Kini Nila sudah bersiap untuk pulang ke kampung Wira. Perasaannya was-was, namun ia juga teringat akan Wira, yang pasti sangat khawatir dengan menghilangnya dirinya."Kamu hati-hati di jalan ya, Neng! Jika diberi kesempatan, semoga kita bisa bertemu lagi," imbuh Nini Anih, merasa sedih saat Nila hendak pulang."Nini jangan sedih, insya Allah kita bertemu lagi dilain waktu," sahut Nila."Nini sedih, karena pasti di rumah ini sepi lagi. Walaupun pertemuan kita sangat singkat, tapi Nini merasa terhibur dengan adanya kamu disini. Tapi tidak apa-apa, kamu harus pulang, Neng. Kasihan suami kamu pasti dia sedang menunggu kepulangan kamu," ujar Nini Anih.Nila memeluk Nini Anih sangat erat, beruntung ia ditolong oleh orang-orang baik seperti mereka."Sebentar, kamu jangan pergi dulu. Nini mau ambil sesuatu di dapur," kata Nini Anih, sambil berlalu ke belakang.Nila kemudian duduk bersamaan dengan Aki Oyan yang sedang menggulung daun aren yang berisi tembakau."Aki, kira-kira berapa jam aku ha
Nila menatap takjub rumah yang ada dihadapannya. Begitu megah dan indah serta terlihat halaman tertata rapi.Disana terdapat wanita cantik yang sedang berdiri di teras rumah itu. Cantik, benar-benar cantik. Nila yang melihatnya, begitu kagum akan kecantikannya.Tanpa diduga, wanita cantik itu menoleh ke arah Nila. Dia tersenyum lalu melambaikan tangan.Nila yang merasa dirinyalah yang dipanggil wanita itu, segera melangkahkan kakinya menuju rumah itu.Setelah Nila berdiri di teras rumah itu, wanita cantik yang ada dihadapan Nila segera menyapa Nila."Siapa kamu? Kenapa kamu berdiri di depan rumahku?" tanya wanita itu."Sa-saya Nila, saya minta maaf jika saya sudah lancang. Saya hanya numpang lewat saja. Saya mau pulang ke kampung suami saya. Tapi sayangnya saya kemalaman," jawab Nila tak enak hati.Wanita itu tersenyum, kemudian memperkenalkan dirinya kepada Nila."Aku Nyai Rukmini, jika berkenan kamu boleh menginap di rumahku. Kebetulan rumahku terdapat banyak kamar. Memang rumah ini
"Aaaaa!"Nila terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Ia baru tersadar, ternyata hari sudah pagi. Matahari pagi menyinari tubuhnya di sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi. Namun sesuatu yang janggal baru ia sadari. Nila kini berada di bawah pohon beringin tua, dengan akar yang sudah menjalar bergelantungan."Aku ... Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah Nyai Rukmini?" gumam Nila.Nila memijat pelipisnya, merasa aneh dengan semua yang terjadi pada dirinya."Rumah megah, Nyai Rukmini, apakah semua itu hanya halusinasi?" gumam Nila."Tapi makanan itu ...." Nila menghentikan ucapannya, saat kakinya merasakan geli.Nila menatap kakinya, yang sedang dikerubuti belatung. Sontak membuat Nila berteriak ketakutan sekaligus geli. Nila berdiri dan loncat-loncat karena merasa geli dan jijik.Tak jauh dari tempat Nila, terdapat bangkai tikus yang sudah dikerubuti lalat dan belatung, juga cacing yang masih menggeliat, di atas daun pisang yang sudah kering."Apakah makanan
"Masa sih, A?" tanya Nila merasa bingung. Pasalnya ia sama sekali tak menciumnya. Hanya saja mulutnya terasa tidak nyaman."Iya, Neng, baunya itu loh hilang timbul. Sebentar aku mau cari dulu sumber baunya. Barangkali ada bangkai tikus disini," jawab Wira.Wira mencari di setiap kolong. Mulai dari kolong meja, kursi, lemari, sampai kolong ranjang pun tak luput dari pencariannya."Tapi nggak ada apa-apa kok, Neng. Aneh, apa baunya dari luar?" imbuh Wira."Mungkin, A, aku mau istirahat dulu, A. Aku capek," sahut Nila.Nila pun masuk ke dalam kamar, lalu Wira mengikutinya dari belakang."Kamu tidur yang nyenyak, ya! Kasihan sekali kamu. Semoga anak kita tetap sehat di dalam sini." Wira mengusap perut Nila.Nila mengangguk, lalu berbaring. Sebelum keluar dari dalam kamar, Wira terlebih dahulu mengecup kening Nila."Neng!" Wira membuang muka."Kenapa, A?" tanya Nila, merasa aneh dengan sikap suaminya."Neng kamu habis memakan apa? Kenapa mulutmu bau bangkai? Apakah bau yang dari tadi aku c
