Pukul dua belas tiga puluh dinihari rumah Ashwabima sepi dan gelap. Sejak ada seseorang di kolong ranjangnya, Nyonya Artiyah tidak pernah bisa tidur nyenyak. Orang di bawah sana selalu terisak menangis atau menghela nafas kuat-kuat. Nyonya berkali-kali memukulkan tongkat rotan ke arah kolong ranjang untuk menyuruhnya diam tapi orang itu hanya diam sebentar lalu menangis lagi.Nyonya Artiyah harus mengakui bahwa tawanannya itu sangat kuat. Bagaimana tidak, sudah hampir tiga tahun dia diikat dan diberi makan sekadarnya tapi tetap hidup. Sebelum Radi mulai bertanya soal rumah belakang, Nyonya mengikat tawanan itu di dipan dalam rumah kandang ayam di belakang. Siang malam terikat dan terpasung tanpa diberi cahaya lampu sedikitpun. Nyonya berharap orang itu mati dengan sendirinya tapi harapannya mulai pupus seiring waktu, orang itu tetap hidup dan meneror batin Nyonya.Bunyi alarm handphone bernyanyi, tepat pukul satu. Nyonya beranjak turun dari ranjang. Ia memakai sweater tebal dari kapst
Matahari belum muncul di ufuk timur, Andari memacu motor maticnya memasuki desa Karangsuci. Ia tidak bisa lagi menunggu hari terang. Semalam ia memaksa Radi segera share loc dimana menginapnya. Ucapan ibunya terngiang terus. Pastikan kalau Radi tidak tidur di rumah selingkuhan!Motor warna hitam milik Andari Ashwabima berhenti di halaman Balai Desa Karangsuci. Ia turun dan berjalan ke rumah di sebelah kiri kantor aparat itu. Rumah bergaya Jawa kuno dengan cat hijau tua di hadapannya masih tertutup rapat. Andari mengetuknya sambil mengucap salam.Radi membuka pintu. Setelah melihat siapa yang datang, ia merengkuh Andari ke dalam pelukannya dan diciuminya kening sang istri. Andari jelas saja bingung melihat sikap Radi. Suaminya itu mengajak duduk di kursi ruang tamu."Ini rumah siapa, Mas? Kamu lagi apa di sini sampai tega ninggalin aku tidur sendirian?""Ini rumah Nenek Waidah, nenek kandungku, Ndari.""Nenekmu, Mas?""Nenek Waidah ini ibu kandung Bu Wikan, ibuku. Aku baru tahu tentang
Para pekerja di dapur merasa tertekan beberapa hari ini. Semua yang mereka sajikan selalu salah di mata Nyonya Artiyah. Perabot dapur beberapa kali diturunkan semua ke bak cuci karena Nyonya menemukan secuil noda minyak tertinggal di sebuah piring yang selesai dicuci. Menu yang diminta Nyonya selalu masakan yang sulit dicari bahannya dan sulit diolah tapi setelah matang dan disajikan tidak disentuhnya sedikitpun. Sunarsih selaku yang paling senior di dapur, merasakan ada yang tidak beres.Suatu malam saat Sunarsih akan berbaring untuk tidur di ranjang rumahnya, Radi menelepon. Sang tuan muda memintanya mengundurkan diri esok hari."Memangnya apa yang terjadi, Agan? Kenapa saya harus keluar dari pekerjaan itu? Saya sudah bekerja dua puluh tahun lebih di rumah Nyonya Ashwabima. Apakah hasil kerja saya mengecewakan?" tanya Sunarsih. Ia takut kalau-kalau majikannya merasa tidak puas padanya."Tidak, Mbak Narsih. Mbak bekerja dengan sangat baik dan memuaskan. Saya meminta Mbak Narsih secep
Rumah Hadianto ada di kota kecamatan Karangjati. Kecamatan yang melingkupi lima desa besar, Karangsena, Karangsuci, Karangjati, Karangasih dan Karangsetu. Pengacara itu punya rumah yang asri. Hadianto adalah satu dari tiga pengacara yang ada di lingkup kecamatan Karangjati. Kesadaran hukum masyarakat sekitar masih sangat rendah sehingga profesi pengacara dan notaris di daerah itu seakan tidak dianggap. Sering terjadi berbagai perkara kriminal namun jarang ada warga yang melibatkan polisi. Warga lebih sering pakai jalan damai. Tuan tanah dan hartawan kelas lokal masih bisa bertindak sewenang-wenang terhadap lingkungan sekitarnya.Keluarga Ashwabima adalah salah satu keluarga kaya yang berpengaruh di wilayah kecamatan Karangjati. Tanah milik mereka tersebar di banyak desa. Pabrik pakan ternak, rumah pemancingan, sawah garapan, peternakan sapi perah dan sapi pedaging, pabrik olahan susu serta beberapa rumah makan mereka miliki. Tak heran, kelimpahan uang mengalir tanpa henti ke rekening
