****
Saat duniaku dijungkir-balikkan dengan cara yang begitu menyakitkan. Menyerah bukan pilihan. Karena tangan kecil yang menyadarkan diri bahwa apa yang terjadi padaku bukan sekedar mimpi, hanya memiliki diriku. Tuhan... apa aku harus menyalahkanmu? ***** Zras.... Suara hujan bak buaian pengantar tidur membuat bocah perempuan yang matanya rapat terpejam, bergerak.. Tapi, rasa kantuk luar biasa yang belum pernah ia rasakan, kembali membuat matanya terpejam. Meski hanya beberapa saat, karena ia merasa tidak nyaman dengan kasur yang terasa berbeda. Tidak lagi empuk, apalagi hangat. Justru keras dan terasa dingin. Seolah es menyentuh punggungnya yang terbaring. Satu... Dua... Tiga... Belum juga hitungan lima, matanya yang terbuka langsung melihat bocah lain yang lebih kecil terlelap di atas sofa. Begitu lelap namun nampak mengunyah dalam tidur. Mungkin sedang bermimpi makan ikan goreng kesukaan. Gambaran mimpi sang adik mampu ia bayangkan membuat bibir bocah perempuan itu tersenyum. Tapi, senyumnya seketika lenyap saat merasakan pusing teramat sangat. Namun, belum sempat ia mengeluh. Rasa menusuk dan perih membuatnya menatap lelaki yang ada di atas tubuh. Juga kilau benda tajam yang menempel pada dada. Bocah perempuan yang kulitnya sudah tergores dalam itu ingin berteriak. Tapi, wajah sang lelaki membuatnya bungkam dengan pandangan tanya. Apalagi tetes airmata jatuh pada bajunya yang sudah berubah warna. Tidak lagi putih sempurna. "Ayah... sakit." Aduan jujur membuat lelaki yang wajahnya begitu dipenuhi duka, terkejut. Ia seolah tidak percaya anak perempuannya bangun. Reflek ia menjauhkan ujung pisau dari dada bocah perempuan yang tidak menangis, hanya menatapinya dengan pandangan yang membuat tangannya bergetar. Apalagi saat menyadari, jadi semerah apa baju putih sang putri yang menatapnya tanpa berkedip. "Ayah .... Entah, apa yang diucapkan gadis kecil itu pada pria yang sorot matanya tampak begitu lelah. Seolah secuil pun kebahagiaan tak mampu menyapa apalagi merasuk dalam punggung lebarnya yang nampak tak lagi mampu menampung beban kehidupan. Sementara derasnya suara hujan tak mengizinkan kalimat terdengar ataupun menyapai sofa berisi bocah lelaki berusia satu tahun yang begitu lelap dalam mimpinya. Untaian kata kalah dengan rintik ruah yang entah kapan akan berhenti. Sementara dinding bisu melihat bagaimana bocah perempuan itu bangkit lalu mendekat pada sofa. Menjauh dari lelaki yang tak melepas pandangannya dari gerakan sang putri sedetik pun! Ia bahkan bisa melihat mulut putrinya terbuka. Namun tanpa kata saat menatap tubuh lain terbaring di sofa berbeda. Untuk beberapa lama putrinya diam. Lalu dengan susah payah, bocah perempuan itu mengangkat tubuh sang adik yang tak bangun lalu berlari ke arah pintu. Bocah perempuan itu tidak menghiraukan kilau pisau yang sudah membuat dadanya sakit. Menggoreskan luka memanjang yang mampu disamarkan sorot bingung namun tak membantah. Kaki kecilnya hanya terus melangkah melewati lelaki yang diam meski ekor mata mengikuti langkah sang putri. "**ni." Namun, pijakan kecil bocah perempuan yang pupil matanya bergerak gelisah itu terhenti lalu menoleh pada lelaki yang terus menatapnya dengan kata begitu lirih. "Hiduplah dan jaga adikmu." Sorot bocah perempuan yang matanya bak anak Menjangan tersesat itu, melirik tubuh sang ibu yang dadanya tak bergerak naik turun. Hanya diam bak waktunya sudah terputus. "Pergilah, kamu tidak ingin ayah