Stigma.
Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu. Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya. "Adik saya bukan anak pembunuh." Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi. "Adik saya bukan- Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya! Tragedi keluarganya hanya awal dari ketidak beruntungan hidup. "Iya, Ndok, adikmu bukan anak pembunuh. Kamu dan adikmu bukan anak pembunuh." Nita yang matanya basah melirik Sam, suami yang mengusap lengannya. Sementara bocah perempuan yang bisa merasakan ketulusan dalam ucapan Nita, tak mampu meneteskan airmata. Jangankan menangis, bocah yang membiarkan tubuhnya dipeluk ini bahkan tidak pernah mengeluh atau bertanya, "apa yang terjadi pada dunianya?" Ia hanya memeluk erat sang adik yang pipi gembilnya bahkan tahu, sang kakak sedang tidak baik-baik saja, tidak pernah baik-baik saja. "Ui." Dan panggilan Santo yang pelan diikuti pegangan erat pada baju sang kakak seolah berkata, "jika kakaknya tidak sendirian." Ada ia, bocah lelaki berusia satu tahun yang giginya sudah tumbuh sepuluh biji. Betapa pekanya bocah lelaki ini, bukan? Sementara pemilik panti yang langkahnya terhenti hanya bisa melihat, bagaimana donatur tetap yang tak memiliki keturunan berlaku pada bakal manusia yang sudah melihat bisa setidak ramah apa manusia. Orang-orang dewasa yang mendapat uang dari kebenaran yang meraka bagikan dengan tulisan dan lisan semaunya itu bahkan tidak berpikir, jika apa yang mereka lakukan akan berdampak begitu besar pada anak-anak Efendy. Bocah perempuan yang tampak menurunkan kewaspadaan, sementara adiknya tertawa pada Sam dan Nita. Memamerkan mobil-mobilan yang rodanya hilang satu begitu bangga. "Kau akan sangat beruntung jadi anak mereka, Le." Sementara dinding yang memiliki mata, hanya membisu untuk kalimat pemilik panti yang akhirnya melangkah. Menjauh tanpa menyadari pandangan bocah perempuan yang mengikuti kemana ia pergi, lalu kembali menatap tawa sang adik yang begitu lebar dalam gendongan lelaki yang punggungnya begitu lebar, begitu kokoh seperti, "ayah, apa ... apa aku bisa menjaga Santo seperti ucapanmu?" Tanya bocah perempuan itu hanya didengar daun jambu mengering yang terbang di bawa angin. "Ui! Ui!" Dan sang adik yang tertatih-tatih berlari, langsung menjatuhkan tubuhnya pada pangkuan sang kakak yang sorot matanya tidak yakin. Tapi satu yang pasti, bocah perempuan ini akan melakukan apapun untuk satu-satunya keluarga yang ia miliki. * * * "Ui?" Santo terkikik geli saat tangannya diangkat, "li~" aduan kegelian membuat gigi-gigi kecilnya terlihat tapi tak menolak saat ketiaknya disabuni. Ckrek! Bunyi shuter membuat Santo yang terkikik, kaget karena tubuh basahnya yang masih ditempeli busa langsung ditarik dalam pelukan. "Ui?" Pibi gembilnya bahkan bertanya, 'ada apa?' Tapi, telunjuk sang kakak yang menempel pada bibir, membuat Santo mengangguk dan memejamkan mata, bersembunyi pada leher sang kakak yang langsung mengguyurkan gayung berisi air dingin pada tubuh sang adik yang juga membasahi tubuhnya sendiri sampai tak lagi ada sisa busa. Bocah perempuan yang akhirnya berdiri tidak mengatakan apapun meski telinganya menajam untuk segala suara. "HEI, Kenapa kau keluar dengan pakaian basah seperti itu!" Teguran marah membuat Santo tersentak. Tapi, tangan sang kakak yang memegang kepalanya agar tetap menempel pada leher tak mengizinkan ia melihat bagaimana sang kakak dimarahi. MESKIPUN Santo bisa mendengar, pun, merasakan bagian perut sang kakak disentuh dengan kasar. Hal yang kadang ia lihat saat pengurus panti marah pada siapa saja termasuk anak-anak yang tidak mau main mobil-mobilan dengannya. "Dasar, Anak pembunuh! Pergi sana, bikin pekerjaanku nambah saja." Santo yang sudah hafal kalimat yang terlalu sering dikatakan beberapa pengurus panti baru merasa tenang saat pintu kamar