Beranda / Pernikahan / MENJADI ORANG KEDUA / 34. WANITA YANG CEMBURU

Share

34. WANITA YANG CEMBURU

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-13 12:17:35

"Clara. Salam kenal, Dek Runi."

Aku menjabat uluran tangan kekasih mas Rendra, wanita yang senyum ramahnya tertuju padaku. "Salam kenal juga, Mbak Clara."

Rasanya aku tak perlu lagi menyebut namaku pada wanita cantik yang tangannya pun terasa lembut, karena Mas Rendra yang memperhatikan kami pasti sudah bercerita tentang diriku.

Sejauh apa? Kurasa itu tidak penting, karena wanita yang akhirnya melepas jabatan tangannya kembali merangkul mas Rendra.

Seolah menegaskan siapa diriku bagi mereka berdua.

"Ayo, jangan buat Dek Runi lebih lama menunggu."

Mas Rendra melirikku yang menunjukkan senyum lalu menyerahkan kunci mobilku.

Bukan tidak menyadari, aku hanya tidak ingin berkomentar pada tatapan Clara yang rasanya menilai bagaimana aku dan mas Rendra berinteraksi.

Dan aku yang sadar diri langsung membuka pintu, duduk di belakang. Menyingkirkan keripik singkong yang kubeli ke kursi paling belakang dan tersenyum pada wanita yang menoleh ke arahku begitu ia menyamankan diri duduk di s
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   35. TAWA MAS RENDRA

    Apa aku sedang menyiksa diri? Mungkin. Karena aku yang meletakkan sendok dan garpu ke atas piring sudah menghabiskan makan siangku. Pun, fillet goreng tepung yang hanya meninggalkan remahannya saja. Sementara sepasang kekasih yang juga melakukan hal sama, pun, selesai dengan makan siang mereka. "Apa kamu suka makan siangmu, Dek Runi?" Aku yang memegang gelas berisi teh tanpa gula melirik wanita yang kembali memperlihatkan keramahan. Meski sorot matanya berbeda. Pun, tidak bicara sebanyak sebelumnya. Mungkin karena kami sedang makan. "Ya, terimakasih sudah mengajak saya makan di sini, Mbak, Mas." "Syukurlah kalau kamu suka. Iya, kan Ren?" Mas Rendra yang tangannya digenggam Clara, mengangguk, "sudah semua?" "Ya." Jawab Clara pada tanya mas Rendra, sementara aku mengangguk. "Kalau begitu ayo." Aku yang masih memegang gelas, meneguk sisa teh lalu berdiri, kembali mengekori sepasang kekasih yang terus bergandengan tangan, menghampiri kasir yang lirikannya seolah bertanya, "siapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • MENJADI ORANG KEDUA   36. DIA MEMBUATKU BINGUNG

    "Ahirnya mbak turun, aku udah laper dari tadi." "Lo kan emmang selalu lapper, Resse." kata Riris yang masih merangkul lenganku. "Kan, kamu bisa makan dulu, gak harus nunggu Mbak, Res." Ares menggeleng dengan wajah dramatis, "hari ini gak bisa, Mbak. Soalnya kita mau makan diluar, ya kan Mas-qu." Mas Rendra hanya menoleh sementara Riris yang matanya mengikuti apa yang kami bicarakan mengangguk. "Tau gak, Mbak Runni. Masa pullang-pullang Mas Rendra langsung bilang mbok Surti gak usah masak." Aduan Riris rasanya membuat dahiku sedikit berkerut. "Mas pikir yang makan kita doang kali, Ris." Timpal Ares membuatku menatap pria yang duduk di samping neneknya, dan hanya tersenyum tak membalas. "Udah semua, kan? ayo." ajak Mas Rendra bangun dan mengulurkan tangan pada Eyang. Mungkin tak lagi ingin digoda, entahlah. "Mas gue yang nyetir, ya?" "Ya." "Jangan ngebut." Peringat Eyang menggandeng lengan cucu tertuanya, sementara Riris terus memeluk tanganku sambil bercerita apa yang dilakuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-14
  • MENJADI ORANG KEDUA   37. AKU TIDAK SUKA

    "Eyang pulang dulu. Kalian bersenang-senanglah," ucap eyang melirik Ares, "dan jangan kelewatan." "Aku cuma mau nonton, Eyang." Jawab Ares yang merasa tersindir. "Titip bocah-bocah nakal ini, ya, Ndok." Aku mengangguk untuk ucapan eyang yang memeluk mas Rendra sebelum masuk ke dalam taxy yang pintunya mas Rendra tutup. "Jangan malam-malam pulangnya." Ucap eyang yang menurunkan kaca, memperlihatkan supir taksi yang menyapa dengan anggukan. "Siap, Eyang!" Semangat Ares menjawab. Sementara Riris yang merangkul lenganku, melambai sampai taxy yang eyang duduki melaju jauh. Meninggalkan kami yang akan nonton di gedung lain. Dimana? Entahlah. Aku yang ingin tahu maksud ucapan mas Rendra untuk jawab yang ia berikan pada Ares, bahkan tak menemukan waktu untuk bertanya. "Ayo," sampai tangan Ares yang terjulur disambut Riris yang melepas rangkulannya pada lenganku. Dua anak yang perutnya sudah kenyang dan tampak tak sabar untuk menonton itu, masuk ke dalam mobil. Meninggalkan diriku dan

