Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati.
12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah. Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu. "Bagus, tidak ada infeksi." Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru. "Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu." Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya. Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong. Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak. "Ui, Ui." Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk apa yang ia lihat dengan celoteh yang hanya bisa dipahami bocah perempuan itu. Hal yang biasanya berlaku untuk orang tua, paham apa yang anaknya ucapkan meski orang lain tidak tahu bahasa planet mana yang dicelotehkan anak-anak mereka. Dan hanya saat-saat seperti itu, bocah perempuan yang tak pernah mengeluhkan lukanya, tersenyum. Hal yang sudah dihafal dokter suka rela yang datang setiap hari Minggu untuk memeriksa anak-anak panti asuhan. "Nak, jangan kena air dulu, ya." Kalimat dokter Imron membuat bocah perempuan itu mengangguk, "terimakasih." Dan dokter Imron tersenyum untuk ucapan yang tidak pernah luput dari anak yang begitu iritnya dalam bertutur. Anak sama yang potretnya masih saja dicari sampai bocah perempuan itu dan adiknya berpindah-pindah tempat tinggal. Dari panti asuhan satu ke panti asuhan lain. Karena kemanapun ia dan adiknya pergi, para pencari warta mengikuti. Hal yang akan berujung pada keriuhan karena berpasang-pasang mata penasaran ingin tahu wajah anak-anak beruntung yang bisa selamat dari tindakan gila ayah mereka. Tapi beruntung? Sungguh kalimat tak berperasaan saat mata bocah perempuan yang diajak bicara adiknya begitu gelap menenggelamkan. Sikap dan wajahnya akan berubah begitu dingin saat adiknya tak melihat. Anak-anak panti bahkan enggan mengajak bocah perempuan ini bermain. Mereka menjaga jarak. Enggan bercerita tentang dengkuran pak satpam yang keras atau kue siapa yang jatuh ke lantai. Dan bocah perempuan yang duduk diam memerhatikan adiknya bermain mobil-mobilan itu menoleh. Menatap telunjuk salah satu pengurus panti yang membuatnya langsung bangun. Apalagi saat lelaki yang sedang diajak bicara pengurus panti itu, mengeluarkan lembaran rupiah yang langsung masuk kantong. Bocah perempuan itu menggendong Santo lalu berlari. Menjauh dari pengurus panti yang dalam sakunya sudah berisi uang. "Hei- Tapi, panggilan pengurus panti yang matanya terkejut, mengurungkan niat untuk mengejar karena ada orang lain selain dirinya dan orang yang memberinya uang di tempat itu. "Kalau kau mau memberiku uang lebih, aku akan ambikan potret mereka untukmu, Mas." Dan, tawaran yang membuat mata berbinar, disetujui. "Kamu tinggal terima beresnya saja, Mas." tambah pengurus panti yang matanya berubah hijau melihat lembar-lembar rupiah yang ditarik menjauh saat tangannya sudah menyentuh ujung uang. "Saya ingin potret mereka jelas, Bu Idris." "Jangan khawatir, Mas, saya bahkan bisa membuat mereka berekspresi sampai membaut orang-orang menaruh simpati." Seringaian pengurus panti makin lebar saat lebaran rupiah sudah ada di tangan. Ia bahkan mencium lembaran rupiah itu sebelum masuk ke dalam saku. ** *** **** "Jangan lari-lari di lorong!" Seruan itu membuat bocah perempuan yang berlari, menoleh. Namun, ia tak menggubris. "Dasar anak bisu." Apalagi menghiraukan gerutuan pengurus panti yang wajah masamnya begitu jelas. "Ui?" "Petak umpet." Kalimat yang sudah dihafal telinga, membuat Santo menunduk, makin menyembunyikan diri, bahkan menutup wajah dengan jemarinya yang masih memegang mobil-mobilan. Bocah lelaki yang sudah pandai menyembunyikan dua pipi gembilnya itu, rapat menutup mata sampai tak melihat ke arah mana sang kakak berlari. Bibir basahnya terkatup, tidak ingin mengeluarkan suara karena ia dan sang kakak sedang main petak umpet. Dari siapa? Entahlah. Karena sang kakak yang sudah menemukan tempat sembunyi akan sangat diam dengan