Keranjang sampah di pojok kamar isinya bertambah berkat kertas yang kupandangi sesaat sebelum kubuang. Tanpa mengatakan apapun, aku yang membuang kertas dari mas Rendra langsung mendekat pada ranjang yang kurebahi. "Lelah sekali." Ucapku meski tak ada tarikan nafas dalam atau hembusan keras. Nafasku masih seperti biasa. Dan aku yang menatapi plafon hanya tahu, tubuhku butuh istirahat. Tapi, belum sempat mataku terpejam, suara langkah berubah jadi ketukan diikuti pintu yang dibuka, membuatku menatap ibu yang berjalan masuk lalu duduk di pinggir ranjang. "Tumben tiduran jam segini, Runi." Ibu menepuk pahaku yang tetap rebahan. Tapi, ia kembali diam meski tepukan tangannya terus berulang. "Ndok," panggil ibu yang benar-benar ingin perhatianku kali ini. "Iya, Bu?" Tapi, ibu kembali diam. Meski hanya beberapa saat, "menurutmu, nak Rendra bagaimana, Runi?" Apa aku terkejut untuk ucapan ibu? Rasanya tidak. Sekalipun aku yang masih berbaring, menarik nafas dalam, tahu ke mana arah pe
"Apa kita bisa saling mengenal, Mas Rendra?" Kalimatku pasti sesuatu yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh lelaki yang jadi diam. "Maksudku, hanya di luarnya saja, Mas Rendra. Setidaknya, sampai ibu dan eyang percaya kita sama-sama mencoba." "..." Mas Rendra yang suara nafasnya kudengar, masih tidak menjawab. "Aku akan pastikan hal ini takkan mengganggu hubunganmu, Mas Rendra. Jika perlu, aku akan bicara dengan kekasihmu agar ia tak salah paham pada kita." "Runi-" suara mas Rendra akhirnya terdengar meski nadanya jadi lebih rendah. "-aku tidak yakin ini hal yang tepat untuk kita lakukan. Dan kamu tak perlu khawatir dengan hubunganku." Apa aku terkejut untuk keterbukaan mas Rendra? Kurasa tidak, karena wajahnya saat menerima telepon, pun, tatapan mas Rendra yang menatap jauh saat aku mengajaknya bermain di sungai tadi, sudah menjawab banyak hal, 'lelaki gagah yang disukai ibu memang sudah berkasih.' "Terlebih lagi," begitu tenang suara mas Rendra terdengar, "aku yakin jika k
Aku yang menyerah pada pencarianku, mematikan komputer yang bebas digunakan mahasiswa. Dengan ponsel yang sudah masuk ke dalam tas, kuhampiri rak berisi bermacam-macam buku yang kupilih salah satunya lalu duduk di pojok. Hamparan laut berwarna biru dengan pohon kelapa tertiup angin, ombak tenang yang buihnya menyentuh bibir pantai, pasir putih yang meninggalkan jejak kaki. Potret dalam buku yang kupilih, membuatku tenggelam pada halaman pertama. Tidak ingin membalik lebaran baru yang pasti menunjukkan potret hampir serupa. Laut dengan segala pesonanya. Jika tidak ada jari yang seolah berjalan di atas hamparan pasir putih yang sedang kutatapi, rasanya aku tak akan mendongak dari potret yang kupandangi sampai lupa waktu. "Aku sudah selesai dengan kelasku. Ayo, kita makan." Mataku melirik jam besar yang bisa menunjukkan waktu, kurang dari dua jam. Tapi, Keiro yang langsung merogoh tasku untuk mengambil kunci, tak memberiku ruang untuk berkomentar. Ia yang langsung meraih tangank
