🍁🍁🍁
Laura masih enggan berangkat ke sekolah, meskipun ia sudah rapi dengan seragamnya.
Cica masih berselisih dengan Brian, suara bantingan piring dan gelas memekakan telingan Laura.
Teriakan Brian membentak Cica terdengar hingga ke kamarnya.
"Masih bersyukur kamu aku kasih uang. Segitu gak cukup huh?"bentak Brian arogan, istrinya ini tak menerima pemberian uang senilai 300 ribu.
Sekuat tenaga Cica menahan air matanya. Inilah pernikahannya dengan Brian, ia kira Brian itu sama dengan Antariksa yang perhatian, penyayang, dan penurut.
Cica menggeleng. "Gak cukup! Seharusnya kamu bekerja lebih keras lagi! Mau di kasih makan apa huh? Aku dan Laura?"
Brian tertawa. "Apa kamu sendiri yang menghabiskan uang itu untuk belanja?"tanya Brian menusuk, Cica pandai ber-drama dengannya.
Cica gelagapan. Brian tidak boleh tau kedoknya. "Kamu nuduh aku? Uang segitu, Laura yang menghabiskannya! Belanja sama temen-temennya ke mall,"Cica mengalihkan tuduhan. 'Enak aja aku yang di salahin. Cuman belanja sekali doang gak pernah. Yaudah uangnya aku pake,' kata Cica dalam hati. Iri dengan para tetangganya yang memiliki perhiasan, mobil, dan rumah yang bagus. Sedangkan dirinya rumah bercorak zaman dahulu, tua, pintunya rusak, aliran air sering bermasalah, genteng bocor, cat belum di ganti hingga mengelupas dan ada beberapa lumut dan jamur yang mulai tumbuh.
Di kamarnya, Laura menggeleng lemah. Cica menuduhnya.
"Bukan Laura bu. Bahkan uang jajan aja ibu gak ngasih," Laura teduduk, bersandar pada pintu. Sampai kapan hingga kedua orang tuanya selesai bertengkar, dirinya ingin berangkat ke sekolah. Laura, tak ingin terlambat dan menabung poin di buku hijau.
Laura menyeka air matanya. "Laura harus berangkat, iya. Daripada nanti di marahin bu Setyaningrum,"ia melangkah menuju jendela yang sudah terbuka, dirinya bersiap kabur.
Setelah keluar, Laura bergegas lari. Membuka gerbang yang sebatas dada itu perlahan agar tidak menimbulkan bunyi.
Laura berlari, mencari angkot. Hanya uang tiga ribu satu-satunya agar bisa cepat sampai ke sekolah.
Sebuah angkot datang dari arah timur. Laura melambaikan tangannya. Angkot itu berhenti.
Saat masuk, Laura harus rela berjubel dengan para penumpang mulai dari yang membawa ayam jantan, keranjang belanja dari pasar, hingga tiga kardus mie instan yang semakin mempersempit ruangnya. Laura gerah.
'Ya ampun, semoga gak macet,' Laura terus berdoa agar angkot ini tidak terus-terusan berhenti mencari penumpang baru. Laura menatap jam tangannya, limabelas menit lagi bel masuk.
"Pak, cepetan dong!"protes Laura tak sabaran.
"Sabar neng. Ini juga ngebut," ujar sang supir, bahkan angkotnya sudah penuh.
Kernet berdiri menagih uang. "Ayo-ayo duitnya di siapin. Yang mau sampai juga, jangan sampai gak bayar,"
Laura menyodorkan uang tiga ribunya. "Ini mas,"
Sang kernet mengernyit heran. "Cuman tiga ribu? Mana cukup ini!"suaranya naik satu oktaf, marah. Pembayaran harus sesuai dengan jarak yang di tempuh, tidak bisa bernegoisasi.
Laura berdecak kesal, inilah yang ia tak suka saat naik angkot. "Gak ada lagi mas. Cuman uang itu yang saya punya,"ucapnya sendu agar mendapat rasa iba dari sang kernet.
"Yaudah, deh. Tapi lain kali jangan bayar segini ya. Bisa di turunin di jalan kamu," nasehatnya, tak tega. Mungkin sedang ada kendala dalam segi ekonominya.
Angkot berhenti di depan SMA Permata. Laura menghela nafasnya kecewa saat gerbang sudah di tutup dan bu Setyaningrum berjaga di depan gerbang dengan buku besarnya yang berisi catatan siswa yang melanggar peraturan dan tata tertib sekolah.
Laura berjalan dengan hati yang ia siapkan, mendapatkan poin 2 karena terlambat. Meskipun sedikit jika di total dalam satu bulan poin akan melebihi 40 dan di keluarkan dari sekolah.
