Denting senduk dan garpu yang beradu dengan piring, menyatu dengan tawa di salah satu ruangan berisi banyak orang tua yang nampaknya suka bicara. Mengobrolkan apa saja. Bahkan, aku yang baru kali ini mereka kenal diajak tertawa. Bergabung dalam obrolan hangat setelah acara tiup lilin dengan angka 71 penanda usia, usai. "Ah, aku kenal pabrikan teh itu. Tidak sangka sampai usiaku setua ini pabriknya masih berdiri." "Iya, Oma." Jawabku. "Jawamu mana, Ndok?" Sementara yang lain bertanya. Lalu mengangguk untuk kalimatku. "Ah, aku pernah tinggal di sana, hampir tiga tahun. Kota yang sangat damai pun dingin." "Makanya kamu pindah ke tempat yang lebih hangat kan, Jeng?" "Udara dingin tidak cocok untuk tulang tuaku, lho." "Ingat, yang tua bukan hanya tulangmu saja, Rahayu." Dan tawa kembali menggema. Meski wanita yang sudah mendapat banyak hadiah dari anak, cucu, cicit pun tamu undangan jadi mencebik kesal. "Saat seusiamu aku sudah punya dua anak, Runi." "Iya dan mengandung yang ke
'NANG!' Begitu keras ku panggil nama Santo dalam benak! Nama yang tak juga lolos dari mulutku yang seluruh dirinya berharap. Dengan tangan bergetar dan mata yang sedikit memanas, ragu aku menyentuh pundak remaja yang terhenyak kaget lalu menoleh. Memperhatikanku yang menahan nafas. "Ya?" Sementara ucapannya membuatku yang matanya tidak berkedip, disadarkan jika remaja yang sedang aku pandangi wajahnya dengan menahan nafas, bukan Santo adikku. "Ma-af, saya ... saya salah orang." ucapku berusaha menutupi kekecewa saat mataku yang tidak berkedip benar-benat melihat wajah remaja lelaki yang masih mengamatiku. "Kamu baik-baik saja, Mbak?" Sopan ia bertanya. Entah wajah macam apa yang sedang kuperlihatkan sampai tanganku terlepas dari pundaknya. "Ya, terimakasih dan maaf sekali lagi." Sekuat hati aku yang mulutnya terasa sangat pahit, tersenyum lalu mundur. Membiarkan remaja yang sudah duduk di atas motor menyalakan mesin lalu pergi. Sementara deru motornya yang menyatu dengan ke
Suara hujan yang juga mengguyur tubuh basahku menggema keras. "Apa udara di kota ini begitu panas, Runi?" Aku yang masih memegang engsel, mendorong pintu di belakangku agar tertutup. Hal yang sedikit kurutuki, karena suara hujan jadi teredam. Sementara langkah mas Rendra yang mendekat rasanya menggema keras. "Pakailah." Ucapnya menjulurkan handuk yang kutatapi beberapa saat sebelum tanganku naik, menerima handuk yang bukan handukku. Aroma pewangi bahkan menggelitik hidungku yang berterimakasih pada lelaki yang bersin. "Maaf, hidungku gatal." Ucap mas Rendra mengusap hidungnya yang mungkin berair. "Apa aku sudah mengatakan selamat datang padamu, Runi?" Dan kali ini aku menggeleng. Melingkarkan handuk pada tubuhku yang rambutnya meneteskan air kolam pun air hujan pada ubin. Sementara telingaku membaca nada suaranya yang nyatanya masih sama seperti sebelumnya. Mas Rendra mengangguk, "selamat datang, kuharap kamu akan betah tinggal di sini." Pun, saat senyum mas Rendra yang me
Aku yang tak punya kegiatan akhirnya membantu mbok Surti yang sedang membuat tempe goreng tepung dengan irisan daun bawang.Sesekali tersenyum pada obrolan mbok Surti dan mbak Imah, sepasang bibi dan keponakan yang bekerja di rumah sama. Membahas film seri india yang sedang tayang tiap hari pun di gandrungi mbok Darmi.Meski tak paham, aku cukup terhibur dengan ekspresi keduanya yang kadang terlihat sangat kesal pada beberapa pemain juga alur film yang berputar-putar.Tapi, dua orang di sampingku tampak menikmati film yang terdengar menyebalkan itu."Tempe goreng tepung paling enak dimakan sama cocol saos sambel." kata Mbak Imah membuat teh untuk kami setelah acara masak selesai."Paling enak yo pake cabe rawit, Im, muantep. Iyakan, Neng Runi?""Iya, Mbok." Aku yang memang lebih suka pedas mengangguk pada ucapan mbok Surti, "terimakasih, Mbak Imah." Lalu berterimakasih pada segelas teh hangat yang mbak Imah letakkan di hadapan."Sama-sama, Mbak Runi." Balas wanita yang usianya hanya
