Kinanti?" Kinanti adalah topik pembicaraan yang dilarang di rumah Ashwabima. Apa sebabnya, Radi juga tidak tahu. Hilangnya gadis manis itu secara tiba-tiba pun sepertinya dilupakan orang begitu saja. Polisi sempat mencari beberapa saat kemudian pencarian dihentikan. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Kinanti di pantai Lohjawi pada hari naas itu. Radi tidak pernah lepas dari beban rasa bersalah di hatinya. Andai hari itu ia memilih menemani Kinanti ke pantai, mungkin Kinanti tidak hilang. Radi menyesal kenapa ia menuruti perintah Nyonya untuk mengawal Andari ke perpustakaan. Seharusnya ia membangkang saja dan mengikuti Kinanti. Saat berangkat ke pantai, Kinanti sempat berpamitan sambil lalu pada Radi. Mereka berpapasan di gerbang depan. Kinanti hendak keluar naik sepedanya, Radi mau masuk ke rumah dari suatu tempat di luar. "Pergi ke pantainya nanti sore saja, Non Kinan. Setelah saya pulang mengantar Non Andari. Non Kinan jangan pergi sendiri." Demikian Radi berkata waktu itu. Kinanti tersenyum manis "Gak apa-apa, Mas. Aku pergi sendiri saja. Mas Radi antar Andari, dia masih bingung jalan ke perpustakaan." "Memangnya Non Kinan ada perlu apa ke Lohjawi?" "Mau lihat pemandangan saja, Mas. Gak ada yang penting." Itulah percakapan terakhir Radi dengan gadis pujaannya, Kinanti. Radi menunggu kepulangan Kinanti sore itu dan penantiannya sia-sia. Kinanti tidak pernah kembali. Sepedanya ditemukan polisi tergeletak di tepi pantai namun gadis berambut panjang sepunggung itu tidak ada. Nyonya memang menangis beberapa hari. Entah kenapa, Radi merasa itu tangisan yang tidak tulus. Setelah beberapa bulan, Kinanti tidak juga ditemukan, akhirnya dibuat pernyataan bahwa kakak Andari itu sudah meninggal. Pada hari itu diumumkan, Radi menangis sampai tak sadarkan diri di kamarnya. Saat tersadar, Radi kembali menangis. Itu terakhir kali ia menangis, terakhir kali hatinya merasakan sesuatu. Setelah itu, Radi hidup bagaikan manusia besi. Tidak ada hal apapun yang bisa membuatnya menangis, marah ataupun senang. Ia melakukan semua perintah Nyonya dengan kepatuhan mutlak. Termasuk menikahi Andari, sebulan setelah Kinanti dinyatakan meninggal dunia. Mang Arman terbatuk beberapa kali. Ia tampak gugup saat nama Kinanti disebut Radi. Sudah dua tahun tidak ada yang menyebut nama Kinanti di rumah itu. "Mamang tahu dimana Kinanti?" Radi mengulang pertanyaannya. Mang Arman menggelengkan kepala perlahan. Lelaki tua yang masih kekar berotot itu ingin sekali kembali ke pos jaganya dan menghentikan pembicaraan tentang Kinanti. "Dari semalam saya terbayang rumah gubuk itu, Mang Arman," kata Radi. "Saya pernah mengintip ke dalamnya, tapi karena malam hari dan senter yang saya bawa kurang baik sinarnya, saya tidak melihat jelas bagaimana keadaan dalam rumah itu " Kali ini Mang Arman terkejut. "Agan ... Agan Radi melihat ke ... ke dalam rumah itu?" "Iya. Setelah saya dengar ada yang memanggil nama saya dari dalam sana. Saya dengar pada tengah malam, ada orang di sana menyebut nama saya, Mang. Saya yakin Mamang tau siapa dia. Katakan, Mang." "Sa - saya tidak tahu, Agan. Maaf, saya pamit mau kembali ke pos keamanan, pintu gerbang tidak ada yang jaga." Radi belum sempat mencegah, Mang Arman langsung tergopoh pergi meninggalkan Radi sendiri di ruang tamu. Rasa penasaran yang amat sangat seperti meninju perut Radi. Bagaimana caranya agar Mang Arman mau bercerita segala yang ia tahu? Radi yakin si penjaga keamanan itu tahu banyak hal. Mungkin ini ada kaitannya dengan