Pintu kamar Nyonya Artiyah terbuka lebar. Bau busuk menguar bercampur dengan aroma pengharum ruangan yang sia-sia. Ada bau aneh yang mencekam di sana. Satu orang polisi bernama Adnan masuk ke dalam kamar. Radi yang menggandeng Nyonya Artiyah mengikuti masuk."Berhenti kau, Pak Polisi! Tidak ada apa-apa di kamarku!" Bentak Nyonya Artiyah. Ia meronta hendak melepaskan diri namun Radi erat mencekal pergelangan tangannya.Adnan melihat keadaan dalam kamar sambil menutup hidungnya. "Ada orang di sini?" seru Adnan. "Keluarlah, jangan sembunyi! Ini polisi!"Terdengar suara lenguhan, semula lemah namun kemudian bertambah jelas. Suara itu dari bawah ranjang."Mmmh.... Po-li-si... To-long!"Adnan menyibak seprai dan ia melihat sesosok manusia yang sangat mengenaskan keadaannya. Manusia itu seorang wanita yang setengah telanjang. Pakaiannya hanya kaus panjang, semacam daster tebal, sepanjang setengah paha. Hanya itu saja yang menutupi tubuhnya. Entah apa warna asli kain itu, sudah tak jelas, ju
"Kapan kau mulai merasakan ada yang tidak beres dalam keluarga Ashwabima?"Radi menatap mata Kinanti dengan penuh perhatian. Kinanti menunjukkan perkembangan yang menyenangkan. Tubuh kurus yang semula layu kering kini mulai bertenaga. Pipinya terlihat lebih berisi dan matanya kembali bersinar. Hanya penampilan rambutnya yang mengganggu pemandangan karena dicukur botak dengan menyisakan sejumput rambut di atas kening. Wajah gadis itu jadi lucu dipandang. Kinanti tersenyum."Saat Ibu dengan tegas melarang aku menikah dengan Mas Radi," sahut Kinanti. Radi tertawa pelan."Untuk hal yang satu itu sepertinya kita harus mengucapkan terima kasih pada Ibu.""Aku setuju. Walaupun sebenarnya alasan Ibu bukan karena kita ini kakak beradik tapi karena Andari mencintaimu, Mas.""Juga karena surat wasiat Ayah mengatakan bahwa Ibu akan dapat bagian harta Ayah hanya dari pihak Andari, jika Andari mau membaginya dengan Ibu. Jadi Ibu punya ide untuk menikahkan aku dengan Andari, agar semua warisan Ayah
Wanita yang biasanya tampil selalu cantik dan wangi itu kini kelihatan lusuh. Pakaiannya tidak lagi bermerk terkenal, hanya celana kulot panjang dan kaus lengan panjang bergambar kartun. Ia membeli yang semurah mungkin di mall. Uang masih banyak di rekening tapi rekening itu atas nama perusahaan Bimasakti, bukan nama Artiyah pribadi. Seharusnya setiap penggunaan uangnya harus dengan seizin perusahaan, tidak bisa ia pakai begitu saja. Buku tabungan, ATM dan kartu kreditnya pribadi semua ketinggalan di rumah. Ia kabur tunggang langgang dari rumah tidak ingat membawa apapun. Begitu cekalan Radi di tangannya terlepas, hari itu, Nyonya Artiyah tidak berpikir apapun lagi selain lari, secepatnya. Ia sembunyi di sebuah motel kecil. Membayar secara cash dan mengumpulkan makanan ala kadarnya di dalam kamar. Mungkin ini akan jadi penantian panjang baginya.Nyonya Artiyah sudah kehilangan orang-orang kepercayaannya. Terakhir ia mendengar desas-desus bahwa Kardi menyerahkan diri bersama Arman. Ar
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu
Rumah nyaman dan hidup tenang adalah dambaan semua manusia. Radi sudah memilikinya sekarang. Setelah apa yang ia lalui, Radi ini bisa mengatakan bahwa dirinya bahagia.Suasana sore di teras rumah selalu jadi favorit Radi dan Nenek Waidah. Mereka duduk di kursi teras, menghadapi kebun mawar dan jalanan kompleks di depan rumah. Kebun mawar di halaman adalah mahakarya Nenek. Terdiri dari lima kotak area taman, setiap kotak berisi belasan pohon mawar sewarna. Ada merah, kuning, putih, merah muda dan ungu. Ya, mawar ungu. Indahnya jangan diragukan lagi. Di halaman belakang, Nenek juga membuat kebun tanaman herbal. Desain dalam rumah ditangani oleh Radi. Ia mengutamakan fasilitas difabel senyaman mungkin. Kinanti bisa bergerak bebas dan melakukan semua kegiatan dengan mandiri di dalam rumah."Nenek kadang ingin ibumu bangkit lagi dan bersama kita di sini, Rad. Ibu Wikan, tentu, bukan Ibu Artiyah," kata Nenek sambil menyesap teh tawar hangat. Radi tertawa."Ibu sudah bahagia di sana, Nek. Le
Radi berdiri tegap di hadapan Andari. Wajah tampannya yang biasanya lembut menatap kini berubah merah padam dan penuh kemarahan. Andari perlahan berdiri lagi, berhadapan dengan Radi."Mas, kamu ... kapan masuk ke sini?""Cukup lama sampai aku dengar semua pengakuanmu dan sempat merekamnya dalam handphone. Pengakuan luar biasa, Ndari. Aku kaget. Sungguh, aku kaget!""Mas, ini ... ini salah paham, begini, maksudku ...." Andari berjalan mendekati suaminya. Radi mundur tiga langkah menjauh."Aku sudah dengar semuanya, Ndari. Bukan dari orang lain tapi dari mulutmu sendiri. Aku tidak menyangka kau sekejam itu.""Aku iri pada Mbak Kinan, Mas!!" Andari mendadak berteriak. Ia maju mendekati Radi dan mencoba memeluknya. Radi mendorong tubuh istrinya."Aku tidak mau punya istri sekejam kau, Ndari. Aku talak kau sekarang, di sini. Aku akan urus surat cerainya secepat yang aku bisa!""Mas! Tidak, Mas! Jangan ceraikan aku! Aku cinta padamu!"Radi memicingkan mata, kepalanya menggeleng."Aku sedang
Kinanti belum menunjukkan pertanda baik. Hidupnya masih bergantung pada segala macam kabel dan mesin yang mengelilinginya. Ia dipindah ke ruang rawat kelas satu, tidak lagi di ICU. Keluarga boleh menjenguk dan menunggui di dalam kamar, hanya satu orang saja. Tentu Radi yang mengambil tugas itu.Empat malam sudah Andari sendiri lagi di kamar. Kesunyian menemani tidurnya yang selalu bersimbah air mata. Ia ingin menahan cemburunya tapi tidak bisa. Kenyataan bahwa Radi memilih bermalam di kamar rumah sakit yang dingin daripada menemaninya tidur di ranjang hangat, sudah menyatakan bagaimana perasaan suaminya itu.Andari menghabiskan malamnya dengan berandai-andai dan mengobrol lewat chat online dengan Widia, temannya sejak di SMA.Bu Waidah mengambil tugas mengomando asisten rumah tangga dan pekerja di kebun. Di tangan nenek lembut hati itu, rumah Ashwabima berubah menjadi lebih nyaman. Bu Waidah, atas izin Radi, memerintah beberapa orang pekerja di peternakan sapi untuk membabat semak be
Kamar tidur mewah itu sepi walaupun ada dua orang sedang berbaring di atas ranjang. Radi dan Andari sudah dua hari tidak saling bicara. Sebenarnya hanya Andari saja yang diam, Radi tetap seperti biasa, bicara biasa, namun Andari tidak menjawab satu kata pun."Ndari,"Radi menutup buku yang sedang dibacanya lalu menoleh ke wajah Andari. Istrinya itu diam sambil terus menatap layar handphone."Aku tidak mau seperti ini terus, Ndari. Katakan apa maumu. Apa aku berbuat kesalahan?" Radi mengambil handphone di tangan Andari. Wanita berambut panjang itu merebut kembali teleponnya tanpa bicara. "Aku tahu, ini tentang Kinan, kan?"Radi menghela nafas panjang. Ia merasa sulit mengerti dimana letak kesalahannya. Pada akhirnya ia pulang dan menyerahkan penjagaan serta perawatan Kinan pada perawat. Selain menyadari bahwa ucapan Andari benar soal kesehatannya sendiri, Radi juga paham kecemburuan istrinya. Ternyata Andari sudah terlanjur marah."Aku minta maaf, Ndari." Radi mendekati wajah Andari,
Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka
Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu