Andari memejamkan matanya. Tubuh wanita cantik itu terasa luar biasa pegal. Seharian ia berkelana di mall-mall Jakarta. Sementara ibunya, Nyonya Artiyah, mengurus bisnis pembelian butik bersama pengacara Hadianto, Andari memuaskan nafsu belanjanya yang jarang ia rasakan. Tinggal di kabupaten kecil tanpa mall ternyata sungguh menyiksa batin Andari. Saat melihat berbagai baju, tas dan sepatu branded terpajang di etalase toko, ia merasa sungguh wanita. Dengan uang yang diberikan ibunya, hari ini Andari belanja segala benda yang ia impikan.
Nyonya Artiyah melotot murka saat melihat belanjaan putrinya. Puluhan paper bag merk ternama yang terkenal mahal dibawa masuk Andari ke kamar hotel. "Kau pikir Ibu dapat uangnya dari mencetak sendiri?" Bentak Nyonya Artiyah. Andari menatap cuek. "Kan gak setiap hari aku bisa belanja begini Ibu! Biasanya kalau ingin baju baru, aku cuma beli ke pasar Sidowarno. Di toko Koh Aseng. Modelnya ndeso! Ini baju-baju dari mall Jakarta lho, Ibu! Kalau aku pakai ini di desa nanti, semua mata akan memandangku dan bilang, wah cantiknya putri Ashwabima! Kan, Ibu juga yang bangga!" "Pintar sekali kau jawab omongan orangtua!" Pukul sebelas malam. Andari tidur berdampingan dengan ibundanya. Nyonya Artiyah masih duduk bersandar ke kepala tempat tidur, mempelajari beberapa dokumen. Wanita yang masih tampak muda itu menoleh ke arah putrinya. "Ndari...Andari...." "Apa, Bu? Aku ngantuk," sahut Andari, matanya terpejam. "Kau sudah telepon suamimu?" "Belum. Besok kan kita pulang, gak usah telepon juga gak apa-apa." "Kau lihat sendiri luka di kaki Radi?" "Tidak. Kan diperban, ya gak kelihatan lah." Nyonya Artiyah menepuk dahi Andari. "Maksud Ibu, kau tidak membantunya ganti perban?" "Enggak, Bu. Mas Radi melakukannya sendiri." Nyonya mengangguk-angguk sendiri. Tentu saja Radi tidak mau dibantu. Tidak ada luka di kaki itu. Nyonya sudah menelepon Mang Arman, si penjaga gerbang itu juga bilang Radi hari ini berjalan biasa saja, kakinya tidak diperban. Nyonya Artiyah tahu bahwa ia harus mulai hati-hati pada menantunya. Radi bukan orang bodoh. Lelaki bertubuh tinggi atletis itu memang patuh total terhadapnya. Namun Nyonya tidak tahu apa yang ada di dalam hati Radi. Terbukti Radi mulai mencari tahu hal-hal yang semula ia anggap biasa. Entah sejak kapan Radi mulai merasa keberadaan gubuk tua di kebun belakang rumah sebagai suatu gangguan yang perlu diselidiki. Gubuk itu tidak terlihat dari depan kamar mandi. Perlu masuk lebih dalam ke kebun luas itu agar bisa melihat adanya sebuah gubuk di sana. Semula gubuk itu dibangun sebagai kandang ayam milik Tuan Nendra. Sebuah ide brilian muncul begitu saja di kepala lelaki tua itu tentang memelihara ayam petelur. Ia bermaksud menjadikannya bisnis besar. Mang Arman direkrut sebagai kepala operasional kandang ayam. Gelombang pertama kedatangan ratusan ayam petelur dirasakan Tuan Nendra sebagai firasat kesuksesannya. Ternyata hampir separuh ayam-ayam itu mati kena penyakit. Disusul oleh sisanya setelah bertelur. Telurnya pun jelek kualitasnya. Tidak layak jual. Bisnis telur ayam yang baru dirintis itu langsung bubar. Nyonya menyarankan agar Tuan mencoba lagi dari awal tapi Tuan tidak lagi berminat pada ayam. Tuan Nendra mengadu untung lagi di bisnis sapi. Saat itulah Jenar masuk ke