"Runi? Ndok?"Sentuhan ibu yang menghampiri, membuat seluruh saraf dan ototku yang tegang melemas seketika.Mungkin berlebihan, tapi memang itu yang kurasakan. Apalagi saat tanganku yang gemetaran memeluk ibu yang tubuhnya menyalurkan kehangatan."Kumohon, jangan membuatku takut, Bu."Jemariku bahkan meremas baju ibu yang usapannya membuat debaran dadaku melemah. Tidak lagi bertalu-talu!Ditambah, bapak menunjukkan tawa dengan usapan di kepalaku pelan, menyamarkan rasa buruk pun gambaran yang tak ingin kujabarkan dengan kata."Sudah-sudah, malu sama tamu."Ucapan bapak membuatku menoleh pada wajah-wajah yang memperhatikan kami.Aku benar-benar tak menyadari ada Eyang dan Mas Rendra di ruang tamu kami.Pun, sepasang remaja dengan wajah begitu mirip. Memperhatikanku lekat dari tempat mereka berdiri."Sebaiknya kamu cuci mukamu dulu, Ndok. Baru kenalan dengan dua anak cakep yang sudah menunggumu sejak tadi."***************Sapuan air dingin, membuatku bisa kembali berpikir jernih.De
UCAPANKU pasti menyentil sesuatu dalam diri mas Rendra yang jadi diam. "Mas, tersinggung kah kamu dengan ucapanku?"Dan tanyaku memecah keheningan, meski suara mesin yang tak mas Rendra matikan terus mengiringi bersama deru kendaraan yang berseliweran.Tidak menjawab, lelaki yang tak menolak pada pinta-pintaku agar kami berpura-pura saling mengenal untuk memuaskan keinginan ibu dan eyang, pun, menghentikan chat berisi hal remeh yang ingin kami bagi, menarik nafasnya dalam lalu menyadarkan tubuhnya pada jok.Kurasa, aku benar-benar melukai perasaannya dengan kata-kataku kali ini."Mas Rendra?""Runi, setak-suka itukah kamu padaku?"Tatapan mas Rendra yang melepas setir, membuatku berpaling. Manik coklatnya membuatku merasa tidak nyaman. Sampai aku yang menarik nafas dalam memanggilnya yang masih menoleh ke arahku."Mas Rendra, aku akan jujur padamu."Mata mas Rendra sabar menungguku berucap, manik matanya bahkan tak menunjukkan tuntutan. Ia hanya menunggu dalam diam."Seandainya pun k
Terkejutkah diriku yang masuk ke dapur mendapati mas Rendra ada di sana? Duduk di salah satu kursi dengan memegang gelas yang air putihnya tinggal separoh.Kurasa tidak, meski rasanya aku yang berhenti melangkah jadi diam beberapa saat ketika pandangan kami bertemu."Belum ngantuk, Mas?"Mas Rendra mengangguk untuk tanyaku dan kembali meneguk air putihnya."Aku mau bikin teh, kamu mau?"Aku yang langsung menuang air dalam ketel, menambah takaran. Sementara dari kaca yang bisa membuatku melihat senyaman apa Ares dan Riris bergelung di bawah selimut, pantulan mas Rendra yang tatapannya mengikuti langkahku terlihat."Manis?" Dengan kaleng gula di tangan, aku menoleh pada mas Rendra, lalu menyendok satu untuk tiap gelas yang akhirnya tersaji di meja dapur."Terimakasih.""Hanya teh, Mas."Suasana rumah sepi. Bapak dan ibu sudah lelap sejak lama. Begitupun eyang.Di paviliun tempat keluarga mbok Darmi tinggal, tak ada tawa Fida ataupun Burhan. Kurasa mereka pun sudah lelap menyambut mimpi.
"Aku ingin mencari pengalaman di kota lain, Mas."Mas Rendra yang melihat seerat apa aku memeluk lutut. Tak berkomentar. Meski matanya jadi menatapi tanganku yang kuat menggenggam pergelangan tanganku sendiri. Seolah aku akan baik saat melakukan hal ini tak perduli sedang setaknyaman apa diriku merasa.Kalimatku seolah menciptakan hal lain dalam benaknya, tidak seenteng 'mencari pengalaman' seperti yang kuucapkan."Mas! Hpmu bunyi!"Tapi, teriakan Ares membuat kami menoleh. Mendapati empat tubuh menggigil yang rasanya sudah cukup bermain air.Mas Rendra langsung berdiri, menerima ponsel dengan ucapan, "ganti baju kalian." Lalu menatap layar."Dingin, Mbak." Adu Burhan yang bibirnya membiru. Tapi, sorot matanya tetap berbinar."Ih, mallu!" Seru Riris membuat Burhan yang langsung membuka baju basahnya menoleh."Aku kan masih kecil." bela bocah kelas dua SD yang menurut saja saat aku melingkarkan handuk untuk menutupi bokongnya yang mungil."Akku mau ganti baju di mobil." Riris yang meng
*****"PERGI!"Teriakan itu membuat bocah perempuan yang menggendong adiknya erat, keluar dari rumah yang pintunya ia biarkan terbuka.Tubuhnya yang disapai hujan langsung kuyup. Tapi, ia yang menoleh ke belakang kembali berlari.Meninggalkan sang ayah yang tatapannya membuat bocah perempuan itu makin erat memeluk tubuh sang adik.Langkah kakinya yang tidak beralas, kalah dengan suara hujan.Pijakannya yang terus berlari, seolah jadi hiburan untuk genangan air yang mengalir. Mengikuti langkah bocah perempuan yang menjauh sejauh-jauhnya dari rumah tempat ia dan adiknya tertawa tanpa mengenal bisa sekejam apa dunia.Melewati pintu-pintu tertutup yang penghuninya tidak tahu, ada sepasang bocah yang berlari meninggalkan kampung. Menembusi hujan petir yang kilatnya mampu jadi penerangan.Sampai bocah perempuan yang terus berlari itu menghentikan pijakan.Dan yang ia pijak kini, bukan lagi tanah maupun rumput basah. Melainkan aspal keras!"Nang?"Panggilnya pada bocah lelaki yang ia peluk m
Orang bilang, potret adalah cerminan dari masa yang tidak akan lekang oleh waktu selama dijaga. Selembar kertas yang bisa menceritakan secuil kisah dari masa yang sudah lewat. Entah gambarnya hanya berupa hitam putih tanpa warna, atuh buram bak cerminan tekhnologi di masa sebelumnya. Yang jelas, potret-potret yang sedang ku pandangi berisi banyak cerita juga tawa. Kisah yang hanya bisa kubayangkan dalam imaji. Sementara wajah-wajah polos tiga bocah yang memiliki karakteristik hampir sama, membuatku yang jadi berhenti melangkah seolah bisa menyelami sedikit kisah dari rumah yang ubinnya sedang kupijaki. "Tawa Ares sudah lebar sejak ia bayi, Ndok." Ucapan eyang membuatku menatap pemilik rumah yang mengangkat figura berisi potret ketiga cucunya. Tangan eyang bahkan mengusap pelan potret yang ia pandangi dengan tatapan menerawang, seolah sedang mengingat masa yang sudah jauh terlewat. "Dan ia masih saja nakal seperti dulu." Dengan senyum, eyang kembali meletakkan figura. Lalu me
Denting senduk dan garpu yang beradu dengan piring, menyatu dengan tawa di salah satu ruangan berisi banyak orang tua yang nampaknya suka bicara. Mengobrolkan apa saja. Bahkan, aku yang baru kali ini mereka kenal diajak tertawa. Bergabung dalam obrolan hangat setelah acara tiup lilin dengan angka 71 penanda usia, usai. "Ah, aku kenal pabrikan teh itu. Tidak sangka sampai usiaku setua ini pabriknya masih berdiri." "Iya, Oma." Jawabku. "Jawamu mana, Ndok?" Sementara yang lain bertanya. Lalu mengangguk untuk kalimatku. "Ah, aku pernah tinggal di sana, hampir tiga tahun. Kota yang sangat damai pun dingin." "Makanya kamu pindah ke tempat yang lebih hangat kan, Jeng?" "Udara dingin tidak cocok untuk tulang tuaku, lho." "Ingat, yang tua bukan hanya tulangmu saja, Rahayu." Dan tawa kembali menggema. Meski wanita yang sudah mendapat banyak hadiah dari anak, cucu, cicit pun tamu undangan jadi mencebik kesal. "Saat seusiamu aku sudah punya dua anak, Runi." "Iya dan mengandung yang ke
'NANG!' Begitu keras ku panggil nama Santo dalam benak! Nama yang tak juga lolos dari mulutku yang seluruh dirinya berharap. Dengan tangan bergetar dan mata yang sedikit memanas, ragu aku menyentuh pundak remaja yang terhenyak kaget lalu menoleh. Memperhatikanku yang menahan nafas. "Ya?" Sementara ucapannya membuatku yang matanya tidak berkedip, disadarkan jika remaja yang sedang aku pandangi wajahnya dengan menahan nafas, bukan Santo adikku. "Ma-af, saya ... saya salah orang." ucapku berusaha menutupi kekecewa saat mataku yang tidak berkedip benar-benat melihat wajah remaja lelaki yang masih mengamatiku. "Kamu baik-baik saja, Mbak?" Sopan ia bertanya. Entah wajah macam apa yang sedang kuperlihatkan sampai tanganku terlepas dari pundaknya. "Ya, terimakasih dan maaf sekali lagi." Sekuat hati aku yang mulutnya terasa sangat pahit, tersenyum lalu mundur. Membiarkan remaja yang sudah duduk di atas motor menyalakan mesin lalu pergi. Sementara deru motornya yang menyatu dengan ke