“Dari awal memang abang enggak pernah berjanji apa-apa ‘kan, Rin?” gumam Radit merasa yakin dengan ucapannya sendiri.Arini yang sudah bersimbah air mata menggeleng lemah. “Terus, kenapa selama ini Abang baik sama aku? Apa maksudnya, Bang? Abang cuma mainin aku ya? Sama seperti ke Kak Manda juga?”“Rin?”“Benar kata Kak Manda selama ini,” ucap Arini di sela tangisnya yang terdengar begitu lirih. Sengaja agar tak memancing perhatian banyak pengunjung café yang mulai ramai berdatangan ke sana. “Bang Radit enggak akan pernah mau buka hati untuk siapapun. Selamanya akan tetap terkunci untuk Dinda.”“Salah, Rin,” sanggah Radit cepat. “Aku sadar kalau aku sudah jatuh cinta pada Manda.” Arini justru tersenyum mengejek seraya menghapus kasar jejak air mata yang membasahi pipinya. Dit
“Gimana perasaan papa?”Alih-alih menjawab pertanyaan sang putri, Tuan Yuda malah berdecak pelan seraya memutar jengah bola matanya. Membuat Mama Tiara yang menyaksikan interaksi kedua anak dan ayah tersebut geleng-geleng kepala.“Dijawab dong, Pa. Manda ‘kan khawatir,” kata perempuan yang merupakan istrinya itu.“Males ah. Dijawab juga entar bakalan nanya lagi. Dari bangun tidur sampai menjelang sore gini sudah hampir sepuluh kali diteror.”Amanda yang merasa tersinggung lantas memberengut kesal. Dia pun mengerucutkan bibirnya. “Aku ‘kan anak Papa. Jadi ya wajar kalau nanyain terus. Gimana sih??”“Bukannya sembuh. Yang ada papa bisa jantungan, Manda,” balas Tuan Yuda kemudian. “Kau malah mengingatkan papa sama kemungkinan mati lebih cepat. Haduh.” Menyadari bahwa keduanya takkan berhenti berdebat, Mama Tiara pun segera mengelus lengan suaminya. “Sudah sudah. Lihat tuh! Ayra kebangun jadinya.” Baik Amanda dan Tuan Yuda kompak menoleh ke arah ranjang karpet
“Ya sudah. Ayra dimandiin sama mama dan papa,” ucap Amanda yang kemudian tersenyum menatap Ayra. “Senang ya papa udah nyusuli kita, hem?”“Happah mamah!” Lagi. Ayra bertepuk tangan mengekspresikan rasa senangnya saat ini. Sekarang pasangan suami istri tersebut kompak pamit undur diri menuju kamar. Radit bergegas melucuti pakaiannya hingga hanya menyisakan celana brief boxer saja. Dia masih menanti kedatangan Amanda yang berjanji akan ikut bergabung bersama dirinya dan Ayra di dalam kamar mandi.“Kau serius mandi dengan pakaian lengkap begitu?” tanya Radit ketika melihat sang istri masih mengenakan atasan dan bawahan seperti beberapa saat lalu.Amanda pun mengangguk yakin. “Maksudmu apa? Aku hanya ingin mengawasi kalian saja. Kalau dibiarkan di sini aku tak yakin Ayra bisa mandi dengan cepat.” Ucapan barusan membuat Radit mengembuskan napas pasrah. Sadar bahwa angannya memang terlalu tinggi. Mana mungkin Amanda mau menanggalkan pakaian. Hah. Da
“Maaf,” cicit Amanda yang sontak mendudukkan diri. “Aku terkejut karena jarak kita terlalu dekat. “K-kau mau apa?”Radit pun jadi salah tingkah. “Tidak. Tadinya aku hanya ingin memindahkan posisi tidurmu saja.” Amanda pun mengangguk singkat. Lantas segera menaikkan selimutnya hingga sebatas dada. Sementara Radit menggeram dalam hati karena niatan yang sudah gagal.“Tidak ada sofa di sini. Jadi kau bisa tidur di sisi ranjang yang lain.” Amanda mengatakannya sembari menggeser tubuh menepi lebih jauh. Membiarkan Radit mengambil posisi tidur di samping tubuh gadis itu. Di sinilah Radit sekarang. Dia bisa tidur satu ranjang dengan sang istri walaupun dalam keadaan dipunggungi. Salahnya sendiri yang terlalu lamban bertindak. Bahkan sampai sekarang pun m
“Man-da?? Apa kabar?” Pertanyaan barusan sama sekali belum terjawab lantaran kedua netra milik Amanda masih menatap nanar pria dan wanita yang ada di hadapannya. Sudah cukup lama ternyata. Hampir enam bulan dia tak lagi mendengar kabar mereka. Namun, sekarang pasangan yang sudah menjadi suami istri ini muncul tepat di depan matanya.“Kamu sendirian?” tanya si pria.Amanda masih bergeming hingga beberapa saat kemudian dia dikejutkan dengan sebuah tangan yang melingkari pundaknya. Wanita itu bahkan kehilangan suara untuk sekedar menyapa dua orang tadi.“Sudah belanjanya?” tanya Radit sambil tersenyum. “Ayra tadi penasaran lihat maskot susu yang ada di sana. Jadi aku ikutin maunya dia dulu.”“Hu um,” ucap Amanda seraya menganggukkan kepala. Setelahnya ia memberanikan diri menatap dua orang yang pernah ia percaya sekaligus menghancurkan hatinya itu. Rasa perih kembali menyerang saat Tisa, mantan manajer yang sekarang menjadi istri sang mantan kekasih dulu tenga
