Beranda / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 23. MEMBAHAS MAS RENDRA

Share

23. MEMBAHAS MAS RENDRA

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-10 11:45:01

Tiga biji bunga melati yang kuncupnya benar-benar kutemukan di bawah ranjang, ku pandangi sesaat sebelum ku letakkan di meja. Sementara wanginya terus menempel tidak hanya pada hidung, tapi juga tanganku yang terjulur.

Meraih buku dari rak yang sampul hitamnya kupandangi sesaat sebelum memperlihatkan potongan koran yang sudah menguning.

Potret keluarga berisi empat orang tampak buram.

Tapi, tawa bahagia tak bisa disamarkan dari sepasang suami istri yang memangku anak-anak mereka. Bocah-bocah yang tawa polosnya begitu nyata.

Senyata tusukan perih yang menyapai sudut hatiku yang meraba potret itu begitu hati-hati.

Apalagi saat jariku menyentuh wajah tawa bocah lelaki yang duduk begitu nyaman dalam pangkuan sang ibu.

Mulutku jadi pahit saat pandanganku bercokol pada judul dalam potongan koran. Barisan kalimat yang dicetak dengan tulisan besar bertinta hitam begitu menyakiti mata-

Tok! tok!

Kembali kuselipkan buku ke dalam barisan rak. Menunjukkan senyum dan bersikap sewajar mungkin pada
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   24. UCAPANKU MENYINGGUNG MAS RENDRA

    "Runi? Ndok?"Sentuhan ibu yang menghampiri, membuat seluruh saraf dan ototku yang tegang melemas seketika.Mungkin berlebihan, tapi memang itu yang kurasakan. Apalagi saat tanganku yang gemetaran memeluk ibu yang tubuhnya menyalurkan kehangatan."Kumohon, jangan membuatku takut, Bu."Jemariku bahkan meremas baju ibu yang usapannya membuat debaran dadaku melemah. Tidak lagi bertalu-talu!Ditambah, bapak menunjukkan tawa dengan usapan di kepalaku pelan, menyamarkan rasa buruk pun gambaran yang tak ingin kujabarkan dengan kata."Sudah-sudah, malu sama tamu."Ucapan bapak membuatku menoleh pada wajah-wajah yang memperhatikan kami.Aku benar-benar tak menyadari ada Eyang dan Mas Rendra di ruang tamu kami.Pun, sepasang remaja dengan wajah begitu mirip. Memperhatikanku lekat dari tempat mereka berdiri."Sebaiknya kamu cuci mukamu dulu, Ndok. Baru kenalan dengan dua anak cakep yang sudah menunggumu sejak tadi."***************Sapuan air dingin, membuatku bisa kembali berpikir jernih.De

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-10
  • MENJADI ORANG KEDUA   25. RUMAH YANG HANGAT

    UCAPANKU pasti menyentil sesuatu dalam diri mas Rendra yang jadi diam. "Mas, tersinggung kah kamu dengan ucapanku?"Dan tanyaku memecah keheningan, meski suara mesin yang tak mas Rendra matikan terus mengiringi bersama deru kendaraan yang berseliweran.Tidak menjawab, lelaki yang tak menolak pada pinta-pintaku agar kami berpura-pura saling mengenal untuk memuaskan keinginan ibu dan eyang, pun, menghentikan chat berisi hal remeh yang ingin kami bagi, menarik nafasnya dalam lalu menyadarkan tubuhnya pada jok.Kurasa, aku benar-benar melukai perasaannya dengan kata-kataku kali ini."Mas Rendra?""Runi, setak-suka itukah kamu padaku?"Tatapan mas Rendra yang melepas setir, membuatku berpaling. Manik coklatnya membuatku merasa tidak nyaman. Sampai aku yang menarik nafas dalam memanggilnya yang masih menoleh ke arahku."Mas Rendra, aku akan jujur padamu."Mata mas Rendra sabar menungguku berucap, manik matanya bahkan tak menunjukkan tuntutan. Ia hanya menunggu dalam diam."Seandainya pun k

