Menikah? Kenapa Amanda bisa bertanya begitu? Radit pun mengerutkan alisnya pertanda heran.
“Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.
“Jadi kapan kau akan menikah dengan Arini? Aku bertanya agar hubunganmu dengannya bisa diperjelas. Ayra juga harus dipersiapkan supaya bisa mengenal calon mama tirinya kelak,” jelas Amanda panjang lebar.
“Aku tidak mencintai Arini,” kata Radit dengan bola mata yang menatap lekat Amanda.
Istrinya itu malah terbahak. Tak percaya dengan apa yang ia ungkapkan barusan. “Ya ampun. Ckck. Kasihan sekali dia. Jadi selama ini dirinya kau anggap apa, Radit?”
“Bukankah kami hanya berteman? Sebatas itu saja,” ucap Radit dengan gampangnya.
“Kalau saja mobilmu bisa bicara, dia akan mengatakan bahwa kau dan Arini saling mencintai.”
“Dan atas dasar apa kau menuduhku begitu?
Pada akhirnya janji hanyalah sebuah wacana. Bahkan Amanda tak lagi kecewa karena sang suami memang sudah terbiasa mangkir dari ucapannya. Namun, hal yang paling menyakitkan karena dia mendapati wajah Ayra kini tampak murung. Sepertinya bayi itu juga sedang menanti kedatangan sang papa.“Dadada!” Ayra merengek manja saat melihat Amanda masih duduk di tempatnya. Bahkan tangan mungil bayi usia delapan bulan lebih itu sudah menarik baju sang mama.“Iya, Sayang. Sebentar ya.” Amanda mencoba tersenyum manis di depan putrinya. “Mama enggak enak badan nih. Apa kita main di rumah aja ya? Atau mama teleponin susternya Kak Bella. Mau?” Ayra hanya bengong sembari menunjukkan tatapan polosnya. Entah apa yang dikatakan sang mama, tetapi setelah melihat wanita cantik itu mengangguk usai
“Kau demam.” Dua kata barusan membuat Amanda lekas mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang terasa hangat sedang menempel di sana. Lebih tepatnya itu adalah kompresan yang diberikan sang suami untuk pertolongan pertama.“Ayra mana?” Matanya pun melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir pukul delapan malam. “Ayra belum makan, Radit. Dia pasti kelaparan.” Amanda lantas menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya sebatas pinggang. Bergegas hendak melihat keadaan Ayra. Namun, tangan besar Radit segera menggagalkan niatnya lewat cekalan lembut pada lengan kanan sang istri.“Ayra lagi makan sama Bi Asih di luar. Dia baik-baik saja,” kata Radit.“Ya udah. Aku mau lihat dia.”“Kau tidak dengar apa yang kukatakan tadi, hem?” ucap Radit dengan suara pelan. “Kau sedang sakit, Manda. Harus makan dan minum obat. Aku sudah bawakan ke sini.” Tangan Radit kemudian menyambar nampan berisi makanan. Bersiap hendak menyuapkannya ke dalam mulut sang istri, te
Apa Radit peduli? Sayangnya tidak untuk yang sekarang. Pria itu bersiap hendak menyerahkan butiran obat ke hadapan Amanda, tetapi gagal karena istri cantiknya tersebut sudah berlari keluar kamar.“Manda!” pekik Radit dengan suara yang tertahan. Dia tak mau berteriak keras lantaran mengingat ada Ayra yang tengah tertidur pulas. Alhasil Radit pun bergegas menyusul sang istri. Hah. Ke mana larinya wanita itu? Bahkan ia sudah mencari hampir ke setiap sudut ruangan.“Iya, Pak. Saya jamin Bu Manda enggak keluar pagar,” kata satpam yang berjaga. Dahi pria berkumis itu mengernyit saat melihat Radit menggenggam sesuatu. Tanpa sadar dirinya sudah mengulum senyum.“Ada apa?”“En
Radit pikir Mama Tiara akan marah dengan pernyataannya tadi. Namun, perempuan berwajah teduh itu mengangguk lalu tersenyum lembut.“Kami ngerti kok, Nak. Sulit memang berada di posisimu yang sekarang. Enggak pa-pa.”“Makasih, Ma untuk pengertiannya,” kata Radit sedikit lega. “Aku cuma enggak mau Manda jadi ngerasa pelampiasan aja.”Mama Tiara lagi-lagi mengangguk. “Jadi kau mau ke mana? Mau tetap masuk ke kamar ini juga? Semua barang peninggalan Dinda ada di gudang bawah.”“Aku ke kamar Manda saja.”CKLEK!! Pemandangan pertama yang membuat hatinya menghangat adalah Amanda dan Ayra tengah memejamkan mata. Dua wanita itu semakin hari terlihat begitu mirip wajahnya. Padahal awalnya Radit mengira sang putri akan mendominasi wajah m
