“Lupakan.”
“Enggak,” tolak Radit cepat. “Apa katamu tadi?”
“Ck. Aku hanya bertanya. Apa kau merindukan Dinda? Itu saja.”
“Kenapa kau bisa bertanya begitu?” Radit malah balik bertanya. Menyebalkan sekali.
“Kenapa memangnya? Aku hanya ingin tahu. Kau tadi menyebutkan namanya waktu tidur.”
Radit buru-buru mendudukkan diri. Jantungnya berdentum hebat usai mendengar penuturan Amanda. Ya ampun! Kenapa bisa jadi seperti ini?
“Maaf,” kata Radit kemudian. Tangannya lekas meremas jemari Amanda dengan lembut. “A-aku enggak ngerti juga kenapa. Tolong … jangan salah paham ya.”
Tadinya ia pikir Amanda akan berang sejadi-jadinya. Namun, wanita cantik itu malah menggeleng pelan sambil tersenyum
Amanda masih sibuk menenangkan Ayra yang menangis di dalam gendongannya. Bayi perempuan itu seolah memahami apa yang sedang terjadi. Terlebih saat mendengar suara ambulans yang memekakkan telinga satu jam yang lalu.“Maaf ya, Sayang. Mama udah buat Ayra ketakutan,” kata Amanda di tengah-tengah rasa gelisah yang masih melanda. “Mama juga lagi sedih sekarang.” Mungkin karena kelelahan akibat menangis, jadilah Ayra diam sendiri. Terlebih saat menerima sodoran botol susu yang membuat fokusnya teralihkan. Hingga tak lama kemudian ponselnya berdering. Sayangnya bukan dari orang yang ia tunggu-tunggu.[“Hallo, Manda!”]“Papa masuk rumah sakit,” adu Amanda begitu mendengar sapaan dari suaminya di seberang sana. “Aku enggak bisa ngapa-ngapain sekarang. Ayr
Lagi-lagi Radit mengiyakan pesan yang disampaikan oleh mertuanya itu. Meskipun tidak dikatakan pun, jauh di lubuk hatinya benar-benar berniat ingin bersama Amanda. Sekarang sebagai seorang suami ia akan berusaha meyakinkan sang istri untuk tetap mempertahankan pernikahan mereka.“Manda,” panggil Radit yang baru saja tiba di dapur.Mama Tiara yang tengah menyiapkan makan malam di sana menoleh sambil tersenyum ramah. Lantas dia menyikut pelan lengan Amanda yang masih sibuk berkutat dengan oven. Barulah wanita cantik itu menyadari siapa yang datang.“Sudah mau pulang?”“Hush! Kok malah nanya begitu sih?” Mama Tiara yang langsung protes mendengar pertanyaannya barusan. “Radit itu udah nungguin dirimu dari tadi, Sayang.”Amanda mengangguk singkat. “Sebentar lagi biscuit Ayra mateng. Kau lihat dia saja dulu.”&
“Radit kenapa, Sayang? Kok buru-buru begitu.”Amanda menggeleng lemah. “Ada yang urgent mungkin.”“Padahal mama udah bela-belain masakin dia pepes ikan loh,” kata Mama Tiara yang tampak kecewa. “Ya udahlah. Nanti mama suruh satpam aja anterin ke rumah kalian.” Kalau saja Ayra bisa ditinggal, sudah pasti Amanda akan menyusul suaminya itu. Jadilah sekarang hanya bisa pasrah dengan hati yang gelisah.“Hek hek!” Ayra merengek manja. Menunjukkan giginya yang tumbuh lagi di usia sepuluh bulan tepat hari ini.“Sabar ya, Sayang.” Amanda memeluk erat putrinya yang mulai menangis. Bahkan hampir setengah jam lamanya ia sibuk membujuk dan menggendong tubuh gempal tersebut.“Mamam!”“Laper ya? Uda
Setelah memastikan Radit sudah dirawat dan diberikan obat oleh menantunya, barulah Bu Ningsih membuka mulut lagi. Kesabarannya yang setipis kulit bawang membuat perempuan paruh baya itu tak mau dihantui rasa penasaran dalam keadaan lama.“Jadi kau kenapa?”Radit meringis kemudian menggeleng lemah. “Cuma salah tindakan sasaran saja, Bu.”“Halah! Kau mau bohong??” Bu Ningsih pun menaikkan nada bicaranya. Tak peduli jika sang anak sudah dewasa. Baginya tetap saja harus diomeli panjang lebar agar mengaku. “Jujur sajalah!”“Iya, Bu. Cuma salah paham. Udah ya. Aku lagi kesakitan gini. Masa Ibu masih tega juga sih?” katanya dengan wajah memelas.“Ya sudahlah.” Pada akhirnya sang ibu mengalah. “Malam ini biar ibu yang jagain Ayra.” Bu Ningsih kemudian bergegas pergi meninggalkan pasangan suami istri itu. Kini Amanda menatap suaminya dengan perasaa iba. Lidahnya tak mau bertanya hal serupa lantaran kondisi yang tak memungkinkan.“Kenapa tidak bilang kalau mau pulang
