Share

8. ANAK PEMBUNUH

"Aku gak liat."

"Aku juga gak liat."

"Mereka kan bukan teman kami."

"Iya, aku gak mau main sama dia."

Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari.

"Danu, ayo!"

Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh.

"Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"

Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.

Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang ia beri lirikan ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

"Bapak dan Ibu tunggu beresnya saja. Semua kami yang urus."

Dan wanita yang benar-benar menguping pembicaraan, menggigit bagian dalam bibirnya kuat dengan pupil bergerak gelisah karena apa yang beberapa saat lalu ia dengar bukan hanya bualan mengada-ada.

Satu dari anak-anak yang mampu membuatnya mendapat uang tambahan akan dibawa pergi. Diangkat anak oleh sepasang suami istri yang tak mampu memiliki keturunan sendiri.

"Aku harus dapat foto mereka secepatnya."

Dan niat yang dikatakan dengan penuh kesungguhan membuat bu Idris melangkah makin cepat, ekor matanya menajam tak ingin melewatkan punggung siapapun, termasuk punggung wanita berwajah masam yang kembali membuatnya kesal.

"Jangan serakah, nanti kena batu sendiri."

Sindiran wanita berwajah masam yang dikatakan sambil menyapu, membuat bu Idris meludah sebelum kembali melakukan apa yang harus ia lakukan agar uang yang sudah ada di kantong tak hilang, kembali pada sang pemberi yang meninggalkan kameranya.

"Ah, itu mereka!"

Namun, rasa senang saat melihat apa yang ia cari ketemu seketika lenyap begitu bocah perempuan yang duduk memangku adiknya didekati seseorang.

Wanita yang terpaksa mengurungkan niat untuk menguping, pamit. Karena keberadaanya disadari. Ia bahkan membungkuk khidmad dengan gerutuan pelan, "kenapa harus sekarang?"

Ucapan bu Idris yang begitu pelan hanya menyatu bersama angin yang menerbangkan daun jambu mengering.

"Boleh Ibuk duduk di sini?"

Bukan tidak menyadari jadi sewaspada apa bocah perempuan yang ia tanyai bersikap. Namun, niat hati yang sudah bulat membuat Nita duduk meski dengan menjaga jarak.

"Ui, Ui."

Sementara mata Nita tak melepas pandangan dari bocah lelaki berpipi gembil yang tangannya memamerkan daun jambu mengering, terbang di bawa angin lalu terkikik geli, menunjukkan gigi yang begitu kecil dan belum sempurna tumbuh.

'Tentu saja usia bocah berpipi tembem ini baru 15 bulan.' Pikir Nita tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Meski senyumnya jadi lenyap saat melihat ada bagian perban yang menyembul di balik kaos sang bocah perempuan yang merespon ucapan sang adik.

Bocah yang nyatanya sesekali melirik Nita seolah sedang menilai.

(Dia pendiam, Bu Nita)

Kalimat sang pemilik panti yang menggambarkan bocah perempuan di sampingnya, membuat Nita tersenyum tipis. Ia sadar, 'pendiam' adalah kata yang terlalu enteng untuk melukiskan bocah yang namanya bersanding dengan sebutan buruk untuk sang ayah, Efendy.

Seorang guru yang jasa-jasanya lenyap untuk pilihan hidup yang Efendy ambil, bunuh diri setelah membunuh istrinya sendiri. Dan anak perempuan yang dadanya akan mencetak bekas aksi keji sang ayah, membuat Nita mau tidak mau bertanya pada diri, 'apa bocah perempuan yang memasang sikap waspada padanya ini mampu tersenyum pada dunia suatu hari?'

Nita yang duduk dengan menjaga jarak tidak berucap apapun lagi. Tidak pada dirinya yang sampai usia senja tak diberi keturunan, tidak pula pada daun-daun jambu yang jadi hiburan sang bocah lelaki yang pipi gembilnya begitu menggoda untuk disentuh.