Kinanti. Radi berdiri. Ia akan pergi ke rumah belakang. Suasana rumah masih sepi karena hari masih pagi. Para asisten rumah tangga biasanya datang jam tujuh, masih ada waktu satu jam bagi Radi untuk menjelajah kebun belakang. Ia ke kamar kerja untuk mengambil senter dari laci mejanya. Walaupun matahari sudah mulai naik di ufuk timur, mungkin saja di dalam gubuk itu gelap karena semak belukar yang mengungkungnya. Radi juga membawa sebilah belati dan sebuah gunting. Halaman belakang rumah Ashwabima sudah menyerupai hutan belantara. Aromanya embun pagi dan bau tanaman segar. Luasnya sekitar 2500 meter persegi, bisa untuk membangun sebuah kampung mini. Lantai keramik bermotif bebatuan sungai hanya sampai sepuluh meter di muka kamar mandi. Lantai itu menurun ke tanah berumput tebal. Aneka jenis pohon besar tumbuh di halaman belakang. Radi melihat beberapa pohon mangga dan sawo. Tanaman rambat menggayut di batang-batang pohon. Agak jauh ke dalam, rimbunan pohon pisang berbuah lebat kelihatan menaungi atap sebuah rumah setengah ambruk. Dinding belakang gubuk itu menempel langsung ke tembok batas pekarangan seperti bersender meminta kekuatan pada tembok bata itu. Dinding gubuk terbuat dari anyaman bambu, banyak yang bolong di sana-sini. Hati Radi berdebar. Setelah sekian lama dicekam penasaran, akhirnya tiba juga waktunya bisa mendekati gubuk misterius itu. Tidak ada yang aneh dari bangunannya, hanya saja ada sesuatu yang membuat Radi penasaran. Ia memegang pintu gubuk yang terpasang bilah-bilah papan dipaku. Lelaki tampan itu memutar ke samping kiri, mencari apakah ada celah yang bisa ia masuki. Ternyata memang ada, sebuah lubang di dinding bambu yang bolong besar, tubuhnya bisa diselipkan masuk lewat situ. Radi kini ada di dalam gubuk. Benar saja, sinar lembut matahari tidak mampu masuk ke dalam. Sinar senter menerangi ruangan gubuk itu. Hanya ada satu ruangan di sana. Di sudut jauh sebelah kanan bertumpuk peralatan peternakan ayam. Wadah minum ayam bergelimpangan kemana-mana. Karung-karung berisi dedak bertumpuk tinggi, yang bawah sudah mulai hancur termakan lumut dan air tanah. Aroma kotoran ayam membuat perut Radi mual, seharusnya ia tadi bawa minyak kayu putih. Di sebelah kiri, tengah gubuk, ada sebuah dipan lebar dari bambu. Apa yang ada di atas dipan itu membuat jantung Radi berdebar keras. Beberapa helai tali rafia putus tergeletak bersama dengan tambang jalin plastik yang juga habis diputus oleh sesuatu yang tajam. Benda yang paling membuat Radi yakin bahwa pernah ada orang di atas dipan itu adalah taburan remah nasi kering di pinggir dipan. Tidak ada piring atau gelas di sana, tapi remah nasi itu adalah bukti nyata ada manusia yang makan di dipan kotor itu. Siapa dia? Dipan dialasi kardus bekas dan tripleks tipis. Radi melihat bekas simpul tali di pojok dipan. Orang yang pernah ada di sana pasti diikat kakinya ke sudut. Tunggu. Radi melihat sesuatu di tripleks alas dipan. Sebuah tulisan. Ya, tulisan yang dibuat dengan menggoreskan kuku atau sesuatu yang tajam ke sana. Tidak jelas terbaca namun Radi menerka yang tertulis di tripleks itu. Tolong. Waidah karangsuci. Itu yang bisa Radi baca. Tolong, orang yang pernah ada di sana pasti teraniaya. Lalu nama Waidah karangsuci, nama apa atau siapa itu? Manusia kah? Karangsuci adalah nama desa dimana terdapat sawah milik perusahaan Bimasakti. Sawah di sana ukurannya paling luas dan paling subur. Waidah mungkin nama orang yang ada di desa itu. Kenapa namanya ada di gubuk? Apa maksudnya? Radi memotret tulisan itu dengan handphone. Lelaki itu merasa cukup dengan apa yang dilihatnya. Satu pertanyaan sudah terjawab. Memang pernah ada orang di dalam gubuk itu. Terikat dan teraniaya. