Share

3. Ancaman Juna

Mengklaim seseorang tanpa jawaban itu membuat siapapun kesal. -Laura

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Setelah bel istirahat usai, semua murid SMA Permata memasuki kelasnya masing-masing, bu Setyaningrum mulai beroperasi mengelilingi seluruh sudut sekolah baik yang nampak dan tersembunyi seperti rooftop dan markas, jangan lupakan warung nongkrong andalan geng Meteor itu.

Juna, Radit, Adit, Jaka dan Satya berjalan beriringan. Sam dan Alvaro? Nongkrong di warmac warung marconi.

Bu Setyaningrum tersenyum puas saat geng Meteor itu, tunggu. Sepertinya kekurangan dua personilnya. 

Kelima cowok itu menggentikan langkahnya. 

"Sam dan Alvaro kemana?"tanya bu Setyaningrum curiga, sebuah penggaris dan buku besar di kedua tangannya. 

"Menghitung lumut bu," jawab Jaka ngawur, memang kedua temannya suka lumut, jamur, spora, klorofil, dan akar untuk penelitian pribadinya. 

"Ke toilet sambil foto di kaca yang lagi nge-hits di Instagram itu bu," celetuk Radit, selain meneliti kedua temannya ini menyukai photography aestetic nuansa golden hour.

Bu Setyaningrum semakin pusing mendengar alasan nyeleneh dari mereka. "Satya, apa kamu tau?"tanya bu Setyaningrum, beralih menatap Satya. 

"Warung bu," jawab Satya terlalu jujur, habislah Sam dan Alvaro.

"Ckck, tega lo Sat," ucap Jaka menggelengkan kepala.

Satya menatap Jaka tajam. "Jangan panggil Sat," ujarnya kesal, jangan Jaka yang menirukan sang adiknya, Nafisa. 

Jaka menyengir. "Iya deh. Maaf," 

Satya mudah tersinggung. Entah dalam kata atau perbuatan. 

"Terima kasih Satya. Kamu memang teman terbaik," ucap bu Setyaningrum bangga.

"Kok bangga bu?" tanya Jaka terheran-heran. 

"Karena Satya ingin yang terbaik bagi mereka," setelahnya, bu Setyaningrum berlalu.

Jaka menyenggol bahu Satya. "Lo sih Sat, gak kasihan apa sama mereka?" nanti Sam dan Alvaro akan menjalani hukuman yakni membersihkan kaca seluruh kelas. Toilet? Sudah klasik, tak ada yang jera malahan.

"Biarin," kata Satya datar. 

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Bu Aisofa tengah menjelaskan tentang peta. Hanya sekitar 0.01% dari 99% mereka memilih pura-pura baca buku yang aslinya novel, bersembunyi di balik tubuh gendut demi mencari aman untuk tidur lebih tenang. 

"Baiklah sampai disini penjelasannnya. Laura, silahkan ambil peta di meja saja ya," bu Asiofa lebih mempercayai Laura, seusai ke kantor langsung ke kelas, bukan mampir ke kantin membeli jajanan dan air minum. 

Laura mengangguk. "Baik bu,"

Saat Laura melangkah dalam perjalanan menuju kantor guru, Juna yang tengah fokus bermain ponselnya pun menabrak Laura.

Ponsel Juna terlempar. 

Laura ketakutan. "M-maaf, tadi aku gak sengaja," bahkan dirinya tak berani menyalahkan Juna.

"Gak sengaja? Enak banget kalau ngomong!" sentak Juna emosi, ia mengambil ponselnya. Memeriksa apakah masih bernyawa, namun mati.

"Ponsel gue mati! Gara-gara lo!" Juna menunjukkan ponselnya yang tak bernyawa lagi.

Perasaan Laura di serang rasa bersalah. "M-maaf, sini aku benerin," Laura menengadahkan tangannya. Namun Juna tak meresponnya.

"Ganti," tukas Juna dingin, tak mau tau. Meminta uang pada ayahnya yang ada bambu runcing sebagai ancaman, menabung dalam 6 bulan dari uang sakunya itu tak mudah.

Laura melongo, ganti? Ponsel Juna saja seperti keluara terbaru, warnanya mengkilat. "Tapi, aku kan gak punya uang," ujar Laura takut-takut.

"Gak usah alesan deh. Pokoknya ganti rugi," bantah Juna tak mau tau. Yang bersekolah di SMA Permata kalangan berada, hanya sebagian sedikit saja karena bantuan beasiswa.

"Terus, aku dapat uangnya darimana?" tanya Laura dengan polosnya.

Juna menghela nafasnya, gregetan dengan kepolosan seorang Laura. "Ya kerjalah!atau gak hutang ke siapa kek," jawab Juna ngegas.

"T-tapi kalau gantiin uangnya itu susah kak. Aku gak mau tiap hari di labrak depkolektor," ujar Laura dengan suara bergetar, ia ingin menangis. 

Mendengar Laura akan memangis, perasaan Juna sedikit bersalah. Apakah ia berlebihan? 

"Yaudah, lo penuhin syarat gue aja," tukas Juna memutuskan, sebuah ide cemerlang dengan keuntungan terlintas dk benaknya. 

'Semoga syaratnya gak aneh-aneh,' batin Laura berdoa dalam hati. Mengenai Juna adalah ketua geng Meteor yang kemungkinan akan menjadikannya tawanan atau taruhan bukan?

