Nama mendiang istrinya terlihat jelas di batu nisan. Radit mengusap pelan pusara itu dengan wajah yang sudah mendung. Merasa bersalah karena akhir-akhir ini menyadari ada yang berbeda pada dirinya sendiri.
“Aku mencintaimu, Dinda,” ucapnya lirih.
Radit kembali terkenang dengan pertemuan pertama mereka. Dari pertemanan sejak kecil hingga berakhir di jenjang pernikahan. Hampir tak penah ada pertengkaran mengingat Dinda yang memiliki sifat istimewa. Lembut, manja dan sangat penyayang. Sungguh berbeda dengan Amanda yang keras kepala dan lebih tegas serta mandiri.
Bukankah setiap orang terlahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing? Radit hampir melupakan pernyataan tersebut lantaran saat ini hatinya masih menol
“Eh??” Karena Amanda tadi refleks menoleh ke belakang, jadilah dia kehilangan keseimbangan. Kaki kirinya hampir terjungkal lantaran tak siap dengan pergerakan tiba-tiba Ayra. Beruntung pria baik hati di depannya itu langsung menahan lewat dekapan super cepat. Bahkan satu tangannya yang lain turut memegang tubuh sang anak.“Ibu enggak pa-pa?” tanyanya tampak khawatir.Amanda menunjukkan cengiran kudanya seraya menggeleng pelan. “Saya baik-baik saja, Pak. Makasih ya.” Sementara itu di dalam mobilnya Radit menggeram kesal. Terlebih melihat sang istri yang berinteraksi dengan pria lain. Dia pun buru-buru ke luar dari kendaraan roda empat tersebut. Lantas memacu langkah menghampiri dua orang tadi.“Ehem!!” Sang pria yang menyadari kedatangannya mengangguk sopan sambil tersenyum. Baru saja berniat hendak memperkenalkan diri, tetapi gagal karena Radit sudah menghunuskan tatapan tajam.“Hmmah, hek,” rengek Ayra menginterupsi perhatian para orang dewas
Alih-alih menjawab pertanyaan sang suami, Amanda malah mengerutkan dahinya. Heran dengan tatapan penuh intimidasi tersebut.“Kau kenapa?” tanyanya dengan suara lirih.Tanpa melepaskan cekalan tangannya Radit menjawab, “Kau tidak dengar juga? Kau mau ke mana malam-malam begini?”“Aku mau ke kamar Ayra. Puas??” gumam Amanda sedikit meninggikan suaranya. Gadis itu menyentakkan diri ketika Radit meregangkan cekalan tangannya. Lantas memeluk erat Ayra yang masih sesekali merengek manja. Barulah Radit sadar kalau ternyata dirinya agak keterlaluan. Terlihat dari lengan sang istri yang sedikit kemerahan. Menyesal? Sudah pasti.“Kenapa tidak di sini saja?”Amanda berdecak pelan hingga akhirnya berkata, “Satu malaman nanti mungkin tidurnya tidak akan nyenyak. Jadi kami di kamar Ayra saja.”“Jangan!” larang Radit cepat. “Aku juga papanya. Biarkan dia tetap di sini.”“Kau yakin? Tidurmu akan terganggu nanti.” Anggukan Radit membuat Amanda ta
“Lihatlah! Ayra baik-baik saja. Kau yang terlalu mencemaskannya.” Amanda menghela napas lega begitu melihat Ayra yang berada di dalam gendongan Mama Tiara. Tak pelak tangannya memijat kepala yang terasa pusing karena tidur yang terganggu malam tadi.“Sayang, kau pasti kaget ya karena enggak lihat Ayra di kamar?” kekeh Mama Tiara begitu melihatnya berjalan mendekat. “Maaf ya. Sengaja mama yang bilang ke Radit supaya enggak bangunin dirimu.”Amanda mengangguk pelan sambil tersenyum. “Enggak pa-pa. Mama sendirian ke sininya?”“Iya. Nanti siang papamu bakalan nyusul. Dia ada jadwal main golf hari ini,” jawab mama sambungnya itu. “Oh ya. Mau dimasakin apa? Kau tiduran saja kalau masih capek. Ayra udah anteng kok. Nanti juga dia pules karena tadi malam boboknya keganggu.”“Enggak usah. Aku enggak selera apa-apa.”“Radit gimana? Pepes ikan mau? Mama memang masih belajar sih dari ibumu,” kata Mama Tiara menawarkan.“Jangan repot-repot. Aku pulangnya sore, Ma. Sebentar lagi juga