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa dan kenapa. Lalu, dimana orang itu sekarang. Mungkin saja sudah tewas. Pelakunya tidak perlu dicari lagi, sudah pasti Nyonya Artiyah. Siapa lagi? Mang Arman melihat Radi keluar dari gubuk kebun dan akan kembali ke rumah utama. Pria berambut putih itu bergegas menyelinap lewat koridor rumah menuju depan. Langkahnya panjang dan cepat. Setelah sampai di pos jaga samping gerbang, ia masuk dan duduk dengan nafas tersengal-sengal. Mang Arman hendak menelepon Nyonya tapi lalu ia urungkan niatnya. Biarlah Radi berkelana di kebun belakang, ia pura-pura tidak tahu saja. Kalau ia memberitahu Nyonya, nanti malah dirinya sendiri yang kena damprat. Sesaat ada rasa khawatir muncul dalam hati Mang Arman. Jika sampai Radi mendapatkan apa yang dicarinya di gubuk, maka Mang Arman sendiri juga akan terseret masalah. Semoga orang yang kemarin malam ia bawa ke dalam rumah Nyonya benar-benar tertutup mulutnya dan tidak teriak. ***** Nyonya Artiyah geram sekali. Baru saja ia menelepon Miskah, salah seorang asisten rumah tangga yang tugasnya memasak. Nyonya meminta Miskah jangan lupa mengantarkan makanan untuk Radi ke dalam kamar. "Radi mungkin belum bisa jalan keluar kamar, Kah. Makanan untuknya antarkan saja ke kamar," kata Nyonya. "Agan Radi bisa jalan kok, Nyah. Tadi baru saja Agan ke kamar kerjanya, saya yang antarkan kopi ke sana." Miskah menjawab dengan polos. Nyonya Artiyah kaget mendengarnya. "Kakinya masih diperban, kan? Kok bisa jalan sendiri?" "Kaki siapa, Nyah? Agan Radi? Tidak, Nyah. Kaki Agan baik-baik saja, tidak diperban. Jalannya juga biasa. Memangnya kaki Agan Radi kenapa?" Kurang ajar. Radi memperdayainya. Nyonya Artiyah tahu apa yang akan diperbuat Radi di rumah selama ia dan Andari pergi. Ia harus cepat kembali.Andari memejamkan matanya. Tubuh wanita cantik itu terasa luar biasa pegal. Seharian ia berkelana di mall-mall Jakarta. Sementara ibunya, Nyonya Artiyah, mengurus bisnis pembelian butik bersama pengacara Hadianto, Andari memuaskan nafsu belanjanya yang jarang ia rasakan. Tinggal di kabupaten kecil tanpa mall ternyata sungguh menyiksa batin Andari. Saat melihat berbagai baju, tas dan sepatu branded terpajang di etalase toko, ia merasa sungguh wanita. Dengan uang yang diberikan ibunya, hari ini Andari belanja segala benda yang ia impikan.Nyonya Artiyah melotot murka saat melihat belanjaan putrinya. Puluhan paper bag merk ternama yang terkenal mahal dibawa masuk Andari ke kamar hotel."Kau pikir Ibu dapat uangnya dari mencetak sendiri?" Bentak Nyonya Artiyah. Andari menatap cuek."Kan gak setiap hari aku bisa belanja begini Ibu! Biasanya kalau ingin baju baru, aku cuma beli ke pasar Sidowarno. Di toko Koh Aseng. Modelnya ndeso! Ini baju-baju dari mall Jakarta lho, Ibu! Kalau aku pakai i
Mobil hitam itu dipacu kencang. Pengendaranya seorang lelaki muda berparas elok, Radi. Matahari siang tepat ada di atas kepala, menebar terik menyengat ke setiap benda di planet Bumi yang menghadap ke arahnya. Radi terburu waktu. Baru saja Andari mengirimkan pesan padanya lewat aplikasi hijau bahwa ia dan ibunya sedang packing untuk pulang. Mereka mungkin sampai di terminal kabupaten sekitar jam dua dinihari nanti. Andari meminta Pak Tanu, supir mereka, menjemput ke terminal. Radi menyelesaikan pekerjaannya secepat ia bisa. Meninjau sawah luas di desa Karangsuci bersama Pak Tanu lalu setelah semua rampung, Radi meminta Pak Tanu duduk di kursi sebelah supir, ia sendiri memegang kemudi mobil. Radi tahu Pak Tanu tidak akan mau ngebut bahkan walaupun disuruh, jadi dia memaksa mengendarai mobil itu menuju pusat desa Karangsuci. "Pelan sedikit, Pak Radi!" Pak Tanu berpegangan ke atas jendela, wajahnya pucat. Radi tersenyum kecut. "Saya memburu waktu, Pak. Bapak tahu sendiri nanti mal
