Gerah. Amanda merasakan tubuhnya yang mulai memanas secara perlahan. Gadis itu tak nyaman. Gelisah pun menyambangi dirinya sekarang. Benar-benar aneh.“Andre? Apa yang kamu lakukan?” tanya Amanda yang sudah bergerak bagai cacing kepanasan. Bukannya menjawab pertanyaan tadi, Andre malah menyeringai kecil. Dia bahkan terbahak lalu mendekati Amanda sambil tersenyum.“Gimana, Sayang? Obatnya udah mulai bereaksi?”“O-obat?” Amanda menggeleng dengan tubuh yang semakin terasa tak nyaman. Dia mengepalkan tangannya sendiri untuk bertahan sekuat tenaga. “Kamu masukin sesuatu ke dalam minuman aku?”“Maaf, Manda Sayang. Aku terpaksa,” jawab Andre kemudian. “Kamu itu milikku. Jadi walaupun kamu sudah jadi istri orang, tetap saja aku tak rela
“Sa …kit.” Amanda merengek saat Radit tengah menyentuh bagian intinya dengan dua jari. Memastikan bahwa gadis itu masih utuh belum pernah tersentuh lebih tepatnya. Sungguh penemuan yang mencengangkan. Membuat pria itu pusing bukan main. Dugaannya tidak meleset. Bagaimana tidak. Di kala peperangan sudah hampir dimulai ternyata sang lawan dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Sebagai orang lelaki sejati yang masih punya hati nurani dia mana tega untuk meneruskan ke tahap yang lebih menantang. Ingat, Radit. Amanda sedang dalam pengaruh obat sekarang. Apa kau tega merenggut pertahanannya dengan cara menyakitkan? Begitulah yang ada di kepala pria itu.&
Radit menggeleng lemah. Lantas kemudian menatap netra kecokelatan sang istri yang sudah penuh dengan air mata. Tangannya dengan cepat menyambar jemari yang bahkan masih menyisakan jejak keriput malam tadi. “Kau salah paham, Manda. Aku enggak pernah memandangmu begitu.” Amanda malah terbahak. “Aku hanya gadis tua yang tidak menarik. Usia kita terpaut hampir sepuluh tahun. Jelas bukan seleramu.” “Kata siapa?” sergah Radit cepat. Pria itu buru-buru menjauhkan nampan beserta meja beroda yang ada di sisi ranjang. Mendudukkan diri di sana tanpa melepaskan kontak mata yang tercipta di antara mereka. CUP! Satu kecupan singkat mendarat sempurna di bibir Amanda yang terlihat pucat. Gadis itu kemudian merabanya dengan gerakan pelan. Apa dia barusan bermimpi? Mulutnya hendak terbuka untuk bertanya maksud perlakuan tadi. Namun, niatan tersebut urung lantaran Radit memajukan tubuhnya lagi. Hingga kini jarak keduanya hanya sekitar dua jengkal saja. “A-pa maumu?” tanya Amanda yang mendadak
Radit tak peduli dengan segala tudingan yang dilontarkan oleh sang istri. Pria itu masih meringis karena serangan mendadak yang barusan ia terima. Kedua tangannya kini masih mengipasi benda pusaka di dalam celana yang terancam punah.“Kau sengaja ‘kan mau ambil kesempatan, hah?” omel Amanda di sela-sela kemarahannya.Radit menggeleng setelah mendudukkan diri di atas ranjang. “Ya ampun! Lihatlah dirimu sekarang! Kau masih baik-baik saja ‘kan? Aku hanya meletakkan obat sakit kepala di dalam gelasmu tadi.”“Bohong!”“Terserah kalau tak percaya,” dengkus Radit yang kemudian merebahkan dirinya. Hingga beberapa menit ke depan pasangan suami istri itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Amanda tengah berbaring miring dengan tatapan awasnya,
“Loh loh! Kalian kenapa sih? Pulang-pulang wajahnya pada ditekuk begitu.” Amanda hanya menggeleng pelan sebagai respon atas pertanyaan papanya barusan. Dia lantas menyapa Ayra yang sedang merengek di pangkuan Mama Tiara. Sementara sang suami mendudukka diri di atas sofa.“Tuh! Mama dan papa udah pulang,” ucap Mama Tiara pada cucunya. Suara rengekan tadi langsung mereda begitu melihat kedatangan Amanda. Benar saja. Ayra lekas merangkak menghampiri mama sambungnya itu.“Nguh!!” celoteh Ayra sambil melirik tajam sang mama. Mulutnya kemudian terbuka lebar seolah menunjukkan sesuatu.“Eh eh? Anak mama tumbuh lagi giginya ya?” kekeh Amanda yang segera mengecup gemas area wajah Ayra. “Selamat ya, Sayang. Makannya makin pinter nih.”
Pagi-pagi sekali Radit sudah tampak rapi. Membuat para penghuni di ruang makan menoleh padanya dengan cepat.“Aku akan mewakili monthly meeting yang seharusnya dihadiri oleh Pak Dekan,” terang Radit kemudian. “Mungkin pulangnya malam hari karena ada agenda jamuan makan dan perayaan juga di sana.”“Bisalah ngajakin Manda,” celetuk Mama Tiara mengusulkan. Radit sudah hampir menganggukkan kepala. Namun, istrinya lebih dulu menggeleng cepat.“Enggak bisa, Ma. Ayra masih rewel karena habis jatuh kemarin itu. Kasihan kalau ditinggal. Lagipula hari ini Mama harus nemenin Papa ke rumah sakit lagi ‘kan untuk jadwal kontrol?”“Iya juga ya,” kata Mama Tiara membenarkan ucapan Amanda barusan. “Memangnya enggak bisa bawa anak kecil ke
“A-aku …hmmph.” Amanda tak bisa melanjutkan kalimat barusan karena sentuhan ringan Radit pada bibir ranumnya. Dalam sekejap mereka saling berpagutan dengan pandangan yang tertuju pada netra masing-masing. Berusaha menyelami perasaan yang masih diragukan untuk saat ini. Sebagai seorang pria yang berpengalaman, jelas Radit mampu memimpin permainan. Memadukan cumbu rayu hingga wanitanya mabuk kepayang. Terbukti kini Amanda tergeletak pasrah bersiap menerima segala sentuhan yang akan ia berikan.“Aku menginginkanmu, Manda. Kau istriku,” racau Radit di sela-sela penyatuan mereka.“Sssh. Hmmph.”Amanda sempat merapatkan kedua pahanya karena nyeri luar biasa akibat gesekan tubuh mereka. Sementara Radit dengan sabar menanti sampai istrinya itu siap untuk perm
Hari ini Radit bertindak siaga untuk merawat penuh putrinya. Semua ia lakukan dengan sepenuh hati karena Amanda sedang tidak enak badan. Apalagi sudah jelas hal tersebut murni karena dirinya. Mama Tiara dan Tuan Yuda pun tak henti mengulum senyum melihat kelakuan menantunya itu. Terlebih saat menyuapi Ayra makan.“Cie yang merasa tanggungjawab nih,” kekeh Tuan Yuda. “Udah mau jam dua siang, tapi anakmu belum juga selesai drama makannya.”Radit mengangguk setengah frustrasi. “Ternyata sesusah ini ya bujuk Ayra makan.”“Tapi kau tidak menyesal ‘kan? Apalagi sudah mendapatkan jatah dari mamanya satu malaman penuh,” goda sang papa yang disambut dengan senyum malu-malu Radit.&nbs