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • MENJADI ORANG KEDUA   26. TIKET UNTUK PERGI

    Terkejutkah diriku yang masuk ke dapur mendapati mas Rendra ada di sana? Duduk di salah satu kursi dengan memegang gelas yang air putihnya tinggal separoh.Kurasa tidak, meski rasanya aku yang berhenti melangkah jadi diam beberapa saat ketika pandangan kami bertemu."Belum ngantuk, Mas?"Mas Rendra mengangguk untuk tanyaku dan kembali meneguk air putihnya."Aku mau bikin teh, kamu mau?"Aku yang langsung menuang air dalam ketel, menambah takaran. Sementara dari kaca yang bisa membuatku melihat senyaman apa Ares dan Riris bergelung di bawah selimut, pantulan mas Rendra yang tatapannya mengikuti langkahku terlihat."Manis?" Dengan kaleng gula di tangan, aku menoleh pada mas Rendra, lalu menyendok satu untuk tiap gelas yang akhirnya tersaji di meja dapur."Terimakasih.""Hanya teh, Mas."Suasana rumah sepi. Bapak dan ibu sudah lelap sejak lama. Begitupun eyang.Di paviliun tempat keluarga mbok Darmi tinggal, tak ada tawa Fida ataupun Burhan. Kurasa mereka pun sudah lelap menyambut mimpi.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • MENJADI ORANG KEDUA   27. SYARAT UNTUK PERGI

    "Aku ingin mencari pengalaman di kota lain, Mas."Mas Rendra yang melihat seerat apa aku memeluk lutut. Tak berkomentar. Meski matanya jadi menatapi tanganku yang kuat menggenggam pergelangan tanganku sendiri. Seolah aku akan baik saat melakukan hal ini tak perduli sedang setaknyaman apa diriku merasa.Kalimatku seolah menciptakan hal lain dalam benaknya, tidak seenteng 'mencari pengalaman' seperti yang kuucapkan."Mas! Hpmu bunyi!"Tapi, teriakan Ares membuat kami menoleh. Mendapati empat tubuh menggigil yang rasanya sudah cukup bermain air.Mas Rendra langsung berdiri, menerima ponsel dengan ucapan, "ganti baju kalian." Lalu menatap layar."Dingin, Mbak." Adu Burhan yang bibirnya membiru. Tapi, sorot matanya tetap berbinar."Ih, mallu!" Seru Riris membuat Burhan yang langsung membuka baju basahnya menoleh."Aku kan masih kecil." bela bocah kelas dua SD yang menurut saja saat aku melingkarkan handuk untuk menutupi bokongnya yang mungil."Akku mau ganti baju di mobil." Riris yang meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • MENJADI ORANG KEDUA   28. SEATAP DENGAN MAS RENDRA

    *****"PERGI!"Teriakan itu membuat bocah perempuan yang menggendong adiknya erat, keluar dari rumah yang pintunya ia biarkan terbuka.Tubuhnya yang disapai hujan langsung kuyup. Tapi, ia yang menoleh ke belakang kembali berlari.Meninggalkan sang ayah yang tatapannya membuat bocah perempuan itu makin erat memeluk tubuh sang adik.Langkah kakinya yang tidak beralas, kalah dengan suara hujan.Pijakannya yang terus berlari, seolah jadi hiburan untuk genangan air yang mengalir. Mengikuti langkah bocah perempuan yang menjauh sejauh-jauhnya dari rumah tempat ia dan adiknya tertawa tanpa mengenal bisa sekejam apa dunia.Melewati pintu-pintu tertutup yang penghuninya tidak tahu, ada sepasang bocah yang berlari meninggalkan kampung. Menembusi hujan petir yang kilatnya mampu jadi penerangan.Sampai bocah perempuan yang terus berlari itu menghentikan pijakan.Dan yang ia pijak kini, bukan lagi tanah maupun rumput basah. Melainkan aspal keras!"Nang?"Panggilnya pada bocah lelaki yang ia peluk m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-11
  • MENJADI ORANG KEDUA   29. MENYUSURI MASA LALU