Mata Nyonya Artiyah menatap tajam menantunya dari atas ke bawah berkali-kali. Radi berusaha tersenyum semanis mungkin tapi sang Nyonya tetap berwajah kaku padanya. Andari memeluk pinggang Radi dengan mesra."Aku kangen padamu, Mas," kata Andari lembut. Radi menatap wajah istrinya, masih dengan senyum manis. Nyonya Artiyah memperhatikan bahwa Radi tidak menjawab ungkapan kerinduan dari istrinya tadi.Ia bahkan sudah merasa tidak perlu lagi berpura-pura jadi suami yang baik di depanku, gumam Nyonya dalam hati."Ayo masuk, Ibu," kata Radi. Ia berjalan pincang dengan kaki kanan terbalut perban dari jari kaki hingga pergelangan. Andari tetap merangkul pinggang Radi dan menuntunnya sampai ke pintu kamar. Nyonya Artiyah dihampiri seorang pembantu, Neneng."Mau makan malam atau tidak, Nyonya?""Tidak. Kami sudah makan tadi di jalan. Bawakan koper-koper itu ke dalam ruang kerja. Biarkan tumpuk saja di sana. Aku yang akan bereskan besok pagi." Nyonya menatap Neneng, sang pembantu mengangguk sop
Mata Radi menatap tajam pemuda usia awal dua puluhan yang berdiri di depannya."Namamu siapa tadi?" Tanya Radi."Danar, Pak," sahut si pemuda. "Saya dari desa Karangasih.""Nyonya menerima lamaran kerjamu jadi supirku? Kapan?""Kemarin malam, Pak. Sekitar jam delapan malam saya dipanggil lewat telepon agar hari ini mulai bekerja sebagai supir Pak Radi."Radi mengernyitkan kening. Apa-apaan ini? Baru saja ia keluar rumah hendak pergi kerja. Di halaman sudah menunggu mobilnya yang biasa ia pakai meninjau persawahan dan pemancingan. Bukan Pak Tanu yang menyambutnya di sebelah mobil, tapi si Danar ini."Saya sudah ada supir. Mungkin Ibu butuh kamu untuk supir beliau pribadi.""Tidak, Pak. Nyonya Artiyah jelas meminta saya bekerja jadi supir Bapak." Danar bersikeras. Radi akhirnya tahu bahwa tak ada gunanya ia mendebat Danar."Kamu tahu kemana Pak Tanu?" Tanya Radi."Pak Tanu mengundurkan diri. Dia mau ikut anaknya yang di Surabaya. Mulai hari ini Danar yang jadi supirmu." Suara Nyonya Art
Bu Risanah menatap Radi dengan mata sayu sembab. Istri Pak Tanu itu belum bisa menghentikan isak tangisnya."Suami saya salah apa, Agan Radi? Dimana dia sekarang?" Ratap Bu Risanah. Radi diam menunduk. Ia tahu ini semua salahnya. Pak Tanu hanyalah abdi yang menjalankan perintah. Karena rumahnya cukup jauh dari rumah Ashwabima, Pak Tanu mengontrak sebuah kamar di desa Karangsena, dekat dengan rumah majikannya. Pak Tanu tidak mau tinggal di rumah besar itu, entah karena apa. Seminggu sekali Pak Tanu pulang ke rumah keluarganya di desa Karangsetu, menemui istri dan tiga orang cucunya. Pak Tanu dan Bu Risanah punya satu anak perempuan yang berstatus single parent dan kini merantau ke Saudi, menitipkan tiga anak kecil di rumah sang nenek."Berarti Bapak tidak punya anak atau cucu di Surabaya kan, Bu?" Radi menegaskan lagi. Bu Risanah menggelengkan kepala."Tidak ada, Agan. Anak yang mana lagi? Anak kami cuma Siti Maisaroh saja, dia sudah dua tahun berangkat ke Saudi Arabia. Suaminya sudah
