Kehebohan.
Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi. "Bisa jadi mereka berdua korban penculikan." Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai. Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi. Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti. "Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun! "Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu nama anak itu?" Tatapan sepasang pasutri yang ia tanyai, menjawab apa yang tak lagi perlu dijawab. Mereka hanya orang asing yang kebetulan bertemu dengan sepasang bocah di tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Di bawah guyuran hujan juga gelapnya malam. "Terimakasih atas bantuannya." Jabatan tangan erat petugas polisi membuat sepasang pasutri yang cucunya sudah lelap, merasa sedikit lega. Setidaknya mereka yakin, dua bocah yang mereka temui akan berada di tangan yang tepat. "Le', bangun." Rendra membuka mata kantuknya dan langsung melihat senyum sang nenek yang matanya memancarkan kesedihan, "ayo pulang." Dan ucapan sang nenek membuatnya melihat dua tubuh yang terlelap di atas satu brankar sama. Karena bocah perempuan yang dalam tidurnya pun menggenggam tangan sang adik, tak mau dipisahkan. Bocah sama yang tidak mengeluh saat luka di dadanya dijahit. Apalagi menangis. Bocah yang harus mendapat transfusi darah itu hanya diam, rapat menutup mulut, sementara pandangan matanya tak ingin lepas dari bocah lelaki yang masih lelap berkat obat. "Mereka aman bersama kami." Ucapan meyakinkan itu membuat sepasang pasutri yang tangannya digandeng Rendra, melirik brankar. Malam tak terduga yang mereka lewati tidak mungkin hilang dari ingatan. Dan di sepanjang jalan, wanita paruh baya yang memilih duduk di belakang, mendekap erat tubuh sang cucu. Meski di sepanjang jalan tak banyak kalimat tercipta, setiap kali pandangannya bertemu dengan sang suami, rasa aman menjalar pada diri. "Semoga anak-anak itu segera bertemu orang tua mereka, Pak." Jika saja sepasang suami istri ini tahu apa yang sudah terjadi pada dua bocah yang mereka tolong, masihkan doa tulus yang terucap itu diamini? Sementara di tempat yang sudah mereka tinggalkan, bocah perempuan yang jahitan di dadanya akan meninggalkan bekas, membuka mata. Menatap pipi gembil sang adik yang kini hanya memiliki dirinya sebagaimana ia yang kini hanya memiliki sang adik. "Nang, kita harus pergi kemana?" Dan tanya yang terucap tak mampu didengar petugas berseragam yang suara dengkurannya keras. **** ***** ****** Tukang rongsok yang memanggul kerupuk untuk ditukar dengan barang apa saja, melirik rumah yang pintunya lebar terbuka. Suara dua bocah yang biasanya terdengar entah dari dalam rumah maupun pekarangan, tidak ia dapati. "Lihat apa, Kang Sorep?" "Ini, Kang, rumah pak Efendy tumben sepi padahal pintunya kebuka." Yang di beri jawab ikut melongok, penasaran juga karena sejak pagi ia tidak mendengar suara dari rumah tetangga yang pintunya terbuka sejak ia keluar rumah untuk memberi pakan ayam. Bahkan, lampu yang menyala nampak tidak dimatikan. "Iya, tumben. Coba tak panggil, Kang Sorep." Pedagang rongsok yang ditinggal, merasa heran karena panggilan untuk pemilik rumah yang pintunya terbuka lebar itu tidak mendapat sahutan. "Pak Efendy, assalamualaikum. Pak!" Tidak sahutan dari sepasang pasutri yang tinggal di rumah itu ataupun dua anak mereka yang suaranya ramai meski hanya berdua. "Tidak ada di rumah, Kang?" Dengan sedikit berseru supaya suaranya terdengar pedagang rongsok itu bertanya. "Ada, Kang Sorep, lagi duduk di- "Di?" Tanya pedangnya rongsok yang mengerutkan dahi saat orang yang masuk ke dalam rumah keluar lagi, tapi, hanya diam di ambang pintu. Ia yang bisa melihat jadi setakberwarna apa wajah orang yang masuk ke dalam rumah, mendekat. "Pak Efendynya ada dimana, Kang?" Namun, pedagang rongsok yang hanya mendapat lirikan itu terkejut karena langkahnya yang ingin masuk ditahan. "Ja-jangan masuk." Bahkan kalimat larangan terucap dari lelaki yang wajahnya benar-benar pucat. "Tolong panggilkan pak RT, saja." Dahi kang Sorep makin dalam berkerut. Matanya yang bisa melihat siapa yang duduk di atas tanah merasa makin heran. "Buat apa, Kang-" "Panggil saja!" Dan seruan itu membuatnya menunjukkan wajah tak terima. "Maaf, Kang Sorep. Tapi ... tolong panggilkan saja pak RT. Saya- saya mohon." Penasaran, kaget, tersinggung, dan kini pedagang rongsok yang bisa melihat punggung pemilik rumah yang hanya diam tak menjawab saat dipanggil, dibuat tak bisa berkata-kata. "Bawa saja, Kang." Dan ia hanya mengangguk, urung meletakkan keranjang di atas tanah yang pintu rumahnya terlarang untuk ia masuki. Kenapa? Entahlah. Tukang rongsok yang menurut hanya langsung berbalik, mencuri pandang pada punggung pemilik rumah yang duduk di atas tanah sebelum meninggalkan lelaki berwajah pucat yang melirik ke dalam rumah dengan rasa yang hanya bisa ia terka juga tanya, "apa yang terjadi sampai aku tak boleh masuk?" Sementara pisau yang mencetak darah mengering, membuat lelaki yang wajahnya pucat ingat pada anak-anak Efendy yang celotehnya tidak ia dengar sejak pagi. Ia langsung berlari, mengelilingi rumah. Memanggil-manggil