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-15
  • MENJADI ORANG KEDUA   38. BOCAH GILA

    Aku tidak tahu apa jawabanku cukup memuaskan mas Rendra yang terus menatap. Sampai aku berharap agar mataku yang berkedip tak menunjukkan kejujuran apapun. "Kalau Mas sendiri, adakah dongeng yang mas sukai dengan sangat?" "Dengan sangat?" Aku mengangguk, menunjuk buku dengan cerita bergambar yang sudah mas Rendra letakkan. "Anak Menjangan ini, misalnya?" Ucapanku membuat mas Rendra tertawa, geli. Sampai ia mengambil cergam yang gambar sampulnya ia pandangi. "Dengan sangat? kurasa tidak ada, Runi," pandangannya berlatih padaku sesaat. "Tapi, kisah kancil yang mengerjai pak tani begitu mengingatkanku pada Ares." Rasanya, aku bisa membayangkan bagaiman Ares kecil di mata mas Rendra yang sorot matanya pun tampak tersenyum. Seolah mengingat masa lalu yang membuatnya menarik nafas dalam sebelum meletakkan buku yang ia pegang kembali pada rak. "Jika bukan dongeng anak-anak yang kamu baca, apa yang jadi bacaanmu dulu, Runi?" Bayangan buku-buku tebal dalam ruang kerja bapak terbayang

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-16
  • MENJADI ORANG KEDUA   39. PEMANDU KARAOKE

    Bapak dan ibu yang membawaku dan Santo pulang, memperlakukan kami layaknya anak sendiri. Ucapan pengurus panti benar adanya. Karena tanpa meminta, segala kebutuhan kami sudah terpenuhi. Sandang, pangan, papan. Bahkan lebih dari itu. Tapi, sambutan hangat dan penerimaan tidak berlaku untuk saudara-saudara bapak. Mereka tidak pernah menerima kami. Aku dan adikku adalah orang asing yang kehadirannya tidak diharapkan oleh mereka. Sementara bapak dan ibu yang memang tidak memiliki anak, benar-benar mencurahkan waktu dan kasihnya pada kami berdua. Hal yang membuat saudara-saudara bapak memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan kami. Dan pada akhirnya, adikku yang namanya tidak pernah lagi di sebut benar-benar pergi. Meninggalkanku yang tidak bisa pergi karena ibu- "Jadi, masuk golongan yang mana keluarga Lo?" Ucapan Sarah yang sorot matanya menantang, membuatku kembali dari apa yang melintas dalam pikiran. Mataku hanya berkedip untuk tatapan menusuk remaja putri yang rasanya tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17
  • MENJADI ORANG KEDUA   40. AKU MAU YANG KAU MILIKI

    "Kau ingin aku duduk di sampingmu?" Lena yang bertanya langsung menggeser duduk tanpa mendengar jawaban dariku. "Jadi, kita akan nyanyi apa, nih?" "Apa saja, aku tak begitu pemilih." "Benarkah?" Entah ia benar-benar terkejut atau hanya pura-pura, tapi alisnya terangkat tinggi. "Bagaimana kalau aku mau lagu dangdut? kau takkan ilfil denganku, kan?" "Tentu tidak, Lena." "Asiiik." Tak butuh waktu lama, nyanyian Lena memenuhi ruangan kedap suara yang ku pesan. Sementara lirik lagu yang tercetak di layar televisi jadi panduan gadis yang berdiri, meliukkan tubuhnya, sesekali mengajakku bernyanyi. Bahkan tertawa untuk nada salah yang terlewat. Dan Lena, tampak menikmati apa yang sedang dilakukannya. "Boleh aku memesan minum lagi?" Meski botol minuman di depan kami masih tersisa, Lena bertanya. "Bukankah kamu sudah cukup minum?" "Ayolah, Runi-" ia bahkan tak lagi menyebutku mbak, hanya nama. "-makin banyak aku membantu penjualan, semakin besar bonus yang kudapat. Aku bahkan akan m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-17
  • MENJADI ORANG KEDUA   41. TAHU DIRILAH

    "Satenya gak jadi dimakan?" "Ish, Mas, nih. Kita lagi nungguin mbak Runi tauk." Aku yang tak hanya melihat pantulan diri dalam cermin, tidak perlu menoleh untuk tahu mas Rendra yang mengambil satu tusuk sate, ikut melirikku yang punggungnya pasti akan berlubang jika tatapan penasaran mampu mengeluarkan sesuatu. Sampai aku yang mengelap tangan basahku, kembali bergabung dengan cucu-cucu pemilik rumah yang pandangannya terus mengikuti. "Mbak jalan sama siapa, Mbak?" "Cewwek? Cowwok?" Aku ingin tersenyum untuk tanya yang rasanya tidak akan berhenti dari dua anak kembar yang benar-benar mengabaikan sate mereka. Sementara wajah orang-orang yang menjadi rekan kerjaku terbayang. "Mbak jalan sama cewek," ucapku menciptakan binar dalam mata Riris dan Ares yang menghilang saat kalimat keduaku terucap, "juga cowok." Begitu mudahnya harap keduanya terbaca mata, "dan cowok kecewek-cewekan." Sementara kalimat ketiga yang kuucap, membuat mas Rendra yang sedang mengunyah menoleh padaku lalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-18
  • MENJADI ORANG KEDUA   42. KEBIASAAN CLARA YANG BERUBAH

