Radit tak peduli dengan segala tudingan yang dilontarkan oleh sang istri. Pria itu masih meringis karena serangan mendadak yang barusan ia terima. Kedua tangannya kini masih mengipasi benda pusaka di dalam celana yang terancam punah.“Kau sengaja ‘kan mau ambil kesempatan, hah?” omel Amanda di sela-sela kemarahannya.Radit menggeleng setelah mendudukkan diri di atas ranjang. “Ya ampun! Lihatlah dirimu sekarang! Kau masih baik-baik saja ‘kan? Aku hanya meletakkan obat sakit kepala di dalam gelasmu tadi.”“Bohong!”“Terserah kalau tak percaya,” dengkus Radit yang kemudian merebahkan dirinya. Hingga beberapa menit ke depan pasangan suami istri itu sibuk dengan pikiran masing-masing. Amanda tengah berbaring miring dengan tatapan awasnya,
“Loh loh! Kalian kenapa sih? Pulang-pulang wajahnya pada ditekuk begitu.” Amanda hanya menggeleng pelan sebagai respon atas pertanyaan papanya barusan. Dia lantas menyapa Ayra yang sedang merengek di pangkuan Mama Tiara. Sementara sang suami mendudukka diri di atas sofa.“Tuh! Mama dan papa udah pulang,” ucap Mama Tiara pada cucunya. Suara rengekan tadi langsung mereda begitu melihat kedatangan Amanda. Benar saja. Ayra lekas merangkak menghampiri mama sambungnya itu.“Nguh!!” celoteh Ayra sambil melirik tajam sang mama. Mulutnya kemudian terbuka lebar seolah menunjukkan sesuatu.“Eh eh? Anak mama tumbuh lagi giginya ya?” kekeh Amanda yang segera mengecup gemas area wajah Ayra. “Selamat ya, Sayang. Makannya makin pinter nih.”
Pagi-pagi sekali Radit sudah tampak rapi. Membuat para penghuni di ruang makan menoleh padanya dengan cepat.“Aku akan mewakili monthly meeting yang seharusnya dihadiri oleh Pak Dekan,” terang Radit kemudian. “Mungkin pulangnya malam hari karena ada agenda jamuan makan dan perayaan juga di sana.”“Bisalah ngajakin Manda,” celetuk Mama Tiara mengusulkan. Radit sudah hampir menganggukkan kepala. Namun, istrinya lebih dulu menggeleng cepat.“Enggak bisa, Ma. Ayra masih rewel karena habis jatuh kemarin itu. Kasihan kalau ditinggal. Lagipula hari ini Mama harus nemenin Papa ke rumah sakit lagi ‘kan untuk jadwal kontrol?”“Iya juga ya,” kata Mama Tiara membenarkan ucapan Amanda barusan. “Memangnya enggak bisa bawa anak kecil ke
“A-aku …hmmph.” Amanda tak bisa melanjutkan kalimat barusan karena sentuhan ringan Radit pada bibir ranumnya. Dalam sekejap mereka saling berpagutan dengan pandangan yang tertuju pada netra masing-masing. Berusaha menyelami perasaan yang masih diragukan untuk saat ini. Sebagai seorang pria yang berpengalaman, jelas Radit mampu memimpin permainan. Memadukan cumbu rayu hingga wanitanya mabuk kepayang. Terbukti kini Amanda tergeletak pasrah bersiap menerima segala sentuhan yang akan ia berikan.“Aku menginginkanmu, Manda. Kau istriku,” racau Radit di sela-sela penyatuan mereka.“Sssh. Hmmph.”Amanda sempat merapatkan kedua pahanya karena nyeri luar biasa akibat gesekan tubuh mereka. Sementara Radit dengan sabar menanti sampai istrinya itu siap untuk perm
Hari ini Radit bertindak siaga untuk merawat penuh putrinya. Semua ia lakukan dengan sepenuh hati karena Amanda sedang tidak enak badan. Apalagi sudah jelas hal tersebut murni karena dirinya. Mama Tiara dan Tuan Yuda pun tak henti mengulum senyum melihat kelakuan menantunya itu. Terlebih saat menyuapi Ayra makan.“Cie yang merasa tanggungjawab nih,” kekeh Tuan Yuda. “Udah mau jam dua siang, tapi anakmu belum juga selesai drama makannya.”Radit mengangguk setengah frustrasi. “Ternyata sesusah ini ya bujuk Ayra makan.”“Tapi kau tidak menyesal ‘kan? Apalagi sudah mendapatkan jatah dari mamanya satu malaman penuh,” goda sang papa yang disambut dengan senyum malu-malu Radit.&nbs
Apa Radit pernah menyatakan cinta? Seingatnya tidak. Amanda kembali meletakkan memorinya pada beberapa hari yang lalu. Mulai menyelami apa yang sudah terjadi. Ya. Radit hanya mengatakan kalau ia menginginkan sang istri. Lebih tepatnya barangkali cuma tubuhnya saja ‘kan? Amanda tersenyum miris. Terlebih saat memandangi foto wajah mendiang adiknya yang masih menjadi wallpaper di ponsel Radit. Kalau ada yang bertanya apakah dia cemburu? Tentu saja. Tak peduli walaupun sekarang orang tersebut telah tiada. Gerakan pelan Radit yang menyenggol pahanya membuat wanita itu menoleh perlahan. Masih dalam keadaan terpejam sang suami bergumam, “Apa suara
“Lupakan.”“Enggak,” tolak Radit cepat. “Apa katamu tadi?”“Ck. Aku hanya bertanya. Apa kau merindukan Dinda? Itu saja.”“Kenapa kau bisa bertanya begitu?” Radit malah balik bertanya. Menyebalkan sekali.“Kenapa memangnya? Aku hanya ingin tahu. Kau tadi menyebutkan namanya waktu tidur.” Radit buru-buru mendudukkan diri. Jantungnya berdentum hebat usai mendengar penuturan Amanda. Ya ampun! Kenapa bisa jadi seperti ini?“Maaf,” kata Radit kemudian. Tangannya lekas meremas jemari Amanda dengan lembut. “A-aku enggak ngerti juga kenapa. Tolong … jangan salah paham ya.” Tadinya ia pikir Amanda akan berang sejadi-jadinya. Namun, wanita cantik itu malah menggeleng pelan sambil tersenyum
Amanda masih sibuk menenangkan Ayra yang menangis di dalam gendongannya. Bayi perempuan itu seolah memahami apa yang sedang terjadi. Terlebih saat mendengar suara ambulans yang memekakkan telinga satu jam yang lalu.“Maaf ya, Sayang. Mama udah buat Ayra ketakutan,” kata Amanda di tengah-tengah rasa gelisah yang masih melanda. “Mama juga lagi sedih sekarang.” Mungkin karena kelelahan akibat menangis, jadilah Ayra diam sendiri. Terlebih saat menerima sodoran botol susu yang membuat fokusnya teralihkan. Hingga tak lama kemudian ponselnya berdering. Sayangnya bukan dari orang yang ia tunggu-tunggu.[“Hallo, Manda!”]“Papa masuk rumah sakit,” adu Amanda begitu mendengar sapaan dari suaminya di seberang sana. “Aku enggak bisa ngapa-ngapain sekarang. Ayr