menyakiti adikmu juga 'kan?" Sampai ucapan sang ayah yang mata basahnya menunjukan kesungguhan, membuat bocah perempuan itu menatap dada sang adik juga dadanya sendiri yang masih menyalurkan perih teramat sangat. "Kamu sayang pada adikmu, bukan? Kalau iya, pergilah." Begitu tak adil ucapan sang ayah terdengar. Namun, bocah perempuan yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia menolak, mengangguk dengan ragu. Ia tidak bertanya harus pergi kemana? Atau mencari siapa? Sorot mata bocah perempuan yang tak bersuara itu hanya menatap tampilan sang ayah yang rasanya sudah tak memiliki pilihan lain selain menyuruhnya pergi. "**ni, ayah dan ibu sungguh menyayangimu dan Santo." Kalimat itu membuat airmata tercipta dan terus mengenang dalam bola mata bocah perempuan yang melihat ayahnya tersenyum dengan airmata merambat jatuh. Kakinya bahkan ingin melangkah maju. Memperpendek jarak dengan sang ayah yang sorot matanya menancapkan rasa sakit yang belum pernah ia rasakan. Tapi, bocah perempuan itu paham apa yang akan terjadi jika ia memaksa tinggal. Adiknya yang begitu lelap terbuai mimpi, akan merasakan apa yang dadanya rasakan. Otak bocah berusia enam tahun itu tahu alasan sang ayah menyuruhnya pergi, menembus lebatnya hujan yang merajai malam. "Ibu...," dan kalimat itu lolos dari mulutnya yang bergetar, menatapi tubuh lain yang terbaring tanpa pergerakan. "PERGI!" Sementara panggilan untuk sang ayah tak sempat ia sampaikan karena teriakan keras membuat bocah perempuan itu langsung membuka pintu dan berlari menembus hujan. Menjauh dari rumah yang akan membuat geger desa tempatnya tinggal saat hujan lebat meninggalkan genangan yang hampir kering. "Maafkan Ayah, nak, dan jaga adikmu." Lelaki yang tak lagi melihat bayangan dua buah hatinya itu berdiri. Tangannya meraih gagang pisau yang masih menyisakan darah sang putri. Ia yang sudah menggenggam pisau, jatuh seolah tak lagi memiliki tenaga. Namun, kembali bangkit, mendekat pada tubuh lain yang tak lagi memperlihatkan kehidupan. Tangannya menggenggam jemari sang istri yang tak lagi menyisakan kehangatan. Isaknya luruh tanpa kata meski sorot matanya memperlihatkan penyesalan begitu dalam. Bahkan, rintik hujan bisa melihat rasa yang sedang lelaki itu selami. Sementara kilat petir memperjelas tetes darah mengalir dari pergelangan tangan sang lelaki yang masih menggenggam tangan sang istri. "Apa Tuhan akan mengizinkan kita bertemu dengan putra dan putri kita lagi, Bu? Jika iya, betapa bahagianya diriku." Sementara suaranya yang lemah, menghilang bersama jatuhnya gagang pisau dari genggaman. *** "Hati-hati, Pak." Kalimat yang sudah terucap entah berapa kali itu membuat lelaki paruh baya yang sedang duduk di belakang kemudi mengangguk. Hujan lebat menghalangi jarak pandang yang membuatnya harus menurunkan kecepatan kendaraan meski sepanjang jalan hanya ada mobil mereka. Lampu jalan yang cahayanya temaram sama sekali tak membantu. Bahkan, jumlahnya yang bisa di hitung jari membuatnya menggerutu dalam bisik. Tidak ingin cucu lelakinya yang duduk di belakang mendengar. "Kenapa tidak tidur, Le?" Yang diberi tanya menggeleng, "tidak ngantuk, Eyang." Jawab Rendra yang kembali menatap kegelapan malam diantara suara hujan yang mengalahkan deru. "Mau makan roti, Le?" Sekali lagi bocah yang hanya melihat kegelapan sejauh matanya memandang itu menggeleng. "Coba telpon anakmu, Bu." Ucapan sang kakek mengalihkan fokus Rendra yang baru kali ini