Share

3. KEHISTERISAN DI SORE HARI

Kehebohan.

Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi.

"Bisa jadi mereka berdua korban penculikan."

Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai.

Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi.

Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti.

"Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun!

"Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu nama anak itu?"

Tatapan sepasang pasutri yang ia tanyai, menjawab apa yang tak lagi perlu dijawab.

Mereka hanya orang asing yang kebetulan bertemu dengan sepasang bocah di tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Di bawah guyuran hujan juga gelapnya malam.

"Terimakasih atas bantuannya."

Jabatan tangan erat petugas polisi membuat sepasang pasutri yang cucunya sudah lelap, merasa sedikit lega.

Setidaknya mereka yakin, dua bocah yang mereka temui akan berada di tangan yang tepat.

"Le', bangun."

Rendra membuka mata kantuknya dan langsung melihat senyum sang nenek yang matanya memancarkan kesedihan, "ayo pulang."

Dan ucapan sang nenek membuatnya melihat dua tubuh yang terlelap di atas satu brankar sama. Karena bocah perempuan yang dalam tidurnya pun menggenggam tangan sang adik, tak mau dipisahkan.

Bocah sama yang tidak mengeluh saat luka di dadanya dijahit. Apalagi menangis. Bocah yang harus mendapat transfusi darah itu hanya diam, rapat menutup mulut, sementara pandangan matanya tak ingin lepas dari bocah lelaki yang masih lelap berkat obat.

"Mereka aman bersama kami."

Ucapan meyakinkan itu membuat sepasang pasutri yang tangannya digandeng Rendra, melirik brankar.

Malam tak terduga yang mereka lewati tidak mungkin hilang dari ingatan. Dan di sepanjang jalan, wanita paruh baya yang memilih duduk di belakang, mendekap erat tubuh sang cucu.

Meski di sepanjang jalan tak banyak kalimat tercipta, setiap kali pandangannya bertemu dengan sang suami, rasa aman menjalar pada diri.

"Semoga anak-anak itu segera bertemu orang tua mereka, Pak."

Jika saja sepasang suami istri ini tahu apa yang sudah terjadi pada dua bocah yang mereka tolong, masihkan doa tulus yang terucap itu diamini?

Sementara di tempat yang sudah mereka tinggalkan, bocah perempuan yang jahitan di dadanya akan meninggalkan bekas, membuka mata.

Menatap pipi gembil sang adik yang kini hanya memiliki dirinya sebagaimana ia yang kini hanya memiliki sang adik.

"Nang, kita harus pergi kemana?"

Dan tanya yang terucap tak mampu didengar petugas berseragam yang suara dengkurannya keras.

****

*****

******

Tukang rongsok yang memanggul kerupuk untuk ditukar dengan barang apa saja, melirik rumah yang pintunya lebar terbuka.

Suara dua bocah yang biasanya terdengar entah dari dalam rumah maupun pekarangan, tidak ia dapati.

"Lihat apa, Kang Sorep?"

"Ini, Kang, rumah pak Efendy tumben sepi padahal pintunya kebuka."

Yang di beri jawab ikut melongok, penasaran juga karena sejak pagi ia tidak mendengar suara dari rumah tetangga yang pintunya terbuka sejak ia keluar rumah untuk memberi pakan ayam. Bahkan, lampu yang menyala nampak tidak dimatikan.

"Iya, tumben. Coba tak panggil, Kang Sorep."

Pedagang rongsok yang ditinggal, merasa heran karena panggilan untuk pemilik rumah yang pintunya terbuka lebar itu tidak mendapat sahutan.

"Pak Efendy, assalamualaikum. Pak!"

Tidak sahutan dari sepasang pasutri yang tinggal di rumah itu ataupun dua anak mereka yang suaranya ramai meski hanya berdua.

"Tidak ada di rumah, Kang?" Dengan sedikit berseru supaya suaranya terdengar pedagang rongsok itu bertanya.

"Ada, Kang Sorep, lagi duduk di-

"Di?" Tanya pedangnya rongsok yang mengerutkan dahi saat orang yang masuk ke dalam rumah keluar lagi, tapi, hanya diam di ambang pintu.

Ia yang bisa melihat jadi setakberwarna apa wajah orang yang masuk ke dalam rumah, mendekat.

"Pak Efendynya ada dimana, Kang?"

Namun, pedagang rongsok yang hanya mendapat lirikan itu terkejut karena langkahnya yang ingin masuk ditahan.

