Share

MENJADI ORANG KEDUA
MENJADI ORANG KEDUA
Penulis: Sisi suram

1. TRAGEDI HUJAN KELABU

****

Saat duniaku dijungkir-balikkan dengan cara yang begitu menyakitkan.

Menyerah bukan pilihan.

Karena tangan kecil yang menyadarkan diri bahwa apa yang terjadi padaku bukan sekedar mimpi, hanya memiliki diriku.

Tuhan... apa aku harus menyalahkanmu?

*****

Zras....

Suara hujan bak buaian pengantar tidur membuat bocah perempuan yang matanya rapat terpejam, bergerak..

Tapi, rasa kantuk luar biasa yang belum pernah ia rasakan, kembali membuat matanya terpejam.

Meski hanya beberapa saat, karena ia merasa tidak nyaman dengan kasur yang terasa berbeda.

Tidak lagi empuk, apalagi hangat.

Justru keras dan terasa dingin. Seolah es menyentuh punggungnya yang terbaring.

Satu...

Dua...

Tiga...

Belum juga hitungan lima, matanya yang terbuka langsung melihat bocah lain yang lebih kecil terlelap di atas sofa. Begitu lelap namun nampak mengunyah dalam tidur.

Mungkin sedang bermimpi makan ikan goreng kesukaan.

Gambaran mimpi sang adik mampu ia bayangkan membuat bibir bocah perempuan itu tersenyum. Tapi, senyumnya seketika lenyap saat merasakan pusing teramat sangat.

Namun, belum sempat ia mengeluh. Rasa menusuk dan perih membuatnya menatap lelaki yang ada di atas tubuh.

Juga kilau benda tajam yang menempel pada dada.

Bocah perempuan yang kulitnya sudah tergores dalam itu ingin berteriak. Tapi, wajah sang lelaki membuatnya bungkam dengan pandangan tanya.

Apalagi tetes airmata jatuh pada bajunya yang sudah berubah warna. Tidak lagi putih sempurna.

"Ayah... sakit."

Aduan jujur membuat lelaki yang wajahnya begitu dipenuhi duka, terkejut.

Ia seolah tidak percaya anak perempuannya bangun.

Reflek ia menjauhkan ujung pisau dari dada bocah perempuan yang tidak menangis, hanya menatapinya dengan pandangan yang membuat tangannya bergetar.

Apalagi saat menyadari, jadi semerah apa baju putih sang putri yang menatapnya tanpa berkedip.

"Ayah ....

Entah, apa yang diucapkan gadis kecil itu pada pria yang sorot matanya tampak begitu lelah. Seolah secuil pun kebahagiaan tak mampu menyapa apalagi merasuk dalam punggung lebarnya yang nampak tak lagi mampu menampung beban kehidupan.

Sementara derasnya suara hujan tak mengizinkan kalimat terdengar ataupun menyapai sofa berisi bocah lelaki berusia satu tahun yang begitu lelap dalam mimpinya.

Untaian kata kalah dengan rintik ruah yang entah kapan akan berhenti.

Sementara dinding bisu melihat bagaimana bocah perempuan itu bangkit lalu mendekat pada sofa. Menjauh dari lelaki yang tak melepas pandangannya dari gerakan sang putri sedetik pun!

Ia bahkan bisa melihat mulut putrinya terbuka. Namun tanpa kata saat menatap tubuh lain terbaring di sofa berbeda.

Untuk beberapa lama putrinya diam. Lalu dengan susah payah, bocah perempuan itu mengangkat tubuh sang adik yang tak bangun lalu berlari ke arah pintu.

Bocah perempuan itu tidak menghiraukan kilau pisau yang sudah membuat dadanya sakit. Menggoreskan luka memanjang yang mampu disamarkan sorot bingung namun tak membantah.

Kaki kecilnya hanya terus melangkah melewati lelaki yang diam meski ekor mata mengikuti langkah sang putri.

"**ni."

Namun, pijakan kecil bocah perempuan yang pupil matanya bergerak gelisah itu terhenti lalu menoleh pada lelaki yang terus menatapnya dengan kata begitu lirih.

"Hiduplah dan jaga adikmu."

Sorot bocah perempuan yang matanya bak anak Menjangan tersesat itu, melirik tubuh sang ibu yang dadanya tak bergerak naik turun. Hanya diam bak waktunya sudah terputus.

"Pergilah, kamu tidak ingin ayah menyakiti adikmu juga 'kan?"

Sampai ucapan sang ayah yang mata basahnya menunjukan kesungguhan, membuat bocah perempuan itu menatap dada sang adik juga dadanya sendiri yang masih menyalurkan perih teramat sangat.

"Kamu sayang pada adikmu, bukan? Kalau iya, pergilah."

Begitu tak adil ucapan sang ayah terdengar. Namun, bocah perempuan yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia menolak, mengangguk dengan ragu.