yang ia tempati beramai-ramai ditutup. "Dingin, ya?" Dan senyum sang kakak selalu jadi hal pertama yang ia lihat setiap kali matanya yang terpejam rapat diizinkan melihat kembali. Bocah lelaki itu hanya mengangguk. Dan kembali memeluk leher sang kakak yang terlalu sering dapat teriakan saat hanya ada mereka berdua. Seolah jika ada orang lain yang mendengar sebutan buruk itu terucap, orang-orang yang tatapan matanya bisa sangat tidak ramah akan mendapat masalah. "Tidak apa, jangan takut, Mbak ada di sini." Usapan lembut yang rasanya tidak pernah berubah membuat Santo melirik sang kakak. Ia tersenyum saat pipi gembilnya dikecup, "ayo ganti bajumu." Meski bajunya sendiri yang kuyup perlu diganti, bocah perempuan itu tak perduli. Sebelum diturunkan di atas kasur yang akan sangat ramai saat jam tidur tiba, sang kakak menarik rapat gorden yang bisa membuat Santo tidak bisa melihat pohon jambu. Dan setelah tubuh kecilnya duduk di atas kasur, sang kakak cekatan mengambil baju dan minyak telon. "Wangi." Ucap bocah perempuan yang begitu cekatan mengurus sang adik, seolah itu adalah hal yang terlalu sering ia lakukan. "Yah, Bu, na?" Kalimat yang Santo ucapkan membuat sang kakak membisu, tangannya bahkan diam di udara sampai minyak telon di perut Santo mengering. "Ui?" Dan panggilan Santo yang sudah duduk, menyentak bayangan apapun yang melintas dalam benak. "Na?" "Lum puang?" Mulut bocah perempuan yang terbuka tak mengeluarkan apapun. Pupil matanya yang tak berkedip bahkan tampak bingung. Bukan karena ucapan sang adik yang belum jelas, namun pada arti dari ucapan Santo. Bukan lagi Minggu, dua bulan sudah lewat. Tapi, tanya yang terucap untuk kesekian kali tidak pernah membuat bocah perempuan ini merasa biasa. Ia tidak bisa merasa biasa-biasa saja. "Iya, Nang, ayah dan ibu belum pulang, kita ... kita tinggal disini dulu ya." Bocah lelaki yang seluruh dirinya memperhatikan jawaban sang kakak, mengangguk. Meski matanya melirik pintu. Seolah orang-orang yang ia tanyakan bisa masuk kapan saja. "Ayo pakai bajumu, Nang." Santo mengangguk, ia berdiri, memegangi pundak sang kakak, mengangkat satu persatu kaki agar celana kebesaran yang dipilih dari tumpukan baju bisa menghangatkan tubuh. Bocah lelaki yang kembali duduk lalu main dengan mobil-mobilannya itu tidak melihat, dahi sang kakak mengernyit untuk rasa perih yang dadanya salurkan dari balik perban. Tapi, tak ada keluhan atau rintih yang lolos dari mulutnya yang rapat terkatup. Sementara telinganya awas membaca langkah siapa yang mendekat pada pintu.Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki
Kling-kling!"Selamat datang"Sambutan hangat setelah bel pintu yang dibuka berbunyi, membuatku yang sudah menghabiskan separuh espreso menatap pintu.Sementara lelaki muda yang kehadirannya kutunggu, menjauh dari pramusaji yang sudah mencatat pesannya."Apa aku datang terlambat?" ucapnya menatap gelasku yang tinggal separoh."Tidak, aku hanya datang lebih cepat.""Apa kabarmu, Runi?""Penasaran, jawabku, "dan kamu tahu sebabnya.""Yeah, dan karena hal itu aku tak tidur semalaman.""Dan aku ragu kamu akan langsung tidur setelah ini," jawabku menata posisi duduk, menghadap lelaki yang senyumnya mampu membuat beberapa pasang mata merona dengan lirikan kagum.Terutama wanita yang meletakkan segelas coklat juga sepotong black forest. Ia bahkan nampak bersyukur, dirinyalah yang mendapat ucapan terimakasih dari Keiro."Terimakasih, Mbak.""Sama-sama, Mas, selamat menikmati." Pramusaji yang menjauh itu kembali mencuri pandang pada Keiro. Lelaki yang tidak perduli untuk tatap kekaguman yang t
