"Ahirnya mbak turun, aku udah laper dari tadi." "Lo kan emmang selalu lapper, Resse." kata Riris yang masih merangkul lenganku. "Kan, kamu bisa makan dulu, gak harus nunggu Mbak, Res." Ares menggeleng dengan wajah dramatis, "hari ini gak bisa, Mbak. Soalnya kita mau makan diluar, ya kan Mas-qu." Mas Rendra hanya menoleh sementara Riris yang matanya mengikuti apa yang kami bicarakan mengangguk. "Tau gak, Mbak Runni. Masa pullang-pullang Mas Rendra langsung bilang mbok Surti gak usah masak." Aduan Riris rasanya membuat dahiku sedikit berkerut. "Mas pikir yang makan kita doang kali, Ris." Timpal Ares membuatku menatap pria yang duduk di samping neneknya, dan hanya tersenyum tak membalas. "Udah semua, kan? ayo." ajak Mas Rendra bangun dan mengulurkan tangan pada Eyang. Mungkin tak lagi ingin digoda, entahlah. "Mas gue yang nyetir, ya?" "Ya." "Jangan ngebut." Peringat Eyang menggandeng lengan cucu tertuanya, sementara Riris terus memeluk tanganku sambil bercerita apa yang dilakuk
"Eyang pulang dulu. Kalian bersenang-senanglah," ucap eyang melirik Ares, "dan jangan kelewatan." "Aku cuma mau nonton, Eyang." Jawab Ares yang merasa tersindir. "Titip bocah-bocah nakal ini, ya, Ndok." Aku mengangguk untuk ucapan eyang yang memeluk mas Rendra sebelum masuk ke dalam taxy yang pintunya mas Rendra tutup. "Jangan malam-malam pulangnya." Ucap eyang yang menurunkan kaca, memperlihatkan supir taksi yang menyapa dengan anggukan. "Siap, Eyang!" Semangat Ares menjawab. Sementara Riris yang merangkul lenganku, melambai sampai taxy yang eyang duduki melaju jauh. Meninggalkan kami yang akan nonton di gedung lain. Dimana? Entahlah. Aku yang ingin tahu maksud ucapan mas Rendra untuk jawab yang ia berikan pada Ares, bahkan tak menemukan waktu untuk bertanya. "Ayo," sampai tangan Ares yang terjulur disambut Riris yang melepas rangkulannya pada lenganku. Dua anak yang perutnya sudah kenyang dan tampak tak sabar untuk menonton itu, masuk ke dalam mobil. Meninggalkan diriku dan
Aku tidak tahu apa jawabanku cukup memuaskan mas Rendra yang terus menatap. Sampai aku berharap agar mataku yang berkedip tak menunjukkan kejujuran apapun. "Kalau Mas sendiri, adakah dongeng yang mas sukai dengan sangat?" "Dengan sangat?" Aku mengangguk, menunjuk buku dengan cerita bergambar yang sudah mas Rendra letakkan. "Anak Menjangan ini, misalnya?" Ucapanku membuat mas Rendra tertawa, geli. Sampai ia mengambil cergam yang gambar sampulnya ia pandangi. "Dengan sangat? kurasa tidak ada, Runi," pandangannya berlatih padaku sesaat. "Tapi, kisah kancil yang mengerjai pak tani begitu mengingatkanku pada Ares." Rasanya, aku bisa membayangkan bagaiman Ares kecil di mata mas Rendra yang sorot matanya pun tampak tersenyum. Seolah mengingat masa lalu yang membuatnya menarik nafas dalam sebelum meletakkan buku yang ia pegang kembali pada rak. "Jika bukan dongeng anak-anak yang kamu baca, apa yang jadi bacaanmu dulu, Runi?" Bayangan buku-buku tebal dalam ruang kerja bapak terbayang
Bapak dan ibu yang membawaku dan Santo pulang, memperlakukan kami layaknya anak sendiri. Ucapan pengurus panti benar adanya. Karena tanpa meminta, segala kebutuhan kami sudah terpenuhi. Sandang, pangan, papan. Bahkan lebih dari itu. Tapi, sambutan hangat dan penerimaan tidak berlaku untuk saudara-saudara bapak. Mereka tidak pernah menerima kami. Aku dan adikku adalah orang asing yang kehadirannya tidak diharapkan oleh mereka. Sementara bapak dan ibu yang memang tidak memiliki anak, benar-benar mencurahkan waktu dan kasihnya pada kami berdua. Hal yang membuat saudara-saudara bapak memikirkan banyak cara untuk menyingkirkan kami. Dan pada akhirnya, adikku yang namanya tidak pernah lagi di sebut benar-benar pergi. Meninggalkanku yang tidak bisa pergi karena ibu- "Jadi, masuk golongan yang mana keluarga Lo?" Ucapan Sarah yang sorot matanya menantang, membuatku kembali dari apa yang melintas dalam pikiran. Mataku hanya berkedip untuk tatapan menusuk remaja putri yang rasanya tida
"Kau ingin aku duduk di sampingmu?" Lena yang bertanya langsung menggeser duduk tanpa mendengar jawaban dariku. "Jadi, kita akan nyanyi apa, nih?" "Apa saja, aku tak begitu pemilih." "Benarkah?" Entah ia benar-benar terkejut atau hanya pura-pura, tapi alisnya terangkat tinggi. "Bagaimana kalau aku mau lagu dangdut? kau takkan ilfil denganku, kan?" "Tentu tidak, Lena." "Asiiik." Tak butuh waktu lama, nyanyian Lena memenuhi ruangan kedap suara yang ku pesan. Sementara lirik lagu yang tercetak di layar televisi jadi panduan gadis yang berdiri, meliukkan tubuhnya, sesekali mengajakku bernyanyi. Bahkan tertawa untuk nada salah yang terlewat. Dan Lena, tampak menikmati apa yang sedang dilakukannya. "Boleh aku memesan minum lagi?" Meski botol minuman di depan kami masih tersisa, Lena bertanya. "Bukankah kamu sudah cukup minum?" "Ayolah, Runi-" ia bahkan tak lagi menyebutku mbak, hanya nama. "-makin banyak aku membantu penjualan, semakin besar bonus yang kudapat. Aku bahkan akan m
"Satenya gak jadi dimakan?" "Ish, Mas, nih. Kita lagi nungguin mbak Runi tauk." Aku yang tak hanya melihat pantulan diri dalam cermin, tidak perlu menoleh untuk tahu mas Rendra yang mengambil satu tusuk sate, ikut melirikku yang punggungnya pasti akan berlubang jika tatapan penasaran mampu mengeluarkan sesuatu. Sampai aku yang mengelap tangan basahku, kembali bergabung dengan cucu-cucu pemilik rumah yang pandangannya terus mengikuti. "Mbak jalan sama siapa, Mbak?" "Cewwek? Cowwok?" Aku ingin tersenyum untuk tanya yang rasanya tidak akan berhenti dari dua anak kembar yang benar-benar mengabaikan sate mereka. Sementara wajah orang-orang yang menjadi rekan kerjaku terbayang. "Mbak jalan sama cewek," ucapku menciptakan binar dalam mata Riris dan Ares yang menghilang saat kalimat keduaku terucap, "juga cowok." Begitu mudahnya harap keduanya terbaca mata, "dan cowok kecewek-cewekan." Sementara kalimat ketiga yang kuucap, membuat mas Rendra yang sedang mengunyah menoleh padaku lalu
"Kamu baru pulang?" Aku yang berpikir penghuni rumah yang sedang ku masuki sudah terlelap semua, menoleh. Sementara lelaki yang rambutnya masih basah, menutup kulkas dengan gelas berisi air dingin di tangan. "Iya, Mas." Jawabku berhenti melangkah lalu menggeleng untuk tawaran mas Rendra yang meneguk minumannya. "Sudah makan?" Kali ini aku mengangguk, memperhatikan lelaki yang keluar dari dapur. Entah kenapa, aku jadi ikut melangkah, menaiki anak-anak tangga bersama mas Rendra yang aroma samponya menggelitik. "Kamu sudah dapat lemburan?" "Aku hanya jalan-jalan, Mas." Jawabku yang berharap aroma apapun yang menempel pada tubuh tidak akan dicium mas Rendra yang tubuhnya wangi sabun. Tadi, Lena menumpahkan botol minumnya pada pangkuanku. Tidak sengaja tentu. "Dan pegawai magang mana yang sudah dapat lemburan dari pengawasnya, Mas?" Ucapanku membuat langkah mas Rendra berhenti. Tatapannya lebih menunduk dari biasanya karena aku menjaga jarak dua anak tangga dengannya. Jdar! Sa
Bisa seberuntung apa manusia? Ponselku kehabisan daya, power bank yang kubawa dipinjam rekan kerja, taksi yang kupesan tak juga menunjukan moncongnya. Dan mobil yang penggunanya seolah tak punya otak, menciptakan air hujan pada halte sepi yang hanya berisi diriku. Sungguh, bisa seberuntung apa manusia sesungguhnya? Sementara rintik deras yang diterbangkan angin kencang, tetap bisa menyapa tubuhku yang sudah menempel pada dinding halte. Berharap berkas dalam tas yang ku sembunyikan di belakang tubuh, tidak terkena cipratan air yang begitu ruahnya jatuh dari langit. "Apa ada angkot yang tidak akan protes pada pakaian basahku?" Dan aku tetap bertanya lalu melangkah maju setiap mendengar deru kendaraan. Meski, aku merasa aneh karena tak ada satupun bus atau angkot yang biasanya bersliweran, lewat. Sampai mobil warna putih yang platnya kukenali berhenti dan membuka pintunya. "Masuk, tak akan ada kendaraan yang lewat!" Tanpa perintah ke dua, aku yang bajunya basah meloncat ke dalam