"Aku gak liat."
"Aku juga gak liat." "Mereka kan bukan teman kami." "Iya, aku gak mau main sama dia." Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari. "Danu, ayo!" Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh. "Dimana anak-anak pembunuh itu berada?" Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan. Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang ia beri lirikan ingin tahu apa yang mereka bicarakan. "Bapak dan Ibu tunggu beresnya saja. Semua kami yang urus." Dan wanita yang benar-benar menguping pembicaraan, menggigit bagian dalam bibirnya kuat dengan pupil bergerak gelisah karena apa yang beberapa saat lalu ia dengar bukan hanya bualan mengada-ada. Satu dari anak-anak yang mampu membuatnya mendapat uang tambahan akan dibawa pergi. Diangkat anak oleh sepasang suami istri yang tak mampu memiliki keturunan sendiri. "Aku harus dapat foto mereka secepatnya." Dan niat yang dikatakan dengan penuh kesungguhan membuat bu Idris melangkah makin cepat, ekor matanya menajam tak ingin melewatkan punggung siapapun, termasuk punggung wanita berwajah masam yang kembali membuatnya kesal. "Jangan serakah, nanti kena batu sendiri." Sindiran wanita berwajah masam yang dikatakan sambil menyapu, membuat bu Idris meludah sebelum kembali melakukan apa yang harus ia lakukan agar uang yang sudah ada di kantong tak hilang, kembali pada sang pemberi yang meninggalkan kameranya. "Ah, itu mereka!" Namun, rasa senang saat melihat apa yang ia cari ketemu seketika lenyap begitu bocah perempuan yang duduk memangku adiknya didekati seseorang. Wanita yang terpaksa mengurungkan niat untuk menguping, pamit. Karena keberadaanya disadari. Ia bahkan membungkuk khidmad dengan gerutuan pelan, "kenapa harus sekarang?" Ucapan bu Idris yang begitu pelan hanya menyatu bersama angin yang menerbangkan daun jambu mengering. "Boleh Ibuk duduk di sini?" Bukan tidak menyadari jadi sewaspada apa bocah perempuan yang ia tanyai bersikap. Namun, niat hati yang sudah bulat membuat Nita duduk meski dengan menjaga jarak. "Ui, Ui." Sementara mata Nita tak melepas pandangan dari bocah lelaki berpipi gembil yang tangannya memamerkan daun jambu mengering, terbang di bawa angin lalu terkikik geli, menunjukkan gigi yang begitu kecil dan belum sempurna tumbuh. 'Tentu saja usia bocah berpipi tembem ini baru 15 bulan.' Pikir Nita tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Meski senyumnya jadi lenyap saat melihat ada bagian perban yang menyembul di balik kaos sang bocah perempuan yang merespon ucapan sang adik. Bocah yang nyatanya sesekali melirik Nita seolah sedang menilai. (Dia pendiam, Bu Nita) Kalimat sang pemilik panti yang menggambarkan bocah perempuan di sampingnya, membuat Nita tersenyum tipis. Ia sadar, 'pendiam' adalah kata yang terlalu enteng untuk melukiskan bocah yang namanya bersanding dengan sebutan buruk untuk sang ayah, Efendy. Seorang guru yang jasa-jasanya lenyap untuk pilihan hidup yang Efendy ambil, bunuh diri setelah membunuh istrinya sendiri. Dan anak perempuan yang dadanya akan mencetak bekas aksi keji sang ayah, membuat Nita mau tidak mau bertanya pada diri, 'apa bocah perempuan yang memasang sikap waspada padanya ini mampu tersenyum pada dunia suatu hari?' Nita yang duduk dengan menjaga jarak tidak berucap apapun lagi. Tidak pada dirinya yang sampai usia senja tak diberi keturunan, tidak pula pada daun-daun jambu yang jadi hiburan sang bocah lelaki yang pipi gembilnya begitu menggoda untuk disentuh. "Ui, Ui." Dan panggilan sang bocah lelaki jadi hiburan untuk wanita paruh baya yang merasa betah duduk di atas rumput lalu menoleh pada Sam, sang suami yang tangannya terangkat. Sam memilih duduk di kursi besi yang diberi cat warna-warni. Telinganya pun mendengar celoteh riang anak-anak penghuni panti dari segala penjuru juga panggilan Santo untuk sang kakak yang punggungnya begitu tegak. "Bisa setidakramah apa dunia?" Dan kalimat itu terucap dengan tatapan teduh untuk anak-anak yang terpaksa dipindahkan dari satu panti ke panti yang lain. Menghindarkan mereka dari kejaran orang-orang tak bertanggung jawab yang menimbulkan keributan dimanapun anak-anak itu tinggal. Dan lelaki yang duduk bersandar tembok jadi tertegun, mendapati sedalam apa tatapan bocah perempuan yang menoleh ke arahnya. "Adik saya bukan anak seorang pembunuh." Dan kalimat yang diucapkan dengan sepenuh hati