Gerah. Amanda merasakan tubuhnya yang mulai memanas secara perlahan. Gadis itu tak nyaman. Gelisah pun menyambangi dirinya sekarang. Benar-benar aneh.“Andre? Apa yang kamu lakukan?” tanya Amanda yang sudah bergerak bagai cacing kepanasan. Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Andre malah menyeringai kecil. Dia bahkan terbahak lalu mendekati Amanda sambil tersenyum.“Gimana, Sayang? Obatnya udah mulai bereaksi?”“O-obat?” Amanda menggeleng dengan tubuh yang semakin terasa tak nyaman. Dia mengepalkan tangannya sendiri untuk bertahan sekuat tenaga. “Kamu masukin sesuatu ke dalam minuman aku?”“Maaf, Manda Sayang. Aku terpaksa,” jawab Andre kemudian. “Kamu itu milikku. Jadi walaupun kamu sudah jadi istri orang, tetap saja aku tak rela
“Sa …kit.” Amanda merengek saat Radit tengah menyentuh bagian intinya dengan dua jari. Memastikan bahwa gadis itu masih utuh belum pernah tersentuh lebih tepatnya. Sungguh penemuan yang mencengangkan. Membuat pria itu pusing bukan main. Dugaannya tidak meleset. Bagaimana tidak. Di kala peperangan sudah hampir dimulai ternyata sang lawan dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Sebagai orang lelaki sejati yang masih punya hati nurani dia mana tega untuk meneruskan ke tahap yang lebih menantang. Ingat, Radit. Amanda sedang dalam pengaruh obat sekarang. Apa kau tega merenggut pertahanannya dengan cara menyakitkan? Begitulah yang ada di kepala pria itu.&
Radit menggeleng lemah. Lantas kemudian menatap netra kecokelatan sang istri yang sudah penuh dengan air mata. Tangannya dengan cepat menyambar jemari yang bahkan masih menyisakan jejak keriput malam tadi. “Kau salah paham, Manda. Aku enggak pernah memandangmu begitu.” Amanda malah terbahak. “Aku hanya gadis tua yang tidak menarik. Usia kita terpaut hampir sepuluh tahun. Jelas bukan seleramu.” “Kata siapa?” sergah Radit cepat. Pria itu buru-buru menjauhkan nampan beserta meja beroda yang ada di sisi ranjang. Mendudukkan diri di sana tanpa melepaskan kontak mata yang tercipta di antara mereka. CUP! Satu kecupan singkat mendarat sempurna di bibir Amanda yang terlihat pucat. Gadis itu kemudian merabanya dengan gerakan pelan. Apa dia barusan bermimpi? Mulutnya hendak terbuka untuk bertanya maksud perlakuan tadi. Namun, niatan tersebut urung lantaran Radit memajukan tubuhnya lagi. Hingga kini jarak keduanya hanya sekitar dua jengkal saja. “A-pa maumu?” tanya Amanda yang mendadak
Radit tahu bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Yang Kuasa. Namun, entah mengapa sulit sekali menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Sungguh pengalaman pamit saat menyambut kelahiran Ayra dulu masih membekas jelas di dalam ingatannya. “Kalau Bapak mau ke luar dari sini silakan. Operasi akan segera dimulai,” kata seorang perawat kemudian. Tidak. Radit tak akan mau meninggalkan Amanda yang sedang berjuang melahirkan para buah cinta mereka. Pria itu bangkit lalu berjalan perlahan ke sisi sang istri. Kini kedua mata mereka saling bertemu pandang seolah sedang berbicara dari hati ke hati. Operasi pun dimulai. Efek anastesi mulai berjalan sehingga Amanda tak lagi bisa merasakan sayatan demi sayatan yang perlahan mulai membuka kulit perutnya. Sementara Radit terus melantunkan do’a di dalam kalbu. Memohon pada Tuhan agar orang-orang yang dicintainya selamat dan tidak kekurangan sesuatu apapun. “Aku mencintaimu, Sayang.” Amanda mengatakann
Tadinya Radit yang sudah terserang bucin akut pada Amanda sangat khawatir begitu melihat orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Namun, rasa cemas pun perlahan sirna usai menyaksikan sendiri betapa wanitanya tidak lagi ingin menghindar.“Nama anak cantiknya siapa?” tanya Amanda sambil tersenyum. Bayi perempuan usia satu tahunan yang ada di pangkuan mamanya itu menggeliat kecil. Lantas tersenyum malu dan tampak salah tingkah.“Nama aku Aulia, Tante.” Adalah Tisa selaku sang mama yang menjawab pertanyaan barusan. Tak lama kemudian Amanda mengulurkan tangannya dan disambut dengan kecupan oleh si bayi. Membuat Ayra yang tadi duduk anteng di baby chair-nya mendadak berontak. Kelakuan calon kakak dari anak-anak kembar Amanda tersebut menjadi perhatian para orang dewasa di sekitarnya.“Ni Mama Aia!!” pekik Ayra dengan mata yang sudah melirik sinis. Dia bahkan menggeleng saat Radit hendak memperkenalkannya pada putri Tisa dan Andre itu.“Ya ampun!