mata awas. Debaran dada sang kakak yang erat memeluk bahkan sangat kencang meski sudah menemukan tempat sembunyi. "Silahkan duduk, Pak, Bu." Santo yang melihat telunjuk sang kakak menempel bibir, mengangguk. Dan kembali menyembunyikan wajah pada dada sang kakak yang menyembul besar berkat perban. "Biar saya buatkan teh dulu." "Tidak usah repot-repot. Aku minta kopi saja." Jawaban yang membuat tawa tak lama diikuti langkah dan pintu yang dibuka. "Kapan terakhir kita ke sini, Buk?" "Tiga bulan lalu, Pak." "Tidak banyak yang berubah kecuali pohon mangga di depan buahnya sudah habis ya." Sepasang lansia yang ditinggal dalam ruang pemilik panti, bercengkrama. Tidak menyadari obrolan mereka didengar dua pasang telinga yang duduk bersembunyi- Hachih! Sampai suara bersin membuat obrolan keduanya terhenti lalu menoleh pada kolong meja. Sepasang pasutri yang rambutnya sudah ditumbuhi uban bisa melihat selebar apa mata bocah yang kehadirannya disadari. Namun, mereka tak mengatakan apapun saat hidung basah sang bocah lelaki diusap tangan bocah perempuan yang menunjukkan tatapan waspada. "Kalian sedang main petak umpet?" Terdengar begitu lembut suara wanita yang senyumnya menciptakan lesung pipi, "teruslah disitu, ibuk dan bapak tidak akan mengatakan pada siapapun. Janji." Meski tak mendapat jawaban, wanita itu menjulurkan kelingking yang ragu di sambut bocah perempuan yang sudah siap bangun. Sepasang pasutri yang memundurkan kursi tersenyum tanpa syarat karena melihat bocah lelaki yang menyembunyikan pipi gembilnya di balik mobil-mobilan, sesekali melihat ke arah mereka. Penasaran. Hanya butuh waktu sesaat untuk keduanya menjatuhkan hati pada bocah berpipi gembil itu. Sementara bocah perempuan yang tahu arti dari pandangan dua orang dewasa di hadapannya, makin erat memeluk tubuh Santo. Meski berpindah-pindah tempat tinggal, ia sudah melihat bagaimana wajah orang dewasa yang datang dengan pengharapan lalu pergi dengan anak panti yang akan menjadi anak mereka. Anak-anak yang dibawa pergi itu tidak lagi perlu berbagi apapun, mereka akan memiliki kamar sendiri, mainan sendiri, pakaian sendiri, bahkan memiliki orang tua yang akan senang jika dipanggil 'ayah dan ibu'. Kalimat sama yang ia dengar dimanapun bocah perempuan ini dan adiknya tinggal, setelah harus pergi karena orang-orang yang ingin mengambil potret mereka mengganggu ketenangan panti dan penghuni di dalamnya. "Ui?" Santo yang bisa merasakan debaran jantung sang kakak tak biasa, mendongak. Menatapi wajah bocah perempuan yang takut memanggil ayah dan ibu mereka. Orang-orang yang namanya bersanding dengan sebutan buruk. Terutama sang ayah yang sudah meninggalkan bekas pada dada bocah perempuan yang berdenyut perih lalu keluar dan kembali berlari. Meninggalkan sepasang pasutri yang panggilannya diabaikan. "Sedang melihat apa, Pak, Bu?" Yang diberi tanya menoleh pada pemilik panti yang datang dengan dua gelas kopi dan secangkir teh di atas nampan. Ia lalu menatap punggung bocah yang berlari menjauh lalu menatap sepasang pasutri yang sudah menjadi donatur tetap sejak yayasan tempatnya mengabdikan hidup, berdiri. "Santo nama anak itu, Pak, Bu. Bocah lucu yang penurut." Pemilik panti rasanya enggan mengenalkan nama sang bocah perempuan yang punggungnya tak lagi terlihat. Dan ia tersenyum untuk tatapan wanita berlesung pipi yang belum dikarunia buah hati meski usianya tak lagi muda. Nasib katanya. "Santo?" Binar yang belum pernah pemilik panti lihat tercetak begitu jelas di mata satu dari banyaknya donatur tetap yang ada dihadapannya sekarang. Meskipun wanita di hadapannya ini sudah bertemu dengan banyak anak yang katanya kurang beruntung hanya karena anak-anak itu tinggal di panti asuhan. "Iya, Bu, Muhammad Susanto namanya." Dan kalimat sang pemilik panti yang masih tak menyebut nama sang bocah perempuan, seolah menggambarkan niat yang mungkin akan memisahkan seorang kakak dari adiknya."Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re