Rumah Hadianto ada di kota kecamatan Karangjati. Kecamatan yang melingkupi lima desa besar, Karangsena, Karangsuci, Karangjati, Karangasih dan Karangsetu. Pengacara itu punya rumah yang asri. Hadianto adalah satu dari tiga pengacara yang ada di lingkup kecamatan Karangjati. Kesadaran hukum masyarakat sekitar masih sangat rendah sehingga profesi pengacara dan notaris di daerah itu seakan tidak dianggap. Sering terjadi berbagai perkara kriminal namun jarang ada warga yang melibatkan polisi. Warga lebih sering pakai jalan damai. Tuan tanah dan hartawan kelas lokal masih bisa bertindak sewenang-wenang terhadap lingkungan sekitarnya.Keluarga Ashwabima adalah salah satu keluarga kaya yang berpengaruh di wilayah kecamatan Karangjati. Tanah milik mereka tersebar di banyak desa. Pabrik pakan ternak, rumah pemancingan, sawah garapan, peternakan sapi perah dan sapi pedaging, pabrik olahan susu serta beberapa rumah makan mereka miliki. Tak heran, kelimpahan uang mengalir tanpa henti ke rekening
Pintu kamar Nyonya Artiyah terbuka lebar. Bau busuk menguar bercampur dengan aroma pengharum ruangan yang sia-sia. Ada bau aneh yang mencekam di sana. Satu orang polisi bernama Adnan masuk ke dalam kamar. Radi yang menggandeng Nyonya Artiyah mengikuti masuk."Berhenti kau, Pak Polisi! Tidak ada apa-apa di kamarku!" Bentak Nyonya Artiyah. Ia meronta hendak melepaskan diri namun Radi erat mencekal pergelangan tangannya.Adnan melihat keadaan dalam kamar sambil menutup hidungnya. "Ada orang di sini?" seru Adnan. "Keluarlah, jangan sembunyi! Ini polisi!"Terdengar suara lenguhan, semula lemah namun kemudian bertambah jelas. Suara itu dari bawah ranjang."Mmmh.... Po-li-si... To-long!"Adnan menyibak seprai dan ia melihat sesosok manusia yang sangat mengenaskan keadaannya. Manusia itu seorang wanita yang setengah telanjang. Pakaiannya hanya kaus panjang, semacam daster tebal, sepanjang setengah paha. Hanya itu saja yang menutupi tubuhnya. Entah apa warna asli kain itu, sudah tak jelas, ju
"Kapan kau mulai merasakan ada yang tidak beres dalam keluarga Ashwabima?"Radi menatap mata Kinanti dengan penuh perhatian. Kinanti menunjukkan perkembangan yang menyenangkan. Tubuh kurus yang semula layu kering kini mulai bertenaga. Pipinya terlihat lebih berisi dan matanya kembali bersinar. Hanya penampilan rambutnya yang mengganggu pemandangan karena dicukur botak dengan menyisakan sejumput rambut di atas kening. Wajah gadis itu jadi lucu dipandang. Kinanti tersenyum."Saat Ibu dengan tegas melarang aku menikah dengan Mas Radi," sahut Kinanti. Radi tertawa pelan."Untuk hal yang satu itu sepertinya kita harus mengucapkan terima kasih pada Ibu.""Aku setuju. Walaupun sebenarnya alasan Ibu bukan karena kita ini kakak beradik tapi karena Andari mencintaimu, Mas.""Juga karena surat wasiat Ayah mengatakan bahwa Ibu akan dapat bagian harta Ayah hanya dari pihak Andari, jika Andari mau membaginya dengan Ibu. Jadi Ibu punya ide untuk menikahkan aku dengan Andari, agar semua warisan Ayah
Wanita yang biasanya tampil selalu cantik dan wangi itu kini kelihatan lusuh. Pakaiannya tidak lagi bermerk terkenal, hanya celana kulot panjang dan kaus lengan panjang bergambar kartun. Ia membeli yang semurah mungkin di mall. Uang masih banyak di rekening tapi rekening itu atas nama perusahaan Bimasakti, bukan nama Artiyah pribadi. Seharusnya setiap penggunaan uangnya harus dengan seizin perusahaan, tidak bisa ia pakai begitu saja. Buku tabungan, ATM dan kartu kreditnya pribadi semua ketinggalan di rumah. Ia kabur tunggang langgang dari rumah tidak ingat membawa apapun. Begitu cekalan Radi di tangannya terlepas, hari itu, Nyonya Artiyah tidak berpikir apapun lagi selain lari, secepatnya. Ia sembunyi di sebuah motel kecil. Membayar secara cash dan mengumpulkan makanan ala kadarnya di dalam kamar. Mungkin ini akan jadi penantian panjang baginya.Nyonya Artiyah sudah kehilangan orang-orang kepercayaannya. Terakhir ia mendengar desas-desus bahwa Kardi menyerahkan diri bersama Arman. Ar
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu
Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat
Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka