Kehebohan.
Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi. "Bisa jadi mereka berdua korban penculikan." Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai. Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi. Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti. "Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun! "Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu nama anak itu?" Tatapan sepasang pasutri yang ia tanyai, menjawab apa yang tak lagi perlu dijawab. Mereka hanya orang asing yang kebetulan bertemu dengan sepasang bocah di tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Di bawah guyuran hujan juga gelapnya malam. "Terimakasih atas bantuannya." Jabatan tangan erat petugas polisi membuat sepasang pasutri yang cucunya sudah lelap, merasa sedikit lega. Setidaknya mereka yakin, dua bocah yang mereka temui akan berada di tangan yang tepat. "Le', bangun." Rendra membuka mata kantuknya dan langsung melihat senyum sang nenek yang matanya memancarkan kesedihan, "ayo pulang." Dan ucapan sang nenek membuatnya melihat dua tubuh yang terlelap di atas satu brankar sama. Karena bocah perempuan yang dalam tidurnya pun menggenggam tangan sang adik, tak mau dipisahkan. Bocah sama yang tidak mengeluh saat luka di dadanya dijahit. Apalagi menangis. Bocah yang harus mendapat transfusi darah itu hanya diam, rapat menutup mulut, sementara pandangan matanya tak ingin lepas dari bocah lelaki yang masih lelap berkat obat. "Mereka aman bersama kami." Ucapan meyakinkan itu membuat sepasang pasutri yang tangannya digandeng Rendra, melirik brankar. Malam tak terduga yang mereka lewati tidak mungkin hilang dari ingatan. Dan di sepanjang jalan, wanita paruh baya yang memilih duduk di belakang, mendekap erat tubuh sang cucu. Meski di sepanjang jalan tak banyak kalimat tercipta, setiap kali pandangannya bertemu dengan sang suami, rasa aman menjalar pada diri. "Semoga anak-anak itu segera bertemu orang tua mereka, Pak." Jika saja sepasang suami istri ini tahu apa yang sudah terjadi pada dua bocah yang mereka tolong, masihkan doa tulus yang terucap itu diamini? Sementara di tempat yang sudah mereka tinggalkan, bocah perempuan yang jahitan di dadanya akan meninggalkan bekas, membuka mata. Menatap pipi gembil sang adik yang kini hanya memiliki dirinya sebagaimana ia yang kini hanya memiliki sang adik. "Nang, kita harus pergi kemana?" Dan tanya yang terucap tak mampu didengar petugas berseragam yang suara dengkurannya keras. **** ***** ****** Tukang rongsok yang memanggul kerupuk untuk ditukar dengan barang apa saja, melirik rumah yang pintunya lebar terbuka. Suara dua bocah yang biasanya terdengar entah dari dalam rumah maupun pekarangan, tidak ia dapati. "Lihat apa, Kang Sorep?" "Ini, Kang, rumah pak Efendy tumben sepi padahal pintunya kebuka." Yang di beri jawab ikut melongok, penasaran juga karena sejak pagi ia tidak mendengar suara dari rumah tetangga yang pintunya terbuka sejak ia keluar rumah untuk memberi pakan ayam. Bahkan, lampu yang menyala nampak tidak dimatikan. "Iya, tumben. Coba tak panggil, Kang Sorep." Pedagang rongsok yang ditinggal, merasa heran karena panggilan untuk pemilik rumah yang pintunya terbuka lebar itu tidak mendapat sahutan. "Pak Efendy, assalamualaikum. Pak!" Tidak sahutan dari sepasang pasutri yang tinggal di rumah itu ataupun dua anak mereka yang suaranya ramai meski hanya berdua. "Tidak ada di rumah, Kang?" Dengan sedikit berseru supaya suaranya terdengar pedagang rongsok itu bertanya. "Ada, Kang Sorep, lagi duduk di- "Di?" Tanya pedangnya rongsok yang mengerutkan dahi saat orang yang masuk ke dalam rumah keluar lagi, tapi, hanya diam di ambang pintu. Ia yang bisa melihat jadi setakberwarna apa wajah orang yang masuk ke dalam rumah, mendekat. "Pak Efendynya ada dimana, Kang?" Namun, pedagang rongsok yang hanya mendapat lirikan itu terkejut karena langkahnya yang ingin masuk ditahan. "Ja-jangan masuk." Bahkan kalimat larangan terucap dari lelaki yang wajahnya benar-benar pucat. "Tolong panggilkan pak RT, saja." Dahi kang Sorep makin dalam berkerut. Matanya yang bisa melihat siapa yang duduk