    Orang bilang, potret adalah cerminan dari masa yang tidak akan lekang oleh waktu selama dijaga. Selembar kertas yang bisa menceritakan secuil kisah dari masa yang sudah lewat. Entah gambarnya hanya berupa hitam putih tanpa warna, atuh buram bak cerminan tekhnologi di masa sebelumnya. Yang jelas, potret-potret yang sedang ku pandangi berisi banyak cerita juga tawa. Kisah yang hanya bisa kubayangkan dalam imaji. Sementara wajah-wajah polos tiga bocah yang memiliki karakteristik hampir sama, membuatku yang jadi berhenti melangkah seolah bisa menyelami sedikit kisah dari rumah yang ubinnya sedang kupijaki. "Tawa Ares sudah lebar sejak ia bayi, Ndok." Ucapan eyang membuatku menatap pemilik rumah yang mengangkat figura berisi potret ketiga cucunya. Tangan eyang bahkan mengusap pelan potret yang ia pandangi dengan tatapan menerawang, seolah sedang mengingat masa yang sudah jauh terlewat. "Dan ia masih saja nakal seperti dulu." Dengan senyum, eyang kembali meletakkan figura. Lalu me

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12
  • MENJADI ORANG KEDUA   30. TIDAK DIASINGKAN

    Denting senduk dan garpu yang beradu dengan piring, menyatu dengan tawa di salah satu ruangan berisi banyak orang tua yang nampaknya suka bicara. Mengobrolkan apa saja. Bahkan, aku yang baru kali ini mereka kenal diajak tertawa. Bergabung dalam obrolan hangat setelah acara tiup lilin dengan angka 71 penanda usia, usai. "Ah, aku kenal pabrikan teh itu. Tidak sangka sampai usiaku setua ini pabriknya masih berdiri." "Iya, Oma." Jawabku. "Jawamu mana, Ndok?" Sementara yang lain bertanya. Lalu mengangguk untuk kalimatku. "Ah, aku pernah tinggal di sana, hampir tiga tahun. Kota yang sangat damai pun dingin." "Makanya kamu pindah ke tempat yang lebih hangat kan, Jeng?" "Udara dingin tidak cocok untuk tulang tuaku, lho." "Ingat, yang tua bukan hanya tulangmu saja, Rahayu." Dan tawa kembali menggema. Meski wanita yang sudah mendapat banyak hadiah dari anak, cucu, cicit pun tamu undangan jadi mencebik kesal. "Saat seusiamu aku sudah punya dua anak, Runi." "Iya dan mengandung yang ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12
  • MENJADI ORANG KEDUA   31. MAS RENDRA PULANG

    'NANG!' Begitu keras ku panggil nama Santo dalam benak! Nama yang tak juga lolos dari mulutku yang seluruh dirinya berharap. Dengan tangan bergetar dan mata yang sedikit memanas, ragu aku menyentuh pundak remaja yang terhenyak kaget lalu menoleh. Memperhatikanku yang menahan nafas. "Ya?" Sementara ucapannya membuatku yang matanya tidak berkedip, disadarkan jika remaja yang sedang aku pandangi wajahnya dengan menahan nafas, bukan Santo adikku. "Ma-af, saya ... saya salah orang." ucapku berusaha menutupi kekecewa saat mataku yang tidak berkedip benar-benat melihat wajah remaja lelaki yang masih mengamatiku. "Kamu baik-baik saja, Mbak?" Sopan ia bertanya. Entah wajah macam apa yang sedang kuperlihatkan sampai tanganku terlepas dari pundaknya. "Ya, terimakasih dan maaf sekali lagi." Sekuat hati aku yang mulutnya terasa sangat pahit, tersenyum lalu mundur. Membiarkan remaja yang sudah duduk di atas motor menyalakan mesin lalu pergi. Sementara deru motornya yang menyatu dengan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-12

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status