"Ja-jangan masuk." Bahkan kalimat larangan terucap dari lelaki yang wajahnya benar-benar pucat.

"Tolong panggilkan pak RT, saja."

Dahi kang Sorep makin dalam berkerut. Matanya yang bisa melihat siapa yang duduk di atas tanah merasa makin heran.

"Buat apa, Kang-"

"Panggil saja!" Dan seruan itu membuatnya menunjukkan wajah tak terima.

"Maaf, Kang Sorep. Tapi ... tolong panggilkan saja pak RT. Saya- saya mohon."

Penasaran, kaget, tersinggung, dan kini pedagang rongsok yang bisa melihat punggung pemilik rumah yang hanya diam tak menjawab saat dipanggil, dibuat tak bisa berkata-kata.

"Bawa saja, Kang."

Dan ia hanya mengangguk, urung meletakkan keranjang di atas tanah yang pintu rumahnya terlarang untuk ia masuki.

Kenapa? Entahlah.

Tukang rongsok yang menurut hanya langsung berbalik, mencuri pandang pada punggung pemilik rumah yang duduk di atas tanah sebelum meninggalkan lelaki berwajah pucat yang melirik ke dalam rumah dengan rasa yang hanya bisa ia terka juga tanya, "apa yang terjadi sampai aku tak boleh masuk?"

Sementara pisau yang mencetak darah mengering, membuat lelaki yang wajahnya pucat ingat pada anak-anak Efendy yang celotehnya tidak ia dengar sejak pagi.

Ia langsung berlari, mengelilingi rumah. Memanggil-manggil dua bocah yang membuat beberapa tetangga datang karena penasaran.

"**NI! SANTO!"

"Ada apa, Kang? Kenapa teriak-teriak?"

Namun, belum sempat ia menjawab, jeritan terdengar dari dalam rumah. Membuat orang-orang berkerumun.

"Kenapa?"

"Ada apa?"

"Kamu kenapa, Mbakyu?"

Telat, lelaki yang sudah berhenti manggil anak-anak pemilik rumah tak lagi bisa mencegah keriuhan.

"Mati, pak Efendy sama istrinya mati!"

Sementara wajah tak percaya banyak mata penasaran, merangsek masuk. Melihat dua tubuh kaku yang tangannya bersentuhan.

Seolah dalam kematian pun ingin terus bersama.

"Ada apa ini rame-rame?" Tanya pak RT yang datang bersama tukang rongsok, membuat suara hening.

Sementara mata yang memancarkan rasa ngeri tercetak begitu jelas dari wajah-wajah penuh penasaran dan terka.

Sampai tukang rongsok yang akhirnya bisa masuk ke dalam rumah menjatuhkan keranjang yang ia pikul.

"Bunuh diri! Pak Efendy bunuh diri, Pak RT! Bunuh diri!"

Begitu keras si tukang rongsok itu berteriak, bahkan kehisterisannya tidak berkurang saat pak RT melewatinya lalu berhenti di samping dua tubuh kaku sepasang suami istri yang nampak seperti orang tidur.

Hanya saja, bibir mereka membiru tanpa pergerakan.

"Keluar! Semua keluar!"

Perintah dengan seruan tegas membuat semua orang keluar tapi tetap berkerumun di pekarangan. Hati dan pikiran mereka melarang untuk beranjak meski langit sore makin menggelap pertanda petang datang.

Bahkan anak-anak yang sudah siap mengaji urung ke surau.

Bocah-bocah dengan tatapan polos itu tersenyum untuk jepretan kamera dari para pencari warta yang ikut datang bersama polisi.

"Saya dengar anak-anak yang tinggal di rumah ini belum ketemu, Bu. Kira-kira anda tahu kemana mereka? Atau mereka sudah dilukai di suatu tempat?"

Mata wanita yang masih menyimpan banyak tanya itu membesar. Ia menatap tajam wartawan yang begitu entengnya bertanya.

Tapi ... dilukai di suatu tempat?

Kalimat yang terulang di benak tidak hanya jadi tanyanya sendiri. Tapi, juga tanya beberapa orang yang juga ingin tahu kemana anak-anak yang celotehnya mereka hafal berapa.

Namun, sampai tubuh kaku sepasang pasutri yang akhirnya dibawa keluar dalam kantong jenazah, keberadaan anak-anak itu tidak ditemukan.

Anak-anak pak Efendy, tidak nampak dimanapun mereka dicari.

Tidak bayangan mereka apalagi celoteh dan tawanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status