Sontak Radit mengelus pipinya yang memanas. Memandangi sang pelaku yang sama sekali tak merasa bersalah. Hah. Kalau saja bukan anaknya, maka pria itu akan membuat perhitungan dengan cepat. “Sayang, kenapa papanya malah ditabok sih?” tegur Amanda usai terduduk di lantai dengan posisi memangku Ayra.Bayi polos tersebut malah berceloteh sambil geleng-geleng kepala. “No no no! Ni mmah Yia.” Maksudnya ingin mengatakan kalau Amanda adalah mamanya seorang. Jadi sang papa tidak boleh mendekat. Dia pun memeluk posesif istri Radit tersebut.“Segitunya Ayra sama papa ya?” gemas Radit yang tak kapok juga. Malahan dia sengaja mendekat ke sisi Amanda yang lain. Bersiap hendak menempelkan kepala di bahu kanan sang istri yang kosong.“No!” pekik Ayra yang sudah bersikap galak. “Mamah Yiaa!!”“Iya iya. Mamanya Ayra, tapi ini ‘kan istri papa, Sayang.” Radit terkikik geli. Amanda yang mendengar kedua anak dan papa itu berdebat pun mengembuskan napas kasar. Tak p
“Tentu saja iya. Memangnya apalagi?” sambar Radit cepat. Matanya melotot saat beradu tatap dengan sang istri yang sudah tersenyum tipis. “Aku tidak mau sampai digugat dua kali olehmu.”“Kalau begitu kau saja yang urus perpisahan kita. Bagaimana?”“Ya ampun, Manda!” Radit mengerang frustrasi. “Sudah berapa kali kukatakan bahwa kita tidak usah bercerai. Aku juga sudah membuktikan kalau aku tak bersalah dalam kasus yang menimpa asistenku. Kau mau apalagi, hem?”Amanda malah mengendikkan bahu. “Pernikahan kita ini terlalu berat, Radit. Mendingan diakhiri saja. Lagian dulu kita bertahan karena papa. Sekarang sudah tidak ada yang menghalangi lagi.” Mendengar suara lirih tersebut jelas Radit langsung menggeleng cepat. Sama sekali tidak pernah terbesit di dalam hatinya untuk bercerai dari Amanda. Kenapa istrinya seolah ingin berpisah?“Kenapa kau mengatakan itu, Manda?” tanya Radit kemudian. “Aku ke sini justru ingin mengajakmu dan Ayra pulang ke rumah. Sepertinya Mama Tiara tid
Di saat suaminya yang terlihat mulai gelagapan, Amanda malah kembali fokus menata kepingan biscuit di dalam toples. Membiarkan sang mertua untuk berbicara semaunya.“Memangnya Ibu dan Mama Tiara mau nanya apa?” Radit pun tersenyum paksa.Bu Ningsih berdehem sejenak lalu kemudian meletakkan kedua tangannya bersidekap di dada. “Kau selalu mengatakan bahwa Manda ibu yang baik untuk Ayra.”“Memangnya aku salah? Ibu juga berpikiran begitu ‘kan?” tanya Radit balik.“Iyalah, tapi … kau sadar tidak?” Sang ibu lantas menatap sinis padanya. “Di sini status Manda bukan hanya sebagai seorang mama saja. Dia juga istrimu. Kau tak pernah mengatakan kalau dia ini adalah sosok yang benar-benar kau puja.”“Ibu,” tegur Amanda yang mulai menggeleng pelan.“Diam kau, Manda!” ketus mertuany
“Kau kenapa, Dit? Wajahmu kayak enggak dikasih jatah aja.” Suara Sebastian yang menyeletuk dari arah belakang membuat Radit mengembuskan napas kasar. Malas sekali rasanya meladeni ocehan sang teman barusan. Namun, ia tak punya pilihan karena memang pria itulah sosok yang begitu peduli padanya.“Kau kepo sekali,” gerutu Radit saat Sebastian sudah menarik kursi tepat di hadapan mejanya. “Mendingan nikah sana.”Sebastian menggeleng sambil berpangku tangas di atas meja. Bibirnya mengerucut lalu berkata, “Enggak ah. Orang di depanku ini saja kelihatan menderita. Aku malah enggak yakin kalau nikah bisa bikin bahagia.” Jarinya menunjuk tepat pada wajah tampan Radit yang kelihatan layu itu.“Ck. Kau benar memang,” sahut Radit sambil tersenyum kecut. “Tapi ‘kan setiap pernikahan ujiannya enggak sama.”“Aku belum minat. Masih betah digodain sama mahasiswi di sini.” Sebastian pun tergelak sendiri. Setelahnya tak ada pembicaraan lagi karena mereka sama-sama menikmati n