    "Kamu baru pulang?" Aku yang berpikir penghuni rumah yang sedang ku masuki sudah terlelap semua, menoleh. Sementara lelaki yang rambutnya masih basah, menutup kulkas dengan gelas berisi air dingin di tangan. "Iya, Mas." Jawabku berhenti melangkah lalu menggeleng untuk tawaran mas Rendra yang meneguk minumannya. "Sudah makan?" Kali ini aku mengangguk, memperhatikan lelaki yang keluar dari dapur. Entah kenapa, aku jadi ikut melangkah, menaiki anak-anak tangga bersama mas Rendra yang aroma samponya menggelitik. "Kamu sudah dapat lemburan?" "Aku hanya jalan-jalan, Mas." Jawabku yang berharap aroma apapun yang menempel pada tubuh tidak akan dicium mas Rendra yang tubuhnya wangi sabun. Tadi, Lena menumpahkan botol minumnya pada pangkuanku. Tidak sengaja tentu. "Dan pegawai magang mana yang sudah dapat lemburan dari pengawasnya, Mas?" Ucapanku membuat langkah mas Rendra berhenti. Tatapannya lebih menunduk dari biasanya karena aku menjaga jarak dua anak tangga dengannya. Jdar! Sa

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-18

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   211. POSESIFNYA

    Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed

  • MENJADI ORANG KEDUA   210. TAMU TAK DIUNDANG

    Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan

  • MENJADI ORANG KEDUA   209. JANGAN PERGI

    "Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja

  • MENJADI ORANG KEDUA   208. ORANG YANG KUGAJI

    RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu

  • MENJADI ORANG KEDUA   207. TERASA RINGAN

    "Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa

  • MENJADI ORANG KEDUA   206. INGIN MATI

    Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa

  • MENJADI ORANG KEDUA   205. MEMBAWA ADIKKU PULANG

    "Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in

  • MENJADI ORANG KEDUA   204. MARAH

    "Runi, ayo kita pulang."Gedung dengan cat usang yang makin jauh tertinggal itu meninggalkan rasa pahit di dalam mulutku yang masih rapat menutup mulut.Tidak bersuara apa lagi menjawab ajakan mas rendra yang tatapannya kuraskan namun aku abaikan.Bahkan saat tanganku yang mas Rendra genggam ia kecup, aku masih tidak menoleh. Hanya menatap keluar.Dan lelaki yang tahu aku tidak akan merespon, menyalakan mesin kendaraan lalu melajukan kendaraanya menjauh dari gedung yang menjadi penjara bagi orang-orang yang mas Rendra kenal.Clara yang beberapa Minggu lagi melahirkan, Dedo yang terus mengatakan permintaan sama, Calista yang terlihat tidak perduli untuk segala hal, juga pak Bram yang butuh pertolongan.Sementara jalanan ramai yang klaksonnya dibunyikan dari banyaknya kendaran, tidak mampu mengusik diriku yang terus menatap keluar. Tidak sekalipun menoleh pada lelaki yang pandangannya terasa meski ia harus fokus pada jalan.Mas rendra yang tahu aku tidak ingin bicara, juga tidak mengata

  • MENJADI ORANG KEDUA   203. AKU LELAH

    Aku yang sudah dikuasai emosi, tidak memiliki keinginan untuk berhenti. Tongkat di tangan terus kuayunkan pada tubuh babak belur pak Bram yang terkulai di atas beton!'Apa yang sedang kulakukan?'Rasanya, sebaris kalimat itu muncul tapi tenggelam dalam emosi yang tak bisa kukendalikan.Sementara pak Bram yang tidak mampu memberi perlawanan ataupun menolak, memohon padaku yang bisa melihat Santo, adikku yang tubuhnya panas dan lemah, dipukuli hanya karena ia tidak ingin menjauh dariku yang kehilangan sadar!Di dalam kepala dan mataku, rasanya aku bisa melihat bagaimana tubuh lemahnya yang memilih tinggal di rumah dari pada kembali ke rumah perawatan, disentuh dengan cara yang kasar.Dan, dentuman keras tongkat yang kuayunkan mengalahkan lenguhan pak Bram yang pasti tidak menyangka, jika kejujurannya benar-benar meleburkan batas ketenanganku yang rasanya tidak lagi memiliki sisa!Tanganku serasa mati rasa. Telapak tanganku yang erat menggenggam tongkat serasa terbakar.Tapi, aku terus

DMCA.com Protection Status