membuat Sam berdiri, mendekat pada bocah perempuan yang suaranya ternyata begitu jernih. "Siapa yang berkata seperti itu padamu, Ndok?" Sementara sang istri yang lebih dulu memperpendek jarak, menyentuh pundak sang bocah perempuan yang menyatukan bibirnya kuat sebelum berucap, "semua orang." lalu kembali diam. Nita melirik Sam yang jongkok. Tanpa kata tertukar mereka memutuskan untuk menunggu kalimat apapun yang akan keluar dari mulut bocah perempuan yang pasti sudah mendengar banyak kalimat dari orang-orang asing yang ia temui setelah nama dan siapa dirinya diketahui. Bahkan, mungkin anak-anak yang tidak ingin bermain dengannya dan sang adik pun, sudah mengatakan kalimat sama meski tidak benar-benar memahami apa yang mereka ucapkan. Namun, bocah perempuan yang makin erat memeluk adiknya ini pasti paham arti dari ucapan bahkan tatapan mata yang tertuju tepat pada dirinya, pada adiknya, pada orang tuanya yang sudah terkubur. Usianya yang baru enam tahu tidak menjadikan dirinya bakal manusia yang tidak peka. Di usianya yang masih begitu belia, ia justru dipaksa untuk menerima takdir juga konsekuensi dari pilihan Efendy, ayah yang meninggalkan luka sayatan begitu jelas dan akan selamanya berbekas tidak hanya pada dada bocah perempuan ini, tapi juga pada jiwanya. "Adik saya hanya anak ayah dan ibu." Nita yang rasanya bisa melihat luka dalam mata sang bocah perempuan di hadapan, merasakan jadi sepahit apa mulutnya. "Adik saya bukan anak pembunuh." Dan ia yang tak bisa memikirkan kalimat penghiburan menjulurkan tangan, mendekap lembut tubuh bocah perempuan yang nyatanya begitu kecil. Tangan Nita bahkan mampu memeluk dua anak manusia yang saat hujan petir berlari meninggalkan rumah mereka. Tidak mengetuk pintu rumah tetangga. Tapi terus berlari, menjauh dari kampung tempat mereka tumbuh. Dan bocah perempuan yang tidak menolak saat ia peluk ini, menembus gelap tanpa tahu harus kemana. Tanpa alas kaki ataupun tempat untuk di tuju, bocah perempuan berusia enam tahun ini hanya terus berlari, menjauh dengan luka sayatan yang tidak mungkin tidak terasa dengan adik di gendongan. Bisakah kau bayangkan bagaimana jika dirimu menjadi anak perempuan ini? Berdiri di tempat ia berdiri! Bisakah kau bayangkan? Jika tidak tak mengapa, karena perempuan paruh baya yang sedang memeluknya pun tidak mampu.Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki
Kling-kling!"Selamat datang"Sambutan hangat setelah bel pintu yang dibuka berbunyi, membuatku yang sudah menghabiskan separuh espreso menatap pintu.Sementara lelaki muda yang kehadirannya kutunggu, menjauh dari pramusaji yang sudah mencatat pesannya."Apa aku datang terlambat?" ucapnya menatap gelasku yang tinggal separoh."Tidak, aku hanya datang lebih cepat.""Apa kabarmu, Runi?""Penasaran, jawabku, "dan kamu tahu sebabnya.""Yeah, dan karena hal itu aku tak tidur semalaman.""Dan aku ragu kamu akan langsung tidur setelah ini," jawabku menata posisi duduk, menghadap lelaki yang senyumnya mampu membuat beberapa pasang mata merona dengan lirikan kagum.Terutama wanita yang meletakkan segelas coklat juga sepotong black forest. Ia bahkan nampak bersyukur, dirinyalah yang mendapat ucapan terimakasih dari Keiro."Terimakasih, Mbak.""Sama-sama, Mas, selamat menikmati." Pramusaji yang menjauh itu kembali mencuri pandang pada Keiro. Lelaki yang tidak perduli untuk tatap kekaguman yang t
Menarik minat? Betapa konyol kalimat itu terdengar bahkan pada diriku sendiri yang duduknya sudah berbalik sepenuhnya.Tapi, senyum lelaki muda yang terus bapak ajak bicara membuatku tahu, penghiburan ku padanya tidak sia-sia."Datanglah lagi bulan depan, kita panen rambutan sama-sama." Ajak bapak yang menatap kemana pandangan lelaki muda di sampingnya tertuju.Wajah bapak yang akhirnya menyadari keberadaanku, langsung berubah. Ia yang mendekat bahkan mencubit hidungku yang masih menempelkan tangan pada telinga."Kok, malah di sini bukannya ke depan.""Lihat bapak lebih seru." Ucapku dengan sindiran yang membuat bapak menggeleng lalu menoleh pada lelaki muda yang ia suruh mendekat."Kenalkan, ini anak nakal yang bapak ceritain ke kamu tadi, Nak."Dahi lelaki muda yang sudah berdiri di samping kami, mengerut samar. Hal yang membuatku tahu, bapak mengatakan cerita lain tentang diriku.Tapi apa? Aku tidak tertarik untuk mencari tahu dan lebih memilih menjabat tangan lelaki muda yang tat