JDAR!
Gema petir menggelegar. Membuat dua orang paruh baya yang masih dikuasai kaget makin terkejut. Untung laju kendaraan mereka pelan jika tidak, "...." Rasanya wanita yang wajahnya jadi kehilangan rona itu bisa melihat tubuh menggigil di depan kendaraanya tergeletak di jalan dengan bersimbah darah. Sampai sang suami turun, tak perduli pada hujan yang membasahi pakaian. "Eyang?" "Kamu tunggu di dalam, Le." Meski ingin menolak, Rendra menurut. Ekor matanya mengikuti langkah sang eyang yang tubuhnya langsung basah di sapa hujan begitu keluar. "Kamu tidak apa-apa, Ndok?" Yang ditanya tidak menjawab. Membuat wanita paruh baya yang tubuhnya langsung kuyup itu melirik sang suami yang juga menggeleng. Nampaknya mendapat respon sama dari bocah perempuan yang arah munculnya ia tatap. Hanya ada gelap, ia bahkan tak melihat adanya kelip lampu yang bisa membuatnya yakin ada perkampungan. "Rumahmu di mana, Ndok?" Rasa penasaran yang memenuhi diri membuat tangannya terjulur, "kamu datang dari mana? Kenapa hanya berdua?" Sentuhan pelannya membuat bocah perempuan yang bibirnya membiru, tersentak. Seolah usapan lembutnya, mengagetkan seluruh diri bocah yang makin memeluk bocah lelaki dalam gendongan. Ekor mata bocah perempuan yang tubuhnya sudah kuyup itu bahkan seolah baru menyadari ucapnya yang lalu jongkok. Menjajarkan pandangan. "Ayah dan ibumu dimana, Ndok?" Dan tanyanya membuat bocah yang belum memperdengarkan suara menoleh ke belakang. Sorot mata bocah perempuan itu seolah menembusi gelap, melihat apa yang tidak ia dan suaminya ketahui. Tanpa kata, dua orang paruh baya yang tak perduli pada dinginnya rintik saling melirik. Sampai anggukan sang suami membuat wanita itu kembali berucap, "ayo, biar Eyang antarkan kamu pulang." Mata sang bocah perempuan yang membesar tentu tidak luput dari pengawasan mereka. Bocah yang hampir terluka karena kendaraan mereka bahkan membuka mulut. Tapi, tidak mengatakan apapun. Seolah kalimat-kalimat yang tercipta dalam benaknya, begitu sukar untuk disampaikan. "Tidak apa. Eyang akan senang mengantarmu pulang, Ndok. Jadi, ayo masuk." Wanita paruh baya yang matanya masih dipenuhi tanya, berdiri. Tangannya mengusap kepala bocah lelaki yang nampaknya sudah dibawa begitu jauh dari manapun keduanya berasal. Dua wajah polos yang memiliki kesamaan saat benar-benar ia perhatikan itu terlihat menyedihkan, terutama bocah perempuan yang tak juga menyahut. Namun tanya, "apa yang sudah terjadi sampai keduanya berakhir di depan kendaraanya?" Tidak terucap. "Ayo, biar Eyang antar pulang, kasihan nanti adikmu sakit kalau terus diguyur hujan." Kali ini, bocah yang terus menatap ke belakang, menoleh. Hanya sesaat matanya bertemu tatap dengan bocah perempuan yang tubuhnya menggigil hebat. Tapi, sesuatu membuat wanita paruh baya menelan ludah apalagi saat suara polos menyapa telinganya. "Tolong... Tolong adik saya. Dia ... dia tidak mau bangun sejak tadi." "Pak ...." Lelaki paruh baya yang mengabaikan panggilan sang istri langsung menempelkan jari pada hidung bocah lelaki yang memang terlalu lelap. Seolah rintik hujan yang dinginnya membekukan tulang tak memiliki arti apapun. "Le'? Le'?" Tangannya bahkan menepuki pipi bocah lelaki yang matanya terpejam rapat. "Adik saya tidak mau bangun. Tolong... tolong bangunkan." Begitu putus asa suara bocah perempuan itu terdengar. Sampai ia menurut di ajak masuk ke dalam mobil dan terus memeluk adiknya. Seolah tak ingin dipisahkan. Dari window rear, pasangan paruh baya yang tak lagi ingin melajukan kendaraan dengan pelan, memeriksa keadaan di belakang. Sementara Rendra menawarkan selimut. Hal yang dilupakan keberadaanya oleh sang kakek dan nenek yang tak lagi bicara meski sorot mata ke duanya menunjukkan banyak kalimat juga tanya. Mereka lebih fokus pada jalan kecil yang digilasi roda. Pilihan tepat, yang jika salah bisa mengakibatkan celaka. **** Dug! Dug! Dug! Gedoran tak sabar kalah dengan suara hujan. "Permisi! Permisi! PERMISI!" Bahkan menenggelamkan teriakan dari lelaki paruh baya yang terus menggedori pintu dan kaca puskesmas. "Apa mereka tuli!" Dan rutukan menjadi kalimat akhirnya yang melangkah, masuk lagi ke dalam mobil yang joknya ikut basah. "Tidak keluar, Pak?" Yang diberi tanya menggeleng. "Bagaimana ini? kita sudah jalan sangat jauh." Sang istri menoleh ke belakang, menatapi bocah lelaki yang tak juga membuka mata dalam dekapan kakaknya yang kembali tak bersuara. Tidak ada rumah sakit yang bangunannya terlihat. Sekalipun ada, itu puskesmas yang petugasnya tidak ada. Semementara .... "Kita langsung ke kota." Kalimat itu membuat sang istri diam beberapa saat sebelum mengangguk. Menurut pada ucapan sang suami yang kembali melajukan kendaraan. Menembus hujan dan gelap sampai jalan utama akhirnya terlihat dibarengi lampu-lampu yang makin terang. Setelahnya, wanita paruh baya itu tak lagi memperingati sang suami untuk pelan-pelan melajukan kendaraan. Kakinya bukan ikut bergegas, tak sabar memijaki paving rumah sakit yang tak lengang. "Tolong! Tolong kami!" Teriakan membuat petugas jaga berlari. Menanyakan apa yang terjadi. Sampai bocah lelaki yang masih belum terbangun, diambil dari dekapan bocah perempuan yang terkejut. "Tunggu disini, biar adikmu diperiksa dokter." Tapi, bocah perempuan yang nampaknya tak ingin berpisah dari sang adik, berlari. Menyusul adiknya yang dibaringkan di atas brankar, sementara petugas dengan wajah asing melakukan apa yang harus mereka lakukan. Tangan dan kaki yang bergerak sesuai instruksi. Mata dan telinga yang awas untuk segala ucapan. Semua itu tak diperhatikan bocah perempuan yang akhirnya duduk dalam ruangan yang aromanya menggelitik namun tak asing. Kenapa? Entahlah, karena mata bocah perempuan itu tidak mengatakan apapun kecuali penuh memberi perhatiannya pada sang adik. Tidak menyadari pandangan wanita paruh baya yang bisa melihat sekecil apa punggungnya. "Siapa yang memberi adikmu obat tidur sampai kelebihan dosis, Ndok?" Puk! Ia lalu menoleh pada tepukan sang suami yang nampaknya memiliki pertanyaan sama. "Ganti baju kalian dulu. Aku sudah bicara dengan polisi yang akan mengurus juga mencari orang tua mereka." "Mudah-mudahan cepet ketemu, Pak." Doa yang mendapat amin itu, membuat keduanya melangkah masuk dengan tentengan tas berisi baju baru. "Tidak apa, adikmu baik-baik saja." Dan kalimat itu membuat bocah perempuan yang masih memakai baju basah meski rambutnya sudah mengering, mendongak. "Ayo, ganti bajumu, Ndok. Atau kita semua akan tidur di brankar lain karena masuk angin." Canda mampu terucap dari mulut wanita paruh baya yang ketegangannya sudah berkurang. Senyum bahkan menghiasi wajahnya yang tangannya terjulur. "Tidak apa, biar Mbah Kakung yang njagain adikmu sebentar, kita hanya akan ganti baju di kamar mandi." Mata bocah perempuan itu menatap pintu yang ditunjuk. Kurang dari tiga meter jaraknya. Tapi, begitu ragu ia melepas genggaman jemari sang adik yang sudah terbaring di tempat hangat dengan jarum infus menembus kulit. Namun, bocah yang akhirnya mau menjauh dari adiknya itu oleng begitu ia berdiri. Hampir saja jatuh jika tidak di topang Rendra yang terus menemani saat kakek dan neneknya bertemu polisi. "Te-rimakasih." Begitu lemah suara bocah perempuan itu terdengar. Tapi, sepasang pasutri yang tak lagi muda juga cucu lelakinya itu pasti mendengar. "Lama berdiri di bawah hujan pasti membuatmu pusing, Ndok." Tapi, senyum lembut yang tercipta di wajah wanita paruh baya menghilang saat melihat bagian dada bocah perempuan yang bajunya sobek. Memperlihatkan luka sayatan yang baru ia sadari. Sementara baju basah sang bocah perempuan ikut meneteskan warna merah pada ubin yang sedang mereka pijaki.Kehebohan.Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi."Bisa jadi mereka berdua korban penculikan."Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai.Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi.Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti."Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun!"Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu
"Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy.""Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu.""Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit.""Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan.""Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk t
"Liat gak?""Gak liat aku.""Kalian gimana?""Nihil.""Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?""Tapi mereka beneran disini kan?""Tenang aja, informanku gak mungkin salah."Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung."Ui?"Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki."Ui, Ui."Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siap
Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk
"Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!
Bocah perempuan yang matanya bisa melihat bayangan di bawah pintu, bergerak cepat, mengganti baju basahnya dengan kaos kebesaran.Tak perduli pada rasa menusuk yang dadanya salurkan karena melakukan pergerakan cepat, ia langsung mendekat pada Santo."Kau sudah selesai ganti baju? Kalau sudah pergilah ke ruangan pemilik panti."Pintu yang didorong tanpa ketukan terus terbuka sampai bocah perempuan yang tak sadar bajunya terbalik, berdiri di depan ruangan yang pemiliknya menunggu."Masuk, Ndok."Yang dipersilahkan diam beberapa saat sebelum melangkah ke dalam ruangan yang pintunya rapat ditutup."Duduklah."Perintah dengan senyum kembali terucap dari pemilik panti yang duduk lebih dulu. Memperhatikan setidak-nyaman apa bocah perempuan yang sorot matanya ..., "Ibu rasa kamu pasti sudah mendengar jika ada orang baik yang ingin menjadi ayah dan ibu bagi adikmu, betul?"Dan pupil bocah perempuan yang membesar untuk kalimatnya cukup jadi jawaban bagi pemilik panti yang tangannya diam di atas