Di area pemakaman keramat, Nila duduk seorang diri di atas tikar. Semilir angin berhembus cukup kencang. Nila menoleh ke kiri dan ke kanan. Menatap gundukan tanah yang dikelilingi batu-batu yang sudah dipenuhi lumut.Cahaya rembulan adalah satu-satunya penerangannya disana. Nisan berlumut menjadi pemandangan di hadapannya.Beberapa kali hewan berupa burung hantu, memperdengarkan suara khasnya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nila saat itu.Nila bersandar pada pohon kelapa yang ada di belakangnya. Merasa pegal, ia menyelonjorkan kedua kakinya.Sementara di pintu masuk pemakaman, Wira, Abah Ikin dan pak kades sedang berkonsentrasi mengawasi keadaan sekitar. Sedangkan Abah Kosmos sedang sibuk dengan bacaan mantranya. Tercium aroma kemenyan, yang sengaja dibakar oleh Abah Kosmos.Dilain tempat, di lapangan Warga yang berkumpul terlihat hening. Tak satupun dari mereka yang berani mengeluarkan suara sepatah kata pun.Suasana diselimuti ketegangan, tak ada ketenangan di setiap hembusan n
"Saya merasakannya ... Saya merasakan kedatangan makhluk itu!" Abah Kosmos bergumam dengan mata tertutup. Ia masih berkutat dengan kemenyan yang dibakar diatas bara api.Mendengar ucapan Abah Kosmos, membuat Wira menoleh ke arahnya. Wira menunggu instruksi darinya, tentang langkah apa yang harus mereka lakukan selanjutnya."Dia datang! Ya, dia sudah datang." Abah Kosmos membuka matanya lalu menoleh ke arah Wira."Dia datang, tapi anehnya saya tidak mendengar suara Nila sedikitpun. Apakah diantara kalian ada yang mendengar Nila berteriak?" tanya Abah Kosmos.Wira dan yang lain kompak menggeleng. Mereka sama sekali tak mendengar suara Nila sedikitpun."Abah, saya takut terjadi apa-apa pada istriku," ujar Wira diselimuti rasa gelisah."Sebaiknya kita masuk sekarang!" ajak Abah Kosmos.Tanpa menunda-nunda, Wira berlari masuk ke area pemakaman, disusul oleh Abah Ikin, Abah Kosmos dan pak kades.Setibanya di tempat terakhir Nila ditinggal, Wira sama sekali tak melihat Nila. Hanya ada botol
Di sebuah rumah panggung, terdapat sepasang lansia yang sedang menatap tubuh wanita terbungkus kain jarik. Terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri dan kulit berwarna pucat."Coba periksa lagi, Pak! Apakah dia masih bernafas?" tanya wanita tua kepada suaminya.Sang suami beringsut mendekati tubuh itu. Namun tiba-tiba tubuh itu bangkit dan membuka matanya. Membuat kedua lansia itu terkejut bukan main. Namun mereka berdua merasa lega, bahwa wanita yang berada di hadapannya ternyata masih dalam keadaan hidup."Syukurlah kamu sudah sadar, Neng!" imbuh wanita tua itu.Nila menatap sekeliling ruangan yang terasa asing baginya."Kamu pasti heran dan bertanya-tanya kamu dimana dan kamu siapa. Saya Aki Oyan dan ini istri saya namanya Nini Anih," timpal aki Oyan memperkenalkan diri dan juga istrinya."Saya Nila, kenapa saya bisa ada disini?" tanya Nila."2 jam yang lalu, saat Aki sedang mencari belut di sawah, tak sengaja Aki melihat kamu tersangkut di bebatuan di tepi kali dekat sawah. Awalny
Kini Nila sudah bersiap untuk pulang ke kampung Wira. Perasaannya was-was, namun ia juga teringat akan Wira, yang pasti sangat khawatir dengan menghilangnya dirinya."Kamu hati-hati di jalan ya, Neng! Jika diberi kesempatan, semoga kita bisa bertemu lagi," imbuh Nini Anih, merasa sedih saat Nila hendak pulang."Nini jangan sedih, insya Allah kita bertemu lagi dilain waktu," sahut Nila."Nini sedih, karena pasti di rumah ini sepi lagi. Walaupun pertemuan kita sangat singkat, tapi Nini merasa terhibur dengan adanya kamu disini. Tapi tidak apa-apa, kamu harus pulang, Neng. Kasihan suami kamu pasti dia sedang menunggu kepulangan kamu," ujar Nini Anih.Nila memeluk Nini Anih sangat erat, beruntung ia ditolong oleh orang-orang baik seperti mereka."Sebentar, kamu jangan pergi dulu. Nini mau ambil sesuatu di dapur," kata Nini Anih, sambil berlalu ke belakang.Nila kemudian duduk bersamaan dengan Aki Oyan yang sedang menggulung daun aren yang berisi tembakau."Aki, kira-kira berapa jam aku ha