Hari sudah beranjak malam, kini Wira dan Nila berpamitan untuk pulang."Ingat, jangan sampai kamu melepaskan cincin itu. Saya akan pantau dari sini. Semoga dengan ini, tujuan kita bisa terselesaikan," ujar Abah Kosmos, memperingatkan sebelum Wira dan Nila pergi."Baik, Abah, kalau begitu kami permisi," pamit Nila.Di sepanjang jalan, Nila tak banyak bicara. Ia hanya diam sambil memperhatikan jalan yang mereka lalui."Sudah, kamu jangan melamun. Ikhlaskan, jika Tuhan berkehendak, kita pasti akan dikaruniai anak lagi," imbuh Wira."Iya, A, hanya saja aku sangat menginginkan anak itu. Tapi ya sudahlah, namanya juga musibah," sahut Nila.Jalanan yang dilalui mereka tampak begitu sunyi sepi seperti biasa. Kampung mati, mungkin dua kata itu cocok untuk menggambarkan kampung itu jika malam tiba.Sampai di rumah, mereka langsung merebahkan diri di dalam kamar."Aku kangen sama Mama," ujar Nila menatap lurus ke arah langit-langit kamar."Kamu mau menemuinya?" tanya Wira.Nila menggeleng pelan,
Setelah keluar dari perkebunan, Nila dan juga Wira mampir sebentar di warung, untuk memberi kebutuhan dapur."Bu, beli beras 1 liter, telur 4 butir, sama kangkung 2 ikat," ujar Nila memesan."Baik, Neng Nila tunggu sebentar, ya!" sahut pemilik warung.Nila pun duduk di bangku panjang yang ada di depan warung itu."Aw ... Sakit!"Terdengar suara seseorang yang mengerang kesakitan. Membuat Nila dan Wira menoleh ke asal sumber suara."Mak Onam," lirih Nila.Nila segera membayar semua belanjanya."Mak Onam kenapa itu, A. Kasihan terlihat berdarah-darah," tunjuk Nila."Ya ampun, Emak!" Wira berlari mendekati Mak Onam yang sedang mengaduh kesakitan."Emak kenapa, kok bisa sampai berdarah-darah begini?" tanya Wira."Wira, Emak takut ... Emak takut menjadi korban selanjutnya. Tolong ... Emak tidak kuat, Emak sudah tua," pekik Mak Onam."Biar saya antar pulang dulu ke rumah Emak. Nanti Emak bisa jelaskan kenapa bisa begini." Wira membopong Mak Onam dan berjalan menuju rumah Mak Onam."A aku ik
"Dia datang ... Ya, dia datang!" gumam Abah Kosmos, yang sedang duduk di ruangan khusus."Getarannya semakin kuat, aku harus segera pergi ke desa itu." Abah Kosmos bangkit kemudian keluar dari ruangan itu."Kemed! Kemed!" Panggil Abah Kosmos, kepada anaknya, yang sedang asyik menggosok batu akik."Iya, ada apa, Pak?" tanya Kemed tanpa menoleh ke arah ayahnya."Antar Bapak ke kampung Ciburinong," jawab Abah Kosmos."Mau apa, Pak? Lagi nanggung nih, sebentar lagi beres," ujar Kemed.Tuk!"Aw!" pekik Kemed.Abah Kosmos menggetok kepala Kemed dengan tongkatnya."Kamu kalau dimintai tolong sama orang tua, selalu saja ada alasan buat menolak. Sudah, taruh semua batu akik itu. Sekarang antar Bapak ke kampung itu. Kalau tidak, nanti kamu tidur di belakang rumah! Biar tahu rasa kamu, tidur sama jurig jarian!" tegas Abah Kosmos."Ampun, Pak. Iya-iya, aku keluarin dulu motornya." Kemed pun bangkit lalu mengeluarkan motor bebeknya.Setelah motor dikeluarkan, Abah Kosmos kemudian mengunci semua pi
Wira terkejut mendengar ucapan Nila."Kamu kenapa, Neng? Siapa yang mati?" tanya Wira.Abah Kosmos menatap tajam ke arah Nila, sambil terus melantunkan sesuatu dari mulutnya. Tampak keringat bercucuran di dahi Abah Kosmos. Ia seperti kepanasan saat menatap Nila.Namun tiba-tiba Nila berdiri, lalu mendorong tubuh Wira sampai ia terjungkal ke tanah.Nila berlari ke arah dapur, namun dengan cepat Abah Kosmos berdiri."Cegah dia, jangan sampai makhluk itu melakukan hal buruk terhadap tubuh istrimu. Abah merasakan ada amarah pada makhluk itu, hawanya sangat panas. Kemed, bantu Wira!" titah Abah Kosmos.Mendengar itu, Wira dan Kemed segera berlari mengejar Nila.Sampai di dapur, Nila sudah tak ada lagi disana. Namun terlihat pintu belakang terbuka lebar."Abah, Nila keluar lewat pintu belakang!" teriak Wira."Cari dia, jangan sampai makhluk itu membawa istrimu, Wira. Sepertinya ada dendam yang belum terselesaikan dari makhluk itu," sahut Abah Kosmos.Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pik