"Liat gak?"
"Gak liat aku." "Kalian gimana?" "Nihil." "Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?" "Tapi mereka beneran disini kan?" "Tenang aja, informanku gak mungkin salah." Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung. "Ui?" Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan. Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu. Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki. "Ui, Ui." Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca. Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siapa yang sedang ia lihat, yakin jika bocah perempuan yang berdiri dengan cepat itu anak yang sedang ia cari. "Mereka di sini!" Dan teriakannya membuat jendela dipenuhi manusia yang jepretan kameranya membuat mata silau. "Adek, kamu benar anak pak Efendy, kan?" "Apa kamu tahu apa yang terjadi pada orang tuamu, Dek?" "Tetap seperti itu, Dek, jangan gerak biar foto kalian bagus!" "Adek, apa kamu tahu apa yang terjadi pada ayah dan ibumu!" "Bagaimana kalian bisa ada di panti ini, Dek!" "Dek, biar kami lihat wajah adikmu, Dek." "Dek, apa kamu dan adikmu tahu ayah dan ibu kalian sudah mati?" Suara tanpa empati menggema. Menggetarkan dinding kokoh yang tak mampu membela! Para pencari warta yang tubuhnya bak pepes disatukan terus bertanya dalam waktu bersamaan. Mereka seolah tidak sadar, jika yang sedang mereka tanyai hanya bocah berusia enam tahun yang erat menggendong adiknya. "Ui...." Bocah lelaki yang menyembunyikan wajah, makin erat memeluk leher sang kakak. Ia yang tak nyaman, takut pada jepretan kamera juga suara penuh tuntutan yang tak perduli bagaimana perasaan bocah perempuan yang hanya diam mematung, seolah tiang pancang menembusi kakinya dengan ubin! Mata bocah perempuan itu bahkan tidak berkedip saat kilat kamera yang mengambil gambar bertubi-tubi, menusukkan tak hanya tuntutan tapi juga tuduhan yang tak mampu bocah perempuan itu jawab. "Dek, apa kamu tahu ayah dan ibumu sudah mati, Dek?" "Kapan kamu tahu, Dek?" "Bagaimana kamu dan adikmu bisa tinggal di panti ini, Dek?" Srak! Gorden yang ditutup membuat bocah perempuan yang terus diam, dipandangi pemilik panti yang berdiri di depan jendela. Menghindarkan orang-orang yang terus bersuara, mengambil gambar dua bocah yang keberadaanya dicari, entah mereka hidup ataupun mati. Dan pemilik panti yang hari ini baru tahu identitas dari bocah yang dibawa polisi ke tempatnya seminggu yang lalu, kini tak lagi perlu untuk bertanya nama dari bocah yang mulutnya rapat tertutup. "Ui" adalah panggilan sang adik pada kakaknya. Sementara sang kakak hanya memanggil adiknya "Nang" sebutan umum untuk memanggil anak lelaki yang lebih muda. "Dek! Apa kau tahu ayahmu bunuh diri setalah membunuh ibu kalian? Dek!" "Dek, bagaimana kamu bisa berakhir di sini?" "Bagaimana perasaanmu setelah tahu kalau ayahmu pembunuh, Dek?" "Cukup! Sedang apa kalian disini!" Teriakkan dengan nada marah membuat suara-suara yang mengatakan kalimat sama dan di saat bersamaan, diam dalam protes. "Apa kalian tidak malu menanyakan kalimat itu pada bocah berusia enam dan satu tahun!" "Semua orang penasaran dengan nasib anak-anak Efendy, Pak!" "Dasar, apa kalian manusia!?" Entah kalimat apa lagi yang bertukar bersama tarikan urat. Karena pemilik panti yang merasa sudah mengambil langkah salah, menuntun dua bocah keluar dari kamar. Menjauh dari gerombolan manusia yang suaranya pasti tidak akan pernah dilupakan oleh bocah perempuan yang begitu rapat menutup mulut, memeluk erat tubuh adiknya yang juga memeluk sang kakak seolah mencari perlindungan. *** ***** ******* "Mereka tidak mungkin lagi tinggal di sini." Pemilik panti melirik dua anak yang identitasnya sudah ditemukan. Nama mereka, usia keduanya, bahkan siapa orang tua kakak beradik itu. Mereka anak-anak dari sepasang pasutri yang namanya terkenal seantero Indonesia berkat banyaknya media yang meliput. "Yang datang hari ini, hanya sebagian kecil." Dan, ucapan petugas berseragam membuat pemilik panti kembali memfokuskan seluruh diri pada apa yang ada di hadapan. "Akan lebih banyak wartawan yang