Home / Pernikahan / MENJADI ORANG KEDUA / 5. APA MEREKA MANUSIA?

Share

5. APA MEREKA MANUSIA?

"Liat gak?"

"Gak liat aku."

"Kalian gimana?"

"Nihil."

"Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?"

"Tapi mereka beneran disini kan?"

"Tenang aja, informanku gak mungkin salah."

Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung.

"Ui?"

Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.

Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.

Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki.

"Ui, Ui."

Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.

Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siapa yang sedang ia lihat, yakin jika bocah perempuan yang berdiri dengan cepat itu anak yang sedang ia cari.

"Mereka di sini!"

Dan teriakannya membuat jendela dipenuhi manusia yang jepretan kameranya membuat mata silau.

"Adek, kamu benar anak pak Efendy, kan?"

"Apa kamu tahu apa yang terjadi pada orang tuamu, Dek?"

"Tetap seperti itu, Dek, jangan gerak biar foto kalian bagus!"

"Adek, apa kamu tahu apa yang terjadi pada ayah dan ibumu!"

"Bagaimana kalian bisa ada di panti ini, Dek!"

"Dek, biar kami lihat wajah adikmu, Dek."

"Dek, apa kamu dan adikmu tahu ayah dan ibu kalian sudah mati?"

Suara tanpa empati menggema. Menggetarkan dinding kokoh yang tak mampu membela!

Para pencari warta yang tubuhnya bak pepes disatukan terus bertanya dalam waktu bersamaan. Mereka seolah tidak sadar, jika yang sedang mereka tanyai hanya bocah berusia enam tahun yang erat menggendong adiknya.

"Ui...."

Bocah lelaki yang menyembunyikan wajah, makin erat memeluk leher sang kakak.

Ia yang tak nyaman, takut pada jepretan kamera juga suara penuh tuntutan yang tak perduli bagaimana perasaan bocah perempuan yang hanya diam mematung, seolah tiang pancang  menembusi kakinya dengan ubin!

Mata bocah perempuan itu bahkan tidak berkedip saat kilat kamera yang mengambil gambar bertubi-tubi, menusukkan tak hanya tuntutan tapi juga tuduhan yang tak mampu bocah perempuan itu jawab.

"Dek, apa kamu tahu ayah dan ibumu sudah mati, Dek?"

"Kapan kamu tahu, Dek?"

"Bagaimana kamu dan adikmu bisa tinggal di panti ini, Dek?"

Srak!

Gorden yang ditutup membuat bocah perempuan yang terus diam, dipandangi pemilik panti yang berdiri di depan jendela. Menghindarkan orang-orang yang terus bersuara, mengambil gambar dua bocah yang keberadaanya dicari, entah mereka hidup ataupun mati.

Dan pemilik panti yang hari ini baru tahu identitas dari bocah yang dibawa polisi ke tempatnya seminggu yang lalu, kini tak lagi perlu untuk bertanya nama dari bocah yang mulutnya rapat tertutup.

"Ui" adalah panggilan sang adik pada kakaknya.

Sementara sang kakak hanya memanggil adiknya "Nang" sebutan umum untuk memanggil anak lelaki yang lebih muda.

"Dek! Apa kau tahu ayahmu bunuh diri setalah membunuh ibu kalian? Dek!"

"Dek, bagaimana kamu bisa berakhir di sini?"

"Bagaimana perasaanmu setelah tahu kalau ayahmu pembunuh, Dek?"

"Cukup! Sedang apa kalian disini!"

Teriakkan dengan nada marah membuat suara-suara yang mengatakan kalimat sama dan di saat bersamaan, diam dalam protes.

"Apa kalian tidak malu menanyakan kalimat itu pada bocah berusia enam dan satu tahun!"

"Semua orang penasaran dengan nasib anak-anak Efendy, Pak!"

"Dasar, apa kalian manusia!?"

Entah kalimat apa lagi yang bertukar bersama tarikan urat. Karena pemilik panti yang merasa sudah mengambil langkah salah, menuntun dua bocah keluar dari kamar. Menjauh dari gerombolan manusia yang suaranya pasti tidak akan pernah dilupakan oleh bocah perempuan yang begitu rapat menutup mulut, memeluk erat tubuh adiknya yang juga memeluk sang kakak seolah mencari perlindungan.

