Stigma.
Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu. Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya. "Adik saya bukan anak pembunuh." Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi. "Adik saya bukan- Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya! Tragedi keluarganya hanya awal dari ketidak beruntungan hidup. "Iya, Ndok, adikmu bukan anak pembunuh. Kamu dan adikmu bukan anak pembunuh." Nita yang matanya basah melirik Sam, suami yang mengusap lengannya. Sementara bocah perempuan yang bisa merasakan ketulusan dalam ucapan Nita, tak mampu meneteskan airmata. Jangankan menangis, bocah yang membiarkan tubuhnya dipeluk ini bahkan tidak pernah mengeluh atau bertanya, "apa yang terjadi pada dunianya?" Ia hanya memeluk erat sang adik yang pipi gembilnya bahkan tahu, sang kakak sedang tidak baik-baik saja, tidak pernah baik-baik saja. "Ui." Dan panggilan Santo yang pelan diikuti pegangan erat pada baju sang kakak seolah berkata, "jika kakaknya tidak sendirian." Ada ia, bocah lelaki berusia satu tahun yang giginya sudah tumbuh sepuluh biji. Betapa pekanya bocah lelaki ini, bukan? Sementara pemilik panti yang langkahnya terhenti hanya bisa melihat, bagaimana donatur tetap yang tak memiliki keturunan berlaku pada bakal manusia yang sudah melihat bisa setidak ramah apa manusia. Orang-orang dewasa yang mendapat uang dari kebenaran yang meraka bagikan dengan tulisan dan lisan semaunya itu bahkan tidak berpikir, jika apa yang mereka lakukan akan berdampak begitu besar pada anak-anak Efendy. Bocah perempuan yang tampak menurunkan kewaspadaan, sementara adiknya tertawa pada Sam dan Nita. Memamerkan mobil-mobilan yang rodanya hilang satu begitu bangga. "Kau akan sangat beruntung jadi anak mereka, Le." Sementara dinding yang memiliki mata, hanya membisu untuk kalimat pemilik panti yang akhirnya melangkah. Menjauh tanpa menyadari pandangan bocah perempuan yang mengikuti kemana ia pergi, lalu kembali menatap tawa sang adik yang begitu lebar dalam gendongan lelaki yang punggungnya begitu lebar, begitu kokoh seperti, "ayah, apa ... apa aku bisa menjaga Santo seperti ucapanmu?" Tanya bocah perempuan itu hanya didengar daun jambu mengering yang terbang di bawa angin. "Ui! Ui!" Dan sang adik yang tertatih-tatih berlari, langsung menjatuhkan tubuhnya pada pangkuan sang kakak yang sorot matanya tidak yakin. Tapi satu yang pasti, bocah perempuan ini akan melakukan apapun untuk satu-satunya keluarga yang ia miliki. * * * "Ui?" Santo terkikik geli saat tangannya diangkat, "li~" aduan kegelian membuat gigi-gigi kecilnya terlihat tapi tak menolak saat ketiaknya disabuni. Ckrek! Bunyi shuter membuat Santo yang terkikik, kaget karena tubuh basahnya yang masih ditempeli busa langsung ditarik dalam pelukan. "Ui?" Pibi gembilnya bahkan bertanya, 'ada apa?' Tapi, telunjuk sang kakak yang menempel pada bibir, membuat Santo mengangguk dan memejamkan mata, bersembunyi pada leher sang kakak yang langsung mengguyurkan gayung berisi air dingin pada tubuh sang adik yang juga membasahi tubuhnya sendiri sampai tak lagi ada sisa busa. Bocah perempuan yang akhirnya berdiri tidak mengatakan apapun meski telinganya menajam untuk segala suara. "HEI, Kenapa kau keluar dengan pakaian basah seperti itu!" Teguran marah membuat Santo tersentak. Tapi, tangan sang kakak yang memegang kepalanya agar tetap menempel pada leher tak mengizinkan ia melihat bagaimana sang kakak dimarahi. MESKIPUN Santo bisa mendengar, pun, merasakan bagian perut sang kakak disentuh dengan kasar. Hal yang kadang ia lihat saat pengurus panti marah pada siapa saja termasuk anak-anak yang tidak mau main mobil-mobilan dengannya. "Dasar, Anak pembunuh! Pergi sana, bikin pekerjaanku nambah saja." Santo yang sudah hafal kalimat yang terlalu sering dikatakan beberapa pengurus panti baru merasa tenang saat pintu kamar yang ia tempati beramai-ramai ditutup. "Dingin, ya?" Dan senyum sang kakak selalu jadi hal pertama yang ia lihat setiap kali matanya yang terpejam rapat diizinkan melihat kembali. Bocah lelaki itu hanya mengangguk. Dan kembali memeluk leher sang kakak yang terlalu sering dapat teriakan saat hanya ada mereka berdua. Seolah jika ada orang lain yang mendengar sebutan buruk itu terucap, orang-orang yang tatapan matanya bisa sangat tidak ramah akan mendapat masalah. "Tidak apa, jangan takut, Mbak ada di sini." Usapan lembut yang rasanya tidak pernah berubah membuat Santo melirik sang kakak. Ia tersenyum saat pipi gembilnya dikecup, "ayo ganti bajumu." Meski bajunya sendiri yang kuyup perlu diganti, bocah perempuan itu tak perduli. Sebelum diturunkan di atas kasur yang akan sangat ramai saat jam tidur tiba, sang kakak menarik rapat gorden yang bisa membuat