melewati jalanan tembus yang jarak perkampungannya begitu jauh. Sejak kampung pertama yang tak menunjukkan kehidupan berkat lebatnya hujan meski lampu dalam tiap rumah menyala, hanya gelap yang ia lihat. "Tidak diangkat?" Gelengan sang istri membuat lelaki yang duduk di belakang kemudi menarik nafas begitu dalam. "Coba nomer istrinya." Namun, ucapannya kembali mendapat gelengan. Sorot geram terpancar dari wajah tua sang lelaki yang kembali menahan diri untuk merutuk. Apalagi usapan tangan sang istri pada lengannya seolah berkata, "sabar, Pak." "Coba aku telpon hotel tempat mereka menginap- Cit! Decit mobil yang remnya diinjak tiba-tiba, membuat Rendra kaget. Sekaget tubuh bocah perempuan yang tersorot lampu kendaraan diantara gelap malam dan derasnya hujan. "Apa yang di gendongnya?" Tanya Rendra dalam hati, sementara matanya tak beralih dari bocah perempuan yang baju putihnya basah dengan tubuh menggigil kedinginan. ***JDAR!Gema petir menggelegar. Membuat dua orang paruh baya yang masih dikuasai kaget makin terkejut.Untung laju kendaraan mereka pelan jika tidak, "...." Rasanya wanita yang wajahnya jadi kehilangan rona itu bisa melihat tubuh menggigil di depan kendaraanya tergeletak di jalan dengan bersimbah darah.Sampai sang suami turun, tak perduli pada hujan yang membasahi pakaian."Eyang?""Kamu tunggu di dalam, Le."Meski ingin menolak, Rendra menurut. Ekor matanya mengikuti langkah sang eyang yang tubuhnya langsung basah di sapa hujan begitu keluar."Kamu tidak apa-apa, Ndok?"Yang ditanya tidak menjawab. Membuat wanita paruh baya yang tubuhnya langsung kuyup itu melirik sang suami yang juga menggeleng. Nampaknya mendapat respon sama dari bocah perempuan yang arah munculnya ia tatap.Hanya ada gelap, ia bahkan tak melihat adanya kelip lampu yang bisa membuatnya yakin ada perkampungan."Rumahmu di mana, Ndok?"Rasa penasaran yang memenuhi diri membuat tangannya terjulur, "kamu datang dari man
Kehebohan.Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi."Bisa jadi mereka berdua korban penculikan."Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai.Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi.Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti."Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun!"Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu
"Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy.""Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu.""Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit.""Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan.""Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk t
"Liat gak?""Gak liat aku.""Kalian gimana?""Nihil.""Coba cek ada lubang yang buat ngintip gak?""Tapi mereka beneran disini kan?""Tenang aja, informanku gak mungkin salah."Derap kaki yang nampaknya tak ingin pergi terdengar dari tiap penjuru pekarangan yang biasanya ramai dengan celoteh dan tawa bocah-bocah yang katanya kurang beruntung."Ui?"Bocah lelaki yang nampaknya tahu sang kakak sedang tak merasa baik menjulurkan tangan.Jemari kecilnya menyentuh pipi bocah perempuan yang bisa mendengar seramai apa rumah baru yang sudah mereka tinggali selama satu Minggu.Dari jendela kamar, ia bisa melihat orang-orang berseliweran dengan mata dipenuhi binar, tertawa. Bercengkrama, pun, mencari seolah pintu terlarang untuk mereka masuki."Ui, Ui."Bahkan, bocah lelaki yang tubuh kecilnya dipangku menunjuk jendela. Membuat sang kakak menoleh setelah melihat bayangan seseorang mengintip dari kaca.Perempuan dengan mikrofon di tangan pupilnya membesar saat matanya yang seakan meyakinkan siap