"Ui, Ui."

Dan panggilan sang bocah lelaki jadi hiburan untuk wanita paruh baya yang merasa betah duduk di atas rumput lalu menoleh pada Sam, sang suami yang tangannya terangkat.

Sam memilih duduk di kursi besi yang diberi cat warna-warni. Telinganya pun mendengar celoteh riang anak-anak penghuni panti dari segala penjuru juga panggilan Santo untuk sang kakak yang punggungnya begitu tegak.

"Bisa setidakramah apa dunia?" Dan kalimat itu terucap dengan tatapan teduh untuk anak-anak yang terpaksa dipindahkan dari satu panti ke panti yang lain. Menghindarkan mereka dari kejaran orang-orang tak bertanggung jawab yang menimbulkan keributan dimanapun anak-anak itu tinggal.

Dan lelaki yang duduk bersandar tembok jadi tertegun, mendapati sedalam apa tatapan bocah perempuan yang menoleh ke arahnya.

"Adik saya bukan anak seorang pembunuh."

Dan kalimat yang diucapkan dengan sepenuh hati membuat Sam berdiri, mendekat pada bocah perempuan yang suaranya ternyata begitu jernih.

"Siapa yang berkata seperti itu padamu, Ndok?"

Sementara sang istri yang lebih dulu memperpendek jarak, menyentuh pundak sang bocah perempuan yang menyatukan bibirnya kuat sebelum berucap, "semua orang." lalu kembali diam.

Nita melirik Sam yang jongkok. Tanpa kata tertukar mereka memutuskan untuk menunggu kalimat apapun yang akan keluar dari mulut bocah perempuan yang pasti sudah mendengar banyak kalimat dari orang-orang asing yang ia temui setelah nama dan siapa dirinya diketahui.

Bahkan, mungkin anak-anak yang tidak ingin bermain dengannya dan sang adik pun, sudah mengatakan kalimat sama meski tidak benar-benar memahami apa yang mereka ucapkan.

Namun, bocah perempuan yang makin erat memeluk adiknya ini pasti paham arti dari ucapan bahkan tatapan mata yang tertuju tepat pada dirinya, pada adiknya, pada orang tuanya yang sudah terkubur.

Usianya yang baru enam tahu tidak menjadikan dirinya bakal manusia yang tidak peka.

Di usianya yang masih begitu belia, ia justru dipaksa untuk menerima takdir juga konsekuensi dari pilihan Efendy, ayah yang meninggalkan luka sayatan begitu jelas dan akan selamanya berbekas tidak hanya pada dada bocah perempuan ini, tapi juga pada jiwanya.

"Adik saya hanya anak ayah dan ibu."

Nita yang rasanya bisa melihat luka dalam mata sang bocah perempuan di hadapan, merasakan jadi sepahit apa mulutnya.

"Adik saya bukan anak pembunuh."

Dan ia yang tak bisa memikirkan kalimat penghiburan menjulurkan tangan, mendekap lembut tubuh bocah perempuan yang nyatanya begitu kecil.

Tangan Nita bahkan mampu memeluk dua anak manusia yang saat hujan petir berlari meninggalkan rumah mereka. Tidak mengetuk pintu rumah tetangga. Tapi terus berlari, menjauh dari kampung tempat mereka tumbuh.

Dan bocah perempuan yang tidak menolak saat ia peluk ini, menembus gelap tanpa tahu harus kemana.

Tanpa alas kaki ataupun tempat untuk di tuju, bocah perempuan berusia enam tahun ini hanya terus berlari, menjauh dengan luka sayatan yang tidak mungkin tidak terasa dengan adik di gendongan.

Bisakah kau bayangkan bagaimana jika dirimu menjadi anak perempuan ini?

Berdiri di tempat ia berdiri!

Bisakah kau bayangkan?

Jika tidak tak mengapa, karena perempuan paruh baya yang sedang memeluknya pun tidak mampu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status