Aku tidak akan menggambarkan apa yang kurasakan pada hisapan pertamaku.Kurasa aku hanya ingin batang rokok yang terselip di antara jari, secepatnya habis dihisapan keduaku yang sama sekali tak kikuk atau batuk karena tidak sengaja menelan asapnya yang putih pekat.Sementara Keiro hanya memperhatikanku dalam diam, membiarkan begitu saja rokok di jarinya.Nampak sekali ia tak perduli jika abu yang sudah panjang, jatuh ke atas karpet lembut warna hitam diantara kakinya yang tak beralas.Dia hanya melihat bagaimana aku menghisap rokokku sampai habis lalu ku hujamkan ke dalam piring agar mati.Aku langsung berlari ke kamar mandi setelahnya, dan terus menyikat gigi dengan pasta gigi yang banyak. Pun, berkali-kali. Berharap rasa pahit yang menempel pada seluruh bagian mulutku berkurang.Dari kaca, aku yang tidak menutup pintu melihat Keiro memperhatikan dalam diam apa yang kulakukan.Sampai aku menyerah, tahu rasa pahit yang begitu menempel pada tiap inci mulut tidak akan berkurang, apalagi
Send: aku baru bangun lalu ke kampus sebentar lanjut ke kantor.ps. Mungkin beli bunga melati untuk ibu.Aku meletakkan ponsel di atas kasur lalu membuka pintu kaca yang menuju beranda lebar-lebar. Membiarkan cahaya matahari yang sudah terik menyapa tubuhku.Dari tempatku berdiri, hamparan kebun rambutan yang jadi kebanggaan bapak buahnya sudah siap di panen. Merah menggoda diantara dedaunan hijau yang lebat.Sementara koleksi anggrek ibu yang nampak sudah bertambah, mekar sempurna. Memamerkan keelokannya."Kurang garam, Mi, tambah sedikit lagi."Mendengar suara ibu, aku melirik dapur yang jendelanya bisa membuatku melihat mbok Darmi menyerahkan tempat garam."Sudah, Mi, cukup. Gimana?"Meski kembali menyendok masakan berkuah yang uapnya kulihat, ibu kembali bertanya."Cukuplah, ya?""Inggeh, Bu, cukup.""Neng Runi tumben belum turun.""Kelasnya siang hari ini."Dan anggukan Mbok Darmi seolah jadi alarem untukku membersihkan diri.*****"Pagi, Buk." sapaku mengecup pipi wanita yang du
Tiga biji bunga melati yang kuncupnya benar-benar kutemukan di bawah ranjang, ku pandangi sesaat sebelum ku letakkan di meja. Sementara wanginya terus menempel tidak hanya pada hidung, tapi juga tanganku yang terjulur.Meraih buku dari rak yang sampul hitamnya kupandangi sesaat sebelum memperlihatkan potongan koran yang sudah menguning.Potret keluarga berisi empat orang tampak buram. Tapi, tawa bahagia tak bisa disamarkan dari sepasang suami istri yang memangku anak-anak mereka. Bocah-bocah yang tawa polosnya begitu nyata.Senyata tusukan perih yang menyapai sudut hatiku yang meraba potret itu begitu hati-hati.Apalagi saat jariku menyentuh wajah tawa bocah lelaki yang duduk begitu nyaman dalam pangkuan sang ibu.Mulutku jadi pahit saat pandanganku bercokol pada judul dalam potongan koran. Barisan kalimat yang dicetak dengan tulisan besar bertinta hitam begitu menyakiti mata-Tok! tok!Kembali kuselipkan buku ke dalam barisan rak. Menunjukkan senyum dan bersikap sewajar mungkin pada
"Runi? Ndok?"Sentuhan ibu yang menghampiri, membuat seluruh saraf dan ototku yang tegang melemas seketika.Mungkin berlebihan, tapi memang itu yang kurasakan. Apalagi saat tanganku yang gemetaran memeluk ibu yang tubuhnya menyalurkan kehangatan."Kumohon, jangan membuatku takut, Bu."Jemariku bahkan meremas baju ibu yang usapannya membuat debaran dadaku melemah. Tidak lagi bertalu-talu!Ditambah, bapak menunjukkan tawa dengan usapan di kepalaku pelan, menyamarkan rasa buruk pun gambaran yang tak ingin kujabarkan dengan kata."Sudah-sudah, malu sama tamu."Ucapan bapak membuatku menoleh pada wajah-wajah yang memperhatikan kami.Aku benar-benar tak menyadari ada Eyang dan Mas Rendra di ruang tamu kami.Pun, sepasang remaja dengan wajah begitu mirip. Memperhatikanku lekat dari tempat mereka berdiri."Sebaiknya kamu cuci mukamu dulu, Ndok. Baru kenalan dengan dua anak cakep yang sudah menunggumu sejak tadi."***************Sapuan air dingin, membuatku bisa kembali berpikir jernih.De