Luka memanjang terlihat saat perban yang menutupi dibuka dengan hati-hati. 12 jahitan yang menyatukan kulit dan daging tampak mengerikan. Apalagi hal itu ada pada dada bocah perempuan yang baru mengenal dunia selama 6 tahun. Waktu yang begitu singkat untuk merenggut tawa dan binar kehidupan sang bocah.Tapi, dokter Imron mengangguk setelah mengamati dengan cermat bekas sayatan yang dagingnya sudah mulai menyatu."Bagus, tidak ada infeksi."Lelaki dengan sneli yang tangannya mencetak noda pulpen berucap. Tangannya yang berbalut sarung tangan lateks kembali sibuk menutup luka sang bocah perempuan dengan perban baru."Minggu depan mungkin kita bisa melepas jahitanmu."Yang diajak bicara tidak menoleh. Bocah perempuan itu hanya fokus pada sang adik yang juga memperhatikannya.Jemari Santo bahkan meraih-raih seolah ingin cepat digendong.Dan saat pemeriksaan selesai, bocah lelaki itu tersenyum lebar dalam pelukan sang kakak."Ui, Ui."Nampaknya, gemar sekali Santo memanggil lalu menunjuk
"Kemana perginya bocah-bocah sial itu?"Geram sekali tatapan pengurus panti yang kakinya pegal. Dicari kemanapun ia tak juga menemukan bayangan bocah yang mampu membuat sakunya berisi uang tambahan.Dan matanya melebar dengan seringai saat melihat bocah-bocah yang ia cari berlari ke arahnya.Segera ia keluarkan kamera dari saku, menjepret gerakan bocah perempuan yang wajahnya membuat orang yang memberinya uang memperlihatkan ketidakpuasan setelah potretnya dicetak."Sialan!" Serunya dalam ruang gelap yang penuh dengan potret-potret gagal, "pengurus panti itu benar-benar menipuku, tch!"Decakan kesal membuat lelaki yang menyugar wajahnya kasar, menarik nafas dalam. Matanya melirik potret bocah perempuan yang wajahnya tak perlu diragukan jika ia memang anak dari Efendy. Orang yang namanya masih jadi topik panas meski hampir dua bulan tragedi yang menggegerkan Indonesia terjadi.Tapi, potret bocah perempuan itu saja tidak cukup, akan ada bayaran tinggi untuk potret sepasang bocah yang na
"Aku gak liat.""Aku juga gak liat.""Mereka kan bukan teman kami.""Iya, aku gak mau main sama dia."Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari."Danu, ayo!"Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh."Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang
Stigma.Betapa menakutkan kalimat itu jika sudah melekat pada diri seorang individu.Dan stigma negatif sudah merekat pada diri anak-anak Efendy, bocah berusia enam dan satu tahun yang bahkan tidak paham kenapa mereka dicari-cari, diteriaki, diberi tatapan penghakiman dari orang-orang berwajah asing yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumya."Adik saya bukan anak pembunuh."Dan kalimat berulang sang bocah perempuan membuat mata Nita terasa panas seketika. Hatinya serasa disayat saat membayangkan bagaimana perasaan bocah dalam dekapannya yang harus pergi dari tempat ia lahir dan tumbuh, namun tidak bisa hidup dengan tenang karena orang-orang yang masih ingin mendapat keuntungan darinya, tak ingin pergi."Adik saya bukan-Dan getaran yang terdengar begitu nyata dari suara sang bocah perempuan membuat airmata Nita tergenang. Dadanya yang merasa sakit tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kepedihan yang sudah dan akan terus bocah perempuan dalam dekapannya rasakan seumur hidupnya!