Ia tidak bertanya harus pergi kemana? Atau mencari siapa?

Sorot mata bocah perempuan yang tak bersuara itu hanya menatap tampilan sang ayah yang rasanya sudah tak memiliki pilihan lain selain menyuruhnya pergi.

"**ni, ayah dan ibu sungguh menyayangimu dan Santo."

Kalimat itu membuat airmata tercipta dan terus mengenang dalam bola mata bocah perempuan yang melihat ayahnya tersenyum dengan airmata merambat jatuh.

Kakinya bahkan ingin melangkah maju. Memperpendek jarak dengan sang ayah yang sorot matanya menancapkan rasa sakit yang belum pernah ia rasakan.

Tapi, bocah perempuan itu paham apa yang akan terjadi jika ia memaksa tinggal. Adiknya yang begitu lelap terbuai mimpi, akan merasakan apa yang dadanya rasakan.

Otak bocah berusia enam tahun itu tahu alasan sang ayah menyuruhnya pergi, menembus lebatnya hujan yang merajai malam.

"Ibu...," dan kalimat itu lolos dari mulutnya yang bergetar, menatapi tubuh lain yang terbaring tanpa pergerakan.

"PERGI!"

Sementara panggilan untuk sang ayah tak sempat ia sampaikan karena teriakan keras membuat bocah perempuan itu langsung membuka pintu dan berlari menembus hujan.

Menjauh dari rumah yang akan membuat geger desa tempatnya tinggal saat hujan lebat meninggalkan genangan yang hampir kering.

"Maafkan Ayah, nak, dan jaga adikmu."

Lelaki yang tak lagi melihat bayangan dua buah hatinya itu berdiri. Tangannya meraih gagang pisau yang masih menyisakan darah sang putri.

Ia yang sudah menggenggam pisau, jatuh seolah tak lagi memiliki tenaga. Namun, kembali bangkit, mendekat pada tubuh lain yang tak lagi memperlihatkan kehidupan.

Tangannya menggenggam jemari sang istri yang tak lagi menyisakan kehangatan. Isaknya luruh tanpa kata meski sorot matanya memperlihatkan penyesalan begitu dalam.

Bahkan, rintik hujan bisa melihat rasa yang sedang lelaki itu selami.

Sementara kilat petir memperjelas tetes darah mengalir dari pergelangan tangan sang lelaki yang masih menggenggam tangan sang istri.

"Apa Tuhan akan mengizinkan kita bertemu dengan putra dan putri kita lagi, Bu? Jika iya, betapa bahagianya diriku."

Sementara suaranya yang lemah, menghilang bersama jatuhnya gagang pisau dari genggaman.

***

"Hati-hati, Pak."

Kalimat yang sudah terucap entah berapa kali itu membuat lelaki paruh baya yang sedang duduk di belakang kemudi mengangguk.

Hujan lebat menghalangi jarak pandang yang membuatnya harus menurunkan kecepatan kendaraan meski sepanjang jalan hanya ada mobil mereka.

Lampu jalan yang cahayanya temaram sama sekali tak membantu. Bahkan, jumlahnya yang bisa di hitung jari membuatnya menggerutu dalam bisik. Tidak ingin cucu lelakinya yang duduk di belakang mendengar.

"Kenapa tidak tidur, Le?"

Yang diberi tanya menggeleng, "tidak ngantuk, Eyang." Jawab Rendra yang kembali menatap kegelapan malam diantara suara hujan yang mengalahkan deru.

"Mau makan roti, Le?"

Sekali lagi bocah yang hanya melihat kegelapan sejauh matanya memandang itu menggeleng.

"Coba telpon anakmu, Bu."

Ucapan sang kakek mengalihkan fokus Rendra yang baru kali ini melewati jalanan tembus yang jarak perkampungannya begitu jauh.

Sejak kampung pertama yang tak menunjukkan kehidupan berkat lebatnya hujan meski lampu dalam tiap rumah menyala, hanya gelap yang ia lihat.

"Tidak diangkat?"

Gelengan sang istri membuat lelaki yang duduk di belakang kemudi menarik nafas begitu dalam.

"Coba nomer istrinya." Namun, ucapannya kembali mendapat gelengan.

Sorot geram terpancar dari wajah tua sang lelaki yang kembali menahan diri untuk merutuk. Apalagi usapan tangan sang istri pada lengannya seolah berkata, "sabar, Pak."

"Coba aku telpon hotel tempat mereka menginap-

Cit!

Decit mobil yang remnya diinjak tiba-tiba, membuat Rendra kaget.

Sekaget tubuh bocah perempuan yang tersorot lampu kendaraan diantara gelap malam dan derasnya hujan.

"Apa yang di gendongnya?" Tanya Rendra dalam hati, sementara matanya tak beralih dari bocah perempuan yang baju putihnya basah dengan tubuh menggigil kedinginan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status