Wanita yang biasanya tampil selalu cantik dan wangi itu kini kelihatan lusuh. Pakaiannya tidak lagi bermerk terkenal, hanya celana kulot panjang dan kaus lengan panjang bergambar kartun. Ia membeli yang semurah mungkin di mall. Uang masih banyak di rekening tapi rekening itu atas nama perusahaan Bimasakti, bukan nama Artiyah pribadi. Seharusnya setiap penggunaan uangnya harus dengan seizin perusahaan, tidak bisa ia pakai begitu saja. Buku tabungan, ATM dan kartu kreditnya pribadi semua ketinggalan di rumah. Ia kabur tunggang langgang dari rumah tidak ingat membawa apapun. Begitu cekalan Radi di tangannya terlepas, hari itu, Nyonya Artiyah tidak berpikir apapun lagi selain lari, secepatnya. Ia sembunyi di sebuah motel kecil. Membayar secara cash dan mengumpulkan makanan ala kadarnya di dalam kamar. Mungkin ini akan jadi penantian panjang baginya.Nyonya Artiyah sudah kehilangan orang-orang kepercayaannya. Terakhir ia mendengar desas-desus bahwa Kardi menyerahkan diri bersama Arman. Ar
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu
Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat
Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka
Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw
Kamar tidur mewah itu sepi walaupun ada dua orang sedang berbaring di atas ranjang. Radi dan Andari sudah dua hari tidak saling bicara. Sebenarnya hanya Andari saja yang diam, Radi tetap seperti biasa, bicara biasa, namun Andari tidak menjawab satu kata pun."Ndari,"Radi menutup buku yang sedang dibacanya lalu menoleh ke wajah Andari. Istrinya itu diam sambil terus menatap layar handphone."Aku tidak mau seperti ini terus, Ndari. Katakan apa maumu. Apa aku berbuat kesalahan?" Radi mengambil handphone di tangan Andari. Wanita berambut panjang itu merebut kembali teleponnya tanpa bicara. "Aku tahu, ini tentang Kinan, kan?"Radi menghela nafas panjang. Ia merasa sulit mengerti dimana letak kesalahannya. Pada akhirnya ia pulang dan menyerahkan penjagaan serta perawatan Kinan pada perawat. Selain menyadari bahwa ucapan Andari benar soal kesehatannya sendiri, Radi juga paham kecemburuan istrinya. Ternyata Andari sudah terlanjur marah."Aku minta maaf, Ndari." Radi mendekati wajah Andari,
Kinanti belum menunjukkan pertanda baik. Hidupnya masih bergantung pada segala macam kabel dan mesin yang mengelilinginya. Ia dipindah ke ruang rawat kelas satu, tidak lagi di ICU. Keluarga boleh menjenguk dan menunggui di dalam kamar, hanya satu orang saja. Tentu Radi yang mengambil tugas itu.Empat malam sudah Andari sendiri lagi di kamar. Kesunyian menemani tidurnya yang selalu bersimbah air mata. Ia ingin menahan cemburunya tapi tidak bisa. Kenyataan bahwa Radi memilih bermalam di kamar rumah sakit yang dingin daripada menemaninya tidur di ranjang hangat, sudah menyatakan bagaimana perasaan suaminya itu.Andari menghabiskan malamnya dengan berandai-andai dan mengobrol lewat chat online dengan Widia, temannya sejak di SMA.Bu Waidah mengambil tugas mengomando asisten rumah tangga dan pekerja di kebun. Di tangan nenek lembut hati itu, rumah Ashwabima berubah menjadi lebih nyaman. Bu Waidah, atas izin Radi, memerintah beberapa orang pekerja di peternakan sapi untuk membabat semak be
Rumah nyaman dan hidup tenang adalah dambaan semua manusia. Radi sudah memilikinya sekarang. Setelah apa yang ia lalui, Radi ini bisa mengatakan bahwa dirinya bahagia.Suasana sore di teras rumah selalu jadi favorit Radi dan Nenek Waidah. Mereka duduk di kursi teras, menghadapi kebun mawar dan jalanan kompleks di depan rumah. Kebun mawar di halaman adalah mahakarya Nenek. Terdiri dari lima kotak area taman, setiap kotak berisi belasan pohon mawar sewarna. Ada merah, kuning, putih, merah muda dan ungu. Ya, mawar ungu. Indahnya jangan diragukan lagi. Di halaman belakang, Nenek juga membuat kebun tanaman herbal. Desain dalam rumah ditangani oleh Radi. Ia mengutamakan fasilitas difabel senyaman mungkin. Kinanti bisa bergerak bebas dan melakukan semua kegiatan dengan mandiri di dalam rumah."Nenek kadang ingin ibumu bangkit lagi dan bersama kita di sini, Rad. Ibu Wikan, tentu, bukan Ibu Artiyah," kata Nenek sambil menyesap teh tawar hangat. Radi tertawa."Ibu sudah bahagia di sana, Nek. Le
