"Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"
Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan. Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya. Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak. "Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!" Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi. Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang namanya ikut jadi pembahasan dimanapun nama Efendy disebut. Dan jadi yang pertama untuk mendapat gambar dua anak itu ... akan seberuntung apa orang yang pertama kali mendapatkan potret keduanya? Lelaki yang sudah mengeluarkan uang hanya untuk potret-potret gagal, tentu tidak ingin menyerah. "Kau masih hutang potret mereka padaku, Bu Idris." * Pengurus panti yang namanya disebut merinding seketika. Ia bahkan menyentuh tengkuk yang rambut-rambut halusnya berdiri meski tak ada angin dingin berhembus. "Kamu sudah dengar belum, Bu?" Yang diberi tanya melepaskan pegangan pada tengkuk. Dan sedikit membungkuk untuk bisikan pelan yang membuat matanya lebar terbuka. "Sungguh!?" Begitu tak percaya ia berkata. Sementara rekannya yang berbisik mengangguk dan kembali berucap pelan. "Aku dengar sendiri pas lagi nganterin kopi. Mereka mau mengadopsi satu dari anak-anak itu." Bu Idris menarik nafas dramatis, "orang waras mana yang mau menjadikan anak pembunuh sebagai anak mereka? Kalau aku pasti akan langsung menolak selucu apapun bocah itu." "Makanya, Bu, anak-anak pada rame dan tanya apa pak Sam dan bu Nita beneran tahu siapa yang mau mereka adopsi, gitu." "Kalau aku jadi mereka, lebih baik aku milih anak lain yang sekalian gak ketahuan siapa bapak ibunya daripada ngadopsi anak yang udah jelas-jelas anak pembunuh. Bimana kalo besarnya nanti mereka ngikutin jejak- Brak! Bu Idris meloncat dari kursi yang ia duduki sementara orang yang ia ajak bicara berteriak kaget karena pintu yang didorong keras membentur tembok. "Kalau kalian tak bisa mengatakan hal baik, lebih baik diam." Kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam itu membuat dua wanita beda usia yang dadanya masih dipenuhi keterkejutan, tak membalas. "Huh, kenapa dia yang sewot, sih, urus saja urusanmu sendiri! Dasar." Bu Idris berucap kesal pada wanita berwajah masam yang punggungnya tak lagi terlihat setelah membentak saat datang lalu pergi begitu cepat, "dan cuci piring makanmu sendiri!" Bu Idris berlari keluar dapur yang terpisah dari bangunan panti, namun, wanita berwajah masam yang menoleh ke arahnya tak mengatakan apapun dan kembali berjalan. Benar-benar mengabaikan Bu Idris yang bertolak pinggang lalu masuk kembali. Tidak menyadari bocah yang ia bicarakan berdiri dengan piring kotor di tangan. "Ui?" Tembok tebal yang bagian atasnya terdapat ventilasi tentu tidak mampu menahan kalimat apapun yang terucap dan lolos keluar. "Tapi, beruntung sekali anak itu jika beneran mau diangkat anak oleh bu Nita dan pak Sam." "Benar, Bu Idris, hidupnya akan terjamin, kemana-mana naik mobil, dan semua keinginannya pasti dituruti bahkan tanpa meminta." "Iya, Ti, anak pembunuh itu akan hidup bak pangeran. Betapa tidak adilnya dunia." Dan tawa ramai dari dalam dapur membuat bocah perempuan yang rapat menutup mulut, menunduk. Menatapi wajah Santo yang perutnya masih mampu diisi makanan tapi jatah makan mereka sudah habis. "Aku mau solat dulu, Bu." Dan wanita muda yang keluar, menoleh pada piring plastik yang tergeletak begitu saja. Entah siapa yang meletakannya di sana. "Dasar, kapan mereka akan terbiasa untuk membersihkan kotoran mereka sendiri sih?" Meski kesal, wanita muda itu mengambil piring plastik warna hijau yang tak menyisakan sebiji pun nasi. "Lho, gak jadi solat kamu?" "Biasa, Bu." Yang mendapat jawab mengangguk saat melihat apa yang dibawa temannya, "letakkan saja di situ, biar nanti aku yang nyuci." Meski heran, wanita muda yang