dalam lingkungan keluarga Ashwabima. Lelaki desa yang biasa disuruh mencari rumput untuk pakan ternak oleh para tetangganya, direkrut oleh keluarga Ashwabima sebagai tukang cari rumput untuk dua puluh ekor sapi di peternakan Tuan Nendra. Jenar pandai memilih rumput yang bagus untuk pakan sapi. Ternak peliharaan Tuan Nendra itu gemuk-gemuk. Penjualan pertama sukses besar, bisnis keluarga Ashwabima mendapat untung besar. Sepuluh orang tukang cari rumput dan pemelihara sapi bahkan mendapat bonus uang berjumlah sangat besar. Jenar menggunakan uangnya untuk membeli rumah kecil dekat rumah Ashwabima. Tujuannya agar ia dekat dengan juragan dan sapi peliharaannya. Isti Jenar, Wikan, ikut tinggal di rumah baru mereka, meninggalkan rumah reyot mereka di desa Karangsuci. Nyonya Artiyah tidak sanggup membayangkan kembali apa yang terjadi kemudian akibat dari kesuksesan bisnis sapi itu. Hidupnya hancur seperti rumah tangganya. Ah! Nyonya menepuk dahinya sendiri agar lamunannya terputus. "Ndari," "Apa lagi, Bu?" "Buka matamu." Andari menuruti perintah ibunya. Ia lalu ikut duduk berhadapan dengan Nyonya Artiyah. "Ibu kenapa gak tidur? Ini sudah malam, Bu." "Mana surat hasil periksa kesuburanmu dan Radi? Kalian sudah ke dokter Surya, kan?" Andari kaget. Sejenak ia gugup. Jarinya menarik-narik ujung rambut panjangnya yang lurus. "Kami belum kesana, Bu," sahut Andari lirih. "Sudah aku duga!" Bentak Nyonya Artiyah. "Apa susahnya sih kalian menemui dokter Surya? Ibu yang bayar biayanya!" "Masalah kami bukan di kesuburan, Ibu." "Lalu?" Andari menghela nafas berat. Hatinya pedih dan terluka setiap membahas soal anak seperti ini. "Aku masih perawan, Bu." Andari berkata lirih, namun membuat ibunya sangat terkejut. "Apa maksudmu?" "Mas Radi belum pernah menyentuhku sejak kami menikah. Tidak pernah satu kali pun. Jangankan bercampur sebagaimana suami istri, membelai rambutku atau memegang tanganku juga belum pernah. Bagaimana aku bisa hamil?" Nyonya Artiyah terperangah kaget. Ia tidak menyangka Radi tega memperlakukan putrinya seperti itu. Kurang cantik apa Andari? Tubuhnya montok padat, pinggangnya bagai gitar. Rambutnya hitam panjang lembut sepunggung. Kulitnya bersih cerah. Kurang ajar kau Radi, gumam Nyonya Artiyah dalam hati. "Kau kurang mendekatinya, Ndari." "Aku bahkan pernah tampil polos di hadapannya, Ibu! Menatapku pun dia tidak mau!" Nyonya Artiyah menghela nafas yang menyesakkan dadanya. Ia sungguh tidak menyangka Radi membalasnya lewat Andari! Sang pemilik bisnis Ashwabima itu ingat saat Kinanti mengatakan padanya suatu hal. "Ibu, Mas Radi bilang mau melamarku." "Apa? Radi melamarmu? Bagaimana bisa? Dia kakakmu, Kinan!" "Bukan kakak kandung toh, Bu? Kemarin Mas Radi bilang gitu padaku. Dia mencintaiku dan mau melamarku pada Ibu. Diterima ya, Bu?" Kinanti menatap Nyonya dengan pipi merona merah. Nyonya Artiyah mendengus. "Tidak boleh. Radi memang sudah aku anggap anak. Sejak kecil aku yang mengasuhnya. Dia tetap anak babu, Kinan. Bukan kelas kita!" "Kenapa begitu, Ibu? Aku juga mencintainya." Kalimat itu semakin membuat Nyonya naik pitam. Ia tampar wajah Kinanti. Gadis itu terkejut bukan kepalang "Jangan pernah katakan kau mencintai Radi! Kalian tidak boleh berjodoh!" Bentak Nyonya. Kinanti menangis. "Kenapa, Bu?" Karena Andari yang