Beranda / Pernikahan / MENJADI ORANG KEDUA / 4. KEBENARAN YANG MEREKA YAKINI

Share

4. KEBENARAN YANG MEREKA YAKINI

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-05 17:07:26

"Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy."

"Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu."

"Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit."

"Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan."

"Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."

MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA!

Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.

Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.

Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.

Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk tahu apa yang terjadi di salah satu desa kecil yang dikelilingi hutan.

Tempat yang seharunya damai jadi riuh bahkan mengganggu penduduk setempat yang selalu menatap sinis rumah yang tak lagi berpenghuni.

Sampai bocah perempuan yang keberadaanya dicari, diam tertegun di depan layar televisi. Menatapi layar dengan potret yang tidak mungkin tidak ia kenali.

"AKH....!"

Teriakan menggema. Mengejutkan petugas panti yang sampai detik ini tidak tahu, siapa nama bocah perempuan yang datang dengan jahitan di dada dan adiknya yang tak pernah jauh dari pandangan sang kakak.

"Akh....!"

Bahkan, bocah perempuan yang biasanya tenang, rapat menutup mulut, jadi histeris. Mendorong tangan siapa saja yang ingin bertanya pun menenangkannya!

Sementara berpasang-pasang mata bocah panti yang mengenalnya sebagai anak pendiam, jadi penasaran juga takut. Bahkan, ada yang menangis melihat orang-orang yang merawat mereka di dorong sampai jatuh oleh tangan bocah perempuan itu.

"Nak, kamu kenapa?"

"Anak ini kenapa?"

"Entahlah, Bu. Tiba-tiba ia menjerit-jerit seperti orang kesurupan." Begitu kepayahan wanita yang bangkit setelah jatuh didorong, lalu memegang makin erat tangan kecil bocah perempuan yang terus berteriak.

Suasana panti begitu kacau, sampai sebuah panggilan membuat bocah perempuan yang menolak disentuh berhenti meronta.

"UI!"

Apalagi saat bocah lelaki yang berlari, memeluk lututnya. Bocah perempuan itu langsung terdiam, menatap wajah polos yang menunjukkan senyum.

"Jangan, Nak, kemari-"

Namun, kalimat petugas panti dihentikan sang pemilik yang melihat perubahan pada wajah sang bocah perempuan.

Bocah yang tak lagi berteriak itu bahkan menunduk lalu memeluk tubuh sang adik yang membalas pelukan.

Mata bocah perempuan yang begitu iritnya dalam ucapan bahkan tergenang. Namun, tidak ada airmata yang mampu luruh.

Seolah sesuatu memaksa bocah perempuan itu untuk tidak menunjukkan rasa.

Dan saat tayangan iklan berhenti, lalu kembali menunjukkan potret keluarga yang jadi buah bibir, mata pemilik panti membesar, "tidak ... mungkin."

Kalimat itu terucap bersama ekor matanya yang berpindah dari layar televisi yang menunjukkan potret buram lelaki yang dirutuki keberadaanya untuk hal yang sudah ia lakukan dan sang bocah perempuan yang langsung menggendong adiknya.

"Bu, bocah-bocah ini--

Kalimat itu tak mampu selesai karena bocah perempuan yang sudah menggendong adiknya, berlari. Masuk ke dalam kamar. Meninggalkan ruang beku bagi orang-orang dewasa yang tak bisa mengatakan apapun lagi untuk hal yang kini mereka sadari, 'tentang siapa anak-anak yang seminggu lalu dibawa ke panti mereka.'

Sementara sesenggukan dari dua anak yang mereka rawat, masih terdengar. Memenuhi ruang yang layar televisinya menunjukkan potret bahagia sebuah keluarga yang namanya begitu terkenal karena sebuah tragedi.

Dan kini, polisi tak perlu lagi mencari keberadaan dua anak yang keselamatannya bahkan diragukan. Karena apa yang berkembang di masyarakat sudah diamini. Ayah mereka sudah lebih dulu menghabisi keduanya. Menyembunyikan jasad mereka di suatu tempat dan hanya meninggalkan dirinya dan sang istri yang juga Efendy bunuh.

"Pang- panggil polisi."

Tanpa mempertimbangkan kehebohan macam apa yang akan mengikuti hidup dua anak yang namanya kini ia tahu, pemilik panti memerintah.

Dan, petugas panti yang tak perduli pada tangis anak-anak yang ia rawat langsung berlari. Memanggil ojek.

"Kemana, Bu?"

"Wartel. Cepet, Pak."

"Siap, Bu." Hanya itu jawaban yang diberikan si tukang ojek, sampai ia yang akhirnya mengantar pulang, menarik tuas rem mendadak.

"Aduh! Kenapa tiba-tiba berhenti, Pak? Hidungku merah ini." Potres petugas panti yang hidungnya makin mencium bau keringat sang tukang ojek.

"Beneran, Bu?"

"Tentu saja bener, tuh, lihat di spion saja hidungku merah."

"Bukan hidungmu, Bu. Tapi, apa benar anak-anak Efendy ada di panti?"