"Clara. Salam kenal, Dek Runi." Aku menjabat uluran tangan kekasih mas Rendra, wanita yang senyum ramahnya tertuju padaku. "Salam kenal juga, Mbak Clara." Rasanya aku tak perlu lagi menyebut namaku pada wanita cantik yang tangannya pun terasa lembut, karena Mas Rendra yang memperhatikan kami pasti sudah bercerita tentang diriku. Sejauh apa? Kurasa itu tidak penting, karena wanita yang akhirnya melepas jabatan tangannya kembali merangkul mas Rendra. Seolah menegaskan siapa diriku bagi mereka berdua. "Ayo, jangan buat Dek Runi lebih lama menunggu." Mas Rendra melirikku yang menunjukkan senyum lalu menyerahkan kunci mobilku. Bukan tidak menyadari, aku hanya tidak ingin berkomentar pada tatapan Clara yang rasanya menilai bagaimana aku dan mas Rendra berinteraksi. Dan aku yang sadar diri langsung membuka pintu, duduk di belakang. Menyingkirkan keripik singkong yang kubeli ke kursi paling belakang dan tersenyum pada wanita yang menoleh ke arahku begitu ia menyamankan diri duduk di s
Apa aku sedang menyiksa diri? Mungkin. Karena aku yang meletakkan sendok dan garpu ke atas piring sudah menghabiskan makan siangku. Pun, fillet goreng tepung yang hanya meninggalkan remahannya saja. Sementara sepasang kekasih yang juga melakukan hal sama, pun, selesai dengan makan siang mereka. "Apa kamu suka makan siangmu, Dek Runi?" Aku yang memegang gelas berisi teh tanpa gula melirik wanita yang kembali memperlihatkan keramahan. Meski sorot matanya berbeda. Pun, tidak bicara sebanyak sebelumnya. Mungkin karena kami sedang makan. "Ya, terimakasih sudah mengajak saya makan di sini, Mbak, Mas." "Syukurlah kalau kamu suka. Iya, kan Ren?" Mas Rendra yang tangannya digenggam Clara, mengangguk, "sudah semua?" "Ya." Jawab Clara pada tanya mas Rendra, sementara aku mengangguk. "Kalau begitu ayo." Aku yang masih memegang gelas, meneguk sisa teh lalu berdiri, kembali mengekori sepasang kekasih yang terus bergandengan tangan, menghampiri kasir yang lirikannya seolah bertanya, "siapa
"Ahirnya mbak turun, aku udah laper dari tadi." "Lo kan emmang selalu lapper, Resse." kata Riris yang masih merangkul lenganku. "Kan, kamu bisa makan dulu, gak harus nunggu Mbak, Res." Ares menggeleng dengan wajah dramatis, "hari ini gak bisa, Mbak. Soalnya kita mau makan diluar, ya kan Mas-qu." Mas Rendra hanya menoleh sementara Riris yang matanya mengikuti apa yang kami bicarakan mengangguk. "Tau gak, Mbak Runni. Masa pullang-pullang Mas Rendra langsung bilang mbok Surti gak usah masak." Aduan Riris rasanya membuat dahiku sedikit berkerut. "Mas pikir yang makan kita doang kali, Ris." Timpal Ares membuatku menatap pria yang duduk di samping neneknya, dan hanya tersenyum tak membalas. "Udah semua, kan? ayo." ajak Mas Rendra bangun dan mengulurkan tangan pada Eyang. Mungkin tak lagi ingin digoda, entahlah. "Mas gue yang nyetir, ya?" "Ya." "Jangan ngebut." Peringat Eyang menggandeng lengan cucu tertuanya, sementara Riris terus memeluk tanganku sambil bercerita apa yang dilakuk
"Eyang pulang dulu. Kalian bersenang-senanglah," ucap eyang melirik Ares, "dan jangan kelewatan." "Aku cuma mau nonton, Eyang." Jawab Ares yang merasa tersindir. "Titip bocah-bocah nakal ini, ya, Ndok." Aku mengangguk untuk ucapan eyang yang memeluk mas Rendra sebelum masuk ke dalam taxy yang pintunya mas Rendra tutup. "Jangan malam-malam pulangnya." Ucap eyang yang menurunkan kaca, memperlihatkan supir taksi yang menyapa dengan anggukan. "Siap, Eyang!" Semangat Ares menjawab. Sementara Riris yang merangkul lenganku, melambai sampai taxy yang eyang duduki melaju jauh. Meninggalkan kami yang akan nonton di gedung lain. Dimana? Entahlah. Aku yang ingin tahu maksud ucapan mas Rendra untuk jawab yang ia berikan pada Ares, bahkan tak menemukan waktu untuk bertanya. "Ayo," sampai tangan Ares yang terjulur disambut Riris yang melepas rangkulannya pada lenganku. Dua anak yang perutnya sudah kenyang dan tampak tak sabar untuk menonton itu, masuk ke dalam mobil. Meninggalkan diriku dan
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re