“Sayang, masih lama?” Radit yang sedang mengemudi menoleh sekilas ke arah istrinya lalu menjawab, “Sebentar lagi kita akan sampai. Sabar ya, Sayang.” Amanda mengangguk. Wanita cantik itu tersenyum manis walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup sejak mereka meninggalkan rumah tadi. Hingga hampir setengah jam kemudian mobil yang dikendarai Radit pun berhenti. Pria itu bergegas membuka sabuk pengaman dirinya dan sang istri. “Apa aku boleh buka penutup matanya?” tanya Amanda yang sudah tak sabaran. “Jangan dulu,” jawab Radit yang seketika menggenggam erat tangannya. “Kita melangkah perlahan agar kau tak tersandung. Hati-hati.” Amanda bergumam pelan seraya menganggukkan kepala. Dia terus melangkah sesuai tuntunan sang suami hingga berhenti beberapa saat kemudian. “Apa sudah bisa dimulai, Pak?” tanya seseorang yang berdiri di kejauhan. Radit mengangguk. Pria itu kemudian mengambil posisi di belakang sang istri lalu membuka ikatan penutup mata tadi. “Silakan, Sayang.” Kini k
Satu harian ini Amanda jadi misuh-misuh sendiri di dalam kamar. Wanita cantik tersebut hanya keluar untuk mengisi perut atau sesekali melihat keadaan Ayra. Tentu saja dia masih kesal karena sang suami pergi tanpa mau mengajaknya. Padahal apa yang dikatakan Radit tadi ada benarnya. Dia mungkin akan kelelahan karena aktifitas mereka yang sangat padat hingga malam hari. Meskipun begitu, tetap saja hati kecil Amanda tidak terima. Jadilah dia cemberut sekarang.TOK TOK!!“Masuk aja. Enggak dikunci kok,” kata Amanda yang mematut diri di depan cermin. Beberapa detik kemudian Bu Ningsih muncul sembari menggendong Ayra yang sudah terlelap. Ibu mertuanya itu masuk lalu merebahkan sang cucu di atas ranjang.“Ibu dan Tiara mau keluar ya. Ayra samamu dulu.”Amanda langsung manyun. Kenapa mereka juga tak mau mengajaknya? Atau paling tidak berbasa-basi. “Kalian mau ke mana, Bu?”“Si Tiara minta ditemenin ke supermarket. Beli buah-buahan katanya,” jawab Bu Ni
“Jangan mancing-mancing.” Amanda menjauhkan kepalanya dari Radit lalu melirik sebal pria yang sudah mengulum senyum itu. Tentulah ia tahu apa maksud dari serangan kecil barusan. “Boleh aku bicara jujur?” Radit masih saja mengeluarkan jurus jitunya. Apalagi kalau bukan menggoda Amanda. “Apa?” “Kau semakin cantik dan seksi,” bisik Radit sembari mendekatkan tubuh mereka kembali. “Semuanya padat dan berisi.” “Berhentilah membual,” desis Amanda saat tangan nakal itu sudah mulai menjalar ke mana-mana. “Ini masih pagi dan situasinya enggak tepat.” Namun, Radit yang sudah terbakar gairah sepertinya tidak peduli. Dia malah semakin bersemangat untuk menggempur tubuh sang istri. Pertarungan di atas ranjang pun menggantikan olahraga paginya kali ini. Bunyi kecipak dan ayunan lembut yang mereka ciptakan sendiri menjadi suara yang begitu memabukkan. Bahkan ketika ledakan cinta didapat, keduanya masih ingin menggapai momen itu kembali. Sayangnya gagal karena pintu kamar sudah terbuka seba
