Beranda / Pernikahan / MENJADI ORANG KEDUA / 2. SAYATAN YANG LUPUT DARI PANDANGAN

Share

2. SAYATAN YANG LUPUT DARI PANDANGAN

JDAR!

Gema petir menggelegar. Membuat dua orang paruh baya yang masih dikuasai kaget makin terkejut.

Untung laju kendaraan mereka pelan jika tidak, "...." Rasanya wanita yang wajahnya jadi kehilangan rona itu bisa melihat tubuh menggigil di depan kendaraanya tergeletak di jalan dengan bersimbah darah.

Sampai sang suami turun, tak perduli pada hujan yang membasahi pakaian.

"Eyang?"

"Kamu tunggu di dalam, Le."

Meski ingin menolak, Rendra menurut. Ekor matanya mengikuti langkah sang eyang yang tubuhnya langsung basah di sapa hujan begitu keluar.

"Kamu tidak apa-apa, Ndok?"

Yang ditanya tidak menjawab. Membuat wanita paruh baya yang tubuhnya langsung kuyup itu melirik sang suami yang juga menggeleng. Nampaknya mendapat respon sama dari bocah perempuan yang arah munculnya ia tatap.

Hanya ada gelap, ia bahkan tak melihat adanya kelip lampu yang bisa membuatnya yakin ada perkampungan.

"Rumahmu di mana, Ndok?"

Rasa penasaran yang memenuhi diri membuat tangannya terjulur, "kamu datang dari mana? Kenapa hanya berdua?"

Sentuhan pelannya membuat bocah perempuan yang bibirnya membiru, tersentak.

Seolah usapan lembutnya, mengagetkan seluruh diri bocah yang makin memeluk bocah lelaki dalam gendongan.

Ekor mata bocah perempuan yang tubuhnya sudah kuyup itu bahkan seolah baru menyadari ucapnya yang lalu jongkok. Menjajarkan pandangan.

"Ayah dan ibumu dimana, Ndok?"

Dan tanyanya membuat bocah yang belum memperdengarkan suara menoleh ke belakang.

Sorot mata bocah perempuan itu seolah menembusi gelap, melihat apa yang tidak ia dan suaminya ketahui.

Tanpa kata, dua orang paruh baya yang tak perduli pada dinginnya rintik saling melirik. Sampai anggukan sang suami membuat wanita itu kembali berucap, "ayo, biar Eyang antarkan kamu pulang."

Mata sang bocah perempuan yang membesar tentu tidak luput dari pengawasan mereka.

Bocah yang hampir terluka karena kendaraan mereka bahkan membuka mulut. Tapi, tidak mengatakan apapun. Seolah kalimat-kalimat yang tercipta dalam benaknya, begitu sukar untuk disampaikan.

"Tidak apa. Eyang akan senang mengantarmu pulang, Ndok. Jadi, ayo masuk."

Wanita paruh baya yang matanya masih dipenuhi tanya, berdiri. Tangannya mengusap kepala bocah lelaki yang nampaknya sudah dibawa begitu jauh dari manapun keduanya berasal.

Dua wajah polos yang memiliki kesamaan saat benar-benar ia perhatikan itu terlihat menyedihkan, terutama bocah perempuan yang tak juga menyahut.

Namun tanya, "apa yang sudah terjadi sampai keduanya berakhir di depan kendaraanya?" Tidak terucap.

"Ayo, biar Eyang antar pulang, kasihan nanti adikmu sakit kalau terus diguyur hujan."

Kali ini, bocah yang terus menatap ke belakang, menoleh.

Hanya sesaat matanya bertemu tatap dengan bocah perempuan yang tubuhnya menggigil hebat. Tapi, sesuatu membuat wanita paruh baya menelan ludah apalagi saat suara polos menyapa telinganya.

"Tolong... Tolong adik saya. Dia ... dia tidak mau bangun sejak tadi."

"Pak ...."

Lelaki paruh baya yang mengabaikan panggilan sang istri langsung menempelkan jari pada hidung bocah lelaki yang memang terlalu lelap. Seolah rintik hujan yang dinginnya membekukan tulang tak memiliki arti apapun.

"Le'? Le'?" Tangannya bahkan menepuki pipi bocah lelaki yang matanya terpejam rapat.

"Adik saya tidak mau bangun. Tolong... tolong bangunkan."

Begitu putus asa suara bocah perempuan itu terdengar. Sampai ia menurut di ajak masuk ke dalam mobil dan terus memeluk adiknya. Seolah tak ingin dipisahkan.

Dari window rear, pasangan paruh baya yang tak lagi ingin melajukan kendaraan dengan pelan, memeriksa keadaan di belakang.

Sementara Rendra menawarkan selimut. Hal yang dilupakan keberadaanya oleh sang kakek dan nenek yang tak lagi bicara meski sorot mata ke duanya menunjukkan banyak kalimat juga tanya.

Mereka lebih fokus pada jalan kecil yang digilasi roda. Pilihan tepat, yang jika salah bisa mengakibatkan celaka.

****

Dug! Dug! Dug!

Gedoran tak sabar kalah dengan suara hujan.

"Permisi! Permisi! PERMISI!"

Bahkan menenggelamkan teriakan dari lelaki paruh baya yang terus menggedori pintu dan kaca puskesmas.

"Apa mereka tuli!" Dan rutukan menjadi kalimat akhirnya yang melangkah, masuk lagi ke dalam mobil yang joknya ikut basah.

"Tidak keluar, Pak?"

Yang diberi tanya menggeleng.

"Bagaimana ini? kita sudah jalan sangat jauh."

Sang istri menoleh ke belakang, menatapi bocah lelaki yang tak juga membuka mata dalam dekapan kakaknya yang kembali tak bersuara.

Tidak ada rumah sakit yang bangunannya terlihat. Sekalipun ada, itu puskesmas yang petugasnya tidak ada. Semementara ....

"Kita langsung ke kota."

Kalimat itu membuat sang istri diam beberapa saat sebelum mengangguk.  Menurut pada ucapan sang suami yang kembali melajukan kendaraan.

Menembus hujan dan gelap sampai jalan utama akhirnya terlihat dibarengi lampu-lampu yang makin terang.

Setelahnya, wanita paruh baya itu tak lagi memperingati sang suami untuk pelan-pelan melajukan kendaraan. Kakinya bukan ikut bergegas, tak sabar memijaki paving rumah sakit yang tak lengang.

"Tolong! Tolong kami!"

Teriakan membuat petugas jaga berlari. Menanyakan apa yang terjadi.

Sampai bocah lelaki yang masih belum terbangun, diambil dari dekapan bocah perempuan yang terkejut.

"Tunggu disini, biar adikmu diperiksa dokter."

Tapi, bocah perempuan yang nampaknya tak ingin berpisah dari sang adik, berlari. Menyusul adiknya yang dibaringkan di atas brankar, sementara petugas dengan wajah asing melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Tangan dan kaki yang bergerak sesuai instruksi. Mata dan telinga yang awas untuk segala ucapan.

Semua itu tak diperhatikan bocah perempuan yang akhirnya duduk dalam ruangan yang aromanya menggelitik namun tak asing.

Kenapa? Entahlah, karena mata bocah perempuan itu tidak mengatakan apapun kecuali penuh memberi perhatiannya pada sang adik.

Tidak menyadari pandangan wanita paruh baya yang bisa melihat sekecil apa punggungnya.

"Siapa yang memberi adikmu obat tidur sampai kelebihan dosis, Ndok?"

Puk!

Ia lalu menoleh pada tepukan sang suami yang nampaknya memiliki pertanyaan sama.

"Ganti baju kalian dulu. Aku sudah bicara dengan polisi yang akan mengurus juga mencari orang tua mereka."

"Mudah-mudahan cepet ketemu, Pak."

Doa yang mendapat amin itu, membuat keduanya melangkah masuk dengan tentengan tas berisi baju baru.

"Tidak apa, adikmu baik-baik saja."

Dan kalimat itu membuat bocah perempuan yang masih memakai baju basah meski rambutnya sudah mengering, mendongak.

"Ayo, ganti bajumu, Ndok. Atau kita semua akan tidur di brankar lain karena masuk angin."

Canda mampu terucap dari mulut wanita paruh baya yang ketegangannya sudah berkurang. Senyum bahkan menghiasi wajahnya yang tangannya terjulur.

"Tidak apa, biar Mbah Kakung yang njagain adikmu sebentar, kita hanya akan ganti baju di kamar mandi."

Mata bocah perempuan itu menatap pintu yang ditunjuk. Kurang dari tiga meter jaraknya. Tapi, begitu ragu ia melepas genggaman jemari sang adik yang sudah terbaring di tempat hangat dengan jarum infus menembus kulit.

Namun, bocah yang akhirnya mau menjauh dari adiknya itu oleng begitu ia berdiri. Hampir saja jatuh jika tidak di topang Rendra yang terus menemani saat kakek dan neneknya bertemu polisi.

"Te-rimakasih."

Begitu lemah suara bocah perempuan itu terdengar.

Tapi, sepasang pasutri yang tak lagi muda juga cucu lelakinya itu pasti mendengar.

"Lama berdiri di bawah hujan pasti membuatmu pusing, Ndok."

Tapi, senyum lembut yang tercipta di wajah wanita paruh baya menghilang saat melihat bagian dada bocah perempuan yang bajunya sobek.

Memperlihatkan luka sayatan yang baru ia sadari. Sementara baju basah sang bocah perempuan ikut meneteskan warna merah pada ubin yang sedang mereka pijaki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status