Santo tidak bisa melihat pohon jambu. Dan setelah tubuh kecilnya duduk di atas kasur, sang kakak cekatan mengambil baju dan minyak telon. "Wangi." Ucap bocah perempuan yang begitu cekatan mengurus sang adik, seolah itu adalah hal yang terlalu sering ia lakukan. "Yah, Bu, na?" Kalimat yang Santo ucapkan membuat sang kakak membisu, tangannya bahkan diam di udara sampai minyak telon di perut Santo mengering. "Ui?" Dan panggilan Santo yang sudah duduk, menyentak bayangan apapun yang melintas dalam benak. "Na?" "Lum puang?" Mulut bocah perempuan yang terbuka tak mengeluarkan apapun. Pupil matanya yang tak berkedip bahkan tampak bingung. Bukan karena ucapan sang adik yang belum jelas, namun pada arti dari ucapan Santo. Bukan lagi Minggu, dua bulan sudah lewat. Tapi, tanya yang terucap untuk kesekian kali tidak pernah membuat bocah perempuan ini merasa biasa. Ia tidak bisa merasa biasa-biasa saja. "Iya, Nang, ayah dan ibu belum pulang, kita ... kita tinggal disini dulu ya." Bocah lelaki yang seluruh dirinya memperhatikan jawaban sang kakak, mengangguk. Meski matanya melirik pintu. Seolah orang-orang yang ia tanyakan bisa masuk kapan saja. "Ayo pakai bajumu, Nang." Santo mengangguk, ia berdiri, memegangi pundak sang kakak, mengangkat satu persatu kaki agar celana kebesaran yang dipilih dari tumpukan baju bisa menghangatkan tubuh. Bocah lelaki yang kembali duduk lalu main dengan mobil-mobilannya itu tidak melihat, dahi sang kakak mengernyit untuk rasa perih yang dadanya salurkan dari balik perban. Tapi, tak ada keluhan atau rintih yang lolos dari mulutnya yang rapat terkatup. Sementara telinganya awas membaca langkah siapa yang mendekat pada pintu.Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki
Kling-kling!"Selamat datang"Sambutan hangat setelah bel pintu yang dibuka berbunyi, membuatku yang sudah menghabiskan separuh espreso menatap pintu.Sementara lelaki muda yang kehadirannya kutunggu, menjauh dari pramusaji yang sudah mencatat pesannya."Apa aku datang terlambat?" ucapnya menatap gelasku yang tinggal separoh."Tidak, aku hanya datang lebih cepat.""Apa kabarmu, Runi?""Penasaran, jawabku, "dan kamu tahu sebabnya.""Yeah, dan karena hal itu aku tak tidur semalaman.""Dan aku ragu kamu akan langsung tidur setelah ini," jawabku menata posisi duduk, menghadap lelaki yang senyumnya mampu membuat beberapa pasang mata merona dengan lirikan kagum.Terutama wanita yang meletakkan segelas coklat juga sepotong black forest. Ia bahkan nampak bersyukur, dirinyalah yang mendapat ucapan terimakasih dari Keiro."Terimakasih, Mbak.""Sama-sama, Mas, selamat menikmati." Pramusaji yang menjauh itu kembali mencuri pandang pada Keiro. Lelaki yang tidak perduli untuk tatap kekaguman yang t
Menarik minat? Betapa konyol kalimat itu terdengar bahkan pada diriku sendiri yang duduknya sudah berbalik sepenuhnya.Tapi, senyum lelaki muda yang terus bapak ajak bicara membuatku tahu, penghiburan ku padanya tidak sia-sia."Datanglah lagi bulan depan, kita panen rambutan sama-sama." Ajak bapak yang menatap kemana pandangan lelaki muda di sampingnya tertuju.Wajah bapak yang akhirnya menyadari keberadaanku, langsung berubah. Ia yang mendekat bahkan mencubit hidungku yang masih menempelkan tangan pada telinga."Kok, malah di sini bukannya ke depan.""Lihat bapak lebih seru." Ucapku dengan sindiran yang membuat bapak menggeleng lalu menoleh pada lelaki muda yang ia suruh mendekat."Kenalkan, ini anak nakal yang bapak ceritain ke kamu tadi, Nak."Dahi lelaki muda yang sudah berdiri di samping kami, mengerut samar. Hal yang membuatku tahu, bapak mengatakan cerita lain tentang diriku.Tapi apa? Aku tidak tertarik untuk mencari tahu dan lebih memilih menjabat tangan lelaki muda yang tat
Zras...! Aliran sungai makin jelas terdengar seiring gilasan roda yang sadelnya kami kayuh. Jalan naik turun dan berkelok-kelok rasanya terbayarkan saat lelaki yang masih berdiri di atas sepedanya, menatap sejernih apa sungai dengan bebatuan besar yang memecah arus terlihat. Rumput yang tumbuh sangat subur, bunga liar beraneka jenis yang benar-benar memamerkan keelokan warnanya, pohon sengon yang tumbuh tinggi menjulang nampak begitu kokoh bak penjaga, sementara lamtoro yang buahnya bisa dimakan menambah kerimbunan. Tumbuhan liar dan tanaman palawija yang sengaja ditanam tumbuh di sepanjang aliran sungai yang airnya memperlihatkan batu-batu kerikil yang ada di dasar. Bahkan, ikan yang malu-malu muncul terlihat. Berenang kemanapun mereka mau. "Mas, kamu takut air ya?" kataku pada lelaki yang duduk di atas batu dengan celana ditekuk selutut. Dan lelaki yang melihatku menceburkan kaki pada air sungai yang dingin, tersenyum sambil memasukkan tangannya sendiri pada aliran sungai yang