"Jadi pacar gue sekaligus pembantu pribadi. Gimana?" ya, Juna ingin mencoba yang namanya asmara di masa-masa SMA, hanya bermain-main.

"P-pacar? Tapi kan orang tuaku gak ngebolehin," Laura berlasan lagi, karena ayahnya tak suka jika dirinya di sakiti, khianati oleh cowok siapapun.

"Gue bisa yakinin orang tua lo," ucap Juna tegas, lagipula pacaran ala dirinya tidaklah menye-menye seperti biasanya, Laura hanya membantu saja. Tidak yang lebih seperti perasaan cinta yang tiba-tiba hadir.

"Mau gak?" sentak Juna tak sabaran, sudah baik ia berikan keringanan.

"I-iya kak, mau," Laura harus menyiapkan mental, fisik, hati, jantung, jasmani dan rohani ketika sudah memasuki lingkaran hitam dari seorang Arjuna Zander Alzelvin.

"Aku permisi dulu ya kak," Laura berlalu, berlari kecil menghindari Juna. Pasti bu Aisofa sudah menggu lama, semua ini karena Juna yang terlalu fokus pada ponselnya.

Juna menatap kepergian Laura hingga hilang berbelok di ujung koridor. 

Juna tersenyum miring. "Laura, target saya dalam permainan cinta," gumam Juna, jika kepada siswa yang bukan anggota geng Meteor Juna memanggil 'lo-gue,' kata 'aku-kamu,' tunggu saja hingga semut beranak gajah, tak akan pernah dan tidak sama sekali Juna ucapkan.

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Bel pulang sekolah berbunyi, sorakan, teriakan heboh, hingga tak sabaran keluar dari kelas hingga pintu yang tak seluas daun kelor itu pun menjadi rebutan para siswa. 

"Weits, sabaran dong. Gue hampir jatuh nih," keluh Bram, sang ketua kelas yang terhimpit. 

Laura memilih menunggu hingga siswa berjumlah 34 ekor itu keluar. 

Setelah semuanya keluar, Laura melangkah keluar kelas, pulang hari ini ia jalan kaki. Uangnya habis, terakhir dua ribu itu ia belikan jajan ciki daripada roti yang harganya mahal.

Saat melewati parkiran sekolah, langkahnya terhenti karena Juna menghadangnya.

"Kali ini, lo pulang sama gue," keputusan Juna yang seolah sambaran petir di siang bolong pun menjadi daya tarik beberapa siswa yang belum beranjak keluar, entah menunggu guru ekstrakulikuler dan duduk manis sambil makan.

"Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri," tolak Laura, tak enak hati. Nanti sang ayah akan me-wawancarainya habis-habisan jika pulang di antar seorang cowok.

"Lo nolak penawaran gue?" tanya Juna tersulut emosi. 

"B-bukan itu kak, nanti ayahku marah kalau di anterin cowok," Laura ingin segara kabur daripada Juna terus-terusan memaksa. Pendirian cowok itu tidak bisa di bantah.

Sam, Alvaro, Radit, Adit, Jaka dan Satya hanya menonton. Baru kali ini Juna berurusan dengan seorang cewek, dan itu Laura. Cewek terpilih dari seribu delapan puluh siswa SMA Permata. 

"Laura berani banget ya nolak tawaran bos Juna?" tanya Sam mengunyah permen karet. 

Alvaro mengedikkan bahunya. "Tau tuh, lagian jarang-jarang bos Juna se-baik ini sampai nawarin nganter pulang," apakah Juna telah melamun di pohon mangga? Dan di sapa mbak kunti? Semuanya masih abu-abu.

Juna menarik tangan Laura menuju motor ninjanya. 

Laura meronta. "Kak, lepasin! Aku bisa pulang sendiri" teriak Laura histeris, menarik perhatian orang. 

"Aku bawa sepeda kak!" bantah Laura, meskipun tadi pagi ia naik angkot. Sepedanya ia titipkan di rumah bu Yam, jika di rumah sudah di jual, cukup lumayan meskipun 500 ribu.

Juna menghentikan langkahnya. "Sepeda? Mana?" Juna menelisik parkiran sekolah, rata-rata mobil alphard, dan motor ninja bagi beberapa siswa. 

"Gak ada tuh, jangan cari alesan ya! Pulang bareng gue kenapa ribet banget sih?" Juna geram, Laura tak tau terima kasih dengannya. 

"Pokoknya aku gak mau!" Laura melepaskan cengkraman Juna kasar, ia berlari mencari ojekan.

Juna yang hendak mengejar Laura, di tahan oleh Satya. 

"Udahlah bos, kalau dia gak mau jangan di paksain," ujar Satya lembut, Juna selalu emosi.

Juna menghela nafasnya, tenaga dalamnya serta kekuatan marahnya seperti angry bird terkuras habis. 

"Yuk, ke warmac," ajak Juna menghilangkan kegabutan, kemarahan, kegregetan dengan gorengan bu Marconi yang selalu hangat, pedas, dan maknyus.

"Let's go besties," sorak Sam dan Alvaro kompak.

"Heh! Kita cowok, bukan girl," bantah Jaka kesal, Sam dan Alvaro kebanyakan nontom DIY miniatur.

"Iya-iya, gitu aja marah Jak," ujar Alvaro datar, alasan ia dan Sam lucu itu agar menyingkirkan kehidupan monoton kelima kutub es geng Meteor

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status