Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati.
12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah. Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu. "Bagus, tidak ada infeksi." Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru. "Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu." Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya. Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong. Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak. "Ui, Ui." Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk apa yang ia lihat dengan celoteh yang hanya bisa dipahami bocah perempuan itu. Hal yang biasanya berlaku untuk orang tua, paham apa yang anaknya ucapkan meski orang lain tidak tahu bahasa planet mana yang dicelotehkan anak-anak mereka. Dan hanya saat-saat seperti itu, bocah perempuan yang tak pernah mengeluhkan lukanya, tersenyum. Hal yang sudah dihafal dokter suka rela yang datang setiap hari Minggu untuk memeriksa anak-anak panti asuhan. "Nak, jangan kena air dulu, ya." Kalimat dokter Imron membuat bocah perempuan itu mengangguk, "terimakasih." Dan dokter Imron tersenyum untuk ucapan yang tidak pernah luput dari anak yang begitu iritnya dalam bertutur. Anak sama yang potretnya masih saja dicari sampai bocah perempuan itu dan adiknya berpindah-pindah tempat tinggal. Dari panti asuhan satu ke panti asuhan lain. Karena kemanapun ia dan adiknya pergi, para pencari warta mengikuti. Hal yang akan berujung pada keriuhan karena berpasang-pasang mata penasaran ingin tahu wajah anak-anak beruntung yang bisa selamat dari tindakan gila ayah mereka. Tapi beruntung? Sungguh kalimat tak berperasaan saat mata bocah perempuan yang diajak bicara adiknya begitu gelap menenggelamkan. Sikap dan wajahnya akan berubah begitu dingin saat adiknya tak melihat. Anak-anak panti bahkan enggan mengajak bocah perempuan ini bermain. Mereka menjaga jarak. Enggan bercerita tentang dengkuran pak satpam yang keras atau kue siapa yang jatuh ke lantai. Dan bocah perempuan yang duduk diam memerhatikan adiknya bermain mobil-mobilan itu menoleh. Menatap telunjuk salah satu pengurus panti yang membuatnya langsung bangun. Apalagi saat lelaki yang sedang diajak bicara pengurus panti itu, mengeluarkan lembaran rupiah yang langsung masuk kantong. Bocah perempuan itu menggendong Santo lalu berlari. Menjauh dari pengurus panti yang dalam sakunya sudah berisi uang. "Hei- Tapi, panggilan pengurus panti yang matanya terkejut, mengurungkan niat untuk mengejar karena ada orang lain selain dirinya dan orang yang memberinya uang di tempat itu. "Kalau kau mau memberiku uang lebih, aku akan ambikan potret mereka untukmu, Mas." Dan, tawaran yang membuat mata berbinar, disetujui. "Kamu tinggal terima beresnya saja, Mas." tambah pengurus panti yang matanya berubah hijau melihat lembar-lembar rupiah yang ditarik menjauh saat tangannya sudah menyentuh ujung uang. "Saya ingin potret mereka jelas, Bu Idris." "Jangan khawatir, Mas, saya bahkan bisa membuat mereka berekspresi sampai membaut orang-orang menaruh simpati." Seringaian pengurus panti makin lebar saat lebaran rupiah sudah ada di tangan. Ia bahkan mencium lembaran rupiah itu sebelum masuk ke dalam saku. ** *** **** "Jangan lari-lari di lorong!" Seruan itu membuat bocah perempuan yang berlari, menoleh. Namun, ia tak menggubris. "Dasar anak bisu." Apalagi menghiraukan gerutuan pengurus panti yang wajah masamnya begitu jelas. "Ui?" "Petak umpet." Kalimat yang sudah dihafal telinga, membuat Santo menunduk, makin menyembunyikan diri, bahkan menutup wajah dengan jemarinya yang masih memegang mobil-mobilan. Bocah lelaki yang sudah pandai menyembunyikan dua pipi gembilnya itu, rapat menutup mata sampai tak melihat ke arah mana sang kakak berlari. Bibir basahnya terkatup, tidak ingin mengeluarkan suara karena ia dan sang kakak sedang main petak umpet. Dari siapa? Entahlah. Karena sang kakak yang sudah menemukan tempat sembunyi akan sangat diam dengan