***

*****

*******

"Mereka tidak mungkin lagi tinggal di sini."

Pemilik panti melirik dua anak yang identitasnya sudah ditemukan. Nama mereka, usia keduanya, bahkan siapa orang tua kakak beradik itu.

Mereka anak-anak dari sepasang pasutri yang namanya terkenal seantero Indonesia berkat banyaknya media yang meliput.

"Yang datang hari ini, hanya sebagian kecil."

Dan, ucapan petugas berseragam membuat pemilik panti kembali memfokuskan seluruh diri pada apa yang ada di hadapan.

"Akan lebih banyak wartawan yang datang. Mungkin meraka akan menginap di sekitar panti sampai hasrat keingintahuan mereka terpenuhi."

"Ini salah saya." Ucap pemilik panti yang pandangan matanya menunduk. Sadar pilihannya untuk menghubungi polisi, keliru.

Salah besar!

"Kemana bapak akan membawa mereka?"

"Ada rumah penampungan sementara yang bisa mereka tinggali sebelum kami menemukan panti asuhan baru."

"Apa saya bisa bicara dengan mereka sebentar sebelum dibawa pergi?"

"Silahkan."

Pemilik panti berdiri, mendekat pada sudut sofa tempat anak-anak yang dikira mati, berada.

Entah apa yang ia katakan sampai bocah perempuan yang tangannya ia genggam, mengangguk lalu menatap petugas berseragam yang senyum ramahnya tak mendapat balasan.

Bocah perempuan itu hanya makin memeluk erat adiknya yang lelap. Tidak bertanya akan dibawa kemana ia dan adiknya yang terbangun karena keriuhan langsung menggema begitu keluar dari pintu.

"Tidak apa-apa, bapak-bapak polisi akan menjaga kalian." Pemilik panti berbisik. Memeluk bocah perempuan yang menyembunyikan wajah sang adik makin rapat pada leher.

Tatapan-tatapan penuh tanya, penghakiman, pun penasaran menghujam tajam untuk tiap pijakan langkahnya yang langsung di bawa masuk ke dalam mobil. Kendaraan yang butuh usaha untuk melewati kerumunan manusia.

"Mereka mau di bawa kemana, Pak? Pak!"

"Kamu mau kemana, Dek!"

Bahkan dinding kendaraan yang kursinya sedang bocah perempuan itu duduki digedor beramai-ramai.

"Minggir! Minggir!"

Sementara petugas yang memegang kemudi berteriak bersama klakson yang dibunyikan sepenuh hati. Berharap siapapun yang menghalangi jalan, menyingkir.

Jepretan kamera, suara penuh tanya, derap kaki yang mengikuti gilasan roda, gedoran pada kaca juga badan mobil, panggilan yang diucapkan bertubi-tubi, bahkan membuat petugas yang duduk di samping bocah-bocah yang keberadaan mereka cari, menarik nafas begitu dalam.

"Kamu dan adikmu akan mengalami hal ini lagi di masa depan."

Bocah perempuan yang suaranya belum ia dengar, menoleh.

"Biasakanlah."

Bukan tak berempati pada anak yang orang tuanya jadi topik surat kabar dan media televisi. Tapi, memberi peringatan untuk nasib yang harus ditanggung anak-anak Efendy yang nyatanya masih hidup, adalah hal terbaik yang bisa petugas berseragam itu lakukan.

Setidaknya, bocah perempuan yang memeluk adiknya erat itu tahu, dunia tidak hanya berisi manusia baik.

"Nak, apa kamu bisa bercerita pada bapak bagaimana kamu dan adikmu pergi dari rumah kalian?"

Dari window rear, petugas yang sedang memegang setir bisa melihat segelisah apa gerakan pupil bocah perempuan yang bibirnya terkatup makin kuat.

Sementara dalam matanya yang bak anak Menjangan tersesat, tidak nampak binar ataupun rona kebahagiaan.

Tapi, kebahagiaan macam apa yang mampu tersisa dari anak yang dadanya masih meninggalkan jahitan panjang yang tidak akan bisa hilang itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status