Menarik minat? Betapa konyol kalimat itu terdengar bahkan pada diriku sendiri yang duduknya sudah berbalik sepenuhnya.Tapi, senyum lelaki muda yang terus bapak ajak bicara membuatku tahu, penghiburan ku padanya tidak sia-sia."Datanglah lagi bulan depan, kita panen rambutan sama-sama." Ajak bapak yang menatap kemana pandangan lelaki muda di sampingnya tertuju.Wajah bapak yang akhirnya menyadari keberadaanku, langsung berubah. Ia yang mendekat bahkan mencubit hidungku yang masih menempelkan tangan pada telinga."Kok, malah di sini bukannya ke depan.""Lihat bapak lebih seru." Ucapku dengan sindiran yang membuat bapak menggeleng lalu menoleh pada lelaki muda yang ia suruh mendekat."Kenalkan, ini anak nakal yang bapak ceritain ke kamu tadi, Nak."Dahi lelaki muda yang sudah berdiri di samping kami, mengerut samar. Hal yang membuatku tahu, bapak mengatakan cerita lain tentang diriku.Tapi apa? Aku tidak tertarik untuk mencari tahu dan lebih memilih menjabat tangan lelaki muda yang tat
Zras...! Aliran sungai makin jelas terdengar seiring gilasan roda yang sadelnya kami kayuh. Jalan naik turun dan berkelok-kelok rasanya terbayarkan saat lelaki yang masih berdiri di atas sepedanya, menatap sejernih apa sungai dengan bebatuan besar yang memecah arus terlihat. Rumput yang tumbuh sangat subur, bunga liar beraneka jenis yang benar-benar memamerkan keelokan warnanya, pohon sengon yang tumbuh tinggi menjulang nampak begitu kokoh bak penjaga, sementara lamtoro yang buahnya bisa dimakan menambah kerimbunan. Tumbuhan liar dan tanaman palawija yang sengaja ditanam tumbuh di sepanjang aliran sungai yang airnya memperlihatkan batu-batu kerikil yang ada di dasar. Bahkan, ikan yang malu-malu muncul terlihat. Berenang kemanapun mereka mau. "Mas, kamu takut air ya?" kataku pada lelaki yang duduk di atas batu dengan celana ditekuk selutut. Dan lelaki yang melihatku menceburkan kaki pada air sungai yang dingin, tersenyum sambil memasukkan tangannya sendiri pada aliran sungai yang
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa
"Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in
"Runi, ayo kita pulang."Gedung dengan cat usang yang makin jauh tertinggal itu meninggalkan rasa pahit di dalam mulutku yang masih rapat menutup mulut.Tidak bersuara apa lagi menjawab ajakan mas rendra yang tatapannya kuraskan namun aku abaikan.Bahkan saat tanganku yang mas Rendra genggam ia kecup, aku masih tidak menoleh. Hanya menatap keluar.Dan lelaki yang tahu aku tidak akan merespon, menyalakan mesin kendaraan lalu melajukan kendaraanya menjauh dari gedung yang menjadi penjara bagi orang-orang yang mas Rendra kenal.Clara yang beberapa Minggu lagi melahirkan, Dedo yang terus mengatakan permintaan sama, Calista yang terlihat tidak perduli untuk segala hal, juga pak Bram yang butuh pertolongan.Sementara jalanan ramai yang klaksonnya dibunyikan dari banyaknya kendaran, tidak mampu mengusik diriku yang terus menatap keluar. Tidak sekalipun menoleh pada lelaki yang pandangannya terasa meski ia harus fokus pada jalan.Mas rendra yang tahu aku tidak ingin bicara, juga tidak mengata
Aku yang sudah dikuasai emosi, tidak memiliki keinginan untuk berhenti. Tongkat di tangan terus kuayunkan pada tubuh babak belur pak Bram yang terkulai di atas beton!'Apa yang sedang kulakukan?'Rasanya, sebaris kalimat itu muncul tapi tenggelam dalam emosi yang tak bisa kukendalikan.Sementara pak Bram yang tidak mampu memberi perlawanan ataupun menolak, memohon padaku yang bisa melihat Santo, adikku yang tubuhnya panas dan lemah, dipukuli hanya karena ia tidak ingin menjauh dariku yang kehilangan sadar!Di dalam kepala dan mataku, rasanya aku bisa melihat bagaimana tubuh lemahnya yang memilih tinggal di rumah dari pada kembali ke rumah perawatan, disentuh dengan cara yang kasar.Dan, dentuman keras tongkat yang kuayunkan mengalahkan lenguhan pak Bram yang pasti tidak menyangka, jika kejujurannya benar-benar meleburkan batas ketenanganku yang rasanya tidak lagi memiliki sisa!Tanganku serasa mati rasa. Telapak tanganku yang erat menggenggam tongkat serasa terbakar.Tapi, aku terus