Radi berdiri tegap di hadapan Andari. Wajah tampannya yang biasanya lembut menatap kini berubah merah padam dan penuh kemarahan. Andari perlahan berdiri lagi, berhadapan dengan Radi."Mas, kamu ... kapan masuk ke sini?""Cukup lama sampai aku dengar semua pengakuanmu dan sempat merekamnya dalam handphone. Pengakuan luar biasa, Ndari. Aku kaget. Sungguh, aku kaget!""Mas, ini ... ini salah paham, begini, maksudku ...." Andari berjalan mendekati suaminya. Radi mundur tiga langkah menjauh."Aku sudah dengar semuanya, Ndari. Bukan dari orang lain tapi dari mulutmu sendiri. Aku tidak menyangka kau sekejam itu.""Aku iri pada Mbak Kinan, Mas!!" Andari mendadak berteriak. Ia maju mendekati Radi dan mencoba memeluknya. Radi mendorong tubuh istrinya."Aku tidak mau punya istri sekejam kau, Ndari. Aku talak kau sekarang, di sini. Aku akan urus surat cerainya secepat yang aku bisa!""Mas! Tidak, Mas! Jangan ceraikan aku! Aku cinta padamu!"Radi memicingkan mata, kepalanya menggeleng."Aku sedang
Kinanti belum menunjukkan pertanda baik. Hidupnya masih bergantung pada segala macam kabel dan mesin yang mengelilinginya. Ia dipindah ke ruang rawat kelas satu, tidak lagi di ICU. Keluarga boleh menjenguk dan menunggui di dalam kamar, hanya satu orang saja. Tentu Radi yang mengambil tugas itu.Empat malam sudah Andari sendiri lagi di kamar. Kesunyian menemani tidurnya yang selalu bersimbah air mata. Ia ingin menahan cemburunya tapi tidak bisa. Kenyataan bahwa Radi memilih bermalam di kamar rumah sakit yang dingin daripada menemaninya tidur di ranjang hangat, sudah menyatakan bagaimana perasaan suaminya itu.Andari menghabiskan malamnya dengan berandai-andai dan mengobrol lewat chat online dengan Widia, temannya sejak di SMA.Bu Waidah mengambil tugas mengomando asisten rumah tangga dan pekerja di kebun. Di tangan nenek lembut hati itu, rumah Ashwabima berubah menjadi lebih nyaman. Bu Waidah, atas izin Radi, memerintah beberapa orang pekerja di peternakan sapi untuk membabat semak be
Kamar tidur mewah itu sepi walaupun ada dua orang sedang berbaring di atas ranjang. Radi dan Andari sudah dua hari tidak saling bicara. Sebenarnya hanya Andari saja yang diam, Radi tetap seperti biasa, bicara biasa, namun Andari tidak menjawab satu kata pun."Ndari,"Radi menutup buku yang sedang dibacanya lalu menoleh ke wajah Andari. Istrinya itu diam sambil terus menatap layar handphone."Aku tidak mau seperti ini terus, Ndari. Katakan apa maumu. Apa aku berbuat kesalahan?" Radi mengambil handphone di tangan Andari. Wanita berambut panjang itu merebut kembali teleponnya tanpa bicara. "Aku tahu, ini tentang Kinan, kan?"Radi menghela nafas panjang. Ia merasa sulit mengerti dimana letak kesalahannya. Pada akhirnya ia pulang dan menyerahkan penjagaan serta perawatan Kinan pada perawat. Selain menyadari bahwa ucapan Andari benar soal kesehatannya sendiri, Radi juga paham kecemburuan istrinya. Ternyata Andari sudah terlanjur marah."Aku minta maaf, Ndari." Radi mendekati wajah Andari,
Koridor rumah sakit daerah siang ini ramai. Jam besuk dimulai pukul dua siang sampai pukul lima sore. Orang lalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Andari mengayun langkahnya dengan cepat. Ia hendak ke ruang ICU.Kinanti tidak sadarkan diri sekitar jam sepuluh pagi tadi. Ia koma. Radi menungguinya di teras ruang ICU karena tidak boleh masuk ke dalam ruang khusus itu. Dokter dan beberapa perawat sibuk keluar masuk ruangan setelah ada kabar bahwa Kinanti Dewi Ashwabima jatuh koma. Dari pemeriksaan lanjutan, ditemukan cedera otak dan memar tempurung kepala. Menurut dokter, kemungkinan karena pemukulan berulangkali di daerah kepala. Pagi tadi Radi sempat masuk sebentar ke ruang tempat Kinanti berbaring karena gadis itu memanggilnya. Kinanti tidak bicara apapun saat Radi berdiri di sisi ranjang, ia hanya menggenggam tangan kakaknya dan menatapnya lama. Bibirnya bergerak seakan ingin bicara tapi tak ada suara apapun yang keluar. Radi balas menggenggam tangan Kinanti sampai seorang peraw