Bu Setyaningrum menatap Laura si murid teladan baru kali ini datang terlambat.
"Laura? Kenapa terlambat?"tanya bu Setyaningrum curiga, rata-rata alasan semua murid itu macet, mogok di tengah jalan, dan tidak di beri uang saku.
Laura gugup. "S-saya tadi nyari angkot dulu bu," jawabnya takut-takut. Bohong, padahal aslinya tertunda karena pertengkaran kedua orang tuanya di pagi hari.
Bu Setyaningrum tidak akan percaya semudah itu Ferguso. "Tulis nama kamu, kelas. Dan tanda tangan," bu Setyaningrum memberikan buku besarnya pada Laura.
Dengan tangan bergetar Laura menuliskan nama dan kelasnya. Poin ini akan tampil dalam rapot bulanan atau pun pada saat naik kelas, karena ter-akumulasi hingga sampai kelas 12.
"Sudah bu. Apa saya boleh masuk?"tanya Laura dengan polosnya.
Bu Setyaningrum tertawa renyah. "Masuk?"tanyanya tegas. Tak ada perbedaan bagi murid manapun jika terlambat, bolos atau tertangkap basah ingin kabur dari sekolah, maka di haruskan berdiri di depan sang saka merah putih dengan hormat hingga bel pulang berbunyi. Agar para murid jera dan tidak mengulanginya lagi.
"Berdiri di sebelah saya dengan kaki kanan di angkat dan kedua tangan menyilang memegang telinga. Laura, apa kamu paham?"tanya bu Setyaningrum membuyarkan lamunan Laura.
Laura tersadar. "Paham bu,"
Datanglah satu OSIS yang membawa kamera bersiap memotret murid yang kurang disiplin itu untuk di terbitkan dalam majalah sekolah setiap 6 bulan sekali.
Laura di potret, cewek itu menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Percuma Laura, karena kamu tidak memakai topi. Poin kamu menjadi enam," bu Setya mencatat nama Laura di buku besarnya beserta jumlah poinnya.
'Astaga, kok sampai lupa sih?'batin Laura cemas, poinnya sudah enam. Seandainya ada mesin waktunya Doraemon, sudah di pastikan Laura ingin mengecek atribut kelengkapan seragamnya mulai dari dasi, topi, dan sepatu berwarna hitam di hari Senin sampai Kamis, Jumat dan Sabtu bebas berwarna.
"Ehem, permisi. Cowok ganteng datang nih," ujar Juna. Terlambat karena mampir ke pasar membeli lauk pauk, titah dari sang ibunya, Rinai Pelangi.
Bu Setyaningrum beralih menatap Juna. "Terlambat lagi?"ia jengah melihat wajah Juna pertama kalinya di pagi hari jika karena terlambat, kalau bukan karena itu pasti alasan nyeleneh lainnya.
"Iya bu. Tadi baru ke pasar beliin sayuran sama ikan, di suruh ibu. Bangun subuh lagi, jadi setengahnya saya tidur bentar," jawab Juna dengan entengnya.
"Laura! Kamu boleh masuk, ulangan kali ini semuanya wajib hadir," suara bu Rika membuat Laura girang setengah mati, akhirnya selamat dari jeratan bu Setyaningrum.
Pak Satpam pun membukakan gerbang untuknya.
Juna mencoba untuk masuk namun bu Setyaningrum menahannya.
"Eits, khusus kamu tetep disini sampai bel istirahat,"ia mencatat nama Arjuna Zander Alzelvin ke dalam buku besarnya, jika murid bandelnya ini yang menulis yang ada rumus matematika di jadikan gombalan.
Juna menatap kepergian Laura. "Enak bener yang di bolehin masuk. Wah, gak bisa di biarin nih,"Juna merampas buku besar yang tadinya di pegang oleh bu Setyaningrum.
Juna mencari nama Laura. "Laura Rastanty, kelas 11 Ips 1,"Juna akan notice Laura, karena cewek itu dirinya tak bisa masuk. Dewi Fortuna tidak adil hingga memihak pada Laura.
"Saya juga lagi ulangan dadakan bu. Kalau disini terus, yang ada pak Madun nanti marahin saya. Nilainya jadi telur dengan senyuman dong bu,"Juna mencari-cari alasan.
Bu Setyaningrum menggeleng tak percaya. "Alasan klasik itu. Nanti saya tanyakan ke pak Madun, kamu bohong kan?"
Juna jengah, sampai kapan dirinya berpikir keras mencari alasan lainnya kalau bu Setyaningrum terus mewawancarainya?
🍁🍁🍁
Saat jabatan menjadikan seseorang berkuasa tanpa pandang bulu. -Laura🍁🍁🍁Saat bel istirahat, Juna gunakan waktu 15 menit ini sebaik mungkin agar Laura sama-sama merasakan derita hukuman bagi para murid yang terlamabat.Juna memasuki kelas 11 Ips 1. Seluruh penghuni kelas itu tak jadi keluar karena kehadiran Juna yang tiba-tiba."Disini yang namanya Laura, maju di hadapan saya," ucap Juna tegas dan menusuk. Semuanya terdiam, tatapan mereka tertuju pada Laura yang tengah ketakutan.Laura di dorong maju, hingga ia terjatuh. Tak siap untuk melangkah. "Ini kak, Lauranya," kata sang ketua kelas, Bram.Laura berusaha berdiri. Kakinya sakit, terkilir.Juna membantu Laura berdiri. "Ikut saya," ia menyeret Laura meskipun cewek itu terseok jalannya. Namun, hukuman terlambat tetaplah berlaku.Laura berusaha melepaskan jeratan tangan Juna sekuat, namun gagal."Mau kabur? Gak bisa, Laura. Bu Setyaningrum menunggu di depan gerbang sekolah,"
Mengklaim seseorang tanpa jawaban itu membuat siapapun kesal. -Laura🍁🍁🍁Setelah bel istirahat usai, semua murid SMA Permata memasuki kelasnya masing-masing, bu Setyaningrum mulai beroperasi mengelilingi seluruh sudut sekolah baik yang nampak dan tersembunyi seperti rooftop dan markas, jangan lupakan warung nongkrong andalan geng Meteor itu.Juna, Radit, Adit, Jaka dan Satya berjalan beriringan. Sam dan Alvaro? Nongkrong di warmac warung marconi.Bu Setyaningrum tersenyum puas saat geng Meteor itu, tunggu. Sepertinya kekurangan dua personilnya.Kelima cowok itu menggentikan langkahnya."Sam dan Alvaro kemana?"tanya bu Setyaningrum curiga, sebuah penggaris dan buku besar di kedua tangannya."Menghitung lumut bu," jawab Jaka ngawur, memang kedua temannya suka lumut, jamur, spora, klorofil, dan akar untuk penelitian pribadinya."Ke toilet sambil foto di kaca yang lagi nge-hits di Instagram itu bu," celet
Janganlah melanggar tata tertib sekolah kalau ingin aman dari ruang Bk dan poin. -Alvaro🍁🍁🍁Laura yang tengah belajar Geografi pun di labrak oleh dua primadona SMA Permata. Tiara dan Rani.11 Ips 1 yang masih beberapa penghuni yang baru hadir. Beralih menatap peristiwa besar yang akan terjadi.Tiara menggebrak meja hingga Laura terlonjak. "Heh! Lo kan yang namanya Laura? Ngaku!" semprot Tiara, datang tak di undang pulang tak mau di antar.Rani mendorong bahu Laura. "Jawab dong! Punya mulut kan? Apa suara lo habis?"Laura menunduk takut. "I-iya, bener," jawabnya terbata. 'Apa gara-gara dekat sama kak Juna?' Laura akan menghindari ketua geng Meteor itu daripada tertimpa masalah lebih banyak lagi."Jauhin Juna! Karena Juna bakalan di jodohin sama gue. So, jangan ngarep deh. Karena lo gak bisa mengambil hati tante Rinai sama om Antariksa," ujar Tiara dengan sombongnya, sudah dari kecil ia di jodohkan dengan Juna, pilihan mamanya emang top ma
Jika keberadaanmu terancam, aku akan menjadi garda terdepan. -Juna🍁🍁🍁Untungnya hujan beralih menjadi gerimis, lantai yang basah membuat siswa yang menuju kantin berjalan hati-hati jika tak ingin terpeleset dan di tertawakan teman sendiri sebelum di tolong atau tidak sama sekali.Sam menarik seragam Alvaro sebagai pegangan, Jaka berpegangan tangan Satya, Radit dan Adit masih di kelas mempersiapkan dagangannya es selendang mayang yang akan di perjual belikan di kantin, kantor, atau beberapa staf TU dan Satpam sekolah."Tau aja gue bantuin Radit, kasihan," gerutu Alvaro menyesal.Sam menepuk bahu Alvaro. "Heh, kan ada Adit adiknya. Udahlah, mending makan-makan sepuasnya," ucap Sam enteng.Alvaro menatapnya sengit. "Ya gendutlah! Gue gak mau ya tubuh gemuk gak atletis lagi," omel Alvaro pada Sam.Satya dan Jaka jengah."Kalian diem dong, dari pelajaran bu Eni berisik teros!" protes Jaka, sampai pelajaran sejarah tadi tidak melekat di
