Zras...! Aliran sungai makin jelas terdengar seiring gilasan roda yang sadelnya kami kayuh. Jalan naik turun dan berkelok-kelok rasanya terbayarkan saat lelaki yang masih berdiri di atas sepedanya, menatap sejernih apa sungai dengan bebatuan besar yang memecah arus terlihat. Rumput yang tumbuh sangat subur, bunga liar beraneka jenis yang benar-benar memamerkan keelokan warnanya, pohon sengon yang tumbuh tinggi menjulang nampak begitu kokoh bak penjaga, sementara lamtoro yang buahnya bisa dimakan menambah kerimbunan. Tumbuhan liar dan tanaman palawija yang sengaja ditanam tumbuh di sepanjang aliran sungai yang airnya memperlihatkan batu-batu kerikil yang ada di dasar. Bahkan, ikan yang malu-malu muncul terlihat. Berenang kemanapun mereka mau. "Mas, kamu takut air ya?" kataku pada lelaki yang duduk di atas batu dengan celana ditekuk selutut. Dan lelaki yang melihatku menceburkan kaki pada air sungai yang dingin, tersenyum sambil memasukkan tangannya sendiri pada aliran sungai yang
Keranjang sampah di pojok kamar isinya bertambah berkat kertas yang kupandangi sesaat sebelum kubuang. Tanpa mengatakan apapun, aku yang membuang kertas dari mas Rendra langsung mendekat pada ranjang yang kurebahi. "Lelah sekali." Ucapku meski tak ada tarikan nafas dalam atau hembusan keras. Nafasku masih seperti biasa. Dan aku yang menatapi plafon hanya tahu, tubuhku butuh istirahat. Tapi, belum sempat mataku terpejam, suara langkah berubah jadi ketukan diikuti pintu yang dibuka, membuatku menatap ibu yang berjalan masuk lalu duduk di pinggir ranjang. "Tumben tiduran jam segini, Runi." Ibu menepuk pahaku yang tetap rebahan. Tapi, ia kembali diam meski tepukan tangannya terus berulang. "Ndok," panggil ibu yang benar-benar ingin perhatianku kali ini. "Iya, Bu?" Tapi, ibu kembali diam. Meski hanya beberapa saat, "menurutmu, nak Rendra bagaimana, Runi?" Apa aku terkejut untuk ucapan ibu? Rasanya tidak. Sekalipun aku yang masih berbaring, menarik nafas dalam, tahu ke mana arah pe
"Apa kita bisa saling mengenal, Mas Rendra?" Kalimatku pasti sesuatu yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh lelaki yang jadi diam. "Maksudku, hanya di luarnya saja, Mas Rendra. Setidaknya, sampai ibu dan eyang percaya kita sama-sama mencoba." "..." Mas Rendra yang suara nafasnya kudengar, masih tidak menjawab. "Aku akan pastikan hal ini takkan mengganggu hubunganmu, Mas Rendra. Jika perlu, aku akan bicara dengan kekasihmu agar ia tak salah paham pada kita." "Runi-" suara mas Rendra akhirnya terdengar meski nadanya jadi lebih rendah. "-aku tidak yakin ini hal yang tepat untuk kita lakukan. Dan kamu tak perlu khawatir dengan hubunganku." Apa aku terkejut untuk keterbukaan mas Rendra? Kurasa tidak, karena wajahnya saat menerima telepon, pun, tatapan mas Rendra yang menatap jauh saat aku mengajaknya bermain di sungai tadi, sudah menjawab banyak hal, 'lelaki gagah yang disukai ibu memang sudah berkasih.' "Terlebih lagi," begitu tenang suara mas Rendra terdengar, "aku yakin jika k
Aku yang menyerah pada pencarianku, mematikan komputer yang bebas digunakan mahasiswa. Dengan ponsel yang sudah masuk ke dalam tas, kuhampiri rak berisi bermacam-macam buku yang kupilih salah satunya lalu duduk di pojok. Hamparan laut berwarna biru dengan pohon kelapa tertiup angin, ombak tenang yang buihnya menyentuh bibir pantai, pasir putih yang meninggalkan jejak kaki. Potret dalam buku yang kupilih, membuatku tenggelam pada halaman pertama. Tidak ingin membalik lebaran baru yang pasti menunjukkan potret hampir serupa. Laut dengan segala pesonanya. Jika tidak ada jari yang seolah berjalan di atas hamparan pasir putih yang sedang kutatapi, rasanya aku tak akan mendongak dari potret yang kupandangi sampai lupa waktu. "Aku sudah selesai dengan kelasku. Ayo, kita makan." Mataku melirik jam besar yang bisa menunjukkan waktu, kurang dari dua jam. Tapi, Keiro yang langsung merogoh tasku untuk mengambil kunci, tak memberiku ruang untuk berkomentar. Ia yang langsung meraih tangank