dua bocah yang membuat beberapa tetangga datang karena penasaran. "**NI! SANTO!" "Ada apa, Kang? Kenapa teriak-teriak?" Namun, belum sempat ia menjawab, jeritan terdengar dari dalam rumah. Membuat orang-orang berkerumun. "Kenapa?" "Ada apa?" "Kamu kenapa, Mbakyu?" Telat, lelaki yang sudah berhenti manggil anak-anak pemilik rumah tak lagi bisa mencegah keriuhan. "Mati, pak Efendy sama istrinya mati!" Sementara wajah tak percaya banyak mata penasaran, merangsek masuk. Melihat dua tubuh kaku yang tangannya bersentuhan. Seolah dalam kematian pun ingin terus bersama. "Ada apa ini rame-rame?" Tanya pak RT yang datang bersama tukang rongsok, membuat suara hening. Sementara mata yang memancarkan rasa ngeri tercetak begitu jelas dari wajah-wajah penuh penasaran dan terka. Sampai tukang rongsok yang akhirnya bisa masuk ke dalam rumah menjatuhkan keranjang yang ia pikul. "Bunuh diri! Pak Efendy bunuh diri, Pak RT! Bunuh diri!" Begitu keras si tukang rongsok itu berteriak, bahkan kehisterisannya tidak berkurang saat pak RT melewatinya lalu berhenti di samping dua tubuh kaku sepasang suami istri yang nampak seperti orang tidur. Hanya saja, bibir mereka membiru tanpa pergerakan. "Keluar! Semua keluar!" Perintah dengan seruan tegas membuat semua orang keluar tapi tetap berkerumun di pekarangan. Hati dan pikiran mereka melarang untuk beranjak meski langit sore makin menggelap pertanda petang datang. Bahkan anak-anak yang sudah siap mengaji urung ke surau. Bocah-bocah dengan tatapan polos itu tersenyum untuk jepretan kamera dari para pencari warta yang ikut datang bersama polisi. "Saya dengar anak-anak yang tinggal di rumah ini belum ketemu, Bu. Kira-kira anda tahu kemana mereka? Atau mereka sudah dilukai di suatu tempat?" Mata wanita yang masih menyimpan banyak tanya itu membesar. Ia menatap tajam wartawan yang begitu entengnya bertanya. Tapi ... dilukai di suatu tempat? Kalimat yang terulang di benak tidak hanya jadi tanyanya sendiri. Tapi, juga tanya beberapa orang yang juga ingin tahu kemana anak-anak yang celotehnya mereka hafal berapa. Namun, sampai tubuh kaku sepasang pasutri yang akhirnya dibawa keluar dalam kantong jenazah, keberadaan anak-anak itu tidak ditemukan. Anak-anak pak Efendy, tidak nampak dimanapun mereka dicari. Tidak bayangan mereka apalagi celoteh dan tawanya."Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy.""Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu.""Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit.""Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan.""Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk t
"Liat gak?""Gak liat aku.""Kalian gimana?""Nihil.""Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?""Tapi mereka beneran disini kan?""Tenang aja, informanku gak mungkin salah."Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung."Ui?"Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki."Ui, Ui."Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siap
Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk
"Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa
"Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in
"Runi, ayo kita pulang."Gedung dengan cat usang yang makin jauh tertinggal itu meninggalkan rasa pahit di dalam mulutku yang masih rapat menutup mulut.Tidak bersuara apa lagi menjawab ajakan mas rendra yang tatapannya kuraskan namun aku abaikan.Bahkan saat tanganku yang mas Rendra genggam ia kecup, aku masih tidak menoleh. Hanya menatap keluar.Dan lelaki yang tahu aku tidak akan merespon, menyalakan mesin kendaraan lalu melajukan kendaraanya menjauh dari gedung yang menjadi penjara bagi orang-orang yang mas Rendra kenal.Clara yang beberapa Minggu lagi melahirkan, Dedo yang terus mengatakan permintaan sama, Calista yang terlihat tidak perduli untuk segala hal, juga pak Bram yang butuh pertolongan.Sementara jalanan ramai yang klaksonnya dibunyikan dari banyaknya kendaran, tidak mampu mengusik diriku yang terus menatap keluar. Tidak sekalipun menoleh pada lelaki yang pandangannya terasa meski ia harus fokus pada jalan.Mas rendra yang tahu aku tidak ingin bicara, juga tidak mengata
Aku yang sudah dikuasai emosi, tidak memiliki keinginan untuk berhenti. Tongkat di tangan terus kuayunkan pada tubuh babak belur pak Bram yang terkulai di atas beton!'Apa yang sedang kulakukan?'Rasanya, sebaris kalimat itu muncul tapi tenggelam dalam emosi yang tak bisa kukendalikan.Sementara pak Bram yang tidak mampu memberi perlawanan ataupun menolak, memohon padaku yang bisa melihat Santo, adikku yang tubuhnya panas dan lemah, dipukuli hanya karena ia tidak ingin menjauh dariku yang kehilangan sadar!Di dalam kepala dan mataku, rasanya aku bisa melihat bagaimana tubuh lemahnya yang memilih tinggal di rumah dari pada kembali ke rumah perawatan, disentuh dengan cara yang kasar.Dan, dentuman keras tongkat yang kuayunkan mengalahkan lenguhan pak Bram yang pasti tidak menyangka, jika kejujurannya benar-benar meleburkan batas ketenanganku yang rasanya tidak lagi memiliki sisa!Tanganku serasa mati rasa. Telapak tanganku yang erat menggenggam tongkat serasa terbakar.Tapi, aku terus