Setelah mengembalikan Bu Idah ke rumah pemancingan, Radi duduk sebentar menunggu Danar menjemput. Ia mencerna semua cerita yang didapatnya hari ini. Radi belum mendapatkan bukti nyata yang bisa menjerat pelakunya. Buktinya hanya ada dalam pikiran Radi sendiri. Satu hal yang melegakan Radi adalah kemungkinan Kinanti masih hidup walau mungkin teraniaya oleh penculiknya. Kinanti tidak meninggal terbawa arus laut, itu saja cukup melegakan hatinya.Jam empat sore Danar menelepon, ia sudah sampai di parkiran Segarabima. Radi keluar menghampiri mobilnya."Nyonya tahu aku ke Karangsuci, kan?" Tanya Radi sesaat setelah ia duduk dalam mobil. Danar meliriknya."Saya tidak tahu, Pak," jawab si supir. Radi tersenyum sinis."Tidak usah pura-pura, Danar. Aku tahu kenapa kamu ada di sini. Kamu diperintah Nyonya untuk mengawasiku. Satu yang aku harapkan dari kalian adalah semoga Pak Tanu hanya kalian pecat saja, tidak sampai dilukai. Kalau sampai aku tahu Pak Tanu terluka karena kalian, kau yang akan
Kantor Polsek Karangjati tampak lengang. Radi keluar dari tempat itu sendirian. Langkahnya tergesa. Seperti biasa, ia meninggalkan Danar di pesawahan desa Karangsuci. Radi pergi ke Polsek kecamatan naik ojek motor. Ia tidak peduli apakah Danar tahu dan melaporkan nya pada Nyonya ataukah benar-benar cuek main handphone di mobil. Supir unik itu hanya bekerja menyetir saja, tidak melakukan hal lain. Membantu mengangkat barang bawaan ke bagasi mobil pun harus dipaksa dulu oleh sang majikan. Saat mengawal Radi bekerja, Pak Tanu ikut turun dari mobil, menyertai Radi memeriksa tanaman di sawah dan mengunjungi rumah-rumah petani penggarap untuk mendengarkan keluhan mereka. Lain halnya dengan Danar. Pemuda itu hanya diam mendengarkan musik handphone di dalam mobil dingin ber-AC, tidak sekalipun pernah turun menemani tuannya bekerja. Namun Radi tidak pernah protes, ia malah diuntungkan dengan kemalasan sang supir. Seperti hari ini contohnya.Pak Tanu sudah menghilang selama dua hari. Radi melap
Perempuan berusia enam puluhan di hadapan Radi siap bercerita. Radi menatap neneknya itu dengan antusias."Jangan menyela ceritaku nanti, nak. Otakku yang tua sudah susah disuruh menyusun kejadian secara rinci. Dengarkan sajalah apa yang akan nenek katakan padamu," kata Bu Waidah. Radi menganggukkan kepalanya."Iya, Nek. Aku mendengarkan.""Cerita ini akan panjang. Bagaimana kalau melebihi waktu yang kau punya untuk pergi ke sini tanpa izin Nyonya Ashwabima?""Kalau perlu malam ini aku akan menginap di sini, Nek."Bu Waidah menatap cucunya. Ia ingat saat terakhir bertemu Wikan, putri tunggalnya. Saat itu Wikan menggendong Radi yang masih bayi, berpamitan padanya untuk pergi ke rumah Ashwabima. Wikan tidak pernah kembali pulang ke Karangsuci. Hanya kabar kematiannya yang diterima oleh Bu Waidah."Orangtuamu adalah orang-orang lugu, cucuku. Mereka tidak punya prasangka buruk bahkan pada keluarga Ashwabima yang durjana itu. Ibu dan bapakmu masuk ke lingkungan mengerikan itu tanpa berpiki
Rumah nyaman dan hidup tenang adalah dambaan semua manusia. Radi sudah memilikinya sekarang. Setelah apa yang ia lalui, Radi ini bisa mengatakan bahwa dirinya bahagia.Suasana sore di teras rumah selalu jadi favorit Radi dan Nenek Waidah. Mereka duduk di kursi teras, menghadapi kebun mawar dan jalanan kompleks di depan rumah. Kebun mawar di halaman adalah mahakarya Nenek. Terdiri dari lima kotak area taman, setiap kotak berisi belasan pohon mawar sewarna. Ada merah, kuning, putih, merah muda dan ungu. Ya, mawar ungu. Indahnya jangan diragukan lagi. Di halaman belakang, Nenek juga membuat kebun tanaman herbal. Desain dalam rumah ditangani oleh Radi. Ia mengutamakan fasilitas difabel senyaman mungkin. Kinanti bisa bergerak bebas dan melakukan semua kegiatan dengan mandiri di dalam rumah."Nenek kadang ingin ibumu bangkit lagi dan bersama kita di sini, Rad. Ibu Wikan, tentu, bukan Ibu Artiyah," kata Nenek sambil menyesap teh tawar hangat. Radi tertawa."Ibu sudah bahagia di sana, Nek. Le