Aku tidak akan menggambarkan apa yang kurasakan pada hisapan pertamaku.Kurasa aku hanya ingin batang rokok yang terselip di antara jari, secepatnya habis dihisapan keduaku yang sama sekali tak kikuk atau batuk karena tidak sengaja menelan asapnya yang putih pekat.Sementara Keiro hanya memperhatikanku dalam diam, membiarkan begitu saja rokok di jarinya.Nampak sekali ia tak perduli jika abu yang sudah panjang, jatuh ke atas karpet lembut warna hitam diantara kakinya yang tak beralas.Dia hanya melihat bagaimana aku menghisap rokokku sampai habis lalu ku hujamkan ke dalam piring agar mati.Aku langsung berlari ke kamar mandi setelahnya, dan terus menyikat gigi dengan pasta gigi yang banyak. Pun, berkali-kali. Berharap rasa pahit yang menempel pada seluruh bagian mulutku berkurang.Dari kaca, aku yang tidak menutup pintu melihat Keiro memperhatikan dalam diam apa yang kulakukan.Sampai aku menyerah, tahu rasa pahit yang begitu menempel pada tiap inci mulut tidak akan berkurang, apalagi
Send: aku baru bangun lalu ke kampus sebentar lanjut ke kantor.ps. Mungkin beli bunga melati untuk ibu.Aku meletakkan ponsel di atas kasur lalu membuka pintu kaca yang menuju beranda lebar-lebar. Membiarkan cahaya matahari yang sudah terik menyapa tubuhku.Dari tempatku berdiri, hamparan kebun rambutan yang jadi kebanggaan bapak buahnya sudah siap di panen. Merah menggoda diantara dedaunan hijau yang lebat.Sementara koleksi anggrek ibu yang nampak sudah bertambah, mekar sempurna. Memamerkan keelokannya."Kurang garam, Mi, tambah sedikit lagi."Mendengar suara ibu, aku melirik dapur yang jendelanya bisa membuatku melihat mbok Darmi menyerahkan tempat garam."Sudah, Mi, cukup. Gimana?"Meski kembali menyendok masakan berkuah yang uapnya kulihat, ibu kembali bertanya."Cukuplah, ya?""Inggeh, Bu, cukup.""Neng Runi tumben belum turun.""Kelasnya siang hari ini."Dan anggukan Mbok Darmi seolah jadi alarem untukku membersihkan diri.*****"Pagi, Buk." sapaku mengecup pipi wanita yang du
Tiga biji bunga melati yang kuncupnya benar-benar kutemukan di bawah ranjang, ku pandangi sesaat sebelum ku letakkan di meja. Sementara wanginya terus menempel tidak hanya pada hidung, tapi juga tanganku yang terjulur.Meraih buku dari rak yang sampul hitamnya kupandangi sesaat sebelum memperlihatkan potongan koran yang sudah menguning.Potret keluarga berisi empat orang tampak buram. Tapi, tawa bahagia tak bisa disamarkan dari sepasang suami istri yang memangku anak-anak mereka. Bocah-bocah yang tawa polosnya begitu nyata.Senyata tusukan perih yang menyapai sudut hatiku yang meraba potret itu begitu hati-hati.Apalagi saat jariku menyentuh wajah tawa bocah lelaki yang duduk begitu nyaman dalam pangkuan sang ibu.Mulutku jadi pahit saat pandanganku bercokol pada judul dalam potongan koran. Barisan kalimat yang dicetak dengan tulisan besar bertinta hitam begitu menyakiti mata-Tok! tok!Kembali kuselipkan buku ke dalam barisan rak. Menunjukkan senyum dan bersikap sewajar mungkin pada
"Runi? Ndok?"Sentuhan ibu yang menghampiri, membuat seluruh saraf dan ototku yang tegang melemas seketika.Mungkin berlebihan, tapi memang itu yang kurasakan. Apalagi saat tanganku yang gemetaran memeluk ibu yang tubuhnya menyalurkan kehangatan."Kumohon, jangan membuatku takut, Bu."Jemariku bahkan meremas baju ibu yang usapannya membuat debaran dadaku melemah. Tidak lagi bertalu-talu!Ditambah, bapak menunjukkan tawa dengan usapan di kepalaku pelan, menyamarkan rasa buruk pun gambaran yang tak ingin kujabarkan dengan kata."Sudah-sudah, malu sama tamu."Ucapan bapak membuatku menoleh pada wajah-wajah yang memperhatikan kami.Aku benar-benar tak menyadari ada Eyang dan Mas Rendra di ruang tamu kami.Pun, sepasang remaja dengan wajah begitu mirip. Memperhatikanku lekat dari tempat mereka berdiri."Sebaiknya kamu cuci mukamu dulu, Ndok. Baru kenalan dengan dua anak cakep yang sudah menunggumu sejak tadi."***************Sapuan air dingin, membuatku bisa kembali berpikir jernih.De