Amanda refleks melebarkan kelopak matanya saat merasakan nyeri di bagian perut. Begitu juga dengan Radit yang baru menyadari sang putri sudah terbangun."Mama Aia!!""Iya, Sayang. Kenapa malah mukul tangan papa sih? Perut mama juga kena jadinya." Radit mengomel sembari melihat ke arah istrinya."Enggak pa-pa," ucap Amanda yang kemudian mendudukkan diri. Lantas dia tersenyum pada Ayra yang sudah cemberut. "Anak mama kenapa ya kok main pukul-pukul lagi? Katanya sayang sama papa juga, kenapa begitu, hmm?""Mama Aia!!"Gadis kecil itu malah menatap tajam sang papa. Seolah memberitahu bahwa Amanda hanya miliknya saja. Sementara kini Radit hanya menjadi pendengar kedua ibu dan anak tersebut yang mulai berbicara.Kini dengan suara lembutnya Amanda menjelaskan bahwa sikap Ayra barusan salah. Tak ada nada bicara meninggi ataupun rasa kesal yang tertangkap di wajah istri cantiknya tersebut. Membuat Radit semakin kagum pada wanitanya itu."Lain kali ngomongnya baik-baik ya, Sayang," kata Amanda
“Kau ini kenapa sih?? Istri lagi hamil kok malah dibuat stress. Maumu apa, hah??” Radit menggeleng pelan dengan kepala yang sudah tertunduk. Tak berani menatap wajah sang ibu yang sedang mengomel itu. Sementara Mama Tiara hanya diam sembari memandang keduanya secara bergantian.“Aku hanya mencemaskannya,” kata Radit dengan suara lirih. “Aku enggak pernah menyangka jika Manda hamil anak kembar. Itu sangat berisiko.” Ya. Bukannya Radit tidak bahagia, tetapi rasa khawatir yang ada pada dirinya melebihi apapun saat ini. Sungguh kepingan memori buruk perihal wafatnya sang istri terdahulu mulai menari-nari di dalam kepala.Melihat wajah gelisah itu, Bu Ningsih berdecak pelan lalu menarik kursi hingga dia dan Radit kini saling berhadapan. Satu tangannya menyentuh pundak anak semata wayangnya tersebut.“Relakan apa yang sudah terjadi. Ibu tahu kalau kau takut Manda mengalami kejadian serupa seperti yang lalu bukan?” tanyanya yang membuat Radit lekas mengiyakan. “Se
“Dokter ‘kan enggak cuma satu aja. Ada banyak pilihan dan menurutku … ini yang terbaik. Dia juga lebih pro ke persalinan normal.” Radit mengatakannya sambil tersenyum. Tidak lagi marah karena pembicaraan tentang Dinda kembali menjadi topik mereka walaupun memang bukan disengaja.“Ya sudah kalau gitu,” kata Amanda kemudian.“Atau kau sudah punya pilihan dokter sendiri, hem?” tanya Radit sembari memelankan laju kendaraannya.Amanda menggeleng cepat sebagai jawaban. “Aku ‘kan sudah lama sekali enggak balik ke sini. Jadi ya terserah kau saja kita mau ke mana.”“Siapa tahu ada saran dari teman atau rekan di sosial media,” gumam Radit.“Enggak sih. Temanku dulu cuma Tisa dan sekarang malas rasanya dekat sama siapapun juga. Lagian sudah ada suami dan anak-anak. Cukup kok buatku.” Keterangan barusan membuat Radit semakin menyadari bahwa wanita di sampingnya ini memang introvert sedari lama. Dulu saat dia sedang bersama mendiang Dinda pun, Amanda terlihat acuh tak a
Ada yang janggal. Itulah yang disimpulkan Amanda sekarang. Dia tak bisa bertanya pada Radit lantaran suasana tidak mendukung. Terlebih lagi Ayra mulai merengek lantaran ingin sekali berada di pangkuannya.“Ya udah iya. Sebentar ya, Sayang,” kata Radit pada sang putri. Dia pun mulai menepikan kendaraan lantas ke luar dari mobil.“Mu mama!!”Ayra sudah tak sabaran. Tangan dan kakinya yang sibuk meronta-ronta. Membuat Mama Tiara yang memangku jadi sedikit kewalahan. Hingga beberapa detik gadis kecil itu tersenyum saat sang papa sudah mengambil alih dan meletakkan tubuhnya di tempat yang ia inginkan.“Gimana, Sayang? Udah nyaman?” tanya Radit setelah memundurkan tempat duduk Amanda. Menyisakan jarak yang sedikit jauh agar kedua kaki istri cantiknya bisa bergerak dengan lebih leluasa.“Sudah,” jawab Amanda sekenanya. Barulah Radit kembali melajukan mobil seperti sedia kala. Sementara Ayra sudah tampak kegirangan karena berada di pangkuan mamanya.“Ana, Ma?”“Iya