akan jadi istrinya, kata Nyonya Artiyah dalam hati saat itu. Andari bilang padanya kalau ia mencintai Radi. Andari ingin menikah dengannya. Nyonya mengiyakan apa yang diinginkan Andari itu. Kenapa jadi Kinanti dan Radi yang saling mencintai? Bayangan masa lalu itu berkelebatan di ingatan Nyonya Artiyah. Mendesaknya dan mendakwanya. Ternyata Radi membalasnya dengan sangat kejam lewat Andari. Menikah dua tahun tapi masih perawan? Begitu bencinya kah Radi pada Andari? Sebenarnya Andari adalah satu-satunya alasan kenapa Radi masih ia biarkan hidup sampai sekarang. Bahkan ia anggap sebagai anak hingga membiayainya sedemikian rupa hingga sarjana dan bahkan menjadikannya ahli waris utama kerajaan bisnis Ashwabima. Hanya Andari alasannya! Andai Andari tidak mencintai Radi, lelaki itu sudah binasa sejak dulu. "Minta cerai saja lah kau pada Radi." Nyonya Artiyah mengusap rambut putrinya. Andari kaget lagi. "Tidak, Bu! Tidak akan! Biar saja Mas Radi tidak mencintaiku sekarang Aku mencintainya! Tidak apa-apa dia tidak menyentuhku sekarang. Aku yakin suatu hari Mas Radi akan luluh pada perhatianku, Bu. Dia akan balas mencintaiku." "Kapan itu, Nak?" "Sebentar lagi. Ibu yakin saja padaku, Bu." "Bilang segera pada Ibu kalau Radi sampai menyakitimu, Ndari. Jangan kau simpan sendiri. Ibu sayang padamu. Ibu ingin kau bahagia." Andari memeluk ibunya. Air matanya membasahi pipi. Baru kali ini ia punya kesempatan bicara dari hati ke hati dengan ibunya. Perjalanan ke ibukota ternyata membawa hikmah untuknya. Andari lega sudah mencurahkan beban perasaannya pada sang ibunda. Dalam hati Nyonya Artiyah, kebenciannya pada Radi dan Kinanti semakin membubung tinggi. Juga pada Wikan dan Jenar. Orang-orang yang sudah menghancurkan kebahagiaannya. Tunggu saja saatnya, kalian akan aku binasakan, bisik hati Nyonya Artiyah, sebagaimana aku melenyapkan Nendra lelaki tak berguna itu!Mobil hitam itu dipacu kencang. Pengendaranya seorang lelaki muda berparas elok, Radi. Matahari siang tepat ada di atas kepala, menebar terik menyengat ke setiap benda di planet Bumi yang menghadap ke arahnya. Radi terburu waktu. Baru saja Andari mengirimkan pesan padanya lewat aplikasi hijau bahwa ia dan ibunya sedang packing untuk pulang. Mereka mungkin sampai di terminal kabupaten sekitar jam dua dinihari nanti. Andari meminta Pak Tanu, supir mereka, menjemput ke terminal. Radi menyelesaikan pekerjaannya secepat ia bisa. Meninjau sawah luas di desa Karangsuci bersama Pak Tanu lalu setelah semua rampung, Radi meminta Pak Tanu duduk di kursi sebelah supir, ia sendiri memegang kemudi mobil. Radi tahu Pak Tanu tidak akan mau ngebut bahkan walaupun disuruh, jadi dia memaksa mengendarai mobil itu menuju pusat desa Karangsuci. "Pelan sedikit, Pak Radi!" Pak Tanu berpegangan ke atas jendela, wajahnya pucat. Radi tersenyum kecut. "Saya memburu waktu, Pak. Bapak tahu sendiri nanti mal