di atas tanah merasa makin heran. "Buat apa, Kang-" "Panggil saja!" Dan seruan itu membuatnya menunjukkan wajah tak terima. "Maaf, Kang Sorep. Tapi ... tolong panggilkan saja pak RT. Saya- saya mohon." Penasaran, kaget, tersinggung, dan kini pedagang rongsok yang bisa melihat punggung pemilik rumah yang hanya diam tak menjawab saat dipanggil, dibuat tak bisa berkata-kata. "Bawa saja, Kang." Dan ia hanya mengangguk, urung meletakkan keranjang di atas tanah yang pintu rumahnya terlarang untuk ia masuki. Kenapa? Entahlah. Tukang rongsok yang menurut hanya langsung berbalik, mencuri pandang pada punggung pemilik rumah yang duduk di atas tanah sebelum meninggalkan lelaki berwajah pucat yang melirik ke dalam rumah dengan rasa yang hanya bisa ia terka juga tanya, "apa yang terjadi sampai aku tak boleh masuk?" Sementara pisau yang mencetak darah mengering, membuat lelaki yang wajahnya pucat ingat pada anak-anak Efendy yang celotehnya tidak ia dengar sejak pagi. Ia langsung berlari, mengelilingi rumah. Memanggil-manggil dua bocah yang membuat beberapa tetangga datang karena penasaran. "**NI! SANTO!" "Ada apa, Kang? Kenapa teriak-teriak?" Namun, belum sempat ia menjawab, jeritan terdengar dari dalam rumah. Membuat orang-orang berkerumun. "Kenapa?" "Ada apa?" "Kamu kenapa, Mbakyu?" Telat, lelaki yang sudah berhenti manggil anak-anak pemilik rumah tak lagi bisa mencegah keriuhan. "Mati, pak Efendy sama istrinya mati!" Sementara wajah tak percaya banyak mata penasaran, merangsek masuk. Melihat dua tubuh kaku yang tangannya bersentuhan. Seolah dalam kematian pun ingin terus bersama. "Ada apa ini rame-rame?" Tanya pak RT yang datang bersama tukang rongsok, membuat suara hening. Sementara mata yang memancarkan rasa ngeri tercetak begitu jelas dari wajah-wajah penuh penasaran dan terka. Sampai tukang rongsok yang akhirnya bisa masuk ke dalam rumah menjatuhkan keranjang yang ia pikul. "Bunuh diri! Pak Efendy bunuh diri, Pak RT! Bunuh diri!" Begitu keras si tukang rongsok itu berteriak, bahkan kehisterisannya tidak berkurang saat pak RT melewatinya lalu berhenti di samping dua tubuh kaku sepasang suami istri yang nampak seperti orang tidur. Hanya saja, bibir mereka membiru tanpa pergerakan. "Keluar! Semua keluar!" Perintah dengan seruan tegas membuat semua orang keluar tapi tetap berkerumun di pekarangan. Hati dan pikiran mereka melarang untuk beranjak meski langit sore makin menggelap pertanda petang datang. Bahkan anak-anak yang sudah siap mengaji urung ke surau. Bocah-bocah dengan tatapan polos itu tersenyum untuk jepretan kamera dari para pencari warta yang ikut datang bersama polisi. "Saya dengar anak-anak yang tinggal di rumah ini belum ketemu, Bu. Kira-kira anda tahu kemana mereka? Atau mereka sudah dilukai di suatu tempat?" Mata wanita yang masih menyimpan banyak tanya itu membesar. Ia menatap tajam wartawan yang begitu entengnya bertanya. Tapi ... dilukai di suatu tempat? Kalimat yang terulang di benak tidak hanya jadi tanyanya sendiri. Tapi, juga tanya beberapa orang yang juga ingin tahu kemana anak-anak yang celotehnya mereka hafal berapa. Namun, sampai tubuh kaku sepasang pasutri yang akhirnya dibawa keluar dalam kantong jenazah, keberadaan anak-anak itu tidak ditemukan. Anak-anak pak Efendy, tidak nampak dimanapun mereka dicari. Tidak bayangan mereka apalagi celoteh dan tawanya."Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy.""Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu.""Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit.""Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan.""Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk t
"Liat gak?""Gak liat aku.""Kalian gimana?""Nihil.""Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?""Tapi mereka beneran disini kan?""Tenang aja, informanku gak mungkin salah."Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung."Ui?"Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki."Ui, Ui."Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siap
Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk
"Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re