Tuan Yuda sudah menatap tajam putrinya. Sementara sang istri buru-buru menghampiri pria paruh baya tersebut. Takut kalau penyakitnya kambuh lagi.“Duduk dulu yuk, Pa,” ajak Mama Tiara yang lekas mengajaknya berjalan ke ruang tengah. “Ayra nangis tuh. Kau bawa dia ke kamar dulu ya,” ucap perempuan itu pada Amanda setelahnya.“Iya, Ma. Aku bawa Ayra ya.” Mama Tiara mengangguk, sedangkan sang papa masih saja memandang dengan tatapan permusuhan. Jelas membuat Amanda jadi ketar-ketir sendiri.“Papa bilang juga apa, Tir. Amanda itu keras kepala. Beda sekali dengan Dinda,” geram Tuan Yuda yang sudah kesal bukan main. “Maunya dia apa sih?”“Hussh! Jangan ngomong gitu, Pa!” bisik istrinya cepat.“Tiara, kau membelanya??”Mama Tiara menggeleng pelan. Satu tangannya kembali mengusap-usap lengan sang suami. Berharap bisa meredakan amarah pria tersebut. “Kita masih belum tahu duduk perkaranya apa. Jangan nyalahin Manda terus. Bisa aja ‘kan Radit yang enggak mau membuka
Begitu menyadari istri Radit yang ada di sana, Sebastian yang bertanya tadi lekas tersenyum manis. Satu tangannya memberi perintah pada asisten dosen tersebut untuk segera pergi.“Biar saya yang antarkan Ibu cantik ini,” kata Sebastian.“Baik, Pak. Saya permisi.” Dipandang dengan senyuman yang menurutnya aneh membuat Amanda jadi tak nyaman. Dia pun bersiap-siap hendak pergi dari hadapan Sebastian.“Eh eh? Kok malah kabur sih? Mau jumpa Radit ‘kan?” tanya pria itu kemudian.“Iya,” jawab Amanda singkat. “Aku cuma mau nganterin titipan mama dari rumah. Itu aja.” Entah kebetulan atau bagaimana. Di saat yang bersamaan Radit beserta Arini muncul. Pun
Tidak. Dia hanya menemani Arini belanja bulanan sama seperti yang sebelumnya. Radit berusaha menepis semua tudingan yang diarahkan Sebastian padanya. Berusaha meyakini bahwa apa yang dia lakukan sekarang masih terbilang wajar.“Terakhir kali aku ke rumah Abang waktu Ayra usia enam bulan ‘kan ya?” kenang Arini yang tengah berjalan di samping Radit. Perempuan itu sedikit mendongak demi menatap netra kehitaman miliknya. “Sekarang dia sudah … enam tambah dua bulanan ya. Delapan bulan ‘kan?”“Minggu depan umurnya sudah masuk sembilan bulan,” ucap Radit sambil tersenyum tipis. Tangannya masih mendorong stroller belanjaan dan memasukkan satu per satu barang yang memang terbiasa dibeli oleh Arini. Ya. Hampir enam bulan dia melakukan rutinitas seperti ini. Menem
“Lain kali jangan main hajar aja, Dit.”“I-iya, Ma.” Radit lantas menunduk malu. Merasa sangat bersalah atas kelakuan bodohnya tadi.“Kalau petugas keamanan enggak datang cepat, bisa-bisa kau sudah dipenjara. Untung papanya Bella langsung maafin. Haduh!” Mama Tiara geleng-geleng kepala sambil menatap ke arah Ayra yang ada di gendongannya. “Lagian kenapa mikirnya sampai ke sana sih? Selingkuh pula, hahaha. Memangnya kau lihat Amanda kissing atau pelukan ya tadinya?”“Enggak,” jawab Radit yang kemudian meraup kasar wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kalau ada pilihan menghilang di tempat, mungkin dia akan melakukannya detik ini juga. Sumpah. Rasanya benar-benar sangat memalukan.“Manda enggak sendirian. Dia ke sini sama mama dan Ayra. Tadi mama bawa anakmu ke toilet karena dia pup. Ck. Ada-ada saja,&rdquo
Menikah? Kenapa Amanda bisa bertanya begitu? Radit pun mengerutkan alisnya pertanda heran.“Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.“Jadi kapan kau akan menikah dengan Arini? Aku bertanya agar hubunganmu dengannya bisa diperjelas. Ayra juga harus dipersiapkan supaya bisa mengenal calon mama tirinya kelak,” jelas Amanda panjang lebar.“Aku tidak mencintai Arini,” kata Radit dengan bola mata yang menatap lekat Amanda.Istrinya itu malah terbahak. Tak percaya dengan apa yang ia ungkapkan barusan. “Ya ampun. Ckck. Kasihan sekali dia. Jadi selama ini dirinya kau anggap apa, Radit?”“Bukankah kami hanya berteman? Sebatas itu saja,” ucap Radit dengan gampangnya.“Kalau saja mobilmu bisa bicara, dia akan mengatakan bahwa kau dan Arini saling mencintai.”“Dan atas dasar apa kau menuduhku begitu?