UCAPANKU pasti menyentil sesuatu dalam diri mas Rendra yang jadi diam. "Mas, tersinggung kah kamu dengan ucapanku?"Dan tanyaku memecah keheningan, meski suara mesin yang tak mas Rendra matikan terus mengiringi bersama deru kendaraan yang berseliweran.Tidak menjawab, lelaki yang tak menolak pada pinta-pintaku agar kami berpura-pura saling mengenal untuk memuaskan keinginan ibu dan eyang, pun, menghentikan chat berisi hal remeh yang ingin kami bagi, menarik nafasnya dalam lalu menyadarkan tubuhnya pada jok.Kurasa, aku benar-benar melukai perasaannya dengan kata-kataku kali ini."Mas Rendra?""Runi, setak-suka itukah kamu padaku?"Tatapan mas Rendra yang melepas setir, membuatku berpaling. Manik coklatnya membuatku merasa tidak nyaman. Sampai aku yang menarik nafas dalam memanggilnya yang masih menoleh ke arahku."Mas Rendra, aku akan jujur padamu."Mata mas Rendra sabar menungguku berucap, manik matanya bahkan tak menunjukkan tuntutan. Ia hanya menunggu dalam diam."Seandainya pun k
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa
"Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in
"Runi, ayo kita pulang."Gedung dengan cat usang yang makin jauh tertinggal itu meninggalkan rasa pahit di dalam mulutku yang masih rapat menutup mulut.Tidak bersuara apa lagi menjawab ajakan mas rendra yang tatapannya kuraskan namun aku abaikan.Bahkan saat tanganku yang mas Rendra genggam ia kecup, aku masih tidak menoleh. Hanya menatap keluar.Dan lelaki yang tahu aku tidak akan merespon, menyalakan mesin kendaraan lalu melajukan kendaraanya menjauh dari gedung yang menjadi penjara bagi orang-orang yang mas Rendra kenal.Clara yang beberapa Minggu lagi melahirkan, Dedo yang terus mengatakan permintaan sama, Calista yang terlihat tidak perduli untuk segala hal, juga pak Bram yang butuh pertolongan.Sementara jalanan ramai yang klaksonnya dibunyikan dari banyaknya kendaran, tidak mampu mengusik diriku yang terus menatap keluar. Tidak sekalipun menoleh pada lelaki yang pandangannya terasa meski ia harus fokus pada jalan.Mas rendra yang tahu aku tidak ingin bicara, juga tidak mengata
Aku yang sudah dikuasai emosi, tidak memiliki keinginan untuk berhenti. Tongkat di tangan terus kuayunkan pada tubuh babak belur pak Bram yang terkulai di atas beton!'Apa yang sedang kulakukan?'Rasanya, sebaris kalimat itu muncul tapi tenggelam dalam emosi yang tak bisa kukendalikan.Sementara pak Bram yang tidak mampu memberi perlawanan ataupun menolak, memohon padaku yang bisa melihat Santo, adikku yang tubuhnya panas dan lemah, dipukuli hanya karena ia tidak ingin menjauh dariku yang kehilangan sadar!Di dalam kepala dan mataku, rasanya aku bisa melihat bagaimana tubuh lemahnya yang memilih tinggal di rumah dari pada kembali ke rumah perawatan, disentuh dengan cara yang kasar.Dan, dentuman keras tongkat yang kuayunkan mengalahkan lenguhan pak Bram yang pasti tidak menyangka, jika kejujurannya benar-benar meleburkan batas ketenanganku yang rasanya tidak lagi memiliki sisa!Tanganku serasa mati rasa. Telapak tanganku yang erat menggenggam tongkat serasa terbakar.Tapi, aku terus