Surat terakhir Nyonya bergetar dalam genggaman tangan Radi. Lelaki itu tak bisa menahan embun matanya berubah menjadi tetes air, mengalir di pipinya. Andari pun terisak menangis.Kamar Istanaku, hari ini.Saat kalian membaca tulisanku ini, aku sudah berangkat mendahului kalian menemui Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah menyiapkan hukuman berat untukku atas semua perbuatanku. Sebagaimana hukuman dunia yang sudah kalian rencanakan juga. Aku melakukan ini karena aku tidak akan mau mengaku kalah pada kalian. Aku juga tidak mau menyebut diriku Ibu, sebab kalian pun sudah tidak lagi menganggapku Ibu.Radi, Andari, Kinanti, anak-anakku.Sejujurnya aku memang tidak mencintai kalian. Bertahun-tahun aku mendamba hadirnya seorang anak namun setelah kalian datang dalam hidupku, bukan kasih sayang yang aku rasakan melainkan hanya kebencian dan dendam. Radi, kau adalah anak dari wanita yang merebut cinta suamiku. Kinanti, kau lahir dari pernikahan suamiku dan si wanita perebut itu, kelahiranmu membinasaka
Matahari memancarkan sinar dan hawa panas siang ini. Jalan desa Karangsena mengepulkan debu setiap kali ada kendaraan lewat. Rumah-rumah di pinggir jalan menerima kepulan debu itu dengan pasrah di terasnya.Seorang wanita tua berkerudung hitam, memakai masker hidung yang juga berwarna hitam, berjalan tegap menyusuri jalan desa Karangsena. Wajahnya tertutup sempurna oleh sebuah kacamata hitam. Gamis marun yang dipakainya sangat longgar, menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Langkah mantap wanita itu menuju ke rumah paling megah di ujung jalan desa, dekat dengan lapangan bola kampung. Tembok tinggi melingkupi rumah tujuannya. Wanita itu tidak ragu mendorong gerbang besi tinggi di muka halaman luas. Ada pos keamanan di sisi dalam gerbang namun isinya kosong, tak ada seorangpun. Sang tamu hapal, penjaga gerbang itu sudah meringkuk dalam penjara, menunggu sidang dan putusan hukuman berat yang akan diterimanya.Wanita tua itu Nyonya Artiyah. Ia pulang hari ini. Rumah Ashwabima adala
Tiga Minggu berlalu tanpa ada kabar baik. Akhirnya Radi memberanikan diri mengajak Andari, Kinanti dan Bu Waidah kembali ke Karangsena, pulang ke rumah Ashwabima. Rumah di Surabaya sangat nyaman tapi tetap saja terasa asing di sana. Rumah kuno Ashwabima tetap tegar kokoh setelah semua tragedi yang terjadi di dalamnya. Andai bangunan itu bisa bicara, ia adalah saksi utama semua kisah penuh air mata dan duka penghuninya. Police line masih membentang di halaman samping, gang menuju rumah belakang. Rumah kandang ayam itu dilarang dimasuki oleh siapapun."Aku rindu masa bahagia di rumah ini, Mas," kata Andari. Wanita bertubuh indah itu berdiri bersandar ke tembok ruang tamu. Radi mengajaknya duduk di sofa tapi Andari seperti tidak mendengar."Sekarang kau tidak bahagia?" Tanya Radi dengan senyum. Andari menatap suaminya. "Aku bahagia kita bisa berkumpul lagi. Itu saja.""Kau bisa bertemu Kinanti lagi, tidak senang?""Tidak."Kening Radi mengernyit."Kenapa?""Aku cemburu padanya. Kelihat
Kenangan Nyonya Ashwabima terus berkelana. Mengingat semua usahanya menyingkirkan penghalang. Artiyah Sundari sang gadis melarat dari desa Sokajaya, telah bersusah payah memikat bujang Nendra Ashwabima yang terkenal sebagai pewaris pabrik pakan ternak. Nendra muda bukan lelaki yang mudah didekati, jadi Artiyah berusaha memikat hati ibunda Nendra, Nyonya Dewandari. Artiyah melamar pekerjaan di rumah sang nyonya dan diterima sebagai sekretaris pribadi yang mengurusi arsip bisnis Ashwabima. Masa itu bisnis keluarga tersebut masih kecil dan baru dirintis, mereka baru memiliki satu pabrik. Niat Artiyah memasuki keluarga Ashwabima tidak main-main. Ia mencurahkan seluruh ide dan kemampuan mengerjakan tugasnya. Nyonya Dewandari jatuh hati pada gadis manis sederhana yang giat bekerja itu lalu menjodohkannya dengan sang putra mahkota, Nendra.Lamunan Nyonya Artiyah terganggu oleh kumandang adzan Maghrib dari masjid entah dimana. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah larut terbawa kenangan masa lalu