Nila menatap takjub rumah yang ada dihadapannya. Begitu megah dan indah serta terlihat halaman tertata rapi.Disana terdapat wanita cantik yang sedang berdiri di teras rumah itu. Cantik, benar-benar cantik. Nila yang melihatnya, begitu kagum akan kecantikannya.Tanpa diduga, wanita cantik itu menoleh ke arah Nila. Dia tersenyum lalu melambaikan tangan.Nila yang merasa dirinyalah yang dipanggil wanita itu, segera melangkahkan kakinya menuju rumah itu.Setelah Nila berdiri di teras rumah itu, wanita cantik yang ada dihadapan Nila segera menyapa Nila."Siapa kamu? Kenapa kamu berdiri di depan rumahku?" tanya wanita itu."Sa-saya Nila, saya minta maaf jika saya sudah lancang. Saya hanya numpang lewat saja. Saya mau pulang ke kampung suami saya. Tapi sayangnya saya kemalaman," jawab Nila tak enak hati.Wanita itu tersenyum, kemudian memperkenalkan dirinya kepada Nila."Aku Nyai Rukmini, jika berkenan kamu boleh menginap di rumahku. Kebetulan rumahku terdapat banyak kamar. Memang rumah ini
"Aaaaa!"Nila terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Ia baru tersadar, ternyata hari sudah pagi. Matahari pagi menyinari tubuhnya di sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi. Namun sesuatu yang janggal baru ia sadari. Nila kini berada di bawah pohon beringin tua, dengan akar yang sudah menjalar bergelantungan."Aku ... Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah Nyai Rukmini?" gumam Nila.Nila memijat pelipisnya, merasa aneh dengan semua yang terjadi pada dirinya."Rumah megah, Nyai Rukmini, apakah semua itu hanya halusinasi?" gumam Nila."Tapi makanan itu ...." Nila menghentikan ucapannya, saat kakinya merasakan geli.Nila menatap kakinya, yang sedang dikerubuti belatung. Sontak membuat Nila berteriak ketakutan sekaligus geli. Nila berdiri dan loncat-loncat karena merasa geli dan jijik.Tak jauh dari tempat Nila, terdapat bangkai tikus yang sudah dikerubuti lalat dan belatung, juga cacing yang masih menggeliat, di atas daun pisang yang sudah kering."Apakah makanan
"Masa sih, A?" tanya Nila merasa bingung. Pasalnya ia sama sekali tak menciumnya. Hanya saja mulutnya terasa tidak nyaman."Iya, Neng, baunya itu loh hilang timbul. Sebentar aku mau cari dulu sumber baunya. Barangkali ada bangkai tikus disini," jawab Wira.Wira mencari di setiap kolong. Mulai dari kolong meja, kursi, lemari, sampai kolong ranjang pun tak luput dari pencariannya."Tapi nggak ada apa-apa kok, Neng. Aneh, apa baunya dari luar?" imbuh Wira."Mungkin, A, aku mau istirahat dulu, A. Aku capek," sahut Nila.Nila pun masuk ke dalam kamar, lalu Wira mengikutinya dari belakang."Kamu tidur yang nyenyak, ya! Kasihan sekali kamu. Semoga anak kita tetap sehat di dalam sini." Wira mengusap perut Nila.Nila mengangguk, lalu berbaring. Sebelum keluar dari dalam kamar, Wira terlebih dahulu mengecup kening Nila."Neng!" Wira membuang muka."Kenapa, A?" tanya Nila, merasa aneh dengan sikap suaminya."Neng kamu habis memakan apa? Kenapa mulutmu bau bangkai? Apakah bau yang dari tadi aku c
Hari sudah beranjak malam, kini Wira dan Nila berpamitan untuk pulang."Ingat, jangan sampai kamu melepaskan cincin itu. Saya akan pantau dari sini. Semoga dengan ini, tujuan kita bisa terselesaikan," ujar Abah Kosmos, memperingatkan sebelum Wira dan Nila pergi."Baik, Abah, kalau begitu kami permisi," pamit Nila.Di sepanjang jalan, Nila tak banyak bicara. Ia hanya diam sambil memperhatikan jalan yang mereka lalui."Sudah, kamu jangan melamun. Ikhlaskan, jika Tuhan berkehendak, kita pasti akan dikaruniai anak lagi," imbuh Wira."Iya, A, hanya saja aku sangat menginginkan anak itu. Tapi ya sudahlah, namanya juga musibah," sahut Nila.Jalanan yang dilalui mereka tampak begitu sunyi sepi seperti biasa. Kampung mati, mungkin dua kata itu cocok untuk menggambarkan kampung itu jika malam tiba.Sampai di rumah, mereka langsung merebahkan diri di dalam kamar."Aku kangen sama Mama," ujar Nila menatap lurus ke arah langit-langit kamar."Kamu mau menemuinya?" tanya Wira.Nila menggeleng pelan,