Merasa kecolongan, wanita berbadan gemuk itu menggeleng. Tapi telat, ucapannya sudah terlanjur di dengar telinga sang tukang ojek yang mulutnya tidak mungkin diam saja.

"Anaknya yang mana, Bu?"

"Dasar, sudah tak bilangin bukan, ya, bukan!" Dengan kesal petugas panti turun dari boncengan motor. Lalu masuk ke dalam panti yang tak lagi kacau.

Dua anak cengeng yang matanya sembab bahkan sudah bermain dengan boneka mereka. Sementara suara-suara tawa menghapuskan jejak teriakan bocah perempuan yang nampaknya masih mengurung diri di kamar yang ditempati beramai-ramai.

Karena di dalam panti semua milik bersama. Pakaian, mainan, makanan, bahkan kasih.

"Sudah, Mi?"

"Sudah, Bu, mereka akan segera datang."

Pemilik panti hanya mengangguk. pada jawaban salah satu pengurus, meski matanya melirik pintu kamar tertutup. Luput menyadari pandangan sang pengurus panti yang seolah memastikan, 'apa yang sedang ojek langgannya bicarakan dengan tukang becak di sudut jalan?'

"Awas saja kalau dia sampai ngomong yang tidak-tidak."

"Ngomong apa, Mi?"

"Ah- itu- anu, sayur kangkung naik, Bu."

Elakkan dengan nada gugup membuat sang pemilik panti tak langsung percaya. Meski kepalanya mengangguk lalu duduk. Membiarkan celoteh riang anak-anak memenuhi kepalanya yang dipenuhi kalimat.

Sampai deru kendaraan membuat pengurus panti berdiri. "Mereka sudah datang, Bu." Adunya pada sang pemilik yang juga bangkit lalu berjalan keluar.

Namun, bukan petugas berseragam yang turun dari sedan putih. Melainkan orang-orang dengan kamera juga mikrofon.

"Kamu telpon wartawan, Mi!?"

"Ti-tidak, Bu, saya telpon polisi. Tapi ...."

"Tapi apa?"

"Tadi saya keceplosan ngomong sama tukang ojek, Bu."

Wajah menyesal sang pengurus panti membuat sang pemilik menarik nafas dalam. Logikanya berkerja, tidak mungkin tukang ojek ataupun becak yang mangkal di ujung jalan punya kenalan pencari warta yang begitu senang menciptakan kehebohan demi rating.

"Bagaimana ini, Bu?"

"Kau masuklah dan kunci semua pintu dan jendela. Jangan lupa tutup gordennya sekalian."

"Baik, Bu."

Namun, belum sempat ia melangkah, derap ramai para pencari warta yang peralatannya sudah terpasang, merangsek maju. Membuat pemilik panti membanting pintu. Menghindarkan diri dari jepretan kamera ataupun tanya bertubi-tubi yang bunyinya sama.

Benarkah anak-anak Efendy, yang diduga sudah mati, ada di panti tempat yang ia kelola.

"Maaf, Bu."

"Lakukan saja apa yang ku suruh tadi dan jangan keluar sampai polisi datang."

"Baik, Bu."

Pengurus panti yang tangannya cekatan, menarik gorden dengan wajah masam. Ia tak ingin berpasang-pasang mata yang seolah memastikan wajah mana anak Efendy, melihat apa yang ada di dalam.

"Bu, izin tanya, Bu. Benarkan anak Efendy ada di panti ini?"

Dan tanya yang tak hanya keluar dari satu mulut, terus berulang. Tidak perduli keriuhan mereka mengganggu bocah-bocah yang kembali menunjukan ketakutan.

Sungguh para hyena yang akan melakukan apa saja demi nama kebenaran.

Tapi, sesungguhnya kebenaran untuk siapa yang sedang mereka cari?

Saat bocah perempuan yang duduk dalam diam makin erat memeluk satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   5. APA MEREKA MANUSIA?

    "Liat gak?""Gak liat aku.""Kalian gimana?""Nihil.""Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?""Tapi mereka beneran disini kan?""Tenang aja, informanku gak mungkin salah."Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung."Ui?"Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki."Ui, Ui."Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siap

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   6. ANAK-ANAK TAK BERUNTUNG

    Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   7. MEREKA DIPISAHKAN

    "Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   8. ANAK PEMBUNUH

    "Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   9. SIAPA YANG MENYERAH

    Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   10. LUPAKAN ORANG TUAMU

    Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   11. KEMANA NASIB MEMBAWA?