mengangguk dengan senyum itu meletakkan piring yang ia bawa ke dalam tempat cuci. Ia yang bisa melihat senyum di wajah bu Idris jadi bertanya, 'hal baik apa yang sedang menguasai diri wanita yang jarang sekali mau mengerjakan apa yang bukan tanggung jawab bu Idris?' Tanya yang hanya ia ucapkan dalam hati, tidak ingin tawaran jarang bu Idris ditarik kembali oleh pemiliknya. "Saya solat dulu, ya, Bu." "Iya, Ti." Dapur yang hanya ditempati bu Idris tetap ramai dengan suara kran mengalir dan senandung. Sementara dinding bisu yang tak lagi melihat keberadaan bocah perempuan yang piring kotornya sedang di cuci, membisu untuk ucapan wanita yang masih menyimpan uang untuk potret-potret yang berhasil ia abadikan. "Ngambil anak pembunuh sebagain anak, dibayar semiliar pun aku gak akan mau." "Dan Hanya orang bodoh yang mau memberi uang sebanyak itu pada anda, Bu." Klotak! Jika tidak terbuat dari plastik, piring yang terlempar dari tangan bu Idris yang kaget pasti sudah pecah menjadi kepingan. "Sampean (kamu) ngagetin saja, Mas!" Protes wanita yang mengelus dada lalu melirik ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada mata yang melihat ia menutup pintu, "mau ambil gambar lagi ya, Mas? Kemarin kurang? Tapi, bayarnya lebihin ya, Mas, saya mau beli emas yang bisa dipake." Begitu berbinar mata Bu Idris yang tidak melihat dengusan pelan lelaki yang kehadirannya tidak disadari. "Mas butuh berapa? tenang saja nanti saya fotokan sebanyak-banyaknya sebelum- Plek! Wanita yang sedang membungkuk untuk mengambil piring plastik yang jatuh itu dahinya berkerut. Menatapi potret-potret tak jelas yang gambarnya berbayang. Matanya bahkan menyipit untuk bisa melihat dengan jelas apa yang terlempar tepat di samping piring. "Saya datang hanya untuk mengambil uang saya kembali, Bu." Dan wanita yang matanya membesar kaget itu langsung berdiri dengan mulut terbuka. "Bukan potret macam ini yang saya harapkan." Dan lelaki yang bisa melihat Bu Idris menelan ludah, mengangkat ujung bibir, menyeringai. Iya paham manusia macam apa wanita yang melirik lembar-lembar foto yang potretnya membuat kecewa. "Tapi, uang itu tetap jadi milik Bu Idris jika ibu memberi saya potret yang lebih baik, atau- "Akan saya foto kan lagi, Mas." Begitu cepat bu Idris menjawab uluran tangan sang lelaki yang memang tidak berniat meminta uangnya kembali, ia hanya menggertak. Hal yang membuatnya yakin, jika wanita yang sorot matanya takut kehilangan rupiah pasti akan melakukan apa saja demi potret anak-anak Efendy. Ah, manusia dan wajah asli mereka saat di hadapkan pada lebaran uang, "saya tunggu kabar baiknya, Bu." Dan lelaki yang meletakkan kameranya di meja, keluar. Meninggalkan wanita yang tangannya terkepal kuat lalu meraup lemparan foto dengan sorot kesal, "dasar anak-anak pembunuh sialan.""Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki
Kling-kling!"Selamat datang"Sambutan hangat setelah bel pintu yang dibuka berbunyi, membuatku yang sudah menghabiskan separuh espreso menatap pintu.Sementara lelaki muda yang kehadirannya kutunggu, menjauh dari pramusaji yang sudah mencatat pesannya."Apa aku datang terlambat?" ucapnya menatap gelasku yang tinggal separoh."Tidak, aku hanya datang lebih cepat.""Apa kabarmu, Runi?""Penasaran, jawabku, "dan kamu tahu sebabnya.""Yeah, dan karena hal itu aku tak tidur semalaman.""Dan aku ragu kamu akan langsung tidur setelah ini," jawabku menata posisi duduk, menghadap lelaki yang senyumnya mampu membuat beberapa pasang mata merona dengan lirikan kagum.Terutama wanita yang meletakkan segelas coklat juga sepotong black forest. Ia bahkan nampak bersyukur, dirinyalah yang mendapat ucapan terimakasih dari Keiro."Terimakasih, Mbak.""Sama-sama, Mas, selamat menikmati." Pramusaji yang menjauh itu kembali mencuri pandang pada Keiro. Lelaki yang tidak perduli untuk tatap kekaguman yang t