Percuma Radit mengancam dengan cara apapun. Toh sudah satu jam dia di sana masih tak kunjung mendapatkan jawaban juga.“Kami memang beneran enggak tahu, Nak,” kata Mama Tiara yang memandang iba Radit sekarang. “Semenjak meninggalkan rumah ini memang Manda pernah berkunjung untuk melihat Ayra. Terakhir dua minggu yang lalu. Sekarang kami hanya bertukar kabar saja.”“Kalau gitu mana nomor hapenya? Kasih tahu aku, Ma.” Radit mengembuskan napas kasar karena rasa kesal luar bisa saat ini. Mama Tiara pun lekas mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan beberapa nomor asing yang tidak memilik nama di layar benda pipih tersebut. Terakhir ada panggilan yang terjadi tepat di jam delapan pagi. Sayang, tak ada satupun dari yang tertera di sana bisa dihubungi kembali. Membuat Radit berdecak pelan karena kehilangan jejak sang istri.“Sabarlah, Dit. Kau jangan marah-marah begini,” tegur ibunya. “Kasihan Ayra dari tadi nangis karena diabaikan papanya. Lihat tuh! Ana
“Wajar sih kalau Manda butuh waktu sendiri. Apalagi dia sakit hati karena kau menolak untuk merayakan ulang tahun anakmu.” Mendengar kata ulang tahun yang dilontarkan oleh Sebastian, Radit lekas menepuk jidatnya sendiri. Ingatan pria itu kembali pada hari pertama mengucapkan ijab kabul untuk pernikahannya dengan Amanda.“Sial,” desisnya sambil menggeram rendah.“Lah?! Kok sial?” protes Sebastian yang sedang berkutat di depan laptopnya. “Kau menyesali kelahiran anakmu?”“Bukanlah,” ralat Radit cepat. “Aku baru ingat kalau ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Semoga saja tidak terjadi hal buruk juga.”Sebastian pun terkekeh. “Jangan berpikiran jelek begitu. Di hari ulang tahun pernikahan kau dan Dinda dulu kalian dihadiahi kelahiran Ayra. Siapa tahu sekarang Manda hamil.”“Enggak mungkin. Terakhir kali bertemu saja dia sedang haid.” Percakapan mereka terjeda usai Sebastian menunjuk sesuatu di layar laptopnya. Seketika Radit pun mengerutkan dahi.
Di belakang mejanya kini Radit masih senyam-senyum sendiri. Sama sekali tak mempedulikan hal yang terjadi di sekitar. Bahkan kedatangan Sebastian pun tidak disadari oleh pria itu.“Woi woi!!” Suara barusan membuat Radit buru-buru meletakkan ponselnya di atas meja. Wajahnya masih sumringah usai menatap kedatangan sang teman.“Kau bikin kaget saja,” kata Radit sambil mendengkus pelan. “Bagaimana? Bisa tidak kau menemaniku? Ayolah, Bas. Aku benar-benar sudah tak sabar lagi.”“Astaga dosen yang satu ini!!” Sebastian pun berdecak sebal. “Itu sih namanya bukan bertanya, tetapi kau memaksa. Dasar!!”“Aku bisa saja pergi sendiri, tapi aku butuh dirimu untuk memastikan Amanda mau bertemu denganku.” Pada akhirnya Sebastian pun mengangguk sebagai tanda setuju atas tawaran Radit. Tindakannya barusan membuat papa kandung Ayra tersebut langsung memekik kegirangan. Bahkan tanpa sadar dia sudah meloncat tak jelas.“Kau berdo’a saja semoga Manda masih mau bert
“Maaf ya, Bas. Nenek pikir tadi kau adalah Radit. Makanya dia mengomel terus.” Amanda meringis usai memperhatikan wajah sendu Sebastian. Setelahnya wanita itu meletakkan nampan berisi pisang goreng dan segelas kopi di atas meja. Lantas duduk di kursi seberang lalu tersenyum lembut.“Iya, Man. Santai,” kata Sebastian memaksakan senyumnya. “Kalau tahu bakal disambut dengan sumpah serapah tadi, mendingan aku suruh Radit yang ke sini.”“Maaf ya,” ulang Amanda lagi. Sebastian pun mengangguk-angguk. Tak pelak dia mulai menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap itu.“Sepertinya kau betah di sini.”“Hu um,” sahut Amanda cepat. Tangannya meraba perut yang sejak tadi menjadi perhatian Sebastian. “Jangan bilang dia dulu ya.”“Iya. Dia memang harus dikasih pelajaran,” ucap Sebastian yang kali ini malah berpihak pada Amanda. “Aku juga setuju kalau kau jangan mau dijemput olehnya dengan mudah. Dia harus benar-benar dibuat kapok, Man. Aku akan mengerjainya.”“Maksudmu?”