Radi berdiri tegap di hadapan Andari. Wajah tampannya yang biasanya lembut menatap kini berubah merah padam dan penuh kemarahan. Andari perlahan berdiri lagi, berhadapan dengan Radi."Mas, kamu ... kapan masuk ke sini?""Cukup lama sampai aku dengar semua pengakuanmu dan sempat merekamnya dalam handphone. Pengakuan luar biasa, Ndari. Aku kaget. Sungguh, aku kaget!""Mas, ini ... ini salah paham, begini, maksudku ...." Andari berjalan mendekati suaminya. Radi mundur tiga langkah menjauh."Aku sudah dengar semuanya, Ndari. Bukan dari orang lain tapi dari mulutmu sendiri. Aku tidak menyangka kau sekejam itu.""Aku iri pada Mbak Kinan, Mas!!" Andari mendadak berteriak. Ia maju mendekati Radi dan mencoba memeluknya. Radi mendorong tubuh istrinya."Aku tidak mau punya istri sekejam kau, Ndari. Aku talak kau sekarang, di sini. Aku akan urus surat cerainya secepat yang aku bisa!""Mas! Tidak, Mas! Jangan ceraikan aku! Aku cinta padamu!"Radi memicingkan mata, kepalanya menggeleng."Aku sedang
Kinanti belum menunjukkan pertanda baik. Hidupnya masih bergantung pada segala macam kabel dan mesin yang mengelilinginya. Ia dipindah ke ruang rawat kelas satu, tidak lagi di ICU. Keluarga boleh menjenguk dan menunggui di dalam kamar, hanya satu orang saja. Tentu Radi yang mengambil tugas itu.Empat malam sudah Andari sendiri lagi di kamar. Kesunyian menemani tidurnya yang selalu bersimbah air mata. Ia ingin menahan cemburunya tapi tidak bisa. Kenyataan bahwa Radi memilih bermalam di kamar rumah sakit yang dingin daripada menemaninya tidur di ranjang hangat, sudah menyatakan bagaimana perasaan suaminya itu.Andari menghabiskan malamnya dengan berandai-andai dan mengobrol lewat chat online dengan Widia, temannya sejak di SMA.Bu Waidah mengambil tugas mengomando asisten rumah tangga dan pekerja di kebun. Di tangan nenek lembut hati itu, rumah Ashwabima berubah menjadi lebih nyaman. Bu Waidah, atas izin Radi, memerintah beberapa orang pekerja di peternakan sapi untuk membabat semak be
Kamar tidur mewah itu sepi walaupun ada dua orang sedang berbaring di atas ranjang. Radi dan Andari sudah dua hari tidak saling bicara. Sebenarnya hanya Andari saja yang diam, Radi tetap seperti biasa, bicara biasa, namun Andari tidak menjawab satu kata pun."Ndari,"Radi menutup buku yang sedang dibacanya lalu menoleh ke wajah Andari. Istrinya itu diam sambil terus menatap layar handphone."Aku tidak mau seperti ini terus, Ndari. Katakan apa maumu. Apa aku berbuat kesalahan?" Radi mengambil handphone di tangan Andari. Wanita berambut panjang itu merebut kembali teleponnya tanpa bicara. "Aku tahu, ini tentang Kinan, kan?"Radi menghela nafas panjang. Ia merasa sulit mengerti dimana letak kesalahannya. Pada akhirnya ia pulang dan menyerahkan penjagaan serta perawatan Kinan pada perawat. Selain menyadari bahwa ucapan Andari benar soal kesehatannya sendiri, Radi juga paham kecemburuan istrinya. Ternyata Andari sudah terlanjur marah."Aku minta maaf, Ndari." Radi mendekati wajah Andari,
Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka
Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu