“Jangan percaya ucapan mereka.” Amanda masih membisu. Otaknya kembali mencerna perkataan dua orang wanita yang berada di ruangan rawat inap tadi. Hingga sentuhan pelan di punggung tangannya membuat ia menoleh pelan. “Aku juga enggak tahu harus merespon bagaimana,” ucapnya sambil tersenyum miris. “Kalian bahkan sering jalan bersama.” “Syakila itu asisten aku di kampus. Tolong jangan salah paham,” jelas Radit kemudian. “Pasti Arini yang sudah mengatakan masalah ini padamu. Iya ‘kan?” “Enggak penting aku tahu dari mana. Lebih baik kau bertanggung jawab!” tukas Amanda dengan suara serak menelan rasa kecewa yang kembali mengisi hati. “Bukan aku yang melakukan pelecehan itu, Manda,” kata Radit yang mulai frustrasi. “Aku hanya masuk ke kamar hotel setelah membaca pesan dari nomor asing. Setelahnya aku melihat Syakila yang sudah tanpa …ahh.” Radit menggeram karena keadaan yang semakin kacau. Niat hati menyembunyikan masalah ini dari sang istri. Namun, yang terjadi malah kebalikannya. Am
Radit langsung mengatupkan bibirnya saat melihat sang ibu membelalakkan mata. Merasa menyesal karena telah membentak orangtua yang ia miliki satu-satunya tersebut.“Maaf, Bu,” kata Radit kemudian.Bu Ningsih pun mulai terisak. Merasa kecewa karena perlakuan putra semata wayang barusan. “Kau sudah berani kasar pada ibu sekarang.”“Enggak gitu maksudnya, Bu. Aku enggak sengaja. Maaf ya, Bu. Aku dan Manda barusan pulang dari kantor polisi. Hari ini sangat melelahkan. Jadi tolong pengertian Ibu.” Setelahnya Radit bergegas menuju kamar. Tak mau sampai salah bicara lagi yang dikhawatirkan akan menyakiti ibunya. Jadilah Amanda yang membujuk sang mertua setelah mengantarkan Arini ke depan gerbang rumah.“Aku juga baru tahu tadi, Bu,” aku Amanda akhirnya. “Kami enggak ada maksud nutupin semuanya dari Ibu. Benar yang dibilang Radit. Jadi yang kami butuhkan hanya do’a saja.”Perempuan paruh baya itu mengangguk pasrah. Tangannya kemudian mengusap lembut pundak sang men
“Kenapa??” Pertanyaan barusan direspon Radit dengan gelengan kepala. Detik selanjutnya pria itu mengupingi gawai untuk memastikan sesuatu. Tak pelak sang ibu memberi kode agar panggilan tersebut beralih menjadi mode pengeras suara.[“Halo!”][“Ada apa, Ma?”][“Papa … sudah pergi. Dia meninggal.”]“Innalillahi wa inna ilaihi roo’jiuun.” Suara Bu Ningsih sempat naik satu oktaf hingga kemudian perempuan paruh baya itu menutup sendiri mulutnya. Terkejut dengan berita barusan. Setelahnya Radit menurunkan ponsel dan terdiam sejenak. Lantas menatap wajah Bu Ningsih yang sudah berubah sendu. Jelas kabar duka ini akan menghantam jiwa seorang perempuan yang tengah terlelap di dalam sana.“Bicara yang pelan ya, Dit,” kata ibunya. “Manda pasti sangat terpukul. Biarin Ayra ibu yang ngurusin dulu.”“Iya, Bu.” Radit mengangguk samar. Dia lantas berdiri lalu berjalan menuju kamar Ayra.CKLEK!! Pintu kamar itu terbuka perlahan. Menampakkan wajah cantik Amanda
Tidak salah lagi. Orang itulah yang sudah menganggu ketenangan keluarga mereka.“Arini??” ucap Radit setelah melihat nomor kontak yang diserahkan istrinya barusan. “Mau apalagi dia?”Amanda yang kembali terisak menatap nyalang Radit. “Pasti dia yang udah cerita semuanya sama papa. Makanya papa kaget dan kena serangan jantung.”“Cerita apa maksudmu, Manda?” Mama Tiara yang sempat terdiam menoleh cepat pada keduanya sekarang. Menanti apa yang akan dijelaskan oleh pasangan suami istri itu. Hingga setelah Radit menjelaskan secara gamblang barulah Mama Tiara mengembuskan napas kasar. Menyesal juga tidak akan berguna. Toh suaminya sudah terkubur di dalam tanah sana.“Maaf, Ma,” ucap Radit dengan segudang penyesalan yang lagi-lagi ia rasakan.“Susah payah mama mengupayakan kesehatan papa, tapi pada akhirnya dirusak oleh menantu sendiri.” Mama Tiara terduduk lemas di atas kursi taman. Tak mau lagi bersuara setelah lengannya diusap pelan oleh Amanda. K
Radit langsung membelalakkan matanya usai mendengar perkataan barusan. Kedua alis pria itu saling bertautan dengan dahi yang mulai berkerut dalam.Apa tadi? KUA? Apa Amanda akan menggugat cerai dirinya lagi?“Manda ke KUA?” tanya Radit ingin memastikan gendang telinganya masih bisa berfungsi dengan baik. Anggukan cepat sang ibu membuat ia berdecak pelan. “Kenapa ibu enggak bilang padaku?”“Lah?! Yang tadi apa? Kau ini budeg ya?” Bu Ningsih malah sewot. Radit pun langsung menggeram rendah. Tahu kalau tidak ada gunanya berdebat dengan sang ibu. Pastilah dia akan kalah bagaimanapun juga.“Pak Radit jadi nganterin?” celetuk Bi Asih kemudian. “Kalau enggak biar bibi batalin ngabarin sopirnya Nyonya Mama.”“Jadi,” jawab R
[“Kau … mau apa ke sana?”] “Aku sedang mengurus tanah wakaf. Sesuai dengan yang sempat diamanahkan sama papa waktu itu,” jawab Amanda kemudian. “Kenapa sih kau malah marah?” Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Radit malah mendesah lega. Sekaligus merutuki pikiran buruk yang sempat lewat di dalam kepala tadi. Barulah ia terkesiap saat Amanda berdecak di seberang sana. [“Enggak. Aku mana berhak marah. Oh ya. Aku mau lihat Ayra.”] “Ya sudah. Ayra ‘kan anakmu. Enggak perlu minta ijin!!” Radit hendak membuka mulutnya untuk meminta maaf. Namun, panggilan tadi sudah terputus secara sepihak oleh Amanda. Alhasil dia pun mengangguk-anggukan kepala. Paham pastilah sang istri kesal karena mendengar suara bentakannya beberapa saat lalu. Sayang sekali. Begitu Radit kembali ke rumah besar itu, Ayra tengah terlelap. Barulah ia tahu kalau di jam segini memang sang putri sedang tidur siang. Jelas saja dirinya kecewa. Mau pulang pun per
Sontak Radit mengelus pipinya yang memanas. Memandangi sang pelaku yang sama sekali tak merasa bersalah. Hah. Kalau saja bukan anaknya, maka pria itu akan membuat perhitungan dengan cepat. “Sayang, kenapa papanya malah ditabok sih?” tegur Amanda usai terduduk di lantai dengan posisi memangku Ayra.Bayi polos tersebut malah berceloteh sambil geleng-geleng kepala. “No no no! Ni mmah Yia.” Maksudnya ingin mengatakan kalau Amanda adalah mamanya seorang. Jadi sang papa tidak boleh mendekat. Dia pun memeluk posesif istri Radit tersebut.“Segitunya Ayra sama papa ya?” gemas Radit yang tak kapok juga. Malahan dia sengaja mendekat ke sisi Amanda yang lain. Bersiap hendak menempelkan kepala di bahu kanan sang istri yang kosong.“No!” pekik Ayra yang sudah bersikap galak. “Mamah Yiaa!!”“Iya iya. Mamanya Ayra, tapi ini ‘kan istri papa, Sayang.” Radit terkikik geli. Amanda yang mendengar kedua anak dan papa itu berdebat pun mengembuskan napas kasar. Tak p
“Tentu saja iya. Memangnya apalagi?” sambar Radit cepat. Matanya melotot saat beradu tatap dengan sang istri yang sudah tersenyum tipis. “Aku tidak mau sampai digugat dua kali olehmu.”“Kalau begitu kau saja yang urus perpisahan kita. Bagaimana?”“Ya ampun, Manda!” Radit mengerang frustrasi. “Sudah berapa kali kukatakan bahwa kita tidak usah bercerai. Aku juga sudah membuktikan kalau aku tak bersalah dalam kasus yang menimpa asistenku. Kau mau apalagi, hem?”Amanda malah mengendikkan bahu. “Pernikahan kita ini terlalu berat, Radit. Mendingan diakhiri saja. Lagian dulu kita bertahan karena papa. Sekarang sudah tidak ada yang menghalangi lagi.” Mendengar suara lirih tersebut jelas Radit langsung menggeleng cepat. Sama sekali tidak pernah terbesit di dalam hatinya untuk bercerai dari Amanda. Kenapa istrinya seolah ingin berpisah?“Kenapa kau mengatakan itu, Manda?” tanya Radit kemudian. “Aku ke sini justru ingin mengajakmu dan Ayra pulang ke rumah. Sepertinya Mama Tiara tid