“Jangan percaya ucapan mereka.” Amanda masih membisu. Otaknya kembali mencerna perkataan dua orang wanita yang berada di ruangan rawat inap tadi. Hingga sentuhan pelan di punggung tangannya membuat ia menoleh pelan. “Aku juga enggak tahu harus merespon bagaimana,” ucapnya sambil tersenyum miris. “Kalian bahkan sering jalan bersama.” “Syakila itu asisten aku di kampus. Tolong jangan salah paham,” jelas Radit kemudian. “Pasti Arini yang sudah mengatakan masalah ini padamu. Iya ‘kan?” “Enggak penting aku tahu dari mana. Lebih baik kau bertanggung jawab!” tukas Amanda dengan suara serak menelan rasa kecewa yang kembali mengisi hati. “Bukan aku yang melakukan pelecehan itu, Manda,” kata Radit yang mulai frustrasi. “Aku hanya masuk ke kamar hotel setelah membaca pesan dari nomor asing. Setelahnya aku melihat Syakila yang sudah tanpa …ahh.” Radit menggeram karena keadaan yang semakin kacau. Niat hati menyembunyikan masalah ini dari sang istri. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Am
Radit langsung mengatupkan bibirnya saat melihat sang ibu membelalakkan mata. Merasa menyesal karena telah membentak orangtua yang ia miliki satu-satunya tersebut.“Maaf, Bu,” kata Radit kemudian.Bu Ningsih pun mulai terisak. Merasa kecewa karena perlakuan putra semata wayang barusan. “Kau sudah berani kasar pada ibu sekarang.”“Enggak gitu maksudnya, Bu. Aku enggak sengaja. Maaf ya, Bu. Aku dan Manda barusan pulang dari kantor polisi. Hari ini sangat melelahkan. Jadi tolong pengertian Ibu.” Setelahnya Radit bergegas menuju kamar. Tak mau sampai salah bicara lagi yang dikhawatirkan akan menyakiti ibunya. Jadilah Amanda yang membujuk sang mertua setelah mengantarkan Arini ke depan gerbang rumah.“Aku juga baru tahu tadi, Bu,” aku Amanda akhirnya. “Kami enggak ada maksud nutupin semuanya dari Ibu. Benar yang dibilang Radit. Jadi yang kami butuhkan hanya do’a saja.”Perempuan paruh baya itu mengangguk pasrah. Tangannya kemudian mengusap lembut pundak sang men
“Kenapa??” Pertanyaan barusan direspon Radit dengan gelengan kepala. Detik selanjutnya pria itu mengupingi gawai untuk memastikan sesuatu. Tak pelak sang ibu memberi kode agar panggilan tersebut beralih menjadi mode pengeras suara.[“Halo!”][“Ada apa, Ma?”][“Papa … sudah pergi. Dia meninggal.”]“Innalillahi wa inna ilaihi roo’jiuun.” Suara Bu Ningsih sempat naik satu oktaf hingga kemudian perempuan paruh baya itu menutup sendiri mulutnya. Terkejut dengan berita barusan. Setelahnya Radit menurunkan ponsel dan terdiam sejenak. Lantas menatap wajah Bu Ningsih yang sudah berubah sendu. Jelas kabar duka ini akan menghantam jiwa seorang perempuan yang tengah terlelap di dalam sana.“Bicara yang pelan ya, Dit,” kata ibunya. “Manda pasti sangat terpukul. Biarin Ayra ibu yang ngurusin dulu.”“Iya, Bu.” Radit mengangguk samar. Dia lantas berdiri lalu berjalan menuju kamar Ayra.CKLEK!! Pintu kamar itu terbuka perlahan. Menampakkan wajah cantik Amanda
Tidak salah lagi. Orang itulah yang sudah menganggu ketenangan keluarga mereka.“Arini??” ucap Radit setelah melihat nomor kontak yang diserahkan istrinya barusan. “Mau apalagi dia?”Amanda yang kembali terisak menatap nyalang Radit. “Pasti dia yang udah cerita semuanya sama papa. Makanya papa kaget dan kena serangan jantung.”“Cerita apa maksudmu, Manda?” Mama Tiara yang sempat terdiam menoleh cepat pada keduanya sekarang. Menanti apa yang akan dijelaskan oleh pasangan suami istri itu. Hingga setelah Radit menjelaskan secara gamblang barulah Mama Tiara mengembuskan napas kasar. Menyesal juga tidak akan berguna. Toh suaminya sudah terkubur di dalam tanah sana.“Maaf, Ma,” ucap Radit dengan segudang penyesalan yang lagi-lagi ia rasakan.“Susah payah mama mengupayakan kesehatan papa, tapi pada akhirnya dirusak oleh menantu sendiri.” Mama Tiara terduduk lemas di atas kursi taman. Tak mau lagi bersuara setelah lengannya diusap pelan oleh Amanda. K