Mata Nyonya Artiyah menatap tajam menantunya dari atas ke bawah berkali-kali. Radi berusaha tersenyum semanis mungkin tapi sang Nyonya tetap berwajah kaku padanya. Andari memeluk pinggang Radi dengan mesra."Aku kangen padamu, Mas," kata Andari lembut. Radi menatap wajah istrinya, masih dengan senyum manis. Nyonya Artiyah memperhatikan bahwa Radi tidak menjawab ungkapan kerinduan dari istrinya tadi.Ia bahkan sudah merasa tidak perlu lagi berpura-pura jadi suami yang baik di depanku, gumam Nyonya dalam hati."Ayo masuk, Ibu," kata Radi. Ia berjalan pincang dengan kaki kanan terbalut perban dari jari kaki hingga pergelangan. Andari tetap merangkul pinggang Radi dan menuntunnya sampai ke pintu kamar. Nyonya Artiyah dihampiri seorang pembantu, Neneng."Mau makan malam atau tidak, Nyonya?""Tidak. Kami sudah makan tadi di jalan. Bawakan koper-koper itu ke dalam ruang kerja. Biarkan tumpuk saja di sana. Aku yang akan bereskan besok pagi." Nyonya menatap Neneng, sang pembantu mengangguk sop
Mata Radi menatap tajam pemuda usia awal dua puluhan yang berdiri di depannya."Namamu siapa tadi?" Tanya Radi."Danar, Pak," sahut si pemuda. "Saya dari desa Karangasih.""Nyonya menerima lamaran kerjamu jadi supirku? Kapan?""Kemarin malam, Pak. Sekitar jam delapan malam saya dipanggil lewat telepon agar hari ini mulai bekerja sebagai supir Pak Radi."Radi mengernyitkan kening. Apa-apaan ini? Baru saja ia keluar rumah hendak pergi kerja. Di halaman sudah menunggu mobilnya yang biasa ia pakai meninjau persawahan dan pemancingan. Bukan Pak Tanu yang menyambutnya di sebelah mobil, tapi si Danar ini."Saya sudah ada supir. Mungkin Ibu butuh kamu untuk supir beliau pribadi.""Tidak, Pak. Nyonya Artiyah jelas meminta saya bekerja jadi supir Bapak." Danar bersikeras. Radi akhirnya tahu bahwa tak ada gunanya ia mendebat Danar."Kamu tahu kemana Pak Tanu?" Tanya Radi."Pak Tanu mengundurkan diri. Dia mau ikut anaknya yang di Surabaya. Mulai hari ini Danar yang jadi supirmu." Suara Nyonya Art
Bu Risanah menatap Radi dengan mata sayu sembab. Istri Pak Tanu itu belum bisa menghentikan isak tangisnya."Suami saya salah apa, Agan Radi? Dimana dia sekarang?" Ratap Bu Risanah. Radi diam menunduk. Ia tahu ini semua salahnya. Pak Tanu hanyalah abdi yang menjalankan perintah. Karena rumahnya cukup jauh dari rumah Ashwabima, Pak Tanu mengontrak sebuah kamar di desa Karangsena, dekat dengan rumah majikannya. Pak Tanu tidak mau tinggal di rumah besar itu, entah karena apa. Seminggu sekali Pak Tanu pulang ke rumah keluarganya di desa Karangsetu, menemui istri dan tiga orang cucunya. Pak Tanu dan Bu Risanah punya satu anak perempuan yang berstatus single parent dan kini merantau ke Saudi, menitipkan tiga anak kecil di rumah sang nenek."Berarti Bapak tidak punya anak atau cucu di Surabaya kan, Bu?" Radi menegaskan lagi. Bu Risanah menggelengkan kepala."Tidak ada, Agan. Anak yang mana lagi? Anak kami cuma Siti Maisaroh saja, dia sudah dua tahun berangkat ke Saudi Arabia. Suaminya sudah
Setelah mengembalikan Bu Idah ke rumah pemancingan, Radi duduk sebentar menunggu Danar menjemput. Ia mencerna semua cerita yang didapatnya hari ini. Radi belum mendapatkan bukti nyata yang bisa menjerat pelakunya. Buktinya hanya ada dalam pikiran Radi sendiri. Satu hal yang melegakan Radi adalah kemungkinan Kinanti masih hidup walau mungkin teraniaya oleh penculiknya. Kinanti tidak meninggal terbawa arus laut, itu saja cukup melegakan hatinya.Jam empat sore Danar menelepon, ia sudah sampai di parkiran Segarabima. Radi keluar menghampiri mobilnya."Nyonya tahu aku ke Karangsuci, kan?" Tanya Radi sesaat setelah ia duduk dalam mobil. Danar meliriknya."Saya tidak tahu, Pak," jawab si supir. Radi tersenyum sinis."Tidak usah pura-pura, Danar. Aku tahu kenapa kamu ada di sini. Kamu diperintah Nyonya untuk mengawasiku. Satu yang aku harapkan dari kalian adalah semoga Pak Tanu hanya kalian pecat saja, tidak sampai dilukai. Kalau sampai aku tahu Pak Tanu terluka karena kalian, kau yang akan