mata awas. Debaran dada sang kakak yang erat memeluk bahkan sangat kencang meski sudah menemukan tempat sembunyi. "Silahkan duduk, Pak, Bu." Santo yang melihat telunjuk sang kakak menempel bibir, mengangguk. Dan kembali menyembunyikan wajah pada dada sang kakak yang menyembul besar berkat perban. "Biar saya buatkan teh dulu." "Tidak usah repot-repot. Aku minta kopi saja." Jawaban yang membuat tawa tak lama diikuti langkah dan pintu yang dibuka. "Kapan terakhir kita ke sini, Buk?" "Tiga bulan lalu, Pak." "Tidak banyak yang berubah kecuali pohon mangga di depan buahnya sudah habis ya." Sepasang lansia yang ditinggal dalam ruang pemilik panti, bercengkrama. Tidak menyadari obrolan mereka didengar dua pasang telinga yang duduk bersembunyi- Hachih! Sampai suara bersin membuat obrolan keduanya terhenti lalu menoleh pada kolong meja. Sepasang pasutri yang rambutnya sudah ditumbuhi uban bisa melihat selebar apa mata bocah yang kehadirannya disadari. Namun, mereka tak mengatakan apapun saat hidung basah sang bocah lelaki diusap tangan bocah perempuan yang menunjukkan tatapan waspada. "Kalian sedang main petak umpet?" Terdengar begitu lembut suara wanita yang senyumnya menciptakan lesung pipi, "teruslah disitu, ibuk dan bapak tidak akan mengatakan pada siapapun. Janji." Meski tak mendapat jawaban, wanita itu menjulurkan kelingking yang ragu di sambut bocah perempuan yang sudah siap bangun. Sepasang pasutri yang memundurkan kursi tersenyum tanpa syarat karena melihat bocah lelaki yang menyembunyikan pipi gembilnya di balik mobil-mobilan, sesekali melihat ke arah mereka. Penasaran. Hanya butuh waktu sesaat untuk keduanya menjatuhkan hati pada bocah berpipi gembil itu. Sementara bocah perempuan yang tahu arti dari pandangan dua orang dewasa di hadapannya, makin erat memeluk tubuh Santo. Meski berpindah-pindah tempat tinggal, ia sudah melihat bagaimana wajah orang dewasa yang datang dengan pengharapan lalu pergi dengan anak panti yang akan menjadi anak mereka. Anak-anak yang dibawa pergi itu tidak lagi perlu berbagi apapun, mereka akan memiliki kamar sendiri, mainan sendiri, pakaian sendiri, bahkan memiliki orang tua yang akan senang jika dipanggil 'ayah dan ibu'. Kalimat sama yang ia dengar dimanapun bocah perempuan ini dan adiknya tinggal, setelah harus pergi karena orang-orang yang ingin mengambil potret mereka mengganggu ketenangan panti dan penghuni di dalamnya. "Ui?" Santo yang bisa merasakan debaran jantung sang kakak tak biasa, mendongak. Menatapi wajah bocah perempuan yang takut memanggil ayah dan ibu mereka. Orang-orang yang namanya bersanding dengan sebutan buruk. Terutama sang ayah yang sudah meninggalkan bekas pada dada bocah perempuan yang berdenyut perih lalu keluar dan kembali berlari. Meninggalkan sepasang pasutri yang panggilannya diabaikan. "Sedang melihat apa, Pak, Bu?" Yang diberi tanya menoleh pada pemilik panti yang datang dengan dua gelas kopi dan secangkir teh di atas nampan. Ia lalu menatap punggung bocah yang berlari menjauh lalu menatap sepasang pasutri yang sudah menjadi donatur tetap sejak yayasan tempatnya mengabdikan hidup, berdiri. "Santo nama anak itu, Pak, Bu. Bocah lucu yang penurut." Pemilik panti rasanya enggan mengenalkan nama sang bocah perempuan yang punggungnya tak lagi terlihat. Dan ia tersenyum untuk tatapan wanita berlesung pipi yang belum dikarunia buah hati meski usianya tak lagi muda. Nasib katanya. "Santo?" Binar yang belum pernah pemilik panti lihat tercetak begitu jelas di mata satu dari banyaknya donatur tetap yang ada dihadapannya sekarang. Meskipun wanita di hadapannya ini sudah bertemu dengan banyak anak yang katanya kurang beruntung hanya karena anak-anak itu tinggal di panti asuhan. "Iya, Bu, Muhammad Susanto namanya." Dan kalimat sang pemilik panti yang masih tak menyebut nama sang bocah perempuan, seolah menggambarkan niat yang mungkin akan memisahkan seorang kakak dari adiknya."Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki