*****"PERGI!"Teriakan itu membuat bocah perempuan yang menggendong adiknya erat, keluar dari rumah yang pintunya ia biarkan terbuka.Tubuhnya yang disapai hujan langsung kuyup. Tapi, ia yang menoleh ke belakang kembali berlari.Meninggalkan sang ayah yang tatapannya membuat bocah perempuan itu makin erat memeluk tubuh sang adik.Langkah kakinya yang tidak beralas, kalah dengan suara hujan.Pijakannya yang terus berlari, seolah jadi hiburan untuk genangan air yang mengalir. Mengikuti langkah bocah perempuan yang menjauh sejauh-jauhnya dari rumah tempat ia dan adiknya tertawa tanpa mengenal bisa sekejam apa dunia.Melewati pintu-pintu tertutup yang penghuninya tidak tahu, ada sepasang bocah yang berlari meninggalkan kampung. Menembusi hujan petir yang kilatnya mampu jadi penerangan.Sampai bocah perempuan yang terus berlari itu menghentikan pijakan.Dan yang ia pijak kini, bukan lagi tanah maupun rumput basah. Melainkan aspal keras!"Nang?"Panggilnya pada bocah lelaki yang ia peluk m
Orang bilang, potret adalah cerminan dari masa yang tidak akan lekang oleh waktu selama dijaga. Selembar kertas yang bisa menceritakan secuil kisah dari masa yang sudah lewat. Entah gambarnya hanya berupa hitam putih tanpa warna, atuh buram bak cerminan tekhnologi di masa sebelumnya. Yang jelas, potret-potret yang sedang ku pandangi berisi banyak cerita juga tawa. Kisah yang hanya bisa kubayangkan dalam imaji. Sementara wajah-wajah polos tiga bocah yang memiliki karakteristik hampir sama, membuatku yang jadi berhenti melangkah seolah bisa menyelami sedikit kisah dari rumah yang ubinnya sedang kupijaki. "Tawa Ares sudah lebar sejak ia bayi, Ndok." Ucapan eyang membuatku menatap pemilik rumah yang mengangkat figura berisi potret ketiga cucunya. Tangan eyang bahkan mengusap pelan potret yang ia pandangi dengan tatapan menerawang, seolah sedang mengingat masa yang sudah jauh terlewat. "Dan ia masih saja nakal seperti dulu." Dengan senyum, eyang kembali meletakkan figura. Lalu me
Denting senduk dan garpu yang beradu dengan piring, menyatu dengan tawa di salah satu ruangan berisi banyak orang tua yang nampaknya suka bicara. Mengobrolkan apa saja. Bahkan, aku yang baru kali ini mereka kenal diajak tertawa. Bergabung dalam obrolan hangat setelah acara tiup lilin dengan angka 71 penanda usia, usai. "Ah, aku kenal pabrikan teh itu. Tidak sangka sampai usiaku setua ini pabriknya masih berdiri." "Iya, Oma." Jawabku. "Jawamu mana, Ndok?" Sementara yang lain bertanya. Lalu mengangguk untuk kalimatku. "Ah, aku pernah tinggal di sana, hampir tiga tahun. Kota yang sangat damai pun dingin." "Makanya kamu pindah ke tempat yang lebih hangat kan, Jeng?" "Udara dingin tidak cocok untuk tulang tuaku, lho." "Ingat, yang tua bukan hanya tulangmu saja, Rahayu." Dan tawa kembali menggema. Meski wanita yang sudah mendapat banyak hadiah dari anak, cucu, cicit pun tamu undangan jadi mencebik kesal. "Saat seusiamu aku sudah punya dua anak, Runi." "Iya dan mengandung yang ke
'NANG!' Begitu keras ku panggil nama Santo dalam benak! Nama yang tak juga lolos dari mulutku yang seluruh dirinya berharap. Dengan tangan bergetar dan mata yang sedikit memanas, ragu aku menyentuh pundak remaja yang terhenyak kaget lalu menoleh. Memperhatikanku yang menahan nafas. "Ya?" Sementara ucapannya membuatku yang matanya tidak berkedip, disadarkan jika remaja yang sedang aku pandangi wajahnya dengan menahan nafas, bukan Santo adikku. "Ma-af, saya ... saya salah orang." ucapku berusaha menutupi kekecewa saat mataku yang tidak berkedip benar-benat melihat wajah remaja lelaki yang masih mengamatiku. "Kamu baik-baik saja, Mbak?" Sopan ia bertanya. Entah wajah macam apa yang sedang kuperlihatkan sampai tanganku terlepas dari pundaknya. "Ya, terimakasih dan maaf sekali lagi." Sekuat hati aku yang mulutnya terasa sangat pahit, tersenyum lalu mundur. Membiarkan remaja yang sudah duduk di atas motor menyalakan mesin lalu pergi. Sementara deru motornya yang menyatu dengan ke
Suara hujan yang juga mengguyur tubuh basahku menggema keras. "Apa udara di kota ini begitu panas, Runi?" Aku yang masih memegang engsel, mendorong pintu di belakangku agar tertutup. Hal yang sedikit kurutuki, karena suara hujan jadi teredam. Sementara langkah mas Rendra yang mendekat rasanya menggema keras. "Pakailah." Ucapnya menjulurkan handuk yang kutatapi beberapa saat sebelum tanganku naik, menerima handuk yang bukan handukku. Aroma pewangi bahkan menggelitik hidungku yang berterimakasih pada lelaki yang bersin. "Maaf, hidungku gatal." Ucap mas Rendra mengusap hidungnya yang mungkin berair. "Apa aku sudah mengatakan selamat datang padamu, Runi?" Dan kali ini aku menggeleng. Melingkarkan handuk pada tubuhku yang rambutnya meneteskan air kolam pun air hujan pada ubin. Sementara telingaku membaca nada suaranya yang nyatanya masih sama seperti sebelumnya. Mas Rendra mengangguk, "selamat datang, kuharap kamu akan betah tinggal di sini." Pun, saat senyum mas Rendra yang me
Aku yang tak punya kegiatan akhirnya membantu mbok Surti yang sedang membuat tempe goreng tepung dengan irisan daun bawang.Sesekali tersenyum pada obrolan mbok Surti dan mbak Imah, sepasang bibi dan keponakan yang bekerja di rumah sama. Membahas film seri india yang sedang tayang tiap hari pun di gandrungi mbok Darmi.Meski tak paham, aku cukup terhibur dengan ekspresi keduanya yang kadang terlihat sangat kesal pada beberapa pemain juga alur film yang berputar-putar.Tapi, dua orang di sampingku tampak menikmati film yang terdengar menyebalkan itu."Tempe goreng tepung paling enak dimakan sama cocol saos sambel." kata Mbak Imah membuat teh untuk kami setelah acara masak selesai."Paling enak yo pake cabe rawit, Im, muantep. Iyakan, Neng Runi?""Iya, Mbok." Aku yang memang lebih suka pedas mengangguk pada ucapan mbok Surti, "terimakasih, Mbak Imah." Lalu berterimakasih pada segelas teh hangat yang mbak Imah letakkan di hadapan."Sama-sama, Mbak Runi." Balas wanita yang usianya hanya
"Clara. Salam kenal, Dek Runi." Aku menjabat uluran tangan kekasih mas Rendra, wanita yang senyum ramahnya tertuju padaku. "Salam kenal juga, Mbak Clara." Rasanya aku tak perlu lagi menyebut namaku pada wanita cantik yang tangannya pun terasa lembut, karena Mas Rendra yang memperhatikan kami pasti sudah bercerita tentang diriku. Sejauh apa? Kurasa itu tidak penting, karena wanita yang akhirnya melepas jabatan tangannya kembali merangkul mas Rendra. Seolah menegaskan siapa diriku bagi mereka berdua. "Ayo, jangan buat Dek Runi lebih lama menunggu." Mas Rendra melirikku yang menunjukkan senyum lalu menyerahkan kunci mobilku. Bukan tidak menyadari, aku hanya tidak ingin berkomentar pada tatapan Clara yang rasanya menilai bagaimana aku dan mas Rendra berinteraksi. Dan aku yang sadar diri langsung membuka pintu, duduk di belakang. Menyingkirkan keripik singkong yang kubeli ke kursi paling belakang dan tersenyum pada wanita yang menoleh ke arahku begitu ia menyamankan diri duduk di s
Apa aku sedang menyiksa diri? Mungkin. Karena aku yang meletakkan sendok dan garpu ke atas piring sudah menghabiskan makan siangku. Pun, fillet goreng tepung yang hanya meninggalkan remahannya saja. Sementara sepasang kekasih yang juga melakukan hal sama, pun, selesai dengan makan siang mereka. "Apa kamu suka makan siangmu, Dek Runi?" Aku yang memegang gelas berisi teh tanpa gula melirik wanita yang kembali memperlihatkan keramahan. Meski sorot matanya berbeda. Pun, tidak bicara sebanyak sebelumnya. Mungkin karena kami sedang makan. "Ya, terimakasih sudah mengajak saya makan di sini, Mbak, Mas." "Syukurlah kalau kamu suka. Iya, kan Ren?" Mas Rendra yang tangannya digenggam Clara, mengangguk, "sudah semua?" "Ya." Jawab Clara pada tanya mas Rendra, sementara aku mengangguk. "Kalau begitu ayo." Aku yang masih memegang gelas, meneguk sisa teh lalu berdiri, kembali mengekori sepasang kekasih yang terus bergandengan tangan, menghampiri kasir yang lirikannya seolah bertanya, "siapa