    Dalam ruang yang gordennya sudah tertutup, pemilik panti menarik nafas dalam.Ia tak mengatakan apapun untuk punggung bu Idris yang menurut tanpa perlawanan saat di bawa menjauh dari bangunan utama panti.Dibawa kemana? Entahlah. Pemilik panti yang sudah tinggal sendirian dalam ruangannya bahkan tidak ingin berkomentar.Ekor matanya justru melirik kursi tempat bocah perempuan yang tak menjawab apapun untuk pintanya, duduk tadi."Melupakan orang tua?" Tanya itu ia perdengarkan kembali pada dinding bisu, "tidak mungkin anak yang percaya ayahnya bukan pembunuh itu mampu melakukan hal itu, bukan?"Sekali lagi, tarikan nafas dalam diperlihatkan sang pemilik panti sebelum ia duduk, jemarinya mengetuki meja. Matanya yang terpejam nampak berpikir, menimbang sebuah pilihan.Sampai ia yang membuka mata, menjulurkan tangan. Meraih gagang telepon dan langsung memencet barisan nomer yang ia hafal.Tut! Tut! Tu-Hanya butuh waktu sesaat sampai sambungan telepon diangkat."Halo?""Halo, Pak Sam, ini

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06
  • MENJADI ORANG KEDUA   12. KISAH ANAK LAIN

    Dua bulan lalu********"Terimakasih atas bantuannya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan."Petugas berseragam yang mengantar sepasang pasutri dan cucu lelaki mereka ke parkiran rumah sakit memberi hormat.Ia terus berdiri sampai mobil yang akhirnya keluar dari area rumah sakit tak lagi memperdengarkan deru.Sementara bocah lelaki yang ditemani eyangnya duduk di belakang, baru menoleh ke depan saat atap rumah sakit tidak lagi nampak."Eyang, apa mereka akan baik-baik saja?"Yang diberi tanya menoleh, begitupun lelaki yang tangannya mengendalikan kemudi di antara jalan lengang, tidak lagi melewati jalan antah berantah minim penerangan."Pak polisi akan mempertemukan mereka dengan ayah dan ibu mereka, Le."Rendra tidak menjawab meski ia kembali melirik bangunan rumah sakit yang sudah tertinggal jauh. Matanya yang sudah disapa lelap seolah ingin menembus apa saja sekedar melihat bocah perempuan yang hampir saja jatuh jika ia tak sigap. Namun, berkat itu semua orang jadi tahu buka

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-06

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   211. POSESIFNYA

    Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed

  • MENJADI ORANG KEDUA   210. TAMU TAK DIUNDANG

    Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan

  • MENJADI ORANG KEDUA   209. JANGAN PERGI

    "Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja

  • MENJADI ORANG KEDUA   208. ORANG YANG KUGAJI

    RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu

  • MENJADI ORANG KEDUA   207. TERASA RINGAN

    "Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa

  • MENJADI ORANG KEDUA   206. INGIN MATI

    Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa

  • MENJADI ORANG KEDUA   205. MEMBAWA ADIKKU PULANG

    "Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in

  • MENJADI ORANG KEDUA   204. MARAH

    "Runi, ayo kita pulang."Gedung dengan cat usang yang makin jauh tertinggal itu meninggalkan rasa pahit di dalam mulutku yang masih rapat menutup mulut.Tidak bersuara apa lagi menjawab ajakan mas rendra yang tatapannya kuraskan namun aku abaikan.Bahkan saat tanganku yang mas Rendra genggam ia kecup, aku masih tidak menoleh. Hanya menatap keluar.Dan lelaki yang tahu aku tidak akan merespon, menyalakan mesin kendaraan lalu melajukan kendaraanya menjauh dari gedung yang menjadi penjara bagi orang-orang yang mas Rendra kenal.Clara yang beberapa Minggu lagi melahirkan, Dedo yang terus mengatakan permintaan sama, Calista yang terlihat tidak perduli untuk segala hal, juga pak Bram yang butuh pertolongan.Sementara jalanan ramai yang klaksonnya dibunyikan dari banyaknya kendaran, tidak mampu mengusik diriku yang terus menatap keluar. Tidak sekalipun menoleh pada lelaki yang pandangannya terasa meski ia harus fokus pada jalan.Mas rendra yang tahu aku tidak ingin bicara, juga tidak mengata

  • MENJADI ORANG KEDUA   203. AKU LELAH

    Aku yang sudah dikuasai emosi, tidak memiliki keinginan untuk berhenti. Tongkat di tangan terus kuayunkan pada tubuh babak belur pak Bram yang terkulai di atas beton!'Apa yang sedang kulakukan?'Rasanya, sebaris kalimat itu muncul tapi tenggelam dalam emosi yang tak bisa kukendalikan.Sementara pak Bram yang tidak mampu memberi perlawanan ataupun menolak, memohon padaku yang bisa melihat Santo, adikku yang tubuhnya panas dan lemah, dipukuli hanya karena ia tidak ingin menjauh dariku yang kehilangan sadar!Di dalam kepala dan mataku, rasanya aku bisa melihat bagaimana tubuh lemahnya yang memilih tinggal di rumah dari pada kembali ke rumah perawatan, disentuh dengan cara yang kasar.Dan, dentuman keras tongkat yang kuayunkan mengalahkan lenguhan pak Bram yang pasti tidak menyangka, jika kejujurannya benar-benar meleburkan batas ketenanganku yang rasanya tidak lagi memiliki sisa!Tanganku serasa mati rasa. Telapak tanganku yang erat menggenggam tongkat serasa terbakar.Tapi, aku terus

DMCA.com Protection Status