Kantor Polsek Karangjati tampak lengang. Radi keluar dari tempat itu sendirian. Langkahnya tergesa. Seperti biasa, ia meninggalkan Danar di pesawahan desa Karangsuci. Radi pergi ke Polsek kecamatan naik ojek motor. Ia tidak peduli apakah Danar tahu dan melaporkan nya pada Nyonya ataukah benar-benar cuek main handphone di mobil. Supir unik itu hanya bekerja menyetir saja, tidak melakukan hal lain. Membantu mengangkat barang bawaan ke bagasi mobil pun harus dipaksa dulu oleh sang majikan. Saat mengawal Radi bekerja, Pak Tanu ikut turun dari mobil, menyertai Radi memeriksa tanaman di sawah dan mengunjungi rumah-rumah petani penggarap untuk mendengarkan keluhan mereka. Lain halnya dengan Danar. Pemuda itu hanya diam mendengarkan musik handphone di dalam mobil dingin ber-AC, tidak sekalipun pernah turun menemani tuannya bekerja. Namun Radi tidak pernah protes, ia malah diuntungkan dengan kemalasan sang supir. Seperti hari ini contohnya.Pak Tanu sudah menghilang selama dua hari. Radi melap
Perempuan berusia enam puluhan di hadapan Radi siap bercerita. Radi menatap neneknya itu dengan antusias."Jangan menyela ceritaku nanti, nak. Otakku yang tua sudah susah disuruh menyusun kejadian secara rinci. Dengarkan sajalah apa yang akan nenek katakan padamu," kata Bu Waidah. Radi menganggukkan kepalanya."Iya, Nek. Aku mendengarkan.""Cerita ini akan panjang. Bagaimana kalau melebihi waktu yang kau punya untuk pergi ke sini tanpa izin Nyonya Ashwabima?""Kalau perlu malam ini aku akan menginap di sini, Nek."Bu Waidah menatap cucunya. Ia ingat saat terakhir bertemu Wikan, putri tunggalnya. Saat itu Wikan menggendong Radi yang masih bayi, berpamitan padanya untuk pergi ke rumah Ashwabima. Wikan tidak pernah kembali pulang ke Karangsuci. Hanya kabar kematiannya yang diterima oleh Bu Waidah."Orangtuamu adalah orang-orang lugu, cucuku. Mereka tidak punya prasangka buruk bahkan pada keluarga Ashwabima yang durjana itu. Ibu dan bapakmu masuk ke lingkungan mengerikan itu tanpa berpiki
Radi kaget luar biasa. Wajahnya tegang. Bu Waidah mengusap air mata yang membanjiri pipinya."Kuatkan hatimu, Radi. Yang terjadi selanjutnya sangat mengerikan. Berpuluh tahun aku menyimpan kisah ini sendirian. Lapor polisi, pernah aku lakukan. Polisi malah menuduhku memfitnah Tuan Ashwabima. Pamong desa juga takut pada orang kaya itu. Bahkan setelah warga desa tahu anak dan menantuku tewas di tangan keluarga Ashwabima, tetap tidak ada yang berani mendukungku. Nyonya Ashwabima yang terhormat itu memberiku uang duka lima juta Rupiah tapi aku tolak. Akhirnya aku hanya bisa diam meratapi nasib anak dan menantuku.""Lanjutkan ceritanya, Nek." Suara Radi bergetar.*****Siang itu Tuan Nendra ditemani Mang Arman mendatangi rumah Jenar. Tuan Nendra ingin menyuruh Jenar menggali tanah untuk membuat pupuk kandang. Sejak pagi Jenar tidak ada di peternakan. Tuan mengira Jenar tidak masuk kerja.Wikan yang membuka pintu. Pandangannya bertemu dengan mata Tuan Nendra. Wanita sederhana itu menundukka