datang. Mungkin meraka akan menginap di sekitar panti sampai hasrat keingintahuan mereka terpenuhi." "Ini salah saya." Ucap pemilik panti yang pandangan matanya menunduk. Sadar pilihannya untuk menghubungi polisi, keliru. Salah besar! "Kemana bapak akan membawa mereka?" "Ada rumah penampungan sementara yang bisa mereka tinggali sebelum kami menemukan panti asuhan baru." "Apa saya bisa bicara dengan mereka sebentar sebelum dibawa pergi?" "Silahkan." Pemilik panti berdiri, mendekat pada sudut sofa tempat anak-anak yang dikira mati, berada. Entah apa yang ia katakan sampai bocah perempuan yang tangannya ia genggam, mengangguk lalu menatap petugas berseragam yang senyum ramahnya tak mendapat balasan. Bocah perempuan itu hanya makin memeluk erat adiknya yang lelap. Tidak bertanya akan dibawa kemana ia dan adiknya yang terbangun karena keriuhan langsung menggema begitu keluar dari pintu. "Tidak apa-apa, bapak-bapak polisi akan menjaga kalian." Pemilik panti berbisik. Memeluk bocah perempuan yang menyembunyikan wajah sang adik makin rapat pada leher. Tatapan-tatapan penuh tanya, penghakiman, pun penasaran menghujam tajam untuk tiap pijakan langkahnya yang langsung di bawa masuk ke dalam mobil. Kendaraan yang butuh usaha untuk melewati kerumunan manusia. "Mereka mau di bawa kemana, Pak? Pak!" "Kamu mau kemana, Dek!" Bahkan dinding kendaraan yang kursinya sedang bocah perempuan itu duduki digedor beramai-ramai. "Minggir! Minggir!" Sementara petugas yang memegang kemudi berteriak bersama klakson yang dibunyikan sepenuh hati. Berharap siapapun yang menghalangi jalan, menyingkir. Jepretan kamera, suara penuh tanya, derap kaki yang mengikuti gilasan roda, gedoran pada kaca juga badan mobil, panggilan yang diucapkan bertubi-tubi, bahkan membuat petugas yang duduk di samping bocah-bocah yang keberadaan mereka cari, menarik nafas begitu dalam. "Kamu dan adikmu akan mengalami hal ini lagi di masa depan." Bocah perempuan yang suaranya belum ia dengar, menoleh. "Biasakanlah." Bukan tak berempati pada anak yang orang tuanya jadi topik surat kabar dan media televisi. Tapi, memberi peringatan untuk nasib yang harus ditanggung anak-anak Efendy yang nyatanya masih hidup, adalah hal terbaik yang bisa petugas berseragam itu lakukan. Setidaknya, bocah perempuan yang memeluk adiknya erat itu tahu, dunia tidak hanya berisi manusia baik. "Nak, apa kamu bisa bercerita pada bapak bagaimana kamu dan adikmu pergi dari rumah kalian?" Dari window rear, petugas yang sedang memegang setir bisa melihat segelisah apa gerakan pupil bocah perempuan yang bibirnya terkatup makin kuat. Sementara dalam matanya yang bak anak Menjangan tersesat, tidak nampak binar ataupun rona kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan macam apa yang mampu tersisa dari anak yang dadanya masih meninggalkan jahitan panjang yang tidak akan bisa hilang itu?Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk
"Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas
Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini
Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka
Rendra yang tidak ingat kapan ia tertidur, bangun saat pipinya ditepuki.Wajah bulat dengan pipi tembem langsung menyapa bahkan begitu dekat meneteskan air liur yang membuat Rendra tersenyum."Selamat pagi, Ares.""Lapel."Bukannya menjawab, Ares justru mengadu jika perutnya yang bulat minta diisi. Sementara Aries nampak sabar bahkan menurut saat dituntun menuruni tangga, sedang adik yang hanya beda 7 menit dalam gendongan Rendra."Bibi masak apa ya?""Ayam! Ayam!"Begitu semangat Ares berucap, suaranya begitu jelas menyebut satu dari banyaknya jenis makanan dan kaki Ares yang digendong bergoyang-goyang tidak sabar, ingin secepatnya duduk di hadapan meja makan penuh makanan juga buah.Di atas lantai satu yang akhirnya dipijaki kaki Rendra dan Aries, tidak ada pecahan apapun, serpihan kecil pun tak ada.Seolah keriuhan semalam tidak pernah terjadi.Bahkan, asisten rumah tangga yang menyadari kehadiran ketiganya menunjukkan senyum dengan ucapan, "selama pagi, Den, Non. Mau sarapan apa h