Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h
Lagi, mimpi yang sama datang kembali.Rintik hujan yang bulirnya begitu ramai seolah berlomba-lomba untuk membisukan penolakan bocah perempuan yang menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ia menolak disuapi."Makan, ya. Kamu harus makan supaya tidak sakit."Suara bak kaset rusak berulang terucap, sementara kilau pisau yang tajam terasa menakutkan, apalagi saat mata bocah perempuan itu melihat tubuh kecil lain sudah terbaring di atas tanah.Sebutir nasi bahkan menempel pada bibir bocah lelaki yang begitu lelap dalam tidur, tidak perduli pada apa yang menjadi tempatnya berbaring.Tanah keras yang pasti dingin!"Kamu harus makan, **ni, supaya kita bisa pergi tanpa ****, kamu harus makan."Kalimat yang makin samar, benar-benar kalah dengan suara hujan.Namun, suapan memaksa terus berlanjut meski bocah perempuan itu menolak, ingin berlari, menjauh dari tangan yang memeluknya begitu erat dan terus memaksakan suapan yang ia tolak."Makan, ya, makan. Kamu harus makan agar tidak sakit saat ki
Kling-kling!"Selamat datang"Sambutan hangat setelah bel pintu yang dibuka berbunyi, membuatku yang sudah menghabiskan separuh espreso menatap pintu.Sementara lelaki muda yang kehadirannya kutunggu, menjauh dari pramusaji yang sudah mencatat pesannya."Apa aku datang terlambat?" ucapnya menatap gelasku yang tinggal separoh."Tidak, aku hanya datang lebih cepat.""Apa kabarmu, Runi?""Penasaran, jawabku, "dan kamu tahu sebabnya.""Yeah, dan karena hal itu aku tak tidur semalaman.""Dan aku ragu kamu akan langsung tidur setelah ini," jawabku menata posisi duduk, menghadap lelaki yang senyumnya mampu membuat beberapa pasang mata merona dengan lirikan kagum.Terutama wanita yang meletakkan segelas coklat juga sepotong black forest. Ia bahkan nampak bersyukur, dirinyalah yang mendapat ucapan terimakasih dari Keiro."Terimakasih, Mbak.""Sama-sama, Mas, selamat menikmati." Pramusaji yang menjauh itu kembali mencuri pandang pada Keiro. Lelaki yang tidak perduli untuk tatap kekaguman yang t
Menarik minat? Betapa konyol kalimat itu terdengar bahkan pada diriku sendiri yang duduknya sudah berbalik sepenuhnya.Tapi, senyum lelaki muda yang terus bapak ajak bicara membuatku tahu, penghiburan ku padanya tidak sia-sia."Datanglah lagi bulan depan, kita panen rambutan sama-sama." Ajak bapak yang menatap kemana pandangan lelaki muda di sampingnya tertuju.Wajah bapak yang akhirnya menyadari keberadaanku, langsung berubah. Ia yang mendekat bahkan mencubit hidungku yang masih menempelkan tangan pada telinga."Kok, malah di sini bukannya ke depan.""Lihat bapak lebih seru." Ucapku dengan sindiran yang membuat bapak menggeleng lalu menoleh pada lelaki muda yang ia suruh mendekat."Kenalkan, ini anak nakal yang bapak ceritain ke kamu tadi, Nak."Dahi lelaki muda yang sudah berdiri di samping kami, mengerut samar. Hal yang membuatku tahu, bapak mengatakan cerita lain tentang diriku.Tapi apa? Aku tidak tertarik untuk mencari tahu dan lebih memilih menjabat tangan lelaki muda yang tat
Zras...! Aliran sungai makin jelas terdengar seiring gilasan roda yang sadelnya kami kayuh. Jalan naik turun dan berkelok-kelok rasanya terbayarkan saat lelaki yang masih berdiri di atas sepedanya, menatap sejernih apa sungai dengan bebatuan besar yang memecah arus terlihat. Rumput yang tumbuh sangat subur, bunga liar beraneka jenis yang benar-benar memamerkan keelokan warnanya, pohon sengon yang tumbuh tinggi menjulang nampak begitu kokoh bak penjaga, sementara lamtoro yang buahnya bisa dimakan menambah kerimbunan. Tumbuhan liar dan tanaman palawija yang sengaja ditanam tumbuh di sepanjang aliran sungai yang airnya memperlihatkan batu-batu kerikil yang ada di dasar. Bahkan, ikan yang malu-malu muncul terlihat. Berenang kemanapun mereka mau. "Mas, kamu takut air ya?" kataku pada lelaki yang duduk di atas batu dengan celana ditekuk selutut. Dan lelaki yang melihatku menceburkan kaki pada air sungai yang dingin, tersenyum sambil memasukkan tangannya sendiri pada aliran sungai yang
Keranjang sampah di pojok kamar isinya bertambah berkat kertas yang kupandangi sesaat sebelum kubuang. Tanpa mengatakan apapun, aku yang membuang kertas dari mas Rendra langsung mendekat pada ranjang yang kurebahi. "Lelah sekali." Ucapku meski tak ada tarikan nafas dalam atau hembusan keras. Nafasku masih seperti biasa. Dan aku yang menatapi plafon hanya tahu, tubuhku butuh istirahat. Tapi, belum sempat mataku terpejam, suara langkah berubah jadi ketukan diikuti pintu yang dibuka, membuatku menatap ibu yang berjalan masuk lalu duduk di pinggir ranjang. "Tumben tiduran jam segini, Runi." Ibu menepuk pahaku yang tetap rebahan. Tapi, ia kembali diam meski tepukan tangannya terus berulang. "Ndok," panggil ibu yang benar-benar ingin perhatianku kali ini. "Iya, Bu?" Tapi, ibu kembali diam. Meski hanya beberapa saat, "menurutmu, nak Rendra bagaimana, Runi?" Apa aku terkejut untuk ucapan ibu? Rasanya tidak. Sekalipun aku yang masih berbaring, menarik nafas dalam, tahu ke mana arah pe
"Apa kita bisa saling mengenal, Mas Rendra?" Kalimatku pasti sesuatu yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh lelaki yang jadi diam. "Maksudku, hanya di luarnya saja, Mas Rendra. Setidaknya, sampai ibu dan eyang percaya kita sama-sama mencoba." "..." Mas Rendra yang suara nafasnya kudengar, masih tidak menjawab. "Aku akan pastikan hal ini takkan mengganggu hubunganmu, Mas Rendra. Jika perlu, aku akan bicara dengan kekasihmu agar ia tak salah paham pada kita." "Runi-" suara mas Rendra akhirnya terdengar meski nadanya jadi lebih rendah. "-aku tidak yakin ini hal yang tepat untuk kita lakukan. Dan kamu tak perlu khawatir dengan hubunganku." Apa aku terkejut untuk keterbukaan mas Rendra? Kurasa tidak, karena wajahnya saat menerima telepon, pun, tatapan mas Rendra yang menatap jauh saat aku mengajaknya bermain di sungai tadi, sudah menjawab banyak hal, 'lelaki gagah yang disukai ibu memang sudah berkasih.' "Terlebih lagi," begitu tenang suara mas Rendra terdengar, "aku yakin jika k