Satu dua buah nanas. Liat kamu sama dia hatiku panas. -Juna🍁🍁🍁"Haduh, jadi gak ikut ulangan ekonomi kan. Ngapain pingsan segala sih," gerutu Laura kesal, inilah yang ia benci dari penyakitnya. Pingsan berujung UKS atau pulang yang nantinya di marahi sang ibu karena penyakitan.Juna meraih pergelangan tangannya. "Kamu kan masih belum baikan. Mending disini aja deh,"Laura menoleh. "Gak usah sok perhatian. Karena kak Juna bukan siapa-siapaku," tegas Laura menusuk."Kata siapa? Kamu itu sekarang pacarku," kata Juna dengan enteng dan santainya."Mimpi aja terus," Laura melangkah pergi dan berlari menghindari Juna. Ia tak ingin hidupnya penuh masalah di sekolah, cukup di rumah.Laura terlalu fokus melihat le belakang memastikan keberadaan Juna hingga gak sadar menabrak seseorang dan sesuatu yang terjatuh."Eh, maaf ya. Aku tadi di kejar banteng," ucap Laura tak enak hati, Bram mengambil pensilnya yang tadinya lancip menjadi tum
Ketika seseorang berada di puncak emosinya siapapun menjadi pelampiasannya. -Anonimous🍁🍁🍁Di markas Batalion, Adnan menyusun straegi penyerangan. Reza menyarankan rencana cadangan, yaitu pasukan di tambah dari jumlah 80 menjadi 100."Boleh juga, tapi itu buat jaga-jaga kalau nantinya kita kalah. Reza, baseball punya lo sudah siap?" tanya Adnan menelisik tampilan Reza yang seperti preman pasar."Siap bos," jawab Reza lantang, siap menumbangkan geng Meteor si penguasa jalanan."Fif, lo ikut gak?" tanya Adnan, Afif tak berminat tawuran, namun jika keadaan genting Afif akan turun tangan.Afif menggeleng. "Maaf mas Adnan. Hari ini saya menghadiri acara al-banjari," inilah Afif, seorang cowok yang selalu memprioritaskan agama. Tertarik pada perempuan pun tak berani, takut khilaf nantinya."Iya gak masalah kok fif. Tapi nanti setelah acaranya selesai, markasnya lo jaga ya," pesan Adnan, takutnya nanti geng Meteor melakukan aksi
Kehilangan itu menyakitkan. Lebih sakit lagi dia menjauh dan melupakan. -Adnan🍁🍁🍁"Masa lalu, biarlah masa lalu. Jangan kau ungkit, jangan ingatkan aku. Masa lalu, biarlah masa la-," belum selesai Sam konser dadakan, Satya memitingnya gemas, di keadaan genting begini Sam dan Alvaro terkadang bercanda."Swtyw! Lpswn gwe!" teriak Sam, wajahnya tenggelam di dada Satya.Baroto yang melihat itu menggeleng heran. "Kalian gak ada yang mau pulang?""Nanti dulu pak. Masih laper nih," curhat Radit dan Adit. Keduanya tukang makan, sama seperti Sam dan Alvaro."Ya sudah, kalau ada apa-apa hubungi saya langsung ya," pak Baroto pamit, meskipun Alvaro berandalan, urakan, namun bagaimanapun juga Baroto sayang pada Alvaro.Ponsel Juna berdering, nama Yudha terpampang jelas."Gawat bos! Markas kita di obrak-abrik sama Batalion. Mereka Ngepung markas, cuman beberapa yang lolos bos," lapor Yudha, di seberang sana motor Yudha melaju kencang. Ja
Satu dua jalan hati-hati. Lukaku pelan-pelan kau obati. -Juna🍁🍁🍁"Udah, kalian terus aja bergosip. Buruan bawa teman kalian yang sekarat ini," suruh Radit jengah. Ia membopong Adit ke motornya, mungkin tendangan Irham-lah yang begitu beringas daripada Rizky."Iya dit, bawelnya cangkeme," Alvaro menuruti, Alvaro yang melihat kondisi tiga bawahan Satya pun kecewa, karena tak ada yang menang di antara ketiganya.Adnan mengendap-endap, dengan pisau lipat di tangannya serta sarung tangan agar sidik jari tak bisa di selidiki. Mata Adnan fokus pada Juna yang masih bergeming, sedang melamun atau memikirkan sesuatu.Keenam anak buah Juna pun masih sibuk mengobrol dan berdebat pendapat terutama Sam dan Alvaro yang tiada habisnya.Adnan menusuk perut Juna dari depan, cowok itu beralih menghadap nya dengan wajah syok sekaligus menahan rasa sakitnya karena Adnan semakin memperdalam tusukannya.Adnan tertawa remeh, Juna tak bisa berkat