“Arini sedang sakit katanya,” ucap Radit kemudian. “Aku ke mau temenin dia periksa ke rumah sakit dulu. Pulangnya langsung bimbingan dengan mahasiswa.” Apa Amanda bisa mencegahnya? Tentu saja tidak. Apalagi dia merasa tak berarti di hati sang suami. Alhasil wanita dengan rambut yang panjangnya melebihi bahu itu hanya menganggukkan kepala. Menatap kepergian Radit yang perlahan menghilang dari pandangannya. Sedih? Sudah tentu. Kecewa? Jangan ditanya lagi. Amanda pun akhirnya menangis dalam diam karena merasa cinta sepihak saja. *** “Happah Mmah!” Amanda tergelak saat lagi-lagi melihat kemajuan pesat anaknya. Sekarang Ayra sudah pintar merangkak dan bertepuk tangan berulang kali. Terlebih ketika mendapatkan biscui
“Maaf.” Amanda lekas memundurkan langkahnya hingga kemudian berjalan setengah berlari menuju kamar mandi. Meninggalkan Radit yang masih membeku dalam posisi berdiri seperti tadi. Ada debaran yang terasa aneh saat tubuhnya dipeluk oleh sang istri barusan. Radit tak bisa berbohong bahwa ia menyukai sentuhan fisik tadi. Meskipun durasinya hanya sebentar, tetapi efek yang ditimbulkan luar biasa. Kali ini tak salah lagi kalau mantan kakak ipar cantik tersebut perlahan mencuri hatinya. Sementara di dalam kamar mandi, Amanda kini merutuki apa yang telah terjadi. Merasa malu karena tak sengaja merespon dengan gerakan cepat tadi. Alhasil dia pun memilih berlama-lama di sana. Sengaja mengaplikasikan masker wajah untuk mengulur waktu.***“Sampai minggu depan aku tak bisa ijin dari kampus. Jadwalku padat,” kata Radit saat sarapan pagi tengah berlangsung.Amanda yang tengah mengawasi Ayra mengunyah di dalam baby chair mengangguk pelan. “Aku tahu kok. Engg
“Dari awal memang abang enggak pernah berjanji apa-apa ‘kan, Rin?” gumam Radit merasa yakin dengan ucapannya sendiri.Arini yang sudah bersimbah air mata menggeleng lemah. “Terus, kenapa selama ini Abang baik sama aku? Apa maksudnya, Bang? Abang cuma mainin aku ya? Sama seperti ke Kak Manda juga?”“Rin?”“Benar kata Kak Manda selama ini,” ucap Arini di sela tangisnya yang terdengar begitu lirih. Sengaja agar tak memancing perhatian banyak pengunjung café yang mulai ramai berdatangan ke sana. “Bang Radit enggak akan pernah mau buka hati untuk siapapun. Selamanya akan tetap terkunci untuk Dinda.”“Salah, Rin,” sanggah Radit cepat. “Aku sadar kalau aku sudah jatuh cinta pada Manda.” Arini justru tersenyum mengejek seraya menghapus kasar jejak air mata yang membasahi pipinya. Dit
“Gimana perasaan papa?”Alih-alih menjawab pertanyaan sang putri, Tuan Yuda malah berdecak pelan seraya memutar jengah bola matanya. Membuat Mama Tiara yang menyaksikan interaksi kedua anak dan ayah tersebut geleng-geleng kepala.“Dijawab dong, Pa. Manda ‘kan khawatir,” kata perempuan yang merupakan istrinya itu.“Males ah. Dijawab juga entar bakalan nanya lagi. Dari bangun tidur sampai menjelang sore gini sudah hampir sepuluh kali diteror.”Amanda yang merasa tersinggung lantas memberengut kesal. Dia pun mengerucutkan bibirnya. “Aku ‘kan anak Papa. Jadi ya wajar kalau nanyain terus. Gimana sih??”“Bukannya sembuh. Yang ada papa bisa jantungan, Manda,” balas Tuan Yuda kemudian. “Kau malah mengingatkan papa sama kemungkinan mati lebih cepat. Haduh.” Menyadari bahwa keduanya takkan berhenti berdebat, Mama Tiara pun segera mengelus lengan suaminya. “Sudah sudah. Lihat tuh! Ayra kebangun jadinya.” Baik Amanda dan Tuan Yuda kompak menoleh ke arah ranjang karpet